Ijma’ Sumber-Sumber Syariah Islam

25

d. Qiyas

Secara bahasa artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. 19 Menurut ulama Ushul, al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nash- nya pad nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat sebab terjadinya hukumnya. 20 Setiap kias terdiri dari empat rukun: 1 al-Ashl ialah sesuatu yang hukmnya terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai Maqis „Alaih yang dipakai sebgai ukuran, Mahmul „Alaih yang dipakai sebgai tanggungan, atau Musyabbah Bih yang dipakai sebagai penyerupaan. 2 al- Far‟u ialah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada al-Ashl. 3 Hukmu‟l-Ashl ialah hukum syara yang terdapat nash-nya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang al- far’u. 4 al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl asal, kemudian cabang al- far’u itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya. 21 Selain empat dalil tersebut, terdapat pula dalil-dalil lain, namun tidak semua jumhur ulama sepakat menjadikannya sebagai dalil bagi hukum syara’, bahkan ada yang menolak. Dalil-dalil yang diperselisihkan itu yang terkenal ialah: a Istihsan meninggalkan hukum khusus kepada yang umum, b Maslahah Mursalah menetapkan hukum demi kemaslahatan, 19 Harun Nasrun, Ushul Fiqh I ....., h. 62. 20 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh....., h. 92 21 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh....., h. 92 26 c Istishab memilih yang disukai, d „Uruf adat istiadat, e Madzhab Shahaby mengikuti sahabat, f Syar’un man Qablana Syariat orang-orang sebelum kita. Maka jumlah dalil syara’ terdapat sepuluh dalil, empat dalil telah menjadi kesepakatan ulama, sedang enam dalil lainnya masih diperselisihkan penggunaannya. 22

3. Sejarah Penerapan Syariah Islam di Indonesia

Syariah Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Sejak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan Islam di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum barat ataupun hukum adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penerapan Islam sebagai cita-cita. Perdebatan tentang syariah Islam sudah mulai nampak ketika pemerintah penjajah Jepang membentuk BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 April 1945, sebagai perwujudan janji pemerintah Jepang atas kemerdekaaan Indonesia. Perdebatan berporos pada dua kubu; nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Ketika kelompok nasionalis sekuler mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh kelompok nasionalis muslim, dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil pemikiran filosofis 22 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh....., h. 38 27 manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh kelompok nasionalis sekuler. Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil mencapai titik temu dan kompromi, yaitu dengan adanya tambahan pada sila pertama Pancasila, dengan tambahan kata; dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen menemui Muhammad Hatta, dan menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta. Setelah Bung Hatta menemui kelompok nasionalis Muslim, kemudian dicapai kesepakatan, sehingga bunyi sila pertama Pancasila menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa. Golongan nasionalis muslim menerima formula baru itu karena kata; Yang Maha Esa yang dicantumkan setelah kata Ketuhanan, mencerminkan doktrin kepercayaan tauhid yang berarti sesuai dengan akidah Islam. 23 Perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, kembali mencuat di era kepemimpinan Presiden Soekarno Orde Lama. Pada tahun 1955 perdebatan tentang tentang dasar negara kembali menjadi polemik di Konstituante, partai-partai Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara yang merupakan prasyarat pemberlakuan syariah Islam, tapi partai-partai nasionalis mempertahankan Pancasila. Polemik itu diakhiri dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Selain di Konstituante, keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar negara, 23 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002, h. 35-41