Tingkat kesantunan berbahasa pedagang "Perko" Trotoar Malioboro Yogyakarta : suatu tinjauan sosiopragmatik.

(1)

viii

ABSTRAK

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. Tingkat Kesantunan Berbahasa

Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogykarta dan (2) tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif sesuai dengan data penelitian dan tujuannya. Data penelitian ini adalah data tuturan langsung penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan Februari-April 2014 dan tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif yang dijabarkan ke dalam empat tahapan, yaitu tahap klasifikasi, tahap identifikasi, tahap interpretasi, dan yang terakhir adalah tahap deskripsi.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kedua, tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal tersebut dapat dilihat melalui tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh Geoffrey Leech (1983) sebagai acuan alat ukur tingkat kesantunan berbahasa tersebut, yaitu: (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tidak hanya itu, tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini juga dianalisis dengan lima aspek lainnya, yakni: (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) pemakaian diksi: penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai, dan (5) pemakaian gaya bahasa: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Ternyata berdasarkan hasil analisis telah dibuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Ada banyak anggapan orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli, berdasarkan hasil analisisnya dapat diluruskan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.

Kata kunci: pragmatik, sosiopragmatik, kesantunan, diksi, gaya bahasa, sapaan, alih kode, dan campur kode.


(2)

ix

ABSTRACT

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. The Speech Politeness Level of

“Perko” Sellers at Malioboro Sidewalk, Yogyakarta (A Socio-pragmatic Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research describes the speech politeness level of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is divided into two criteria, those are (1)

the sellers’ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta,

and (2) the buyers’ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta.

This research is a qualitative research regarding the research data and the research objectives. This research data is the sellers’ and buyers’ direct speech data at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is taken in February-April 2014 and the objective of this research is to describe the speech

politeness phenomenon of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta. The gathering data methods of this research are observation participative method and listen-write method. Data analysis technique of this research to become reconciled with descriptive analysis study which is analyzed into four steps, those are classification step, identification step, interpretation step, and the last is description step.

Based on the problem formulation that has been decided before, there are

two results of this research. First, the sellers’ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Second, the buyers’ speech politeness level at

“perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Those results are based on the three

speech politeness levels stated by Leech (1983) as the speech politeness scale, they are: (1) loss and profit scale, (2) code-switching, (3) code-mixing, (4) diction using: the appropriate using and find the right one, (5) language style using: the honesty, politeness and interesting.

Based on the research, it proves that most of the sellers’ speech politeness

level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is polite enough and most of the

buyers’ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is impolite. There are a lot of people’s opinion that the sellers’ speech politeness level is lower than the buyers’ speech politeness level, but based on the analysis

result of the research can be concluded that the buyers’ speech politeness level is lower than the sellers’ speech politeness level.

Keywords: pragmatic, socio-pragmatic, politeness, diction, language style, greeting, code-switching, and code-mixing.


(3)

i

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA

PEDAGANG “PERKO”

TROTOAR MALIOBORO

YOGYAKARTA

(Suatu Tinjuan Sosiopragmatik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya 101224017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah menulis,

ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

(Pramoedya Ananta Toer)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini

dikarenakan orang-orang tidak menyadari

betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.”

(Thomas Alva Edison)

“Kecerdasan bukan penentu kesuksesan, tetapi usaha, semangat, dan kerja keras

merupakan penentu kesuksesanmu yang sebenarnya.”


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Untuk Tuhanku

Yesus Kristus

Yang telah memberikan rahmat, berkat, dan karunia-Nya untuk mewujudkan doa-doa serta harapanku untuk mencapai keberhasilan ini.

Thank My Lord Jesus

Untuk Kedua Orang Tuaku Tercinta

Aloysius Teddy Harmeidjaya dan Maria Magdalena Massa Mieke Yang dengan sabar dan tulus memberikan doa-doa, motivasi, dukungan, dan

semangat agar puncak keberhasilan dapat kuraih dengan sempurna.

“Thankful for My Beloved Family”

Untuk Kakakku Tersayang

Aloysia Dian Andriana Martiani Lova

Yang senantiasa memberikan motivasi, petuah, dan doa untuk keberhasilanku baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.

