Kriteria Skala Kesantunan Pragmatik

Skala-skala menurut para ahli di atas telah dijelaskan dengan sedemikian rupa. Untuk mempersingkat pemahaman mengenai skala-skala tersebut, peneliti akan merangkumnya dengan singkat, padat, dan jelas. Skala Robin Lakoff 1973 memaparkan mengenai kenyamanan dalam berkomunikasi, skala Brown dan Levinson 1978 memaparkan mengenai peringkat dalam berkomunikasi, baik untuk subjek maupun tuturannya, dan yang terakhir adalah skala Geoffrey Leech 1983 yang memaparkan mengenai cakupan atau rangkuman dari skala Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Mengapa dikatakan bahwa skala Geoffrey Leech merupakan rangkuman dari kedua skala lainnya? Hal ini karena dalam skala milik Leech dipaparkan mengenai kenyamanan dan peringkat dalam berkomunikasi seperti yang telah dijelaskan pada skala milik Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Dengan kata lain, skala milik Leech merupakan skala yang lengkap. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari paparan di atas mengenai kriteria kesantunan yang harus diperhatikan adalah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya suatu pilihan saat kita bertutur kata, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan penutur dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutr dan mitra tutur. Terdapat beberapa kriteria skala kesantunan dari beberapa ahli yang dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan kriteria skala kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan b erbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni 1 tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan 2 tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah 1 skala biaya-keuntungan, 2 skala keopsionalan, 3 skala ketaklangsungan, 4 skala keotoritasan, dan 5 skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu 1 skala biaya-keuntungan, 2 skala keopsionalan, dan 3 skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.

2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan

Ada beberapa indikator kesantunan yang harus diperhatikan agar menjadikan tuturan yang santun. Beberapa indikator telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya adalah Pranowo 2009:100-104 yang mengemukakan dalam bukunya beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang memang wajib untuk diperhatikan agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar serta maksud yang ingin disampaikan dapat tercapai dengan baik. Ada 4 indikator yang akan dipaparkan di bawah ini, yakni 1 indikator kesantunan Dell Hymes, 2 indikator kesantunan Grice, 3 indikator kesantunan Leech, dan 4 indikator kesantunan Pranowo. 1 Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes 1978 Dell Hymes 1978 menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING. a S Setting and Scene latar mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. b P Participants peserta mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam komunikasi orang 1 dan orang 2. c E Ends tujuan komunikasi mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. d A Act Sequence pesan yang ingin disampaikan mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulis maupun lisan misalnya, berupa permintaan, sedangkan isi pesan adalah wujud permintaannya. e K Key kunci mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur cara penyampaian. f I Instrumentalities sarana tutur yang mengacu pada segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa tutur. g N Norms norma-norma tutur yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi. h G Genres ragam tutur mengacu pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai, dan sebagainya. 2 Indikator Kesantunan Menurut Grice 2000 Indikator yang dikemukakan oleh Grice 2000:362 menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal di bawah ini. a Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan. b Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur. c Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur. d Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya. e Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri. 3 Indikator Kesantunan Menurut Leech 1983 Menurut Leech 1983, tuturan dapat dikatakan santun, apabila ditandai dengan hal-hal sebagai berikut. a Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”. b Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur maksim kedermawanan “generosity maxim”. c Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur maksim pujian “praise maxim”. d Tuturan tidak memuji diri sendiri maksim kerendahan hati “modesty maxim ”. e Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur maksim kesetujuan “agreement maxim”. f Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur maksim simpati “sympathy maxim”. g Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur maksim pertimbangan “consideration maxim”. 4 Indikator Kesantunan Menurut Pranowo 2009 Indikator lain dikemukakan oleh seorang guru besar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yakni Pranowo 2009 bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut ini. a Angon Rasa Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan. b Adu Rasa Pertemukan perasaan Anda penutur dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sam-sama diinginkan. c Empan Papan Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati. d Sifat Rendah Hati Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur. e Sikap Hormat Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi. f Sikap Tepa Slira Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.

2.2.2.2 Pandangan Sosial

Menurut pandangan norma sosial, kesantunan berbahasa selalu dikaitkan dengan tata nilai atau norma yang sudah disepakati bersama oleh sekelompok masyarakat walaupun norma itu berupa konvensi. Tutur kata seseorang dianggap santun apabila orang itu telah mematuhi norma yang ada dalam suatu kelompok masyarakat di mana ia berada. Sebaliknya, apabila norma tersebut dilanggar, ia dianggap tidak santun, tidak mempunyai etika yang baik, atau tidak beradab. Hal ini sesuai dengan pendapat Fraser 1990 yang mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah yang eksplisit. Kaidah itu ditentuan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut. Lebih lanjut, Brown dan Levinson 1978 menyiasati pandangan norma sosial dengan menghubungkan pemakaian bahasa dalam interaksi masyarakat. Interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur tidak semata-mata bermaksud menyampaikan pesan atau informasi saja, melainkan lebih jauh dari itu, bagimana partisipan tutur dapat menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan hubungan di antara mereka sehingga konflik personal antarpartisipan tutur benar- benar dapat terhindarkan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan hubungan setiap partisipan tutur dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Sejalan dengan pendapat Fraser 1990 dan Brown dan Levinson 1978, Kartomiharjo 1971 menyatakan bahwa dalam menggunakan tuturan, setiap partisipan tutur tidak bisa mengabaikan norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya, partisipan tutur harus patuh terhadap norma-norma sosial dan budaya yang berlaku. Lebih lanjut, Kartomiharjo mencontohkan tiga norma sosial dan budaya yang harus dipatuhi oleh penutur yag bersuku Jawa, yaitu 1 empan