Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965

41 Desentralisasi hanya pada daerah provinsi dan kabupaten, sedangkan dekosentrasi selain di dua daerah tersebut ditambah dengan daerah kecamatan. e. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Runtuhnya rezim orde baru memaksa perubahan sistem pemerintahan daerah secara gradual. Asas pemberian otonomi kembali pada asas otonomi yang luas, bahkan lebih luas dari yang sebelumnya dan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif daerah dipulihkan kembali. Otonomi bertitik berat di kabupaten dan kota dengan desentralisasi sehingga hanya provinsi yang masih memiliki dekosentrasi sebagai wakil pusat di daerah.

f. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

Tuntutan demokrasi yang begitu mendesak menyebabkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam proses penyusunannya dipandang prematur sehingga tidak dapat mengantisipasi nuansa kedaerahan yang berlebihan dan menjurus pada arogansi derah. Pemekaran dan pembangkangan daerah merajalela. Namun dipihak lain tuntutan demokratisasi secara lebih besar terus mendesak hingga kepada pendelegasian kedaulatan pada rakyat di daerah untuk memilih secara langsung kepala daerah masing-masing. Kondisi-kondisi ini yang menyebabkan dibentuknya dan sekaligus menjadi inti muatan revisi otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

3. Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan

Sebagai terobosan politik di masa reformasi dengan dikeluarkannya undang- undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah yang selanjutnya diganti 42 dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya otonomi daerah dijadikan sebagai upaya mengarahkan daerah untuk mengurus dirinya sendiri dan bisa menerapkan kebijakan berbasis pada kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, otonomi daerah seharusnya juga lebih dipahami sebagai sebuah upaya membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Maraknya perda syariah usai diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah membuktikan bahwa demokratisasi, sekali lagi, menjadi instrumen yang efektif bagi eksperimentasi politik Islam di tanah air. Kel ompok „Islam Politik’ kembali melanjutkan tugas mereka untuk mengislamkan ruang publik dengan mengandalkan Undang-Undang Otonomi Daerah. Dalam prosedur demokrasi, hasil amandemen UUD 1945 tahun 2002 itu seharusnya dilihat sebagai kekuatan-kekuatan politik yang ada, dengan alasan bahwa konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan politik. Namun, nyatanya, eksperimen politik Islam tetap semarak dengan cara memanfaatkan otonomi daerah. Ini mengejutkan, apalagi upaya penerapan syariah di daerah pada era reformasi ini sesungguhnya melanggar wewenang pemerintah pusat dalam urusan agama dan peradilan, ini jelas-jelas memperlihatkan ambiguitas antara yang termaktub secara de jure dan yang terjadi secara de facto. 41 41 Sukron Kamil, Andy agung Prihatna, dkk, Syariah Islam dan HAM, ...... h. 109-110.