Latar Belakang Penulisan PENDAHULUAN
kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang cukup banyak, merasa terlalu tua untuk melahirkan, dan lain sebagainya. Faktanya yang melakukan aborsi menurut Prof. Dr.
Sudraji Sumapraja, seorang ahli kebidanan dan kandungan, sebagian besar pelakunya 99,7 adalah ibu rumah tangga yang sudah menikah. Sementara itu menurut Biran
Affandi, ketua umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia POGI mengatakan bahwa 89 yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah,
sedangkan jumlah mereka yang belum menikah hanya 11. Dari 11 yang belum menikah itu terdiri atas 45 yang akan menikah dan 55 belum berencana menikah.
Kusmaryanto, 2005:45-46. Seharusnya aborsi tidak layak dilakukan dalam rangka mencegah bertambahnya
anak sebab untuk maksud itu ada begitu banyak cara yang sama sekali tidak bersifat menggugurkan. Aborsi tidak layak dilakukan untuk mencegah rasa malu atau
kemiskinan, sebab rasa malu dan kemiskinan dapat dipecahkan dengan cara-cara lain yang lebih terpuji, tanpa pengguguran sama sekali. Meskipun demikian, ada jenis
aborsi yang diperbolehkan dalam kasus tertentu misalnya konflik frontal antara nyawa ibu dan bayinya. Prinsip dalam aborsi ini adalah menyelamatkan yang paling mungkin
diselamatkan. Jika ibunya yang paling mungkin diselamatkan, maka ibunya yang harus diselamatkan, tetapi jika bayinya yang mungkin diselamatkan, maka bayinya
yang harus diselamatkan. Memang keputusan untuk melakukan aborsi atau tidak, bukanlah suatu pilihan
yang mudah. Misalnya dalam kasus pemerkosaan atau hamil di luar nikah yang dianggap membawa aib bagi keluarga. Jika dihadapkan pada situasi seperti itu,
terkadang membuat orang kehilangan akal sehatnya dan merasa bahwa aborsi merupakan satu-satunya cara yang harus dan bisa dilakukan.
Kaum muda memiliki rasa keingintahuan yang besar yang terkadang membuat mereka mencoba melakukan sesuatu karena penasaran tanpa memikirkan akibat atau
dampak yang ditimbulkannya. Tidak jarang pula kita menemui kaum muda terjerumus dalam pergaulan bebas, yang mana membuat mereka mengenal narkotika, tawuran,
seks bebas, dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kaum muda adalah generasi penerus dan masa depan bangsa dan Gereja. Jika mereka tidak
mendapatkan pendampingan dan arahan memadai, masa depan akan hancur bahkan moral bangsa menjadi nol. Dalam Pedoman Pastoral Keluarga KWI 2011 dikatakan
bahwa orang tua memiliki tanggung jawab dan berkewajiban untuk memberi pendidikan iman dan moral kepada anak-anak mereka bdk art 30. Tetapi dalam
kenyataannya tidak semua orang tua memberikan pengetahuan moral kepada anak- anak mereka terutama dalam masalah seksualitas. Seksualitas dianggap sebagai hal
yang tabu terutama jika dibicarakan secara terang-terangan. Adapun penulis memilih para siswi yang ada di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
karena para siswi termasuk dalam kaum muda yang membutuhkan arahan dan dampingan yang mampu membuat mereka menemukan jati diri sehingga tidak
terjerumus kepada hal-hal di atas. Pengetahuan mengenai masalah moral, seks, dan etika pergaulan perlu mereka dapatkan dan ketahui mengingat usia mereka yang sudah
pantas dan perlu tahu tentang akibat-akibat dari pergaulan bebas maupun aborsi. Selain hal tersebut juga karena latar belakang para siswi berbeda-beda terutama dalam
pendidikan seksualitas dalam keluarga. Ada orang tua yang memberikan pendidikan seksualitas kepada anaknya, tetapi juga ada yang menganggapnya sebagai hal yang
tabu. Arahan atau pendampingan semacam inilah dirasakan sangat penting untuk mencegah adanya tindakan aborsi bagi para siswi. Jika ada siswi yang melakukan
tindak aborsi, maka dia akan menerima sanksi yang cukup berat dari sekolah yakni dikembalikan kepada orang tuanya, atau meminta siswi untuk mengundurkan diri dari
sekolah. Melalui pembelajaran pelajaran Agama dengan menggunakan audio visual, para
siswi diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai aborsi itu sendiri misalnya dengan menggunakan film yang menceritakan tentang aborsi. Dengan pemanfaatan
media audio visual inilah, diharapkan ajaran-ajaran iman lebih mudah ditangkap dan dipahami. Tidak hanya terbatas melalui film saja, buku-buku, majalah, dan bacaan-
bacaan tentang aborsi dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan sarana untuk memperluas wawasan guna meningkatkan pemahaman mereka terhadap aborsi dan
arti dari sebuah kehidupan. Bahasa audio visual bukan pertama-tama memberikan kesempatan pada kita
untuk menyampaikan kata-kata yang teliti, tetapi untuk menyampaikan pengalaman secara menyeluruh. Bahasa audio visual tidak begitu banyak memberikan doktrin atau
ide-ide, melainkan ingin merangsang perasaan seorang pribadi. Pendek kata, melalui bahasa audio visual kita tidak mau mengungkapkan suatu ide tetapi mau
menyampaikan pengalaman pribadi kepada orang lain. Tetapi harus kita akui bersama bahwa bahasa audio visualpun memiliki keterbatasan. Bahasa audio visual menuntut
kreatifitas, affektivitas, dan kesadaran yang kritis. Jelas bahwa dalam hal ini unsur subjektifitas sangat besar dan memegang peranan yang pokok.
Pierre Babin OMI, professor komunikasi audio-visual dari Crec AVEX, Catholic University of Lyon, Prancis dalam bukunya The New Era in Religious
Communication sebagaimana dikutip oleh Iswarahadi, menegaskan bahwa televisi
lebih mengutamakan bahasa simbolis daripada bahasa konseptual. Bahasa simbolis adalah bahasa yang menggoda, menggetarkan emosi sebelum akhirnya ia berfungsi
menerangkan. Bahasa simbolis menggerakkan bukan hanya roh, tetapi juga hati dan tubuh kita. Bahasa simbolis adalah bahasa yang penuh resonansi, ritme, cerita,
imaginasi, sugesti dan koneksi Iswarahadi, 2010:23. Dengan pemanfaatan media audio visual inilah diharapkan ajaran-ajaran iman dapat lebih mudah ditangkap dan
dipahami oleh para siswi. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skripsi “UPAYA MENCEGAH
ABORSI MELALUI PELAJARAN AGAMA DENGAN AUDIO VISUAL BAGI PARA SISWI DI SMA
STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA”.