40
Situasi politik pada masa itu memang sangat di warnai oleh kepemimpinan Presiden Soekarno yang cenderung sentralistis berdasarkan demokrasi terpimpinnya.
39
d. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974
Ini undang-undang otonomi daerah yang paling panjang masa berlakunya yang mencapai 25 tahun yang juga sepanjang satu rezim, yaitu era orde baru. Sistem
sentralisasi sangat nyata diatur, tidak hanya berkaitan dengan penentuan kepala daerah saja, tetapi juga mencakup asa yang mendasar dari otonomi yang diterapkan
sebagai jiwa undang-undang. Asas otonomi yang luas diganti dengan asas nyata dan bertanggung jawab dengan alasan bahwa dianutnya asas otonomi yang luas ternyata
memunculkan berbagai gerakan separatisme yang mengarah pada disintegrasi selama ini. Sesungguhnya pendapat ini sangat keliru sebab berbagai wilayah yang dijadikan
alasan tersebut bukan bersifat politis, tetapi lebih kepada gerakan ideologis.
Sentralisasi pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dipertegas pada masa orede baru dengan lebih kental kepada asas dekosentrasi dari
pada desentralisasi. Kepala daerah selain sebagai pemimpin daerah juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sehingga memanipulasi desentralisasi.
40
Penyeragaman sistem, mematikan keanekaragaman daerah hingga kepada pemerintahan terkecil di pedesaan dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Bentuk desa di Jawa dijadikan pedoman.
39
Joe Fernandez dkk, Otonomi Daerah di Indonesia...., h. 9
40
Joe Fernandez dkk, Otonomi Daerah di Indonesia..., h. 4
41
Desentralisasi hanya pada daerah provinsi dan kabupaten, sedangkan dekosentrasi
selain di dua daerah tersebut ditambah dengan daerah kecamatan. e.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Runtuhnya rezim orde baru memaksa perubahan sistem pemerintahan daerah secara gradual. Asas pemberian otonomi kembali pada asas otonomi yang luas,
bahkan lebih luas dari yang sebelumnya dan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif daerah dipulihkan kembali. Otonomi bertitik berat di kabupaten dan kota
dengan desentralisasi sehingga hanya provinsi yang masih memiliki dekosentrasi sebagai wakil pusat di daerah.
f. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
Tuntutan demokrasi yang begitu mendesak menyebabkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam proses penyusunannya dipandang prematur sehingga
tidak dapat mengantisipasi nuansa kedaerahan yang berlebihan dan menjurus pada arogansi derah. Pemekaran dan pembangkangan daerah merajalela. Namun dipihak
lain tuntutan demokratisasi secara lebih besar terus mendesak hingga kepada pendelegasian kedaulatan pada rakyat di daerah untuk memilih secara langsung
kepala daerah masing-masing. Kondisi-kondisi ini yang menyebabkan dibentuknya dan sekaligus menjadi
inti muatan revisi otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
3. Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan
Sebagai terobosan politik di masa reformasi dengan dikeluarkannya undang- undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah yang selanjutnya diganti