BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Pendidikan merupakan investasi penting yang menentukan masa depan bangsa. Dewasa ini, pesatnya perkembangan teknologi dan informasi memiliki peranan
yang sangat penting dalam dunia pendidikan di era globalisasi dan pasar bebas dunia. Sumber Daya Manusia SDM yang berkualitas sangat diperlukan bagi
negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, terlebih dengan persaingan yang semakin kompetitif. Peningkatan SDM sangat tergantung pada
kualitas pendidikan di suatu negara. Siswa sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dirinya untuk kemajuan negara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan di sekolah. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dunia pendidikan dalam hal ini mencetak siswa-siswa menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas yang diharapkan dapat berfikir secara kritis, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas untuk bersaing meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi
belajarnya. Sistem pendidikan di Indonesia yang diatur oleh UU RI No. 20 Tahun 2003,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia,
serta keterampilan
yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan di setiap negara sangatlah penting. Di mana setiap pendidikan selalu mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara
termasuk di Indonesia. Dalam kurikulum ini diberlakukan standar nasional pendidikan yang berkenaan dengan standar isi, proses dan kompetensi kelulusan.
Salah satu pelajaran yang menjadi dasar kurikulum wajib pada setiap sekolah ialah mata pelajaran matematika. Menurut Lerner Abdurahman, 2003,
matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan
ide mengenai elemen dan kuantitas. Dalam kegiatan sehari-hari, setiap individu akan terlibat dengan matematika, mungkin dalam bentuk sederhana dan bersifat
rutin atau mungkin dalam bentuk yang sangat kompleks. Disadari atau tidak, pengetahuan tentang matematika telah sering dipergunakan oleh masyarakat
dalam menyelesaikan permasalahan sehari-sehari. Seperti, para pedagang di pasar tradisional yang begitu mahir dan cepat menghitung jumlah pembelian dan
sekaligus mengembalikan sisa uang pembeliannya. Perkembangan pengetahuan dan teknologi yang menopang perkembangan
budaya dan kehidupan manusia di berbagai belahan dunia dipengaruhi oleh kemajuan dalam bidang matematika. Matematika merupakan subjek yang sangat
penting di dalam sistem pendidikan di seluruh negara di dunia ini. Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari
segala bidang, dibanding dengan negara-negara lainnya yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Di Indonesia mulai dari
sekolah dasar sampai universitas, syarat penguasaan matematika jelas sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, wajar apabila pada tingkat materi pelajaran di
sekolah pun konsep-konsep matematika melekat pada berbagai pelajaran, seperti pelajaran geografi, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan sosial, sehingga
penguasaan konsep-konsep matematika merupakan prasyarat untuk dapat memahami dan mengembangkan cabang ilmu yang lain Masthoni, 2009.
Menurut Cockroft Abdurahman, 2003, mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena 1 selalu digunakan dalam segi kehidupan
2 semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai 3 merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas 4 dapat digunakan
untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara 5 meningkatkan kemampuan berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, dan 6 memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Dengan demikian matematika menjadi mata pelajaran yang sangat penting dalam pendidikan dan
wajib dipelajari pada setiap jenjang pendidikan. Sayangnya pelajaran matematika yang dianggap sangat penting dan wajib
dipelajari di setiap jenjang pendidikan, menurut Ketua Asosiasi Guru Matematika Indonesia AGMI, Firman Syah Noor dalam Yusmiarini, 2009 mengatakan
prestasi matematika siswa kelas 2 SMP di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang jumlah jam pengajarannya
setiap tahun lebih sedikit dibandingkan Indonesia. “Prestasi Indonesia 411,
