Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Sejarah Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia

42 dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya otonomi daerah dijadikan sebagai upaya mengarahkan daerah untuk mengurus dirinya sendiri dan bisa menerapkan kebijakan berbasis pada kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, otonomi daerah seharusnya juga lebih dipahami sebagai sebuah upaya membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Maraknya perda syariah usai diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah membuktikan bahwa demokratisasi, sekali lagi, menjadi instrumen yang efektif bagi eksperimentasi politik Islam di tanah air. Kel ompok „Islam Politik’ kembali melanjutkan tugas mereka untuk mengislamkan ruang publik dengan mengandalkan Undang-Undang Otonomi Daerah. Dalam prosedur demokrasi, hasil amandemen UUD 1945 tahun 2002 itu seharusnya dilihat sebagai kekuatan-kekuatan politik yang ada, dengan alasan bahwa konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan politik. Namun, nyatanya, eksperimen politik Islam tetap semarak dengan cara memanfaatkan otonomi daerah. Ini mengejutkan, apalagi upaya penerapan syariah di daerah pada era reformasi ini sesungguhnya melanggar wewenang pemerintah pusat dalam urusan agama dan peradilan, ini jelas-jelas memperlihatkan ambiguitas antara yang termaktub secara de jure dan yang terjadi secara de facto. 41 41 Sukron Kamil, Andy agung Prihatna, dkk, Syariah Islam dan HAM, ...... h. 109-110. 43 Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. 42 Semakin banyak daerah baik yang tengah membuat atau sudah menerapkan peraturan daerah atau perda bernuansa syariah mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten atau kota belakangan ini telah memunculkan kekhawatiran baru dalam berbangsa dan bernegara. Peraturan syariah yang kemunculannya didukung sejumlah kepala daerah ini memiliki muatan yang cenderung bertentangan dengan semangat pluralisme. Lebih jauh, perda tersebut juga berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM, dan berpotensi untuk mendiskriminasi kelompok tertentu di masyarakat, khususnya perempuan. Cendikiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menilai maraknya fenomena penerapan syariah Islam di beberapa daerah di Indonesia menyusul diberlakukannya otonomi daerah karena nilai-nilai luhur kemanusiaan Islam seperti keadilan sosial ekonomi dan kemanusiaan tidak terwujud. Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Azyumardi Azra. Menurutnya, penerapan syariah Islam lebih mencerminkan kenestapaan material di kalangan umat Islam. Ia juga menilai upaya penerapan syariah Islam sebagai mekanisme pertahanan diri, dalam arti satu-satunya cara yang 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, BAB III; Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 10 ayat 1 dan 3.