Skala Ketidaklangsungan Indirectness Scale

Data 17 merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya saat transaksi jual beli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data tuturan di atas, penutur secara tidak langsung mempersilakan mitra tutur untuk menawar harga dagangannya. “Nawar aja bisa”, tuturan itulah yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung. Pada awalnya mitra tutur menanyakan harga dari dagangan si penutur PJ yang kemudian ditanggapi oleh penutur dengan tuturan, “Nawar aja bisa”. Tuturan penutur tersebut dituturkan dengan maksud supaya mitra tutur dapat menawar terlebih dahulu. Penutur tidak langsung memberikan harga pas pada dagangannya. Ketika mitra tutur bertanya kembali kepada penutur mengenai ukuran, penutur kemudian menanggapi kembali tuturan dari mitra tutur dengan mengatakan, “Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja ”. Tuturan penutur ini juga menandakan bahwa penutur tidak langsung menjawab pertanyaan dari mitra tutur, namun penutur memberitahu terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan pada dagangannya. Kata „karet‟ digunakan penutur untuk memberitahu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan. Kemudian penutur baru menjawa pertanyaan dari mitra tutur mengenai ukuran. Pertanyaan yang diberikan mitra tutur dan jawaban yang diberikan penutur sangatlah berkesinambungan. Oleh karena itu kedua partisipan tutur tersebut tidak merasa kesulitan dalam komunikasi transaksi jual beli yang sedang dilakukan. Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung ini termasuk dalam tuturan yang santun. Penutur memberikan kesempatan untuk mitra tutur PB menawar dagangan si penutur dan tidak semata-mata penutur untuk mengambil keuntungan yang fantastis dari mitra tutur. Hal ini sekaligus menjadikan suasana komunikasi menjadi nyaman dan pastinya mempermudah mitra tutur dalam transaksi jual beli. Dalam data tuturan 17 ini terdapat penggunaan sapaan yang digunakan dalam komunikasi transaksi jual beli antara penutur PJ dengan mitra tutur PB. Penutur memberi sapaan “Ibu” kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur memberi sapaan “Pak” kepada penutur yang notabene adalah laki-laki dewasa. Penggunaan sapaan di antara keduanya telah dirasa tepat dan benar. Kedua partisipan tutur sudah sama-sama mengetahuin sapaan apakah yang tepat untuk digunakan. Hal ini tentu memengaruhi rasa hormat di antara keduanya, yakni penutur PJ dan mitra tutur PB. Penggunaan campur kode juga terlihat dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris digunakan hanya sesekali oleh penutur. Misalnya, „all size‟. Istilah „all size‟ biasa digunakan oleh penjual untuk memberitahukan kepada pembeli mengenai ukuran pakaian atau celana. Jarang sekali penutur PJ yang menjelaskan secara detail mengenai ukuran kepada mitra tutur PB saat transaksi jual beli. Sehingga istilah „all size‟ digunakan untuk mempersingkat penjelasan penutur kepada mitra tutur mengenai sebuah ukuran. 18 PB : Enem tahun Enam tahun PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten. Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya tidak PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra? Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak? PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso. Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu? Ada dua? Sama tidak gambarnya? PJ : Sami Sama PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro? Ini dua sama itu tadi dua berapa? PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus sepuluh PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho O seratus sepuluh. Seratus ya PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal. Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh PB : Satus ya, Bu? Seratus ya? PJ : Saestu, Pak Benar, Pak PB : Bathine lho wis akeh Keuntungannya lho sudah banyak PJ : Saestu sampun mirah niki Benar sudah murah ini Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ mengira-ira terlebih dahulu, tidak langsung memberikan dagangannya. DT 29 Data 18 mengindikasikan bahwa tuturan yang terjadi adalah tuturan yang santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, penutur tidak langsung memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai ukuran kaos sesuai dengan keinginan mitra tutur. Mitra tutur bertanya kepada penutur mengenai ukuran kaos untuk anak umur enam tahun. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai ukuran kaos yang diminta oleh mitra tutur, apakah cukup, kekecilan, atau kebesaran. Oleh karena itu penutur mengira-ira terlebih dahulu sebelum memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Hal ini dilakukan agar penutur tidak salah dalam memberikan ukuran kaos dagangannya kepada mitra tutur PB. Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung itu dapat dibuktikan sebagai berikut, “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten ”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Kesantunan tuturan ini juga dilihat dari penggunaan sapaan yang diperuntukkan kepada kedua partisipan tutur tersebut. Penutur tepat disapa “Bu” karena penutur seorang ibu-ibu yang sudah tua dan mitra tutur tepat disapa “Pak” karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua juga. Keduanya merupakan seseorang yang sudah berusia lanjut. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga tidak terlepas dari campur kode bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada tuturan mitra tutur sedangkan penggunaan campur kode bahasa Jawa Krama tampak pada tuturan si penutur. Walaupun bahasa yang digunakan bercampu aduk, namun penutur dan mitra tutur tetap paham akan tujuan dari apa yang tengah dikomunikasikan dalam transaksi jual beli ini. Oleh karena itu, tujuan dari tuturan tidak langsung si penutur PJ membuahkan hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh si mitra tutur PB. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini. TABEL 5 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA KETIDAKLANGSUNGAN NO. URUTAN ANALISIS KODE DATA SKALA KETIDAKLANGSUNGAN SANTUN tidak langsung TIDAK SANTUN langsung 1. Analisis 15 DT 12 2. Analisis 16 DT 17 3. Analisis 17 DT 25 4. Analsis 18 DT 29

4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan

Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar tingkat kesantunan berbahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian diksi pilihan kata dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda- penanda kesantunan tuturan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan kebahasaan kata, frasa, klausa, ataupun kalimat yang dituturkan seorang penutur yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi memberikan tanggapan atau penilaian mengenai tinggi rendahnya tingkat kesantunan suatu atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda kesantunan tersebut adalah 1 pemakaian pilihan kata diksi dan 2 pemakaian gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.

4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi Pilihan Kata

Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf 1985:24, telah memberikan dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara atau penutur. Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini, Pranowo 2009:104 menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi pilihan kata adalah sebagai berikut. g gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain, h gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain, i gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain, j gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk melakukan sesuatu, k gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati, l gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa. Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang memang maknanya terkesan kasar atau negatif misalnya, saat penutur sedang emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang penting untuk menilai tingkat kesantunan ber bahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. c. Penggunaan Kata yang Tepat Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan, suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu percakapan. d. Menemukan Bentuk yang Sesuai Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian diksi pilihan kata dalam sebuah tuturan.