Dampak Perda Keagamaan di Kota Solok

82 melaksanakan kewajibannya, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan pemerintah seperti mabuk-mabukan, bermain api dengan urusan drugs narkoba serta segala sesuatu yang bertentangan dengan agama maupun hukum. 22 Upaya formalisasi syariah di banyak daerah melalui penerapan perda sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari diberlakukannya Otonomi Daerah sebagai bagian dari agenda demokratisasi Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde baru. Sebagai terobosan politik di masa reformasi melalui dikeluarkannya Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya otonomi daerah dijadikan sebagai upaya mengarahkan daerah untuk mengurus dirinya sendiri dan bisa menerapkan kebijakan yang berbasis pada kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, otonomi daerah seharusnya juga lebih dipahami sebagai sebuah upaya membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung-jawaban publik. 22 Wawancara Pribadi dengan Jon Hendra, A.Md 83 Adanya keinginan dari banyaknya daerah untuk membuat dan menerapkan Perda syariat mencerminkan bahwa otonomi daerah lebih ditafsirkan secara bebas oleh berbagai kepala daerah sebagai kemerdekaan bertindak dan memberlakukan kebijakan yang mengacu kepada undang-undang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, kepala daerah tidak keliru dalam menafsirkan sebagian kewenangannya sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak keluar dari semangat awal diberlakukan otonomi daerah. Trend formalisasi Islam melalui perda ini tidak bisa dillihat secara terpisah antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena semuanya saling berkaitan. Sebab, ada kesamaan ciri dalam pola gerakan di setiap daerah dalam mendorong penerapan syariat Islam, mulai dari aktor yang terlibat dan kolaborasinya dengan elit lokal, sampai pada muatan substansinya yang hampir serupa. Dalam kaitan ini, penerapan perda syariat bisa dikatakan sebagai salah satu tahapan dari rangkaian tahapan formalisasi syariat di Indonesia. Mengenai tahapan penerapan syariat ini, Rumadi peneliti The Wahid Institute, pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah, mengemukakan bahwa ada lima tahapan penerapan syariat yang berjalan di Indonesia. Pertama, melalui hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian, dan pewarisan harta. Kedua, melalui hukum ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat. Ketiga, melalui praktik-praktik keagamaan ritual, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita