Skala Pilihan Optionality Scale

Karena kelihaiannya, mitra tutur jadi merasa nyaman saat transaksi jual beli berlangsung. Hingga pada akhirnya, mitra tutur PB membeli dagangan penutur PJ dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu, jadi data tuturan 12 ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada data tuturan di atas bahwa penutur memberikan pilihan-pilihan dagangannya kepada mitra tutur. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah pembicaraannya. Penjual penutur dan pembeli mitra tutur adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat dalam percakapan data 12 ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data 12 ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual penutur yang menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data 12 di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka para pedagang kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data 12 ini. 13 PJ : Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit. PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : mengangguk Yang mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dek. Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB. DT 19 Data 13 merupakan tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya. Dalam data tuturan ini, penutur PJ memberikan pilihan- pilihan mengenai ukuran beserta harganya kepada mitra tutur PB. Bahkan penutur memberikan pilihan bahwa harga dari dagangannya masih bisa dikurangi. Tuturan penutur dapat dipaparkan sebagai berikut, “Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur pun dapat memilih dagangan penutur dan memberi tanggapan baik atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh penutur. Oleh karena itu, data 13 ini dapat digolongkan sebagai tuturan yang santun. Tuturan tersebut terlihat santun juga dilihat dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-baik saja dan berjalan dengan lancar. Komunikasi yang lancar ini terjadi karena penutur dan mitra tutur mengerti alur pembicaraan mereka. Dapat dibuktikan pada data tuturan 13 di atas bahwa transaksi jual beli berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil mitra tutur dapat memilih serta membeli dagangan penutur dengan baik. Sapaan yang digunakan dalam data tersebut di atas dirasa sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat ditujukan pada penutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan sapaan “Dik” juga dirasa tepat digunakan pada mitra tutur yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan yang digunakan sudah tepat dan layak digunakan dalam transaksi jual beli di atas. Penggunaan sapaan yang kurang tepat apabila mitra tutur memberikan sapaan “Dik” kepada penutur yang jauh lebih tua darinya. Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan ketidaksantunan dalam komunikasi yang terjalin. Pada data 13 ini juga timbul campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada kata iki yang dalam bahasa Indonesianya berarti ini. Penggunaan campur kode dalam data ini tidak mengubah maksud dari tuturan yang terjadi. Jadi, walaupun terdapat campur kode bahasa Jawa, tuturan 13 tetap tergolong dalam tuturan yang santun. 14 PB: Umur lima tahun PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. nada keras Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik PB: Berapa ini? PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane. Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya PB: Dua lima ya, Bu? PJ: Telung puluh ya? Tiga puluh ribu ya? PB: Dua lima aja ya? PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada PB. DT 28 Data 14 menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan. Hal ini dikarenakan penutur PJ mengharuskan mitra tutur PB untuk membeli dagangan penutur dengan pilihan yang seadanya saja, sehingga mitra tutur tidak dapat memilih dagangan PJ dengan leluasa dan sesuai dengan keinginannya. Analisis tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan penutur berikut ini, “Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane ”. Penekanan kata „nyoh‟ dalam tuturan inilah yang menimbulkan efek keharusan mitra tutur untuk membeli dagangan penutur tanpa adanya pilihan-pilihan lain yang sesuai dengan keinginan mitra tutur PB. Penutur hanya memberikan pilihan seadanya saja tidak banyak kepada mitra tutur. Ketidaksantunan terjadi pula pada tuturan penutur yang terlihat kasar kepada mitra tutur seperti, “Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le ” nada keras. Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan penutur dengan penekanan „Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le ‟ menimbulkan efek yang tidak baik terhadap diri mitra tutur PB. Penutur menuturkan kalimat tersebut dengan nada keras dan tinggi, serta raut wajah yang „sinis‟ dan jutek tidak enak untuk dipandang. Mitra tutur yang awalnya ingin memilih-milih dagangan PJ kini hanya dapat melihat saja. Karena tuturan penutur PJ yang melarang mitra tutur PB untuk memilih-milih dagangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur yang mengatakan „Ora diwolak-walik, Le‟. Pernyataan seperti inilah yang membuat mitra tutur tidak leluasa memilih dagangan si penutur penjual. Agar tuturan pada data 14 menjadi santun, kata-kata yang terlihat kasar dan kurang tepat digunakan diganti dengan kata- kata yang sopan. Misalnya, „anane iki nyoh‟ diubah menjadi „maaf, warnanya tinggal ini saja, yang lain sudah habis ‟ dan „iki delokken sik‟ diubah menjadi „mungkin ini bisa dilihat dulu, siapa tahu cocok‟. Dengan diubah seperti itu, akan telihat sopan dan dapat menghargai mitra tutur yang ingin membeli da gangan si penutur. Tuturan penutur, „Ora diwolak-walik, Le‟ lebih baik dihilangkan saja, karena tuturan tersebut dianggap tidak layak dan tidak pantas untuk dituturkan kepada seorang konsumen mitra tutur. Dari data 14 di atas, penggunaan sapaan “Bu” yang ditujukan untuk diri penutur sudah tepat karena penutur adalah seorang ibu- ibu jadi pantas dan tepat untuk disapa “Bu”. Hal ini juga dilihat bahwa mitra tutur sangat menghormati diri penutur yang notabene lebih tua darinya. Oleh karena itu, mitra tutur tepat memberikan sapaan tersebut kepada penutur. Berbeda dengan penutur yang kurang tepat dalam memberi sapaan kepada diri mitra tutur. Sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole” diberikan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang anak-anak dengan jenis kelamin laki-laki. Sapaan tersebut dirasa kurang santun dan kurang tepat digunakan untuk menyapa seorang pembeli. Memang mitra tutur hanyalah seorang anak laki-laki, akan tetapi seharusnya penutur yang usianya jauh lebih tua dari mitra tutur dapat menyapa mitra tutur dengan sapaan yang terlihat lebih sopan. Sapaan “Le” biasanya digunakan seorang ibu kepada anak laki-lakinya dan itu terlihat adanya suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan dalam transaksi jual beli ini tidak ada hubungan kedekatan yang intim antara penutur PJ dengan mitra tutur PB. Jadi, sapaan “Le” yang ditujukan penutur kepada mitra tutur dianggap kurang tepat. Agar sapaan tersebut menjadi sopan dan terlihat pas, sapaan “Le” dapat diganti dengan “Dik”. Sapaan “Dik” terlihat lebih sopan dan lebih layak digunakan daripada sapaan “Le”. Lain halnya dengan penggunaan sapaan, data tuturan 14 terdapat pula adanya campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Contoh campur kode bahasa Jawa Ngoko dalam data tuturan ini dapat dilihat pada tuturan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode ini tidak merubah maksud dari pertuturan tersebut di atas. Hal ini dikarenakan kedua patisipan tutur mengerti dan paham akan arah tuturan mereka. Kedua partisipan tutur tersebut juga tidak merasa kesulitan dalam hal memahami penggunaan bahasa yang digunakan satu sama lain. Sehingga pertuturan antara penutur dengan mitra tutur berjalan dengan baik. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini. TABEL 4 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA PILIHAN NO. URUTAN ANALISIS KODE DATA SKALA PILIHAN SANTUN banyak pilihan TIDAK SANTUN tidak ada pilihan 1. Analisis 11 DT 6 2. Analisis 12 DT 13 3. Analisis 13 DT 19 4. Analsis 14 DT 28

4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan Indirectness Scale

Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. 15 PB : Piro iki, Bu? Berapa ini? PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon? Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja? Niki, Mbak sambil menyerahkan barang Ini, Mbak PB : Yo menjawab singkat dan langsung pergi Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun. DT 12 Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan, akan tampak sebagai berikut. Data 15 merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang penutur kaos kepada pembeli mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung. Pada data tersebut, tuturan si penutur memiliki sifat yang tidak langsung. Penutur PJ bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur PB apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada mitra tutur PB. Hal ini dilakukan penutur karena penutur merasa tidak mempunyai uang kembalian, jadi penutur bertanya kepada mitra tutur apakah ada uang yang pas saja. Data tuturan 15 ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Ditambah dengan penggunaan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Campur kode bahasa Jawa Krama terlihat pada tuturan penutur. Penggunaan bahasa Jawa Krama dalam data di atas dinilai santun karena terlihat penutur sangat menghormati mitra tutur sebagai pembeli. Penutur yang notabene adalah seorang ibu- ibu dirasa tepat disapa “Bu” oleh mitra tutur. