2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun
Komunikasi adalah suatu kegiatan yang kompleks. Mengapa dikatakan kompleks? Karena dalam komunikasi, kita dapat melihat situasi dan kondisi
ketika penutur dan mitra tutur melakukan interaksi tuturan. Menurut Pranowo 2009:4, penggunaan bahasa yang baik dan benar saja masih belum cukup untuk
melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti dia sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan
situasi. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku Pranowo, 2009:5.
Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan santun, maka kita juga perlu mengetahui strategi-strategi apa saja yang dapat kita gunakan
untuk dapat berbahasa secara santun. Dalam bukunya, Pranowo 2009:39-46 telah memaparkan tiga strategi agar kita dapat berkomunikasi secara santun, yakni
1 apa yang dikomunikasikan, 2 bagaimana cara mengomunikasikannya, dan 3 mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Ketiga strategi tersebut akan
dipaparkan dengan rinci di bawah ini. 1
Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok
pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain tetapi tidak jelas mengenai topik
pembicaraannya, maka mitra tutur akan dapat menilai bahwa penutur dan tuturannya dirasa tidak berkualitas sehingga arus pembicaraan menjadi tidak
terarah dan tidak konsekuen. Hal ini dapat menyebabkan mitra tuturnya menjadi kebingungan dalam mengikuti arus pembicaraan penutur.
2 Strategi kedua, yaitu bagaimana cara berkomunikasi seseorang. Strategi
kedua ini mengarah pada cara penyampaian maksud dari pembicaraan atau proses komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dalam sebuah situasi.
Ada banyak kejadian yang sering terjadi ketika seseorang gagal dalam berkomunikasi bukan karena pokok masalah yang dibicarakan salah atau
tidak berkualitas, melainkan karena cara menyampaikannya kurang tepat. Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang
diberikan oleh penutur kepada mitra tutur seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih. Oleh karena itu, sesuatu yang dibicarakan haruslah tepat
porsinya dan penutur harus mengemas dengan baik cara menyampaikan maksud tersebut kepada mitra tutur agar maksud dan tujuan yang ingin
disampaikan dapat tercapai dengan baik, lancar, dan juga santun. 3
Strategi ketiga, yaitu alasan mengapa pokok masalah harus dikomunikasikan. Dalam strategi ini, penutur diuji kejujuran terhadap hati nuraninya. Apa yang
akan diungkapkan haruslah sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, pada strategi ketiga ini, kita harus benar-benar memikirkan secara matang-
matang apa yang akan kita bicarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara penutur dengan mitra tutur.
Kita juga harus memerhatikan aspek intonasi keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara, aspek nada bicara kaitannya dengan suasana emosi
penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada
menyindir, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat dalam menentukan kesantunan bahasa verbal lisan. Pernyataan ini dikemukakan oleh Pranowo
2009:76. Seperti yang sudah dikemukakan oleh Pranowo dalam bukunya, aspek
intonasi memang harus diperhatikan ketika proses komunikasi itu berlangsung. Hal ini dilakukan agar mitra tutur merasa senang dan nyaman ketika
berkomunikasi. Masalah jarak komunikasi juga harus diperhatikan. Untuk jarak yang dekat, intonasi yag kita gunakan bisa pelan, namun untuk jarak komunikasi
yang jauh kita harus menggunakan intonasi yang keras agar mitra tutur dapat menangkap apa yang akan kita informasikan. Hindarilah menggunakan intonasi
yang keras pada jarak dekat karena hal tersebut dapat menyindir atau membuat mitra tutur kita merasa tidak nyaman.
