Sejarah Penerapan Syariah Islam di Indonesia

28 diwujudkan dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DITII di Jawa Barat, yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar. Setelah Bung Karno diberhentikan oleh MPRS, masuklah era Orde Baru. Di bawah pimpinan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan asas negara, hubungan Islam dan negara, dan juga hubungan partai-partai politik dengan negara. Ketiga politik Orde Baru itu dikenal dengan politik; non-sektarian, massa mengambang, dan ke seragaman „ideologi’ Pancasila. Menurut Taufiq Nugroho, kebijakan Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam, dapat dibagi pada dua fase, Pertama, antara tahun 1966-1985, pada masa ini Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur struktur. Pada periode ini, ada gerakan Islam yang dipelopori oleh Imron, yang dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok yang menggelorakan jihad, dan gerakan Warman di Lampung yang menggelorakan gerakan anti komunisme Kedua, antara tahun 1985- 1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap Islam dan cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam. Seperti restu Presiden Soeharto atas berdirinya ICMI Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Di era Orde Baru, isu tentang syariat Islam merupakan sesautu yang tabu, dan kelihatan melemah. 24 24 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002, h. 35-41 29 Era Orde Baru berakhir tahun 1998, kemudian masuk pada era reformasi, berpengaruh juga pada kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Setidaknya ada dua fenomena yang cukup menarik. Pertama, semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah, Kelompok di luar dua organisasi itu kemudian bermunculan, seperti FPI, Forum Komunikasi Aswaja, Majelis Mujahidin Indonesia, HTI, dan HAMMAS. Kedua, Selain itu juga bermunculan parpol keagamaan. Pada masa Orde Baru parpol keagamaan hanya satu yaitu PPP, tapi di era reformasi ini bermunculan parpol berbasis keagamaan, seperti PBB, PKB, PAN, dan PKS. Pada tahun 2000, upaya membuat payung syariat lewat konstitusi mengemuka lagi dalam sidang amandemen UUD 1945, yaitu Fraksi PBB dan Fraksi PPP. Usulan dua fraksi itu terfokus pada amandemen pasal 29 UUD 1945 ayat 1, yang intinya kedua fraksi itu menginginkan ada tambahan kata, se hingga menjadi,”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”. Usulan amandemen itu kemudian gagal, tapi gerakan syariat Islam lewat perda-perda menguat di daerah-daerah. Dipertengahan terakhir Orde Baru berkuasa, beberapa ketentuan syariat Islam sudah bisa diakomodir oleh negara. Bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke dalam empat jenis yang berbeda: 1 akomodasi struktural; 2 akomodasi legislatif; 30 3 akomodasi infrastruktural; dan 4 akomodasi kultural. Bentuk akomodasi yang pertama dapat kita saksikan misalnya: 25 a UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawian b Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional UUPN tahun 1989 yang mewajibkan setiap anak didik mendapat pelajaran agama sesuai agama yang dianutnya c Diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 d Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 e Diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991 f Dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Bazis tahun 1991 g UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang memberi keabsahan berdirinya perbankan syariah, menyusul berdirinya Bank Muamalat Indonesia BMI dan berdiri pula satu lembaga bernama “Badan Arbitrase Muamalat Indonesia” BAMUI yang mempunyai wewenang mengadili perselisihan dikalangan umat Islam dalam seluruh aspek keperdataan. h Dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah SDSB tahun 1993, dan terkahir dimasa reformasi dikeluarkan Undang-Undang Pelaksanaan Haji dan Undang-Undang Zakat. 25 Khamami Zada, Wacana Syariat Islam; Menangkap Potret Gerakan Islam di Indonesia, Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 12 Tahun 2002, hal. 27. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 273 31

B. Taqnin Al-Ahkam

1. Pengertian

Taqnin al-Ahkam Secara etimologis, kata taqnin نينقت merupakan bentuk masdar dari qannana نَنق, yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun نْوناق yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara thariqah. Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum tasyri‟ yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang- undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat. 26

2. Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam

Taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut 26 Rashid, Taqnin Al-Ahkam Dalam Pandangan Ulama, diakses pada tgl 30 Desember 2010 dari sumber: http:racheedus.wordpress.commakalahkutaqnin-al-ahkam-dalam-pandangan-ulama 32 merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam. Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi uqubah, dan mu‟amalah. Selain al-Fatawa al- Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil. Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al- Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul 33 Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.

3. Dasar Pemikiran

Taqnin di Kalangan Ulama Klasik Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan. Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut. Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran QS. Shad: 26. Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim. Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan