45 Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki
potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya
dengan ajaran dan pendidikan.
53
Dari beberapa faktor di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada anak ada dua, yaitu
faktor dari dalam yaitu potensi fisik, intelektual dan hati rohaniah yang dibawa si anak dari sejak lahir, dan faktor dari luar yang dalam
hal ini adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolah, dan tokoh- tokoh serta pemimpin dimasyarakat. Melalui kerja sama yang baik
antara ketiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif pengetahuan, afektif penghayatan dan psikomotorik pengalaman
ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak. Dan inilah selanjutnya yang dikenal dengan istilah manusia yang seutuhnya.
C. Kerangka Berfikir
Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak orang membicarakan tentang Sex Education Pendidikan Seks. Mungkin karena terbawa arus
keinginan orang-orang di Amerika untuk memperhatikan soal ini. Dan mungkin juga karena kita memang sudah merasakan perlunya memikirkan
tentang sex education, terutama setelah melihat bagaimana meningkatnya gaya hidup.
54
Pendidikan seks pada masyarakat Barat tidak lebih sekedar pemberian pengetahuan mengenai seksualitas manusia. Peserta didik akhirnya melihat
pendidikan seks sebagai jalan untuk mencari pengetahuan berhubungan badan yang aman dari resiko hamil dam penularan penyakit kelamin. Bahkan
pendidikan seks dianggap sebagai pengetahuan untuk memperbaiki teknik bercinta agak dapat lebih memuaskan pasangan. Akhirnya, keberadaan
pendidikan seks mendapat sorotan pro-kontra. Pendidikan seks masih diragukan apakah berdampak positif atau negatif. Dikhawatirkan, pendidikan
53
Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada : 2003, cet ke-5, h. 166-168
54
Ali Akbar, “Merawat Cinta Kasih”, Jakarta : PT. Pustaka Antara, 1995, h. 82
46 seks mendorong anak semakin berani berhubungan seks karena telah
memahami cara menghindari resikonya. Hassan Hathout memandang perlu pendidikan seks dengan syarat
harus dibungkus dengan ideologi Islam. Ia mengatakan bahwa : Sesungguhnya merupakan keyakinan kita bahwa fakta-fakta tentag
seks harus diajarkan kepada anak-anak dengan cara sesuai dengan pertumbuhan usia mereka baik oleh keluarga maupun sekolah. Kami
menekankan ini harus dilakukan dalam konteks ideologi Islam dan ajaran Islam yang menyeluruh kaffah agar para remaja disamping
mendapatkan pengetahuan psikologis yang benar, menjadi sadar sepenuhnya atas kesucian hubungan seksual dalam Islam dan dosa
besar menodai kesucian yang demikian, baik menurut hukum Islam, atau jauh lebih utama dalam pandangan Allah. Dengan menyajikan
kandungan Islam yang maju, maka tidak melihat alasan untuk menghindari pendidikan seks sayangnya ini terjadi di banyak
Negara muslim dan kami yakin lebih baik memberi pengajaran yang benar dari pada meninggalkannya untuk memberi kesempatan
mendapatkan sumber-sumber yang salah dan melakukannya diam- diam dengan rasa bersalah.
55
Pendidikan seksual tidak lepas pula kaitannya dengan akhlak. Pendidikan seksual yang berakhlak adalah pendidikan yang mengajarkan
tentang bagaimana cara bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, setiap individu harus mampu menjaga
dirinya agar setiap sikap dan tindakannya tidak menimbulkan dampak penyimpangan seksual pada orang lain.
Jika pendidikan seksual diberikan kepada anak-anak berisi pengajaran-pengajaran yang mampu mendidik anak, sehingga lebih
mengimani, mencintai, dan mendekatkan diri kepada Al-Khaliq. Maka akan membentuk manusia-manusia yang berperilaku sempurna. Bukan sekedar
pendidikan seksual yang hanya mempertontonkan dan membuka-buka aurat. Atau, bukan pula yang hanya sekedar bertujuan agar behubungan seksual
yaitu coitus, memperoleh kenikmatan biologis semata. Kalau tujuan pendidikan seksual hanya untuk semacam itu, maka itu lah yang perlu ditolak.
