Pengertian Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam

33 Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.

3. Dasar Pemikiran

Taqnin di Kalangan Ulama Klasik Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan. Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut. Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran QS. Shad: 26. Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim. Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan 34 kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.” Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa. Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah 35 dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil al-adl, dalam ayat Alquran: Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil QS: an-Nisa: 58.

C. Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau Autonomy berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu: “autos” yang berarti “sendiri atau self” dan “nomous” yang berarti “hukum atau peraturan” yang berarti: memberi aturan sendiri, pemerintahan sendiri; atau hak untuk memerintah sendiri. 27 Secara etimologi, otonomi adalah kemampuan untuk membuat keputusan sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang lain, atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat. 28 Secara terminologi, otonomi berarti perasaan bebas. 29 Sering pula digunakan untuk menyebut hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan moral dan pemikiran religius; atau hak memerintah sendiri self government bagian dari suatu kota, negara atau bangsa. 30 27 Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Though, Exponded Edition, New York: Humanity Books, 1996, h. 54, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I Jakarta: Balai Pustakan, 1998, h. 58 28 Baca Jhon Sinclair Ed, Collins COBUIL English Language Dictionary, Cet. 6, London: Collins, 1990, h. 85 29 Baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 2, Terj. Redaksi, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 16. 30 Reece, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 16