b. Menemukan Bentuk yang Sesuai
Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana
situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti
atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar
tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu
tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif
dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang
berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.
Keraf 1985:87 mengatakan bahwa ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan kita untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi
pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan seorang penulis atau pembicara. Untuk dapat memilih kata dengan baik, yang benar-benar
sesuai, tentu membutuhkan penguasaan kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang penutur memiliki kebebasan dalam memilih kata-kata namun tetap mengacu pada
pemilihan kata yang tepat. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain adalah tuturan dengan pemilihan kata yang tepat dan jelas karena penutur sudah pasti
mempersiapkannya dengan matang-matang. Keraf 1985:88-89 menyebutkan beberapa butir persoalan yang harus
diperhatikan oleh setiap orang agar mampu mencapai ketepatan pilihan kata dalam tuturannya.
a Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi.
b Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim.
c Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.
d Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri.
e Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut. f
Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis. g
Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus.
h Mempergunakan kata-kata indah yang menunjukkan persepsi khusus.
i Memerhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal. j
Memerhatikan kelangsungan pilihan kata. Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata atau diksi adalah
kelangsungan pilihan kata seperti yang tercantum pada point kesepuluh. Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata merupakan teknik memilih kata yang
sedemikian rupa, sehingga maksud seseorang dapat disampaikan secara tepat dan
ekonomis Keraf, 1985:100. Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara tepat, penutur juga harus dapat mempertahankan kelangsungan pilihan kata agar
tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut. Dihimbaukan kepada penutur, jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata saat
berbicara dengan mitra tutur, karena hal ini dapat mengakibatkan mitra tutur menjadi kebingungan atau bahkan malah sama sekali tidak mengerti maksud
tuturan penutur. Pemilihan kata-kata ini juga dikaitkan dengan situasi dan lingkungan penutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.
2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan sebutan style. Style ini identik dengan unsur keindahan yang merupakan suatu bentuk kekhasan akan sesuatu hal.
Menurut Keraf 1985:112, terkait dengan keahlian, style menitikberatkan pada menulis indah, namun lambat laun berubah menjadi kemampuan dan keahlian
untuk menulis atau mempergunkan kata-kata secara indah. Dalam tuturan tentu hal ini sangat berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur
ketika tengah melakukan percakapan. Hal penting yang harus dilakukan oleh penutur adalah bagaimana penutur dapat bertutur kata secara santun dan indah
dengan mitra tuturnya. Gaya bahasa menurut Keraf 1985:113 dibatasi hanya sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang akan memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa. Gaya bahasa digunakan untuk
memberi suatu kekhasan dari ungkapan penutur. Keraf mengatakan bahwa
seorang penutur harus mempunyai suatu kekhasan dalam tuturannya, dan hal tersebut pasti sudah dimiliki oleh setiap orang penutur.
Kekhasan yang dimiliki oleh setiap orang pastilah berbeda satu sama lain, karena setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dalam mengolah
penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulis. Bahasa percakapan memang biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis. Karena bahasa
percakapan sudah pasti akan digunakan dalam situasi apapun, kapan pun, dan di mana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis memiliki kaidah-kaidah atau
batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan kita dapat menggunakan bahasa tulis.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis Keraf, 1985:113. Dari
pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu
dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna
konotasi baru dengan efek-efek tertentu. Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa
jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya- gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual penutur yang menggunakan gaya bahasa untuk menarik perhatian para pembeli mitra tutur, tetapi ada pula penjual
penutur yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan
agar pembeli mitra tutur marah, malu kehilangan muka, dan lain-lain. Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya
bahasa yang baik, yaitu: a.
Kejujuran Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan
gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa
yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan
konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra
tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya. Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk
digunakan dalam konteks berkomunikasi. b.
Sopan Santun Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya
bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara
bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya, dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra
tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang
dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam
berkomunikasi. c.
Menarik Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus
menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi, humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan
imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira
atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan
tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah
maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi.
2.2.4 Sosiopragmatik
Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang
mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial dan konteks sosietal Rahardi, 2009:21. Yang dimaksud dengan konteks sosial di
sini adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan
konteks sosietal dimaksudkan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
Kajian sosiopragmatik ini secara konkrit merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan
ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, sosiopragmatik merupakan telaah mengenai penggunaan dan
pemaknaan bahasa pada kondisi setempat. Sosiopragmatik ini tidak lepas dari penggunaan konteks. Hal ini dikarenakan aspek sosiolinguistik memang terfokus
pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Kajian ini juga mengacu pada santun atau tidak santunnya suatu tuturan yang dilihat dari kacamata sosiopragmatik
untuk meninjau sejauh mana terlihatnya keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh kajian sosiopragmatik ini di dalam aktivitas komunikasi yang
terjalin. Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi
komunikatif dalam penggunaan bahasa secara khusus di kalangan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah
diidentifikasikan berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data juga akan dipaparkan sebagai berikut.
1 Terdapat beberapa kriteria skala kesantunan dari beberapa ahli yang
dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini