Latar Belakang Masalah Perda keagamaan dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Solok Sumatera Barat
3
isinya mengatur penerapan Syariat Islam dengan bentuk yang beragam, dari yang m
engatur persoalan Sholat Jum’at khusyuk, keharusan bisa baca tulis al-Quran, berbusana muslim, pemberdayaan Zakat, Infak, dan Sedekah, pencegahan dan
pemberantasan maksiat, penertiban minuman keras dan pelacuran, hingga penerapan sebagian hukum pidana Islam kendati yang disebut terakhir hanya terjadi di Aceh,
seperti hukum cambuk bagi penjudi dan pelaku khalwat laki-laki dan wanita dewasa berdua-duaan di tempat sepi.
Seringkali proses pembuatan Perda bernuansa agama itu tidak memenuhi standar baku ketentuan pembuatan undang-undang sebagaimana diatur UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal paling mencolok adalah sepinya konsultasi publik dalam pengertian sesungguhnya.
Kalaupun ada konsultasi publik, hanya sekedar klaim-klaiman segelintir orang yang punya kepentingan pragmatis.
Dengan berpijak pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah bisa membuat peraturan daerah atau lokal, maka daerah-daerah berlomba untuk merumuskan Perda-Perda sesuai dengan keunikan daerah masing-masing,
termasuk keunikan keberagamaannya. Perumusan Perda-Perda bernuansa agama itu pun didasarkan pada argumentasi UUD 1945 pasal 29 yang membenarkan penganut
agama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kenyataan ini tentu saja melahirkan problem. Karena di satu sisi UU kita membenarkan daerah untuk memproduksi Perda
sesuai dengan keunikan daerah masing-masing, tetapi di sisi lain, dan ini sering
4
dilupakan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan ada enam urusan yang menjadi urusan
pemerintahan pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta agama. Artinya, pemerintah daerah tidak memiliki
kewenangan mengatur peraturan tentang agama, karena pengaturan agama hanya menjadi wewenang pemerintah pusat.
4
Implementasi beberapa Perda Syariat banyak menimbulkan kontroversi, bukan saja dari kalangan non-muslim yang menganggapnya sebagai perda
diskriminatif, namun dari kalangan muslim pun serta para ahli hukum tatanegara tidak jarang yang menolak pemberlakuan Perda Syariat, karena Perda Syariat
dianggap tidak sesuai dengan hukum ketatanegaraan Indonesia. Menyikapi pemberlakuan Perda Syariat Islam di berbagai daerah muncul
pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik elite politik, menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media
sosial untuk memberantas berbagai masalah di masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Mereka memiliki
argumentasi bahwa keberadaan Perda Syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus
bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Jakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
4
Diskusi Abdul Mun’im, Rumadi, dkk, tentang Perda Syariat dalam Bingkai Negara Bangsa, pada 11 Agustus 2006. Lihat Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 20 Tahun 2006, hal. 47
5
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakuan Perda Syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan pancasila dan substansi
perundang-undangan diatasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa disintegrasi bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk
mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.
Keberadaan Perda-Perda berdimensi agama di Sumatra Barat, selalu dikaitkan faktor sosial budaya masyarakat Minang yang identik dengan Islam yang tercermin
dalam filosofi adat Minangkabau yakni ABS-SBK adat basandi syarak-syarak basandi Kitabullah.
5
Sejak era Otonomi Daerah kabupaten dan kota di Sumatra Barat berlomba-lomba untuk melahirkan Perda-Perda tersebut. Rata-rata tiap kota
atau kabupaten mempunyai 2 sampai 4 buah Perda yang berdimensi agama Islam. Lahirnya berbagai Perda bernuansa Syariat di Provinsi Sumatera Barat diawali
dengan keluarnya Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001 tentang Pencegahan Maksiat. Kota Solok merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera
Barat yang memiliki 2 Perda bernuansa syariah, yaitu Perda No. 13 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, dan Perda No.6 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Maksiat di Kota Solok. Mayoritas penduduk Kota Solok beragama Islam. Jumlah penduduk beragama Islam di daerah ini mencapai 98 , sedangkan
penganut agama Kristen sebesar 1,6 , dan penganut agama Lain-lain hanya 0,4 .
5
Postulat adat ini sangat tegas menggariskan bahwa yang menjadi sendi dasar adat istiadat masyarakat Minang adalah sara’ syariat Islam yang bersumber dari Kitabullah al-Qur`an dan as-
Sunnah.
6
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk melakukan formalisasi hukum Islam melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok
yang penting untuk dibahas. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai akses dari otonomi daerah semata, tetapi juga cerminan keagamaan masyarakat dalam
menyikapi perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda dalam berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan
dengan sistem pemerintahan yang „korup’. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan hukum Islam dianggap sebagai salah satu problem solving. Dengan melihat latar belakang yang di paparkan di atas, maka penulis
terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“Perda Keagamaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Solok-
Sumatera Barat.”