Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha melestarikan hidup. Istilah “pendidikan” berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru generasi muda bagi penunaian kewajiban dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan in-formal di luar sekolah. 1 Maka, negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan Negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaanya. 2 Pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta. Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisasi 1 M. Noor Syam, Dkk, ”Pengantar Dasar-dasar Kependidikan”, Surabaya, Uasaha Nasional : 1981. h. 2-4 2 M. Ngalim Purwanto, ”Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis”, Bandung, PT. Rosdakarya : 2007. h. 17 2 dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani panca indera, oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya, yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya tujuan terakhir. Pendidikan adalah proses dimana potensi-potensi ini kemampuan, kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat media yang disusun sedemikian rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan. 3 Melihat tujuan pendidikan di atas yakni mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaanya, dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai yang membuat masyarakat semakin resah terutama kalangan orang tua dan para pendidik. Dimana melihat anak-anak bergaul dengan bebas bersama dengan lawan jenisnya. Panti-panti pijat bertambah banyak, pelacuran-pelacuran gentayangan. Akhirnya banyak korban berjatuhan, hamil sebelum nikah, bayi-bayi lahir tanpa ayah atau orang-orang kena penyakit hubungan sex PHS. Gejala-gejala tingkah laku seksual yang bebas, tidak dapat dipungkiri lagi kehadirannya telah merusak kaum muda bahkan di kalangan orang tuapun dan anak-anak di bawah umur menunjukkan demikian. Apalagi kalau ditelusuri jaringan-jaringannya melalui media-media massa dan elektronik lainnya seperti film-film, majalah foto-foto, dan buku-buku porno sudah bukan rahasia lagi. DR. Sarlito Sarwono menjelaskan bahwa di Ibukota, penyimpangan seks sering timbul pada remaja karena pengetahuan mereka tentang seks lewat media massa. Menurut analisa yang diperolahnya 50 kaum remaja dikota-kota besar lebih cepat mengathui tentang sex lewat buku dan majalah dan sebagainya. 4 3 M. Noor Syam, Dkk, ”Pengantar Dasar-dasar Kependidikan”, Surabaya, Uasaha Nasional : 1981, h. 7 4 Sarlito W. Sarwono, “Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja”, Jakarta, CV. Rajawali : 1981, h. 21 3 Lihat table dibawah ini Tabel 1.1 Pergeseran norma perilaku seksual remaja No Sumber Penerangan Jumlah Responden 1 2 3 4 5 6 7 Teman Guru Orang Tua Psikolog Dokter Lain-lain Tidak menjawab 183 122 78 43 37 71 7 52.3 34.9 22.3 12.3 10.6 20.3 2.0 Jumlah Jawaban 541 154.7 Sumber : Dr. Sarlito W. Sarwono, “Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja”, Jakarta, CV. Rajawali : 1981, h. 22 Gambaran di atas jelas menunjukkan keadaan yang tidak ideal, dimana seharusnya orang tua merupakan sumber informasi utama tentang seksualitas bagi remaja, dalam kenyataannya teman-temanlah yang menjadi sumber penerangan utama. Dapat dimaklumi bahwa keterangan-keterangan yang diperoleh dari teman itu bisa tidak benar atau hanya setengah benar. Disamping itu, nilai dan etika tentang seksualitas yang seharusnya disampaikan oleh orang tua jadi tak tersampaikan. Akibatnya tentu adalah makin cepatnya terjadi pergeseran nilai dari nilai lama yang masih dianut orang-orang tua kepada nilai baru masa kini yang jadi panutan anak-anak muda sekarang. 5 Maka pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan. Seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi, dan perasaan berdosa. Akan tetapi dipihak lain, ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendidikan seks. Hal itu karena dikhawatirkan dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi mengetahuinya. Selanjutnya, karena dorongan 5 Sarlito W. Sarwono, “Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja”, Jakarta, CV. Rajawali : 1981, h. 21-22 4 keingintahuan yang besar yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Pandangan pro-kontra pendidikan seks ini pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita mendefinisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi alat kelamin, fungsinya dan perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan wanita. dan proses faal dari reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahannya alat kontrasepsi, kecemasan yang disebutkan di atas memang beralasan. 6 Model pendidikan seksual seperti itu adalah model pendidikan seksual yang dibuat oleh kaum hedonis. Yang hanya mengarahkan kepada masalah-masalah kenikmatan-kenikmatan biologis semata. Dengan demikian, masalah seksual menjadi sempit, yakni hanya berkisar pada masalah coitus persetubuhan. Patutlah kiranya, pendidikan seksual yang diselenggarakan terhadap anak harus menyertakan faktor keimanan akidah. Sehingga arti seksual tidak sebagaimana yang digambarkan kaum hedonis, namun mencakup pengertian yang luas. Adanya alat kelamin yang berbeda antara laki-laki dan wanita misalnya, tidak semata diterangkan sebagai alat untuk mencapai kenikmatan biologis. Tapi perlu diterangkan juga tentang kemahabesaran Allah sebagai Al- Khaliq pencipta. Dengan alat kelamin yang telah diciptakan tersebut, Allah telah membuat sarana bagi manusia untuk menjaga kelestarian komunitasnya. Disamping itu, pendidikan seksual tidak lepas pula kaitannya dengan akhlak. Pendidikan seksual yang berakhlak adalah pendidikan seksual yang mengajarkan tentang bagaimana cara bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, setiap individu harus mampu menjaga dirinya agar setiap sikap dan tindakannya tidak menimbulkan dampak penyimpangan seksual pada orang lain. 6 Sarlito W. Sarwono, “Psikologi Remaja”, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada : 2008, h. 190 5 Pendidikan seksual termasuk bagian dari pendidikan akhlak. Dan bentuk perilaku seksual yang sehat merupakan buah dari kemuliaan akhlak. Sedangkan kemuliaan akhlak tidak mungkin teraih tanpa adanya keimanan yang lurus dan kokoh. Oleh karena itu, keimanan yang kokoh sebenarnya yang mampu mengarahkan perbuatan seksual menjadi suci dan terhormat. Dengan demikian, pendidikan seksual yang terintegrasi antara semua unsur di atas, yakni unsur akidah dan akhlak, maka akan terbentuk manusia- manusia yang berperilaku sempurna. Kalbunya senantiasa dipenuhi dengan dzikir kepada Allah, sehingga setiap perbuatannya selalu terkontrol dan terpelihara. Begitulah sebaik-baiknya manusia. Manusia yang terangkat derajatnya karena perilaku yang diperbuatnya. “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. HR. Baihaqi dn Hakim Itulah tujuan yang hendak dicapai oleh Rasulullah saw dengan dakwahnya kepada segenap umat manusia, yakni kesempurnaan akhlak Akhlak antar manusia dengan penciptanya, yaitu agar manusia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan agar manusia selalu taat kepada- Nya. Akhlak antar manusia dengan sesamanya, yaitu agar manusia senantiasa bergaul dan berhubungan dengan sesamanya secara bertanggung jawab. Akhlak antara manusia dengan lingkungannya, yaitu agar manusia tidak berbuat kerusakan dengan tingkah lakunya, juga agar manusia membangun lingkungan dan kehidupannya dengan baik. itulah akhlak yang hendak disempurnakan Rasulullah saw. 7 Secara formal institusi yang layak dijadikan sebagai tempat mendidik adalah sekolah. Sekolahlah yang mempunyai tanggung jawab besar dalam pembentukan akhlak siswa, karena sukses atau tidaknya lembaga sekolah dapat dilihat melalui kualitas akhlak anak yang telah mendapat pendidikan di 7 Ayip Syafruddin, ”Islam dan Pendidikan Seks Anak”, Solo, CV. Pustaka Mantiq : 1992. h. 37-42 6 sekolah. Tetapi ironis fenomena menunjukan bahwa tingkat krisis akhlak di kalangan pelajar kian meningkat, setidaknya dapat dilihat melalui masalah sosial yang ditimbulkan oleh mereka, di antaranya rambut yang tidak rapi, seragam sekolah yang kotor, merokok, memakai anting pada salah satu telinga, aksi corat-coret yang menjadi semacam seni yang dianggap wajar, pemakaian narkoba, pergaulan bebas atau free sex, tauran yang menjadi menu sehari-hari mereka. Hal-hal di atas tentu bukan sekedar keisengan mereka, tetapi termasuk penyimpangan yang sangat serius, sehingga tidaklah berlebihan bila sebagian orang memandang sebagai masalah pendidikan nasional dan memandang masalah ini sebagai potret buram pendidikan nasional. Anak adalah generasi yang diciptakan untuk masa mendatang. Maka sepantasnyalah bila sebagai orang tua dan pendidik memberikan bekal kepada mereka. Tidak semata bekal materi, namun lebih dari itu, anak perlu dibekali dengan nilai-nilai yang diperoleh dari hasil pendidikan. Dengan bertitik tolak pada permasalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara teoritik dan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul : “HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN SEKS DENGAN AKHLAK SISWA MADRASAH TSANAWIYAH NURUL HUDA CURUG WETAN TANGERANG”

