prinsip membuat enak hati dapat digunakan dalam kesantunan intim atau yang biasa kita sebut akrab. Kemampuan partisipan tutur untuk memilih salah satu dari
tiga prinsip itu disebut kompetensi pragmatik. Contoh di bawah ini merupakan
realisasi kompetensi pragmatik.
[4] “Mohon maaf, tas saya tertinggal di dalam tetapi saya tidak mungkin masuk lagi karena tadi saya sudah pamitan.” Ambilkan tas saya
[5] “Tolong, ambilkan tas saya yang tertinggal di dalam.” [6] “Ambilkan tas saya dong”
Contoh [4] di atas dituturkan oleh seorang penutur kepada mitra tutur yang baru ia kenal dalam situasi formal. Dengan tuturan yang lebih panjang
kedengarannya lebih santun bila dibandingkan dengan tuturan yang pendek, misalnya pada contoh tuturan [6
] “Ambilkan tas saya dong”. Menurut Grundy 2000, pemilihan tuturan yang lebih panjang sudah mencerminkan hubungan
antarpartisipan yang baru dikenal. Tuturan dalam contoh [5] dituturkan seorang penutur kepada mitra
tuturnya yang sudah saling kenal tetapi belum akrab. Karena hubungan mereka belum begitu akrab, mitra tutur yang diperintah tidak serta merta mau mengikuti
perintah yang telah diujarkan oleh penutur. Dalam hal ini, mitra tutur yang diperintah dapat menerima perintah itu karena penutur telah menggunakan tuturan
yang santun, yaitu ditandai dengan k ata „tolong‟. Dan contoh terakhir yakni
contoh [6] di atas, dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur yang sudah sangat kenal dan akrab sehingga perintah tersebut dianggap santun.
Seperti yang telah dikemukakan, prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua
prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berkomunikasi. Prinsip
kerja sama dikemukakan oleh Grice 1975 sedangkan prinsip kesantunan dikemukakan oleh Leech 1983.
2.2.2.5 Konsep Muka
Menurut Brown dan Levinson 1987, yang mana terinspirasi oleh Goffman 1967, bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada
“wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik
, namun “wajah” dalam artian public image
, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Goffman 1967 menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial dan Brown dan Levinson 1987 menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut
pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif
positive face, dan wajah dengan keinginan negatif negative face. Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan pertemanan.
Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar
terhadap kemandiriannya itu Aziz, 2008:2. Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah
satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai- nilai wajah itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan
kata santun memiliki arti berbahasa atau berperilaku dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar
berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan
berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah.
Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang
jauh teman, pacar, dan sebagainya.
2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Kesantunan merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam melakukan interaksi. Interaksi yang ideal memang membutuhkan
suatu penanda agar apa yang dikomunikasikan menjadi jelas maksudnya dan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Komunikasi juga dapat melekatkan
hubungan antar penutur dengan mitra tutur. Dengan adanya hubungan ini, maka keduanya akan saling mengerti apa yang tengah dikomunikasikan. Di bawah ini
akan dijelaskan mengenai dua faktor kebahasaan, yakni 1 diksi atau pilihan kata dan 2 pemakaian gaya bahasa yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan
saat melakukan suatu tuturan.
2.2.3.1 Pemakaian Diksi Pilihan Kata
Penggunaan bahasa dalam dunia perdagangan memang tidak dituntut untuk memerhatikan setiap diksi atau pemilihan kata dengan tepat. Dunia
perdagangan hanya menggunakan bahasa yang sewajarnya atau yang biasa digunakan dala konteks dagang. Beberapa bahasa yang digunakan oleh para
pedagang pun terkesan kurang tepat. Memang bahasa yang digunakan para pedagang digunakan untuk mempermudah proses jual-beli dan menarik para
pembeli, tetapi walaupun dalam konteks jual-beli, para pedagang dihimbau utuk tetap memperhatikan pilihan kata atau diksinya.
Diksi atau yang lebih dikenal dengan pilihan kata tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan suatu ide, gagasan, gaya bahasa, dan ungkapan Keraf,
1985:21-22. Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari, memilih, menyusun, dan menggunakan kata-kata dengan benar. Seseorang yang sedang
bertutur kata harus dapat memilih dan menyusun kata-kata yang akan dikomunikasikan kepada mitra tutur agar mitra tutur dapat mengerti maksud dari
tuturan dari si penutur. Jangan sampai kata-kata yang kita pilih dapat menyinggung perasaan mitra tutur.
Dalam berkomunikasi, seseorang tidak boleh berucap asal-asalan, bahkan sampai tidak tahu artinya. Mengapa demikian? Karena apabila hal tersebut terjadi,
akan dapat menimbulkan suatu perasaan terhadap mitra tutur, entah dapat menyinggung, dapat membuat marah mitra tutur, dapat membuat sedih perasaan
mitra tutur, hingga membuat kebingungan mitra tutur. Kesantunan akan dapat