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang notabene adalah wanita tengah baya dirasa tepat untuk disapa “Mbak” oleh penutur yang memang jauh lebih tua dari si mitra tutur. Dalam data tuturan 15 tersebut di atas, kesantunan juga dinilai dari penggunaan bahasa Jawa Krama yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Walaupun penutur lebih tua dari si mitra tutur, namun penutur tidak keberatan untuk tetap menggunakan bahas Jawa Krama sebagai alat komunikasi transaksi jual belinya. 16 PB : Dikurangi ya, Bu? PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik. PB : Lima puluh? PJ : Tambah dua ribu lima ratus PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan PJ : Iyo wes gak apa-apa. Iya sudah, tidak apa-apa PB : Suwun Terima kasih Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ tidak langsung memberikan harga pas kepada PB. DT 17 Terlihat dari percakapan data 16 yang terjadi, penutur PJ tidak langsung memberikan harga pas kepada mitra tutur PB. Penutur sebenarnya menginginkan tas dagangannya dibeli mitra tutur dengan harga lebih dari lima puluh ribu rupiah. Akan tetapi penutur tidak secara langsung memberikan harga tinggi kepada mitra tutur. Karena penutur tahu apabila dia memberikan harga yang lebih tinggi, mitra tutur pasti tidak akan memberli tas dagangannya tersebut. Oleh karena itu, penutur memberi penawaran harga dengan ditambah du ribu lima ratus kepada mitra tutur. Dapat dibuktikan dengan tuturan penutur seperti ini, “Tambah dua ribu lima ratus”. Mengetahui penawaran dari penutur PJ, mitra tutur PB pun memberi tanggapan dengan memberi tambahan dua ribu rupiah saja. Dengan begitu secara tidak langsung keinginan penutur terpenuhi dan tetap mendapatkan respon yang baik oleh mitra tutur. Data 16 memperlihatkan bahwa tuturan yang terjadi termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data tuturan 16 ini. Sapaan “Bu” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur yang adalah seorang wanita dewasa dan sapaan “Dik” dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang remaja perempuan. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan 16 ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, penutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si mitra tutur memberi tanggapan atas tuturan penutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, penutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa” yang kemudian ditanggapi oleh mitra tutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko, “Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur dan mitra tutur. 17 PB : Ini berapa, Pak? PJ : Nawar aja bisa. PB : Ini all size atau apa? PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. PB : Ada warna lain? PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. PB : Berapa? PJ : Tiga puluh lima PB : Ini aja. Berapa? PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah PB : Lima belas ya? PJ : Bahannya bagus soalnya. PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah 22.500 ya? PJ : Udah murah, Ibu. PB : Hehe ya ya. Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. DT 25 Data 17 merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya saat transaksi jual beli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data tuturan di atas, penutur secara tidak langsung mempersilakan mitra tutur untuk menawar harga dagangannya. “Nawar aja bisa”, tuturan itulah yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung. Pada awalnya mitra tutur menanyakan harga dari dagangan si penutur PJ yang kemudian ditanggapi oleh penutur dengan tuturan, “Nawar aja bisa”. Tuturan penutur tersebut dituturkan dengan maksud supaya mitra tutur dapat menawar terlebih dahulu. Penutur tidak langsung memberikan harga pas pada dagangannya. Ketika mitra tutur bertanya kembali kepada penutur mengenai ukuran, penutur kemudian menanggapi kembali tuturan dari mitra tutur dengan mengatakan, “Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja ”. Tuturan penutur ini juga menandakan bahwa penutur tidak langsung menjawab pertanyaan dari mitra tutur, namun penutur memberitahu terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan pada dagangannya. Kata „karet‟ digunakan penutur untuk memberitahu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan. Kemudian penutur baru menjawa pertanyaan dari mitra tutur mengenai ukuran. Pertanyaan yang diberikan mitra tutur dan jawaban yang diberikan penutur sangatlah berkesinambungan. Oleh karena itu kedua partisipan tutur tersebut tidak merasa kesulitan dalam komunikasi transaksi jual beli yang sedang dilakukan. Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung ini termasuk dalam tuturan yang santun. Penutur memberikan kesempatan untuk mitra tutur PB menawar dagangan si penutur dan tidak semata-mata penutur untuk mengambil keuntungan yang