B. Identifikasi Masalah

Dokumen yang terkait

Aplikasi ujian madrasah berbasis lokal area network (LAN) : studi kasus mata pelajaran tik pada madrasah tsanawiyah al-muawanah curug tangerang

0 4 107

Pengaruh Metode Reading Aloud (Membaca Nyaring) Terhadap Pemahaman Bacaan Siswa Kelas Ii Mi Nurul Huda Curug Wetan Tangerang Tahun Pelajaran 2013/2014

3 12 203

Hubungan pendidikan aqidah akhlak dengan perilaku siswa di Madrasah Tsanawiyah (MTs) As-Sa’adah Jakarta Timur

0 11 95

Hubungan kecerdasan emosi (emotional intellegence dengan prestasi belajar aqidah akhlak siswa kelas 111 Mts.Nurul Yaqin legok-Tangerang

0 7 0

Implementasi Pembelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur

2 6 169

Kompetensi Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

0 3 151

PERAN KOMITE SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI MADRASAH TSANAWIYAH NURUL HUDA SEPAKUNG KECAMATAN BANYUBIRUKABUPATENSEMARANG TAHUN 2015 - Test Repository

0 0 120

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Natar 1. Sejarah Berdirinya MTs Nurul Huda Natar. - Kompetensi Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di Madrasah Tsanawiyah Nuru

0 0 37

PEMBELAJARAN FIQIH DI MADRASAH TSANAWIYAH PONDOK PESANTREN NURUL HUDA SUKARAJA OKU TIMUR Tesis

0 0 20

BAB III PROFIL MADRASAH TSANAWIYAH NURUL HUDA SUKARAJA OKU TIMUR - Pembelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiay pondok pesantren Nurul Huda Sukaraja Oku Timur - Raden Intan Repository

0 0 14