Latar Belakang Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam Menjalankan Fungsi Legislasi untuk Memperperjuangkan Kepentingan Perempuan Tahun 2009-2011

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Demokrasi telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demokrasi mengisyaratkan bahwa semua manusia berhak dan bebas dalam menjalankan hak-hak demokrasi seperti hak hidup, hak berpendapat, bahkan hak memilih dan dipilih, begitu juga dengan perempuan. Di dalam Pasal 27 UUD Tahun 1945 menyatakan:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.Pernyataan itu menegaskan bahwa tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan politik seperti memberikan suara secara bebas di pemilihan umum, ikut dalam partai politik, menjadi elit politik dan turut terlibat dalam mempengaruhi keputusan- keputusan politik. Persoalan-persoalan perempuan masih banyak yang belum diselesaikan di Indonesia, khususnya di kota Medan sendiri. Fakta ini diperkuat oleh data PBB yang memperkirakan angka perdagangan trafficking dan eksploitasi sosial perempuan dan anak di Asia mencapai 30 juta korban selama kurun waktu 30 tahun terakhir. Berdasarkann data teranyar dari Bagian Pemberdayaan Perempuan Pemko Medan, kasus trafficking cukup mengkhawatirkan. Korban trafficking anak di Sumut terus bertambah. Dan menurut perkiraan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA Medan korban trafficking di Sumut sekitar 300 hingga 400 anak setiap tahun. Korban trafficking di Sumut umumnya berusia di bawah 18 tahun. Catatan PKPA menyebutkan sebanyak 15 orang anak berumur 12-15 tahun menjadi korban perdagangan anak pada 2003 dan 2004. Para korban tersebut rata-rata tidak tamat sekolah dasar SD dan berasal dari perkebunan, nelayan dan masyarakat miskin di pinggiran Kota Medan. Women Crisis Centre WCC Cahaya Perempuan di Medan, mengungkap, terjadi tindak perdagangan orang trafficking sepanjang tahun 2011 sebesar 53,65 persen dialami anak di bawah 18 tahun Jumlah pekerja wanita di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 2007 mencapai 2,12 juta orang 35,37. Di Kota Universitas Sumatera Utara Medan jumlah korban trafiking menduduki peringkat pertama dengan perkiraan mencapai 27 kasus. 1 Menurut Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Perempuan Indonesia,untuk kekerasan terhadap perempuan terjadi lebih dari 110.000 kekerasan terhadap perempuan dan 95 persennya adalah KDRT. Komnas Perempuan mencatat, kekerasan moralitas hingga Maret 2012 terjadi 207 PP Peraturan Pemerintah yang diskriminatif. Kebanyakan kebijakannya menyasar dan menarget perempuan, membuat perempuan sebagai korban dan mengontrol mobilitas perempuan. Misalnya seperti Perda Prostitusi yang awal dibentuknya melindungi perempuan tetapi perempuan-perempuan yang pulang larut malam mudah sekali diduga sebagai PSK. 2 Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah pekerja perempuan di Indonesia tahun 2011, berjumlah 39,95 juta jiwa, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah itu, sekitar 25 juta di antaranya tergolong usia reproduksi 15-45 tahun. Sudah pasti, bagi buruh perempuan yang memiliki anak bayi akan kesulitan memenuhi kebutuhan ASI banyak anaknya itu. Sementara faktanya, rata-rata perusahaan hanya memberikan cuti pasca melahirkan maksimal 2 bulan. Ironisnya, pemberlakuan jam malam masih juga diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk kepada si ibu yang baru saja melahirkan. Hak dan perlindungan terhadap kaum buruh perempuan di negeri ini memang masih sangat rendah. Banyak perusahaan yang masih memperlakukan buruh perempuan sebagai sapi perahan. 3 1 Membicarakan hubungan perempuan dengan politik masih menjadi wacana yang menarik. Sebelum era reformasi, kondisi politik perempuan sangatlah rendah. Perempuan belum mendapat tempat strategis dalam membuat keputusan politik karena laki-laki masih lebih mendominasi dan menentukan kebijakan publik. Perempuan biasanya hanya menjadi peserta yang sekedar absen dan penikmat kebijakan saja. Kaum perempuan direduksi sedemikian rupa pada tataran simbolis dan struktural dan hanya merupakan mendamping suami. Pencitraan yang dimunculkan melalui pejabat-pejabat publik, dimana sang istri diperankan sebagai orang kedua dibelakang suami. http:waspadamedan.comindex.php?option=com_contentview=articleid=17922:5365-persen-korban-trafficking-di- bawah-18-tahuncatid=51:medanItemid=206 diakses pada tanggal 10 Juli 2012 2 Majalah Forum Keadilan No.14. Jakarta. PT. Forum Adil Mandiri. 29 Juli 2012. Hal 67 3 http:www.analisadaily.comnewsread2012053053180nasib_buruh_perempuan_kita yang diakses pada tanggal 15 Juli 2012. Universitas Sumatera Utara Di era reformasi, sedikit demi sedikit ada secercah harapan pada perempuan untuk memasuki ruang publik dan politik sekaligus. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari pemerintahannya selama 32 tahun, arus reformasi mulai menunjukkan perubahan- perubahan termasuk untuk perempuan baik dari kebebasan perempuan untuk berekspresi sampai partisipasi politik perempuan mulai diperhatikan. Perempuan dalam tatanan politik juga mulai berkembang dimana perempuan yang hanya bisa memilih kini dapat memilih dan dipilih. Perempuan juga mulai menunjukkan kemampuan dirinya baik di keluarga bahkan di pemerintah. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi keterwakilan perempuan di politik dan membuat kesadaran perempuan akan pengetahuan politik. Gerakan perempuan dan feminis juga mewarnai perubahan sosial politik di Indonesia. Mereka tidak henti-hentinya menyuarakan kepentingan dan keterwakilan politik perempuan di Indonesia. Untuk mengantisipasi suara dari perempuan Indonesia, pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.12 Pasal 65 Ayat 1 tentang Pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30”. 4 Namun UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat 1 tentang pemilu belum menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut “tidak” atau “belum” memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya affirmative action 5 30. Untuk itu dikeluarkanlah UU Pemilu No.10 tahun 2008 yaitu pada pada pasal 8 ayat 1 butir d yang menyatakan “Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. 6 Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk dapat menyertakan sedikitnya 30 kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30 merupakan suatu peluang bagi 4 UU Pemilu No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat 1 5 Affirmation action adalah semacam program khusus untuk lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyarakat sesuai kemampuan dan talentabyang dimilikinya sehingga perempuan lebih termotivasi untuk meraih posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. 6 UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 8 ayat 1 butir d Universitas Sumatera Utara perempuan dengan keterwakilannya untuk dapat kiranya menyuarakan kepentingannya serta kepentingan umum dengan membawa aspirasi dalam berbagai bidang. Adapun wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30, masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan yang ditinjau dengan hitungan statistik yang berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Tetapi sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam dunia politiknya. Dengan adanya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, maka dapat memberikan suatu kemajuan bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Dengan begitu sekarang perempuan bebas mencalonkan dirinya untuk dapat menduduki jabatan politiknya. Kemudian disahkan pula Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur ketentuan kuota minimal 30 bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik maupun anggota legislatif, dimana setiap tiga nama dalam caleg harus dimasukkan nama perempuan, hal ini tertulis jelas dalam UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 yang meyatakan “Didalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam ayat satu , setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya terdapat satu orang perempuan bakal calon” 7 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD merupakan suatu lembaga atau badan perwakilan rakyat di daerah yang mencerminkan struktur dan sistem demokratis di daerah, sebagaimana terkandung di dalam pasal 18 UUD 1945 Undang-undang pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa pentingnya perhatian khusus ke perempuan. Hal itu tampak dengan adanya ketentuan affirmative action untuk calon anggota legislatif perempuan yang berupa pemberian kuota ke perempuan. Adapun penetapan kuota tersebut dipandang merupakan mekanisme paling efektif untuk menjamin akses perempuan di bidang politik. Kuota tersebut bisa menjadi titik pijak dimulainya pembaruan semua kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berspektif gender dan lebih sensitif atas kepentingan perempuan. 