Latar Belakang Faktor-faktor psikologis mempengaruhi forgivenness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

1 BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, yang di dalamnya mencakup fenomena yang terjadi, penemuan di lapangan, serta penelitian- penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Kemudian akan dibahas juga alasan ketertarikan peneliti pada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi forgiveness. Selain itu dalam bab ini dibahas juga mengenai perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Tindak kekerasan dalam rumah tangga domestic violence merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian. Tindak kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal ancaman kekerasan. Pelaku dan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dikemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau 2 penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga Hanita dkk, 2009. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup pribadi dan dijaga ketat privacy nya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga. Ke dua, KDRT seringkali dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga Hasbianto, 1996. Kenyataan ini membuat istri merasa terpojok dengan tidak memiliki tempat berkeluh kesah dan berusaha menyimpan permasalahan dan menahan perasaan yang timbul dalam diri karena kurangnya pemahaman dalam mengatasi masalah. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus kekerasan berbasis gender yang paling sering dialami oleh perempuan. Data Komnas Perempuan menyebutkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang menempati urutan tertinggi yang dilaporkan. Pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap istri mencapai 17.772 kasus. Padahal pada tahun 2007 kekerasan terhadap istri hanya 1.348 kasus. Dalam tindakan kekerasan akan dikenal istilah korban yaitu orang yang disakiti dan pelaku sebagai orang yang telah menyakiti. Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari hubungan antar dua individu, dimana individu yang satu merasa tersakiti korban dan karena perbuatan individu yang lain pelaku. Akibatnya ialah 3 timbul perasaan-perasaan negatif marah, benci, ingin balas dendam pada pelaku kekerasan yang tak lain ialah suaminya Komnas perempuan, 2002. Dari perlakuan menyakiti tersebut selain dapat mengakibatkan perasaan negatif yang muncul dapat pula selanjutnya menghadirkan sisi positif lain yaitu kesediaan untuk melakukan forgiveness dari diri korban. Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama dan mendalam. Memaafkan sendiri tidak dapat menghilangkan perasaan sakit, namun setelah memaafkan rasa sakit itu dapat ditahan. Setelah memaafkan, individu menyadari bahwa kemarahan dan kebencian dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk Enright, 2001. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian, namun ada pula yang tetap mempertahankan rumah tangganya dan memaafkan suami yang telah melakukan kekerasan Hanita dkk, 2009. Sikap forgiveness disini terlihat pada beberapa kasus yang banyak menjadi bahan pembicaraan, sikap ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat dengan latar belakang tertentu dari korban, hingga memunculkan perasaan dapat melakukan forgiveness pada pelaku. Dalam kehidupan sehari-hari, memaafkan merupakan sesuatu hal yang dianggap baik. Dalam Wikipedia 2010 dijelaskan bahwa forgiveness adalah proses menyimpulkan dendam , marah atau kemarahan sebagai akibat dari perbedaan, dianggap pelanggaran atau kesalahan, dan atau berhenti untuk menuntut hukuman atau restitusi dan juga merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep yang berbeda mengenai forgiveness. 4 Namun forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan karena harus melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti McCullough, 1999, karena tidak cukup dikatakan sebagai forgiveness apabila hanya menghilangkan perasaan negatif saja, namun juga harus mengembalikan perasaan positif terhadap pelaku kejahatan Worthington, 1998. Kebanyakan hasil dari pikiran istri-istri korban kekerasan dalam rumah tangga adalah mencoba untuk mengungkapkan forgiveness dapat menjadi suatu pertolongan yang sangat berguna dalam membantu mereka yang telah terluka fisik dan psikis, menyembuhkan sebuah luka hati akibat dari sakit hati yang telah dilakukan oleh pasangannya, dan meringankan rasa sakit yang telah mereka terima sebagai akibat dari perilaku orang lain yang telah berbuat salah kepada mereka. Dikatakan sulit dilakukan karena hal ini menyangkut perasaan seseorang yang sangat dalam. Maksudnya ialah ketika seseorang telah siap menyatakan memaafkan pelaku kejahatan, maka maaf yang diberikan, seharusnya maaf secara keseluruhan tidak hanya maaf dari sebuah perkataan saja, dan secara otomatis ditumbuhkan perasaan untuk kembali berhubungan dan berpikiran positif mengenai pelaku kejahatan tersebut. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat dari forgiveness yang dinyatakan hanyalah sebuah perkataan saja. Hal ini juga diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-27 november 2010 dengan melakukan wawancara pribadi pada 20 mahasiswa fakultas psikologi UIN Jakarta. Diketahui bahwa penyataan forgiveness yang diberikan bukan menjadi penyelesaian permasalahan individu tersebut, akan tetapi masih 5 meninggalkan luka di hati, rasa kesal, kecewa, dan emosi negatif lain dalam dirinya, bahkan kenyataan lain yang ada sangat sulit untuk melakukan forgiveness karena dirasa beberapa permasalahan yang terjadi sudah terlalu menyakiti diri individu tersebut. Secara umum, manusia diharapkan dengan tulus memohon maaf atas kesalahan mereka dan memberi maaf atas tindakan keliru yang mengena pada mereka. Saling memaafkan merupakan salah satu bentuk tradisi hubungan antar manusia, akan tetapi tradisi ini sering kali juga hanya merupakan ritual belaka. Dengan kata lain, perilaku tersebut dilakukan namun tidak disertai ketulusan yang sungguh-sungguh. Pada sisi lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan memberi maaf maka beban psikologis yang ada akan hilang. Pada kenyataannya banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain kemudian kecewa dengan tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering tidak ditindaklanjuti dengan perilaku yang konsisten dengan permintaan maaf tersebut. Mc.Cullough dkk 1997 mendefinisikan forgiveness sebagai suatu perubahan motivasi, motivasi untuk melakukan pembalasan revenge motivation dan motivasi untuk menghindar avoidance motivation. Penurunan kedua motivasi tersebut mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti atau melukai melainkan untuk berperilaku konstruktif terhadap pihak tersebut. McCullough dkk 2000, dalam Synder Lopez, 2002 menjelaskan bahwa forgiveness merupakan peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari avoidance motivations transgressor, 6 rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam revenge motivations terhadap transgressor tersebut, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif benevolence motivations terhadap transgressor. Worthington 1998 menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, forgiveness dapat mengurangi marah, depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan. Memaafkan dalam hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap kebahagian dan kepuasan hubungan Fincham dkk, 2001. Penelitian ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniah. Banyak kajian mengenai forgiveness dan telah ditemukan pengaruh yang positif dari forgiveness. Seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa Fincham, 2009 If we really want to love, we must learn how to forgive, lalu pernyataan dari Reinhold Niebuhr Memaafkan adalah bentuk keindahan tertinggi dari cinta, sebagai balasannya Anda akan menerima kedamaian yang tak terkatakan dan kebahagiaan. Forgiveness terjadi dilatarbelakangi oleh bermacam-macam tingkat permasalahan, baik pada seorang individu atau sekelompok. Terdapat banyak 7 kelebihan dengan melakukan forgiveness. Kesadaran seperti hal-hal yang telah dibuktikan lewat beberapa penelitian sebelumnya lebih dibutuhkan untuk mengganti semua pengalaman negatif menjadi hal positif. Keinginan untuk melakukan forgiveness ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya. Menurut McCullough dkk 1998, terdapat lima aspek yang dapat mempengaruhi forgiveness, yaitu determinan sosio-kognitif, peristiwa menyakitkan, tipe kepribadian, dan empati. Penelitian lain dari McCullough dkk 1997 menunjukkan bahwa forgiveness berhubungan dengan kebahagiaan psikologis, empati, permohonan maaf dan perspective taking, atribusi dan penilaian kekejaman orang yang menyakiti. Secara lebih rinci terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap forgiveness seperti yang dikemukakan oleh McCulllough dkk 1998, dalam Tri Faturochman, 2009 faktor-faktor tersebut ialah empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat kelukaan, tipe kepribadian, kualitas hubungan, religiusitas. Faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya ialah hal-hal yang berkaitan erat dengan proses terjadinya forgiveness. Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu sikap dan perilaku seseorang yang dalam pembahasan kali ini yaitu forgiveness. Kepribadian menurut Jung dalam Feist Feist, 2010 menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari psyche, tipologi kepribadian manusia berdasarkan sikap dan fungsi dominan yang dimiliki oleh 8 manusia, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan kepribadiannya. Menurut Jung dalam Sumadi, 2006, manusia dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yang ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang ekstravers ini mempunyai sikap yang positif terhadap masyarakat. Berbeda dengan orang ekstravers, orang yang introvers dipengaruhi oleh dunia subyektif yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi utama tertuju ke dalam; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. Penyesuaian dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik, sebaliknya mempunyai penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri. Kajian tentang forgiveness mulai menarik untuk diteliti, beberapa pakar psikologi pun telah turut serta mengkaji mengenai forgiveness secara ilmiah, banyak hal yang telah diteliti baik mengenai tipe kepribadian, kualitas hubungan, kesehatan psikis, religiusitas, dan lain sebagainya. Pemaparan di atas mengenai tipe kepribadian juga didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wang 2008. Ia telah melihat hubungan antara tipe kepribadian dan forgiveness. Akan tetapi tipe kepribadian yang diteliti di sini mengenai tipe kepribadian big five dengan forgiveness dalam dua jurnal penelitian, yang hasilnya pertama menyatakan bahwa antara kepribadian tipe big five dengan forgiveness menghasilkan signifikansi positif pada agreeableness dan signifikansi 9 negatif pada neuroticism, dan tidak terdapat signifikansi pada consciousness, extraversion, dan openness. Maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian big five dengan forgiveness. Dari penelitian Wang dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara kepribadian seseorang dengan forgiveness. Tipe kepribadian yang dikemukakan yaitu tipe kepribadian big five, kemudian dari pembahasan mengenai forgiveness didapatkan bahwa kepribadian sendiri termasuk ke dalam faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness pada individu. Karena pada dasarnya tipe kepribadian yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dan memiliki pengaruh terhadap forgiveness. Menurut McCullough dkk 2001b, dalam Tri Faturrochman, 2009 tipe kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Berdasarkan ciri tersebut dapat dikatakan individu dengan tipe kepribadian ini memiliki tingkat emosi yang lebih stabil atau memungkinkan untuk melakukan forgiveness. Dapat diduga bahwa terdapat hubungan antara kepribadian, tepatnya tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang mencari tahu mengenai hubungan antara trait kepribadin big five factors dengan forgiveness pada pasangan yang 10 menikah dalam masa pernikahan 1 hingga 5 tahun. Diketahui dari hasil penelitian tersebut terdapat hubungan yang erat antara trait kepribadian yaitu trait extraversion, agreeableness, dan openess dengan forgiveness pada pasangan yang menikah dalam Arthasari, 2010. Penelitian lainnya yang berhubungan dengan tipe kepribadian big five factors yaitu yang dilakukan oleh McCullough 1998 menyatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk melakukan forgiveness memiliki korelasi yang cukup erat dengan dua buah dimensi big five, yaitu neuroticism dan agreeableness, dimana orang-orang agreeableness ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung mudah memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kepribadian neuroticism mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive, lebih cenderung sulit memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Dikarenakan banyaknya penelitian mengenai tipe kepribadian big five factors yang telah dilakukan terhadap forgiveness dan dirasa masih sedikit penelitian mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, serta didukung pendapat dari McCullough mengenai hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness, maka berdasarkan hal tersebut peneliti berniat mengangkat tipe kepribadian yang diteliti dengan menggunakan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. 