“Thank You My Lovely Sister”

Untuk Sahabat Terbaikku

Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu

Yang selalu setia menemani di saat kuliah, menari, jalan-jalan, dan mengerjakan skripsi hingga saat ini aku mulai membuka pintu gerbang keberhasilanku. Suka duka telah kita alami bersama. Kebersamaan dalam persahabatan inilah yang turut

memacu semangatku untuk segera meraih gelar S.Pd.

“Thank You My Best Friend”


(8)

(9)

(10)

viii

ABSTRAK

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. Tingkat Kesantunan Berbahasa

Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan

Sosiopragmatik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogykarta dan

(2) tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif sesuai dengan data penelitian dan tujuannya. Data penelitian ini adalah data tuturan langsung penjual

dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan

Februari-April 2014 dan tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena tingkat

kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif yang dijabarkan ke dalam empat tahapan, yaitu tahap klasifikasi, tahap identifikasi, tahap interpretasi, dan yang terakhir adalah tahap deskripsi.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan berbahasa

penjual/pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kedua, tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal

tersebut dapat dilihat melalui tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh Geoffrey Leech (1983) sebagai acuan alat ukur tingkat kesantunan berbahasa tersebut, yaitu: (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tidak hanya itu, tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini juga dianalisis dengan lima aspek lainnya, yakni: (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) pemakaian diksi: penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai, dan (5) pemakaian gaya bahasa: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Ternyata berdasarkan hasil analisis telah dibuktikan bahwa tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian

besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Ada banyak anggapan orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli, berdasarkan hasil analisisnya dapat diluruskan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.

Kata kunci: pragmatik, sosiopragmatik, kesantunan, diksi, gaya bahasa, sapaan, alih kode, dan campur kode.


(11)

ix

ABSTRACT

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. The Speech Politeness Level of

“Perko” Sellers at Malioboro Sidewalk, Yogyakarta (A Socio

-pragmatic Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research describes the speech politeness level of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is divided into two criteria, those are (1)

the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta,

and (2) the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta.

This research is a qualitative research regarding the research data and the research objectives. This research data is the sellers‟ and buyers‟ direct speech data at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is taken in February-April 2014 and the objective of this research is to describe the speech

politeness phenomenon of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta.

The gathering data methods of this research are observation participative method and listen-write method. Data analysis technique of this research to become reconciled with descriptive analysis study which is analyzed into four steps, those are classification step, identification step, interpretation step, and the last is description step.

Based on the problem formulation that has been decided before, there are

two results of this research. First, the sellers‟ speech politeness level at “perko”

Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Second, the buyers‟ speech politeness level at

“perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Those results are based on the three

speech politeness levels stated by Leech (1983) as the speech politeness scale, they are: (1) loss and profit scale, (2) code-switching, (3) code-mixing, (4) diction using: the appropriate using and find the right one, (5) language style using: the honesty, politeness and interesting.

Based on the research, it proves that most of the sellers‟ speech politeness

level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is polite enough and most of the

buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is impolite. There are a lot of people‟s opinion that the sellers‟ speech politeness

level is lower than the buyers‟ speech politeness level, but based on the analysis

result of the research can be concluded that the buyers‟ speech politeness level is lower than the sellers‟ speech politeness level.

Keywords: pragmatic, socio-pragmatic, politeness, diction, language style, greeting, code-switching, and code-mixing.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Tingkat Kesantunan Berbahasa

Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan

Sosiopragmatik) dengan baik dan lancar. Tugas akhir dalam bentuk skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan meraih gelar sarjana pendidikan sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar berkat bantuan, doa, dukungan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah setia mendampingi dan mendukung penulis secara akademis selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat dengan giat dan semangat menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan setia, pengertian, dan penuh kesabaran telah membimbing, memotivasi, berdiskusi, mengarahkan, dan memberikan banyak masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari awal proses hingga akhir penulisan skripsi ini selesai.


(13)

xi

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang juga dengan setia memberikan doa, dukungan, semangat, pengertian, penuh dengan kesabaran, dan ketelitian telah membimbing, memotivasi, mengarahkan, dan memberikan masukan yang berharga kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat dikerjakan dengan baik.

6. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. selaku triangulator yang bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) yang telah mendidik, mengarahkan, dan menuntun penulis selama masa studi dan berproses bersama dalam usaha mendalami berbagai ilmu kependidikan dan kebahasaan, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai bekal dan harta yang sangat berharga bagi penulis untuk terjun ke dunia pendidikan yang sesungguhnya sebagai guru dan pendidik sejati. 8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan Sekretariat Program Studi Pendidikan

Bahasa Sastra Indonesia yang dengan tekun dan sabar memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi dan urusan penyelesaian skripsi ini.

9. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., selaku Kepala Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan segenap staf perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk mengerjakan tugas akhir ini di ruang perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Reinardus Aldo Agassi, S.Pd., yang senantiasa mendampingi, menemani, memberikan pengarahan, memberikan doa, dukungan, bantuan, dan semangat kepada penulis mulai dari awal masuk perkuliahan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar.

11.Vhrizca Magha Reginna, Brigitta Swaselia Kasita, Yosevin Winda Christiana, Christian Adven Saputra, Ignatius Aji Pamungkas, Cosmas Krisna, Hendrianus Ndori, Septian Aji Purnomo, dan Stefanus Edo yang selalu menemani, memberikan dukungan, doa, dan semangat membara


(14)

xii

kepada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik dan benar.

12.Teman-teman dari GRISADHA (Group Tari Sanata Dharma) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, khususnya Agus Susanto, Aprilia Witta, Dwi. D. Mayasari, Dessiana Adityawati, Diana, Meilani, Tirza, Yessi, Galuh, Shella, Dina, Ocha, Carolina Aci, Dhesy Novitasari, Marcelina Felix, Regia Putriyani Setiabudi, Tiara Pawestri, dan semuanya yang selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan penuh kepada penulis untuk dapat terus maju menuju pintu gerbang kesuksesan dan meraih gelar S.Pd. 13.Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI)

Angkatan 2009, khususnya Bambang Sumarwanto, Ade Henta, Agatha Wahyu Wigati, Clara Dika, Elizabet Ratih Handayani, Asteria Ekaristi, Jati Kurniawan, Dedy Setyo Herutomo, Martha Ria Hanesti, Nuridang Fitranagara, Satrio Nugroho, Yuli Astuti, Yustina Cantika Advensia, Yudha Hening Pinandhito, dan semuanya yang senantiasa memberikan pengarahan, bimbingan, dukungan, dan semangat kepada penulis mulai dari awal pembuatan tugas akhir ini hingga tugas akhir ini selesai.

14.Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa sastra Indonesia (PBSI) Angkatan 2010, khususnya Andreas Dwi, Anita Sugiyatno, Anne Septi, Brigita Familia, Caecilia Dhani Anjar Reni, Chatarina Susanti Ready, Cicilia Ingga, Krissantus Roparman, Dwi Kristanto Saputro, Fitri Apri Susilo, Restituta Devi Pramesti, Gusti Dinda Damarsasi, Maria Tri Wijayanti, Maulida Reswari, Mega Yoshinta, I Putu Ariyana, Rengganis Retno Saputri, Resti Wulandari, Maria Sorenada, Sebastianus Seno Kurniawan, Agustina Marshella, Wilvridus Yolesa, dan semuanya yang setia menemani penulis dalam suka dan duka; tangis dan tawa; sukses dan gagal selama proses belajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Kebersamaan dan persaudaraan membuat kita mampu melewati segala batas-batas dan sekat-sekat perbedaan demi tujuan yang mulia yakni menjadi guru bahasa Indonesia yang sejati.


(15)

xiii

Penulis menyadari bahwa ada banyak pihak lainnya yang dengan berbagai cara telah membantu dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai pihak tersebut yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan sumbangan ide yang membangun kiranya dapat disampaikan kepada penulis demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi inspirasi bagi peminat studi kebahasaan, khusunya ilmu pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik untuk penelitian lebih lanjut.

Yogyakarta, 28 Oktober 2014 Penulis


(16)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR BAGAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Batasan Istilah ... 7

1.6Ruang Lingkup Penelitian ... 9

1.7Sistematika Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

2.1 Penelitian yang Relevan ... 11

2.2 Kajian Teori ... 13

2.2.1 Sosiolinguistik ... 13


(17)