8 7 UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 8 Hari Sabarno, memandu otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta. Sinar Grafika. 2008. Hal: 20 dan selanjutnya dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepentingan dan aspirasi dari masyarakat harus dapat ditangkap oleh pemerintah daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Universitas Sumatera Utara sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagaan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Keseluruhan dari fungsi DPRD telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Melalui fungsi tersebut DPRD sebagai representasi rakyat dalam struktur kelembagaan daerah menjalankan fungsi perundang-undangan dan juga fungsi anggaran keuangan yang telah diatur dalam hak anggaran sampai pada fungsi pengawasan. Fungsi DPRD berakar pada subtansi demokrasi yang terus mengingatkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota parlemen adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai politik. Dalam pembahasan ini yang menjadi masalah adalah bagaimana partisispasi perempuan yang duduk di lembaga legislatif dapat melaksanakan fungsi legislasi dengan baik. Setelah reformasi keterwakilan politik perempuan di Kota Medan masih sulit meningkat. Pada masa orde baru, perempuan belum banyak yang mau berpartisipasi dalam politik. Mereka lebih suka mendukung karir politik suami masing-masing. Untuk mensukseskan karir suaminya, kebanyakan sang istri ikut dalam kegiatan perempuan di PKK dan keagamaan. Karena itu, pada masa Orde Baru masih sedikit bahkan jarang perempuan ikut dalam kegiatan politik yang dinilai sebagai wilayah laki-laki. Pada tahun 1992-1997keterwakilan politik perempuan hanya 3 orang dari 44 anggota terpilih dan untuk tahun1997-1999, jumlah anggota DPRD perempuan Kota Medan hanya 4 orang. Kemudian pada saat ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan, dan hasilnya pada saat itu adalah 5 orang perempuan yang terpilih dari 45 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sementara itu pada pemilu 2009, anggota DPRD Kota Medan hanya 6 orang perempuan yang terpilih dari 50 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. 9 Kinerja Anggota Dewan perempuan yang dibahas disini adalah kinerja tentang Anggota Dewan perempuan dalam mengambil kebijakan. Kinerja yang dilaksanakanmengacu aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam Namun salah satu dari enam anggota DPRD Kota Medan perempuan yaitu, Hj Halimatusakdiyah dari partai Demokrat itu meninggal dunia akibat menderita penyakit kanker, jumlah anggota legislatif perempuan di kota Medan menjadi lima orang saja. Kondisi ini memprihatinkan karena persentase keterwakilan politik perempuan yang duduk di DPRD Kota Medan hanya berkisar 12 saja. 9 http: www.seputar-Indonesia.comedisi cetakcontentview466531 yang disunting pada tanggal 07 Mei 2012 Universitas Sumatera Utara dunia politik.Pembahasan mereka dalam membuat kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan dapat membuktikan pemberian kuota 30 memang layak diberikan atau tidak kepada perempuan. Untuk dapat bertahan di dunia politik, perempuan yang telah duduk di parlemen haruslah memperlihatkan kapasitasnya dengan selalu aktif berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi kerja mereka yaitu di bidang legislasi dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan sesuai dan efektif bagi kebutuhan masyarakat. Jika mereka dapat melaksanakan fungsi ini, kinerja mereka di parlemen akan meningkat. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik dan ingin melihat dan meneliti tentang Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011

2. Perumusan Masalah