11 Faktor kedua yang mempengaruhi forgiveness ialah kualitas hubungan. Menurut McCullough dkk 1998, kualitas hubungan menjadi faktor kuat yang mempengaruhi terjadinya proses forgiveness, karena individu yang memaafkan kesalahan pihak lain pasangan dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Di dalamnya terdapat beberapa alasan yang menjadi pemicu bahwa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan forgiveness dalam hubungan interpersonal. Dalam kualitas hubungan, kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan, kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik kembali mempengaruhi seseorang untuk memaafkan McCullough dkk., 1998. Penelitian terdahulu lain yang mendukung kualitas hubungan dengan forgiveness dikemukakan oleh Fincham 2000 bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam bersikap memaafkan terhadap individu lain. Hal ini biasanya terjadi dikarenakan kualitas hubungan yang dekat antara individu satu dengan individu lainnya. Dikarenakan kedekatan hubungan antara kedua individu tersebut, maka dapat memunculkan forgiveness dari dirinya. Di dalam jurnal ini dijelaskan bahwa individu yang memiliki hubungan kedekatan dengan orang yang bermasalah dengannya, akan memiliki tingkat forgiveness yang lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang kualitas hubungannya tidak dekat. Dalam penelitian lainnya mengenai kualitas hubungan suami dan istri dikatakan oleh Fincham dkk 2009 yang memperlihatkan bahwa dengan melakukan forgiveness memunculkan dampak yang positif atau keuntungan dengan timbulnya 12 kesejahteraan suatu hubungan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan yaitu rata-rata suami istri yang mementingkan, mencoba, dan menyetujui forgiveness terjadi pada usia yang pernikahannya lebih lama, dan dengan melakukan forgiveness pernikahannya lebih berumur panjang, serta dirasa memuaskan. Faktor lainnya yang mempengaruhi forgiveness yaitu religiusitas. Religiusitas menurut Glock Stark 1974 adalah apa yang diyakini seseorang sebagai kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengamalan keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Glock Stark, terdiri dari lima macam yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi. Dalam salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Gorsuch dan Hao 1993, dalam Batson dkk., 2006 menyimpulkan dalam penelitiannya yang berjudul Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationships to religious variables, bahwa Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat forgiveness terhadap orang lain Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rusdi 2009 ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirasat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta. Diketahui dari hasil penelitian sebelumnya bahwa agama dapat mempengaruhi secara positif terhadap fogiveness. Secara logis, peneliti berpendapat bahwa forgiveness 13 secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep forgiveness dalam agama Islam, seperti anjuran forgiveness dalam al-quran seperti dalam surat Al-Anfaal ayat 7, An- Nur ayat 162, Ali Imran ayat 134, serta ayat-ayat lain di dalam al-quran yang menganjurkan untuk forgiveness. Agama sendiri dalam Wikipedia 2008 tidak hanya Islam, ada banyak agama lain dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai forgiveness, baik agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha , dan begitu pula pada agama Katolik. Selain itu Edward 2002, dalam Batson dkk., 2006 menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara konstrak keyakinan faith dengan forgiveness, maka apabila seorang individu memiliki suatu keyakinan dalam beragama yang kuat, maka kesediaan untuk memaafkan akan berpeluang lebih besar dari yang tidak memiliki keyakinan kuat. Kanz 2000, dalam Horn menyimpulkan bahwa religiusitas merupakan salah satu variabel yang memiliki korelasi dengan penerimaan untuk forgiveness. Maka dari teori dan hasil penelitian yang ada menunjukkan terdapat kaitan antara religi dan keinginan melakukan forgiveness. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa forgiveness merupakan salah satu cara yang dipilih agar seseorang yang disakiti dapat menyembuhkan luka hati akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan perasaan-perasaan negatif yang muncul dan meningkatkan motivasi positif, yaitu untuk berdamai atau memperbaiki hubungan dengan pelaku. Mc.Cullough dkk., dalam Worthington, 1998. 14 Maka diketahui dari beberapa penelian dalam terjadinya forgiveness terdapat bermacam-macam faktor yang mempengaruhi berlangsungnya dan bersedianya seseorang melakukan hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti ingin mengetahui dan merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul Faktor- Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga 15

1.2 Pembatasan Masalah