Malaysia prestasinya 508, dan Singapura 605. Padahal jam pelajaran di Indonesia adalah 169 jam rata-rata setiap tahun. Sedangkan Malaysia 120 jam dan Singapura
hanya 112 jam.” Bila nilai tersebut dikelompokkan, kata Firman, nilai 400-474 termasuk rendah, 475-449 termasuk menengah, 550-624 termasuk tinggi, dan 625
termasuk tingkat lanjut. Nilai tersebut, sambungnya merupakan hasil analisis pelaksanaan TIMSS Trends in International Mathematics and Science Study
yang dilakukan Frederick KS Leung dari The University of Hong Kong. Hasil analisis itu menunjukkan di Indonesia lebih banyak waktu yang dihabiskan siswa
di sekolah, tetapi tingkat prestasi siswanya rendah. Penyebabnya karena kebanyakan soal matematika yang dikerjakan di ruang kelas diekspresikan dalam
bahasa dan simbol matematika yang pengajarannya tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, siswa merasa takut dan malas belajar
matematika. Berdasarkan fenomena yang terjadi di MTs N 3 Pondok Pinang melalui hasil
wawancara wakil kepala sekolah bagian humas dan peningkatan mutu, salah satu guru matematika, BD pada tanggal 4 November 2010 mengaku bahwa, yang
menjadi faktor prestasi belajar matematika siswa bukanlah semata-mata tingkat inteligensi, menurutnya yang paling tepat adalah kemampuan dasar yang tidak
dikuasai atau kurang mantapnya pengetahuan matematika dari SD; perasaan takut dengan hitung-hitungan, deg-degan, dan banyak hafalan rumus menyebabkan
siswa malas membaca sehingga banyak siswa yang jarang mengerjakan tugas; cara guru mengajar yang tidak sesuai dengan gaya belajar siswa; dan peran orang
tua atau keluarga karena kurang mendukung aktivitas belajar siswa, serta orang
tua yang jarang menyuruh anaknya untuk belajar. Prestasi belajar matematika akan berhasil jika siswa benar-benar memahami konsep dan memperbanyak
latihan soal, maka akan terbentuk pemahaman dan penguasaan, sehingga jika siswa bertemu soal matematika sudah paham dan tahu cara untuk menjawabnya.
Karena itu sangat disayangkan sekali jika ada siswa yang harus gagal pada UN jikalau kurangnya persiapan pada diri siswa tersebut. Selain itu juga harus adanya
keterbukaan hubungan batin antara guru dan siswa agar keduanya sama-sama mendapatkan timbal balik, guru dicintai dan pelajaran disukai.
Menurut Boekaerts dalam Yulinawati, 2009, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa untuk mencapai prestasi yang optimal dalam
belajar, yaitu inteligensi, kepribadian, lingkungan sekolah, dan lingkungan rumah. Lebih
lanjut, selain
faktor-faktor tersebut
ternyata self-regulation
turut mempengaruhi keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi optimal. Bandura,
Zimmerman, dan Martinez-Pons Papalia, 2001 berpendapat bahwa individu yang mengatur diri mereka dalam belajar dan meyakini bahwa ia mampu
mengatasi bahan-bahan akademik akan memiliki kesuksesan dan prestasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak percaya akan kemampuan
dirinya. Usaha individu untuk mencapai tujuan belajar dengan mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, emosi dan perilaku disebut self-regulated learning
SRL dalam Yulinawati, 2009. Proses belajar melalui self-regulated learning apabila siswa yang aktif dalam
proses belajarnya, baik secara metakognitif, motivasi, maupun perilaku. Secara metakognitif mereka bisa memiliki strategi tertentu yang efektif dalam
memproses informasi. Sedangkan motivasi berbicara tentang semangat belajar yang sifatnya internal. Sedangkan perilaku yang ditampilkan adalah dalam bentuk
tindakan nyata dalam belajar dalam Ismawati, 2010. Kesadaran anak memilih dan menggunakan strategi belajar tertentu akan
membedakan anak yang belajarnya benar dan anak yang belajar sekedarnya. Anak berusaha memahami materi bacaan kata kunci lalu membuat ringkasan. Untuk
dapat menguasai pelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki keterampilan kognitif dalam memahami konsep-konsep keruangan, konsep persamaan, konsep
membedakan, definisi, konsep pengukuran, dan analisa dalam bentuk soal cerita, serta dalam pengerjaan tugas-tugas. Proses regulasi diri secara keseluruhan lebih
menekankan kepada proses kematangan siswa dimana semakin sering siswa melakukan latihan mengerjakan soal-soal akan semakin banyak materi yang
dikuasai sehingga diharapkan siswa dapat mengembangkan self-regulated learning.