xv

2.2.1.2 Alih Kode ... 17

2.2.1.3 Campur Kode ... 19

2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa ... 20

2.2.2.1 Pragmatik ... 20

2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan ... 25

2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan ... 29

2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan ... 35

2.2.2.2 Pandangan Sosial ... 38

2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun ... 42

2.2.2.4 Maksim Percakapan ... 45

2.2.2.5 Konsep Muka ... 47

2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 48

2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ... 49

2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa ... 55

2.2.4 Sosiopragmatik ... 58

2.2.5 Konteks ... 62

2.3 Kerangka Berpikir ... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 65

3.1 Jenis Penelitian ... 65

3.2 Sumber Data dan Data ... 66

3.3 Instrumen Penelitian ... 67

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 68

3.5 Teknik Analisis Data ... 70

3.6 Triangulasi Data ... 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

4.1 Deskripsi Data ... 75

4.2 Hasil Analisis Data ... 83

4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 83


(18)

xvi

4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ... 84

4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 84

4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ... 106

4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 116

4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ... 124

4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ... 125

4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ... 135

4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 145

4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ... 147

4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 147

4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ... 165

4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 172

4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ... 179

4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ... 180

4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ... 191

4.3 Pembahasan ... 201

4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 202

4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ... 204

4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 204

4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ... 206

4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 207

4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ... 210

4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ... 210

4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ... 212

4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 213

4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ... 215

4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 215


(19)

xvii

4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 218

4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ... 222

4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ... 222

4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ... 224

BAB V PENUTUP ... 229

5.1 Simpulan ... 229

5.2 Saran ... 232

5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan ... 232

5.2.2 Bagi Guru ... 233

5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa ... 234

5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa ... 234

DAFTAR PUSTAKA ... 235

LAMPIRAN ... 237

Lampiran 1 Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 237

Lampiran 2 Tabulasi dan Triangulasi Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ... 259


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta ... 79 Tabel 2 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta yang Digunakan dalam Analisis Data ... 82 Tabel 3 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala

Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ... 105 Tabel 4 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Pilihan

(Optionality Scale) ... 116 Tabel 5 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala

Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ... 124 Tabel 6 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa ... 129 Tabel 7 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian

Diksi (Pilihan Kata) ... 135 Tabel 8 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa ... 138 Tabel 9 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian

Gaya Bahasa ... 145 Tabel 10 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala

Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ... 164 Tabel 11 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Pilihan

(Optionality Scale) ... 172 Tabel 12 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala

Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ... 179 Tabel 13 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda


(21)

xix

Tabel 14 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian

Diksi (Pilihan Kata) ... 191 Tabel 15 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa ... 194 Tabel 16 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian


(22)

xx

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1 Kerangka Berpikir ... 64


(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini memuat tentang (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) ruang lingkup penelitian, dan (7) sistematika penulisan. Uraian secara lengkap bagian pendahuluan dipaparkan berikut ini.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki alat komunikasi sebagai penanda adanya komunikasi antarmanusia, yaitu bahasa. Bahasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat interaksi dengan sesamanya. Interaksi antara satu orang dengan yang lainnya ini sangat penting. Interaksi ini dapat berupa tulisan maupun lisan. Bentuk interaksi lisan dapat diartikan sebagai bentuk percakapan.

Percakapan dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu tempat atau suasana. Misalnya saja, adanya percakapan antara ibu dengan anak, guru dengan murid, hakim dengan terdakwa, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya percakapan, telah menggambarkan adanya hubungan antara gagasan individu dengan pemeliharaan hubungan dengan partisipan. Dengan adanya hubungan tersebut, maka komunikasi yang telah dilakukan akan secara tepat dipahami oleh keduanya.


(24)

Salah satu percakapan yang menarik untuk dibahas adalah percakapan antara penjual dan pembeli (percakapan jual beli). Dalam proses jual beli terdapat dua partisipan yang melakukannya. Partisipan yang pertama sebagai penjual dan partisipan yang kedua sebagai pembeli. Penggunaan bahasa dalam percakapan jual-beli memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang sering digunakan dalam konteks berdagang. Di dalam sebuah aktivitas jual-beli, penggunaan bahasa secara santun juga tidak akan terlepas dengan penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode yang juga menjadi tolok ukur sebuah kesantunan di dalam sebuah percakapan. Misalnya saja kesantunan berbahasa antara penjual dan pembeli. Dapat dilihat bagaimana kesantunan berbahasa tersebut dilakukan dalam intersaksi yang terjalin. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya masyarakat mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, di antaranya adalah hubungan sosial yang terlihat dalam aktivitas jual-beli di sebuah tempat.

Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan dari diri seseorang, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung. Dalam berbahasa perlu mempertimbangkan perasaan orang lain. Dengan mempertimbangkan perasaan orang lain itulah komunikasi antar penutur dengan petutur akan menjadi lancar. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi perlu memperhatikan kesantunan berbahasa. Penggunaan kesantunan berbahasa memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan petutur.