Selain aspek intonasi, aspek nada juga menjadi faktor penentu dalam komunikasi. Nada sangat berkaitan erat dengan perasaan, baik itu perasaan
penutur sendiri ataupun perasaan mitra tutur. Misalnya saja ketika suasana menandakan sedang bersedih, maka nada bicara juga harus sesuai dengan suasana
bersedih, bukan menandakan suasana yang sedang bergembira. Sebaliknya, apabila suasana menandakan sedang bersenang-senang atau bergembira, maka
nada bicara juga harus menandakan suasana yang senang, bukan menandakan suasana yang tengah berduka atau sedih. Dengan begitu, mitra tutur akan dapat
memahami perasaan penutur yang sebenarnya. Pranowo 2009:78 juga menyatakan bahwa dalam bahasa lisan,
kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal. Faktor bahasa
nonverbal ini meliputi gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan
sebagainya. Secara tidak sengaja, gerak-gerik anggota tubuh tersebut terjadi dengan sendirinya ketika kita sedang melakukan komunikasi.
2.2.2.4 Maksim Percakapan
Pandangan maksim percakapan dikemukakan oleh Lakof periksa Leech, 1983. Ia mengatakan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam berkomuikasi. Komunikasi yang terjadi
antarpartisipan tutur bertitik tolak dari maksim percakapan, terutama yang menyangkut tentang apa yang akan dikatakan, kapan harus mengatakannya, dan
bagaimana harus mengatakannya. Prinsip kerja sama salam maksim percakapan dilakukan
untuk menambahkan
suatu nosi
kegramatikalan dan
menghubungkannya dengan nosi kesempurnaan komponen-komponen pragmatik. Berdasarkan kedua nosi tersebut, setiap partisipan tutur dapat memilih salah satu
dari dua prinsip ketika bertutur, yaitu 1 buatlah perkataan Anda secara jelas make your self clear dengan cara sepenuhnya mengikuti prinsip kerja sama, dan
2 bersopan santunlah be polite. Strategi yang pertama mendukung prinsip kerja sama sedangkan strategi yang kedua mengacu pada prinsip sopan santun yang
terdiri atas tiga prinsip, yaitu a tidak mengganggu, b memberi pilihan, dan c membuat enak hati. Prinsip tidak mengganggu dapat digunakan dalam kesantunan
formal, prinsip enak hati dapat digunakan dalam kesantunan informal, sedangkan
prinsip membuat enak hati dapat digunakan dalam kesantunan intim atau yang biasa kita sebut akrab. Kemampuan partisipan tutur untuk memilih salah satu dari
tiga prinsip itu disebut kompetensi pragmatik. Contoh di bawah ini merupakan
realisasi kompetensi pragmatik.
[4] “Mohon maaf, tas saya tertinggal di dalam tetapi saya tidak mungkin masuk lagi karena tadi saya sudah pamitan.” Ambilkan tas saya
[5] “Tolong, ambilkan tas saya yang tertinggal di dalam.” [6] “Ambilkan tas saya dong”
Contoh [4] di atas dituturkan oleh seorang penutur kepada mitra tutur yang baru ia kenal dalam situasi formal. Dengan tuturan yang lebih panjang
kedengarannya lebih santun bila dibandingkan dengan tuturan yang pendek, misalnya pada contoh tuturan [6
] “Ambilkan tas saya dong”. Menurut Grundy 2000, pemilihan tuturan yang lebih panjang sudah mencerminkan hubungan
antarpartisipan yang baru dikenal. Tuturan dalam contoh [5] dituturkan seorang penutur kepada mitra
tuturnya yang sudah saling kenal tetapi belum akrab. Karena hubungan mereka belum begitu akrab, mitra tutur yang diperintah tidak serta merta mau mengikuti
perintah yang telah diujarkan oleh penutur. Dalam hal ini, mitra tutur yang diperintah dapat menerima perintah itu karena penutur telah menggunakan tuturan
yang santun, yaitu ditandai dengan k ata „tolong‟. Dan contoh terakhir yakni
contoh [6] di atas, dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur yang sudah sangat kenal dan akrab sehingga perintah tersebut dianggap santun.
Seperti yang telah dikemukakan, prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua
prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berkomunikasi. Prinsip