55
Marzuki Umar Sa’abah, “Seks dan Kita”, Jakarta : Gema Insan Press, 1997, Cet ke-1, h. 327, 329-330.
47 Nah, jika pendidikan seksual di arahkan ke sana, maka itulah
pendidikan seksual yang patut diberikan kepada anak. Pendidikan yang akan membentuk manusia kepribadian yang menyeluruh, yang hidup kalbu dan
pikirannya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Setiap masalah seksualitas yang dipahaminya, tak lain kecuali menambah keimanannya.
Pendidikan seksual yang diperoleh anak jika mendasarkan kepada faktor keimanan justru akan mengantarkan ia kepada derajat kemanusiaan yang
sebenarnya.
56
Tegasnya, “Sex Education”, apapun macam dan isinya, tidak akan mengurangi kejahatan seksual tanpa disertai dan didasarkan kepada nilai-nilai
keimanan bahwa tuhan memberikan bimbingan tentang kehidupan seksual serta mengadakan pengawasan yang sangat teliti terhadap setiap pelanggaran
dan akan memberikan hukuman yang setimpal secara adil. Dan mari kita nukilkan beberapa petunjuk Islam tentang kehidupan seks, dengan pandangan
dasar bahwa iman adalah dasar pokok pendidikan seks dalam islam
57
Berdasarkan keterangan di atas penulis berasumsi bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara taraf pengetahuan pendidikan seks yang
dimiliki seseorang dengan kualitas akhlaknya, ketika seseorang memahami dengan baik hakikat pendidikan seks dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, maka secara bertahap pengetahuan itu akan membentuk pribadinya, hingga pada akhirnya ia akan menjadi seseorang
yang taat beragama dan dengan sendirinya pula akhlak karimah akan menjadi identitasnya.
Pengajuan Hipotesa
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesa yang diajukan adalah : Ha : Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan seks dengan Akhlak
siswa MTs Nurul Huda. Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan seks dengan
akhlak siswa MTs Nurul Huda Curug Wetan Tangerang.
56
Ayip Syafruddin, “Islam dan Pendidikan Seks Anak”, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992, h. 41-43
57
Ali Akbar, “Merawat Cinta Kasih”, Jakarta : PT. Pustaka Antara, 1995, h. 85
48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang bersifat kuantitatif. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif korelasional dengan mencari hubungan kedua variabel yaitu variabel pendidikan seks sebagai variabel X dan variabel akhlak sebagai
variabel Y. Sedangkan untuk memperoleh data yang relevan dengan masalah yang akan dibahas maka penulis melakukan penelitian dengan dua cara yaitu
penelitian yang bersifat kepustakaan library Research dan penelitian lapangan Field Research yang dilakukan di MTs SA Nurul Huda Curug
Wetan Tangerang.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22-31 Januari 2011. Adapun tempat dilaksanakannya penelitian ini yaitu di MTs SA Nurul Huda yang
beralamat di Desa Curug Wetan Kota Tangerang.
C. Populasi dan Sampel.
1. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil
pengukuran yang menjadi objek penelitian.
58
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi targetnya adalah seluruh siswa MTs SA Nurul Huda
Curug Wetan Tangerang tahun ajaran 2010-2011 keseluruhan dari siswa MTs Nurul Huda Curug Wetan Tangerang yang berjumlah 200 siswa.
Karena penelitian ini tidak dilakukan untuk meneliti individu dalam populasi, maka untuk meneliti objek yang akan diteliti ulang diwakilkan
oleh sebagian populasi yaitu dengan menggunakan sampel.
58
Riduwan, M.B.A, “Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula
”, Bandung: Alfabeta. 2009, cet ke-6, h. 54