Seperti yang telah disebutkan di atas, interaksi antara penjual dan pembeli membutuhkan komunikasi dan kerja sama masing-masing pihak. Dengan ini


(25)

partisipan juga harus mengusahakan kesantunan. Yule (1996:60), mengatakan kesantunan adalah kepintaran partisipan dalam melakukan pendekatan jarak sosial. Menunjukkan kepedulian pada muka orang lain ketika jarak sosial di antara mereka sama, dapat digambarkan bahwa partisipan tersebut menunjukkan rasa hormatnya. Kesantunan ini dapat pula diartikan sebagai sebuah strategi. Bila dihubungkan dengan penjual dan pembeli, kesantunan ini digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik dan menghormati pembeli. Sehingga kesepakatanpun tercapai.

Namun di zaman yang modern ini kesantunan tidak lagi diperhatikan secara penuh. Kadang-kadang terlihat dalam komunikasi jual-beli di sebuah tempat perbelanjaan yang tetap menggunakan bahasa secara santun tetapi memiliki makna yang berbeda yang dirasakan oleh mitra tutur. Hal ini akan berpengaruh pada situasi atau konteks komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Ada yang tata bahasanya sudah terlihat santun akan tetapi cara penyampaiannya kurang santun. Namun, ada juga di saat proses jual-beli itu berlangsung, tuturan pembeli dengan maksud yang baik tetapi tuturannya kurang santun atau bisa disebut juga dengan tuturan yang asal-asalan dapat membuat situasi komunikasi menjadi tidak sejalan sehingga penjual yang diajak bertransaksi menjadi marah dan dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak santun kepada pembeli tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena kesantunan berbahasa memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Penggunaan kesantunan berbahasa dalam interaksi jual-beli di Malioboro Yogyakarta sangat


(26)

berkaitan dengan aspek-aspek sosial dan budaya di lingkungan sekitar. Kesantunan berbahasa merupakan realisasi pemakaian wujud , strategi, dan fungsi pragmatika bahasa. Kesantunan berbahasa tidak semata-mata menyangkut pemilihan kosakata yang tepat untuk konteks tuturan jual-beli di sebuah kawasan perbelanjaan, melainkan juga menyangkut pada pemahaman lawan tutur. Hal ini juga dipengaruhi juga oleh penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode yang pastinya tidak terlepas dari proses interaksi yang terjalin antara penutur dengan petutur itu sendiri. Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Maka, sangat wajar apabila kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pendengarnya.

Penelitian mengenai interaksi antara dua orang atau lebih dalam berkomunikasi sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” belum banyak dilakukan. Oleh karena itu

rumitnya permasalahan kesantunan berbahasa, dipandang tepat untuk meneliti

tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko (emperan toko)” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Berbagai masalah mengenai tingkat kesantunan berbahasa menimbulkan sikap kehati-hatian dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan meninjau kembali sejauh mana


(27)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, masalah umum penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini kemudian dirinci dalam dua sub masalah berikut ini.

1) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta?

2) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan, tujuan penelitian secara umum ini adalah mendeskripsikan tentang tingkat kesantunan berbahasa

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Secara khusus, tujuan penelitian

ini dirinci sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terfokus pada informasi faktual kesantunan


(28)

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.

Secara teoretis, temuan penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengembangan teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di lingkup universitas, memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian bahasa, khususnya dalam bidang ilmu pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di Program Studi pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat menambah wawasan para pembaca tentang kesantunan berbahasa, dan juga untuk membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penelitian tentang kesantunan berbahasa ini masih kurang, utamanya dalam konteks jual-beli di suatu tempat perbelanjaan.

Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan ajar pembelajaran di dalam lingkup universitas, mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang membuat suatu tuturan menjadi terlihat santun saat komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dilakukan, dengan mengetahui bidang ilmu kesantunan ini, masyarakat menjadi paham dan mengerti akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi temuan yang dapat bermanfaat dan dapat memperlancar komunikasi yang terjalin dengan santun antara penutur (penjual) dengan mitra tutur (pembeli). Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan tentang tingkat kesantunan berbahasa


(29)

pedagang “perko” di kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta, sehingga akan memperlancar komunikasi dan adanya rasa hormat yang terjalin antara penjual dan pembeli di Malioboro.

1.5 Batasan Istilah

Pembahasan dalam penelitian ini tentunya hanya mencakup beberapa hal saja, oleh karena itu penulis mencantumkan batasan istilah yang digunakan agar pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengeri pembacanya.

1. Pragmatik

Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan bahasa (dalam bentuk tuturan atau tindak tutur) digunakan dalam pertuturan sesuai konteks penutur dan lawan tutur, serta waktu dan tempat pengutaraannya dalam rangka melaksanakan komunikasi (Wijana, 2010:17; Chaer, 2010:23).

2. Sosiopragmatik

Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21).

3. Kesantunan

Fraser (Gunarwan, 1994:88) mendefinisikan santun sebagai sebuah


(30)

si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam pemenuhan kewajibannya.

4. Diksi

Istilah pilihan kata atau yang biasa kita sebut dengan diksi tidak hanya digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang tepat dan selaras dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan atau ide, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa dan ungkapan (Keraf, 1984:22). Jadi, ketika tuturan terucap dari mulut kita, sebenarnya tuturan tersebut sudah tersusun dan sudah terpilih pemilihan katanya saat kita menyatakan suatu maksud tertentu kepada orang lain.

5. Gaya Bahasa

Keraf (1984:112) mendefinisikan gaya bahasa adalah kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa yang biasa dikenal dengan sebutan style ini memang penting untuk digunakan dalam berkomunikasi sehingga efek-efek tertentu akan dirasakan oleh pendengar atau mitra tutur yang kita ajak berkomunikasi.

6. Sapaan

Kata sapaan merupakan kata yang dipakai untuk menegur, menyapa, mengajak bercakap-cakap, dan sebagainya. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung.

7. Alih Kode

Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain.


(31)

8. Campur Kode

Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu penelitian deskripstif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang dan pembeli di

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan yang diteliti adalah tuturan

penjual/pedagang dan pembeli yang ada di emperan toko Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan Februari-April 2014.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II berisi kajian pustaka yang terdiri dari penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. Pada bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang


(32)

terdiri dari deskripsi data, analisis data, dan pembahasan temuan. Bab V berisi penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.


(33)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian ini memuat tentang (1) penelitian yang relevan, (2) kajian teori, dan (3) kerangka berpikir. Uraian secara lengkap bagian kajian pustaka dipaparkan berikut ini.

2.1 Penelitian yang Relevan

Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut telah menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan penggunaan bahasa sehari-hari yang ada di sekitar kita.

Penelitian yang dilakukan oleh Diana Riski dengan judul “Strategi

Kesantunan dan Prinsip Kerja Sama Penjual dalam Transaksi Jual-Beli Sebuah Studi Kasus Pasar Tanah Abang”. Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak semua ujaran yang diujarkan baik penjual maupun pembeli mematuhi prinsip kerja sama. Aturan ini dilanggar supaya dapat menghasilkan percakapan yang lebih komunikatif. Pelanggaran yang dilakukan bertujuan untuk membuat jarak antara penjual dan pembeli lebih dekat sehingga menghantarkan pada pelaksanaan strategi kesantunan.

Penelitian yang dilakukan oleh Christina Rinawati yang berjudul “Wacana

Tawar-Menawar dalam Jual-Beli Pakaian di Pasar Beringharjo Yogyakarta: Suatu Tinjauan Pragmatik”. Dalam penelitiannya, dapat diambil kesimpulannya


(34)

bahwa wacana tawar-menawar merupakan sarana masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakaian dengan harga murah, wacana tawar-menawar merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan realisasi kehidupan nyata dari fungsi interaksional bahasa, dan yang terakhir wacana tawar-menawar sangat berkaitan dengan pengajaran bahasa, wacana tersebut dapat digunakan sebagai contoh konkret penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., dengan judul

Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 1 -12). Dalam penelitiannya, Dr. H. Jamal, M.Pd., memberikan beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Beliau menuliskan bahwa setiap masyarakat memiliki seperangkat norma yang terdiri dari sejumlah kaidah-kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh perilaku-perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakatnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo dengan judul “Tindak

Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Jika

dikaitkan dengan tuturan, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu tuturan yang diujarkan akan memberikan penilaiannya terhadap tuturan dari sopan santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) analogi, (2) pilihan kata atau diksi, (3) gaya bahasa, (4) penggunaan keterangan atau modalitas, (5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan (6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda


(35)

ini bisa terjadi ketika hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam suatu tuturan terkandung lebih dari satu penanda kesantunan yang digunakan oleh penutur itu sendiri.