Dalam hal ini, agar siswa dapat mengerti pemahaman yang menyeluruh mengenai pelajaran matematika dibutuhkan langkah-langkah yang konkrit dengan
mengubah perilaku dan strateginya dalam proses belajar. Menurut Schunk dan Zimmerman dalam Wolters, 1998, siswa yang mengatur dirinya dalam belajar
pada umumnya digolongkan sebagai para siswa yang aktif secara efisien mengelola pengalaman belajar mereka sendiri dengan berbagai cara yang berbeda-
beda. Secara teori, para siswa berada dalam ruang lingkup pendidikan mampu mengatur diri mereka sendiri untuk menggunakan berbagai macam strategi
metakognitif yang siap mereka gunakan, ketika diperlukan, untuk memenuhi
tugas-tugas akademis. Menurut Zimmerman 1989 agar siswa dapat dikatakan memiliki self-
regulated learning dalam proses belajarnya siswa harus melibatkan penggunaan- penggunaan strategi khusus untuk mencapai tujuan akademisnya. Pengaturan
kognitif dan ketekunan siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan prestasi karena keduanya memiliki
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu kemauan dan keinginan siswa untuk mengerjakan soal-soal latihan dan keinginan siswa untuk merubah perilaku
belajarnya dalam bentuk mempraktekan teori yang didapat di kelas serta penggunaan self-regulated learning yang tepat akan meningkatkan prestasi.
Penelitian sebelumnya mendukung pentingnya self-regulated learning dengan menghubungkan para siswa yang mengatur dirinya dengan hasil prestasi belajar.
Pintrich DeGroot 1990, mendapati bahwa para siswa yang memiliki self- regulated learning menggunakan motivasi instrinsik, dan self-efficacy yang lebih
besar. Demikian juga Zimmerman dan Martines-Pons 1986 juga mendapati bahwa para siswa yang berprestasi tinggi lebih menggunakan 14 strategi
dibandingkan dengan siswa yang berprestasi rendah dalam Wolters, 1998. Selain
itu, Menurut
Zimmerman dan
Matinez-Pons 1988
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa siswa yang memiliki self-regulated learning
akan mampu mengarahkan dirinya saat belajar self-regulated learners, membuat perencanaan plan, mengorganisasikan materi organize, mengarahkan diri
sendiri self-instruction dan mengevaluasi diri sendiri self-evaluation dalam
proses pengetahuan. Langkah-langkah tersebut pada akhirnya akan meningkatkan prestasi.
Hasil penelitian dari Zimmerman dan Martinnez-Pons 1990
menunjukan bahwa siswa yang memiliki prestasi lebih sering menggunakan strategi-strategi self-regulated learning dibandingkan dengan siswa yang kurang
prestasinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar yang baik, siswa yang memiliki prestasi tinggi hampir menggunakan seluruh strategi
dari self-regulated learning yang ada. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sudjana 2003, menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang posistif dan signifikan antara self-regulated learning dengan prestasi belajar fisika siswa kelas 2 SMU, dengan koefisien
korelasi sebesar 0,250. Artinya terdapat hubungan yang positif ada hubungan yang searah dan signifikan antara self regulated learning dengan prestasi belajar
fisika. Lain halnya peneliti yang dilakukan oleh Endah dkk 2006 mengenai
memahami perilaku prokrastinasi akademik berdasarkan tingkat self-regulated learning dan trait kepribadian, menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat self regulated learning terhadap perilaku prokrastinasi akademik siswa, yang diperoleh dari uji regresi Nilai F 1.130 dengan signifikan 0.05 yang artinya
tidak ada hubungan yang positif antara tingkat self regulated learning terhadap perilaku prokrastinasi akademik siswa.
Laporan penelitian Sugiharto, dkk 2008 tentang pengembang model bimbingan kesulitan belajar berbasis self-regulated learning pada siswa sekolah
menengah atas, memberi kesimpulan bahwa perilaku belajar siswa yang
berkesulitan belajar tidak ada hubungannya dengan prinsip self-regulated learning, terutama motivasi pribadi dan strategi belajar.
Bertolak dari hal tersebut diatas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui : Apakah ada pengaruh self-regulated learning terhadap prestasi belajar matematika
siswa MTs N 3 Pondok Pinang.
1.2 Perumusan dan pembatasan masalah 1.2.1 Pembatasan masalah