Pemakaian Gaya Bahasa Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
sini adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan
konteks sosietal dimaksudkan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
Kajian sosiopragmatik ini secara konkrit merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan
ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, sosiopragmatik merupakan telaah mengenai penggunaan dan
pemaknaan bahasa pada kondisi setempat. Sosiopragmatik ini tidak lepas dari penggunaan konteks. Hal ini dikarenakan aspek sosiolinguistik memang terfokus
pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Kajian ini juga mengacu pada santun atau tidak santunnya suatu tuturan yang dilihat dari kacamata sosiopragmatik
untuk meninjau sejauh mana terlihatnya keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh kajian sosiopragmatik ini di dalam aktivitas komunikasi yang
terjalin. Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi
komunikatif dalam penggunaan bahasa secara khusus di kalangan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah
diidentifikasikan berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data juga akan dipaparkan sebagai berikut.
1 Terdapat beberapa kriteria skala kesantunan dari beberapa ahli yang
dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan kriteria skala kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
yang dibagi menjadi dua sub, yakni 1 tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan 2 tingkat kesantunan pembeli di
perko trotoar Malioboro Yogyakarta. 2
Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah 1 skala
biaya-keuntungan, 2 skala keopsionalan, 3 skala ketaklangsungan, 4 skala keotoritasan, dan 5 skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya
menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya, yaitu 1 skala biaya- keuntungan, 2 skala keopsionalan, dan 3 skala ketaklangsungan. Hal ini
dikarenakan ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.
Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya
menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan
berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah
tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.
3 Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin
mengetahui tentang 1 penggunaan sapaan, 2 alih kode, 3 campur kode, 4 diksi, dan 5 gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan
pembeli dalam konteks berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta. Kelima hal tersebut di atas juga memiliki andil yang besar dalam peneliti
menentukan tingkat kesantunan berbahasa. 4
Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya
untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting
dari lima hal tersebut yakni penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa. Ketiga hal itu juga dapat mewakili dua skala milik Leech yang oleh
peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis penelitian ini. Oleh karena itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima hal yang telah
dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan menjelaskan dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam suatu tuturan dapat terjadi hanya satu penanda saja, tetapi dapat pula terjadi lebih dari
satu penanda yang digunakan dalam suatu tuturan secara bersamaan.
Saat kita berbicara santun, di situ kita akan mendapatkan perhatian atau simpati dari lawan tutur atau mitra tutur. Dalam hal ini, semua bahasa memiliki
tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari aspek intonasi, nada bicara, faktor pilihan kata atau diksi, dan faktor struktur kalimat yang
dituturkan.