2.2 Kajian Teori 2.2.1 Sosiolinguistik

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship).

Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme). Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan sosial diantara keduanya. Dengan demikian proses komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun.

Akan tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan


(36)

prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan sosial. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia.

Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung kesantunan dalam berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya berhubungan dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu akan tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua-muda, majikan-buruh, guru-murid, kaya-miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan anak kecil. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.


(37)

2.2.1.1Sapaan

Kata sapaan yang memiliki ciri khas tersendiri. Kata sapaan berguna sebagai ajakan bercakap, teguran, ucapan, serta frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu, seperti: Anda, Ibu, Saudara dan sebagainya. Kridalaksana (2008:214),

mendefinisikan bahwa “kata sapaan adalah morfem, kata atau frase yang

digunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicaraan”. Menurut Chaer sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur berdasarkan rasional.

Sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur. Penggunaan sapaan kata atau frasa dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara. Jadi, penggunaan sapaan juga harus dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di mana pembicaraan itu berlangsung, dan siapa yang diajak berkomunikasi.


(38)

Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan dalam proses komunikasi yang terjadi dalam konteks jual-beli.

[1] Pembeli : Cik, ada kain celana kayak gini? (sambil menunjukkan contoh kainnya)

Penjual : Coba tak lihate dulu. Persis gini? Pembeli : Iya.

Penjual : Coba, Le, carikno kain ini. Apa masih ada? Karyawan : Habis yang gini, Te!

Penjual : Saya punya kain celana yang bagus, Mbak. Harganya tidak mahal, pokoknya harga spesial. Le, ambilkan kain celana yang baru datang tadi!

Pembeli : Berapa harganya, Cik?

Penjual : Itu Rp 50.000,- per meter. Khusus untuk Mbak karena udah langganan sini tak kasih harga Rp 45.000,- per meternya.

Sapaan “Le, oleh penjual kepada karyawan menunjukkan adanya perbedaan status sosial. Penjual adalah pemilik toko dan karyawan adalah tenaga

pembantu. Namun sapaan “Le” ini diartikan sebagai nama panggilan akrab untuk

anak laki-laki. Jadi, penjual sudah menganggap karyawannya seperti anaknya sendiri. Sebaliknya, karyawan menyapa penjual dengan sebutan “Te”, yang kependekan dari „tante‟, yang artinya „bibi‟. Sapaan ini sama sekali tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, sebagaimana seseorang memanggil

„tante‟ pada adik perempuan dari ayah atau ibu.

Adapun sapaan “Cik”, kependekatan dari „tacik‟ yang berarti „Mbak‟ umumnya digunakan untuk menyapa perempuan China yang seumur atau yang sedikit lebih tua dari penyapa. Bentuk sapaan yang digunakan penutur maupun lawan tutur, khusunya yang berkedudukan sebagai pembeli ini didasarkan pada perbedaan asal-usul. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sapaan


(39)

tersebut santun karena juga dilihat dari konteks perbedaan asal-usul dan status sosialnya.

2.2.1.2Alih Kode

Alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) merupakan dua buah masalah dalam masyarakat yang multilingual. Menurut Appel (1976:79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode

(code switching) itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena

berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan contoh. Misalnya saja, berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Untuk dapat lebih memahami tentang materi ini, di bawah ini akan diberikan contoh dalam sebuah percakapan antara seorang sekretaris (S) dengan majikannya (M) (Chaer, 2010:110-111). Contoh inilah yang diangkat Soewito (1983) sebagai contoh dalam pemahaman materi alih kode ini.

[2] S : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini? M : O ya, sudah. Inilah!

S : Terima kasih

M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi,

dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju kudu wani ngono... (Sekarang jika usahanya

ingin maju harus berani bertindak demikian...) S : Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak)

M : Panci ngaten piye? (Memang begitu bagaimana?)

S : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi... (Maksudnya, berapapun besarnya modal kalau...)

M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak hubugan dan terlalu banyak mengambil keuntungan, usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)


(40)

S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan?) M : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim?

S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.

Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan tersebut diawali dengan menggunakan bahasa Indonesia karena melihat konteks atau tempatnya berada di dalam sebuah kantor. Hal yang dibicarakan juga mengenai kebutuhan kantor yakni surat-menyurat. Jadi, situasi percakapannya adaah formal. Namun, ketika pembicaraan berubah menjadi topik lain, bukan tentang surat-menyurat lagi melainkan topik tentang pribadi orang yang diberi surat, peralihan bahasa pun terjadi (alih kode). Situasi percakapannya pun juga ikut berubah menjadi situasi yang informal atau tidak formal. Alih kode yang terjadi pada percakapan di atas: dari bahasa Indonesia berganti menjadi bahasa Jawa. Selanjutnya, ketika topik utama (surat-menyurat) yang dibicarakan kembali, alih kode ini juga terjadi kembali. Hal ini dapat dibuktikan dengan percakapan antara sekretaris dengan majikannya yang menggunakan bahasa Jawa beralih kembali ke bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peristiwa alih kode dapat terjadi di mana saja dan kapan saja saat komunikasi itu dilakukan.

Jika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka kita harus mengembalikan pokok persoalan sosiolinguistik. Penyebab peristiwa alih kode, yakni (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Melihat dari contoh percakapan di atas, contoh tersebut terjadi karena disebabkan oleh faktor keempat, yaitu perubahan dari situasi formal menjadi informal.


(41)

2.2.1.3Campur Kode

Beralih dari peristiwa alih kode tentunya menyisakan satu peristiwa lagi yang sangat berkaitan dengan peristiwa tutur sebelumnya (alih kode), campur kode (code mixing). Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.

Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Berikut ini contoh peristiwa campur kode dalam proses komunikasi yang terjadi dalam konteks jual-beli.

[3] Penjual : Monggo, monggo, Pak, Bu, monggo dilihat dulu. Pembeli : Kaos dagadunya berapa, Bu?

Penjual : Niki mirah kok, Mbak. Hanya Rp 30.000 saja. Pembeli : Oh my God, mahal sekali. Rp 15.000 saja ya, Bu? Penjual : Sampun mirah niki, Mbak. Gambare werna-werna.

Pembeli : Rp 20.000 ya, Bu?

Penjual : Ya sudah, Mbak. Mau warna apa?


(42)

Penjual : Ini ya Mbak kaos dagadu warna pinknya. Pembeli : Ini Bu uangnya. Pas nggih.

Penjual : O ya Mbak, matur nuwun sanget.

Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan antara penjual dan pembeli menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sebenarnya penjual hanya mampu berbahasa Jawa dan Indonesia, akan tetapi karena pembelinya mampu menggunakan tiga bahasa, secara otomatis penjual juga menggunakan ragam bahasa Inggris seperti yang dituturkan pembeli kepada penjual. Misalnya, pada saat pembeli menginginkan kaos dagadu yang berwarna pink (merah muda). Secara langsung penjual juga menyebut warna

merah muda menjadi „pink‟ seperti apa yang dikatakan oleh pembeli. Jadi,

peristiwa campur kode ini dapat terjadi dalam konteks berkomunikasi di mana saja dan kapan saja seperti halnya peristiwa alih kode.

2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa 2.2.2.1Pragmatik

Bidang kajian ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu ini lebih mengarah pada maksud ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini dapat diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik ini. Hal ini dikarenakan setiap tuturan yang diujarkan tentunya mengandung maksud yang hendak disampaikan kepada mitra tutur.

Menurut Yule (1996:3), pragmatik adalah studi tentang makna ujaran penutur, makna kontekstual, makna yang dikomunikasikan melebihi ujaran yang


(43)

diucapkan, dan pengekspresian hubungan jarak. Ia juga mengatakan bahwa belajar bahasa memiliki manfaat yakni bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka masing-masing, maksud dan tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan. Sebagai contohnya adalah terjadinya interaksi berupa percakapan antara satu orang dengan orang lainnya. Bidang kajian ilmu pragmatik mengajari bagaimana kita memahami dan memperdalam makna yang terdapat di setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih (penutur dan petutur).

Kegiatan berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang sudah pasti dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan komunikasi ini tidak akan mungkin berhasil dilakukan tanpa adanya orang kedua yang biasa kita sebut dengan istilah mitra tutur. Agar kegiatan berkomunikasi ini berjalan dengan baik dan lancar, harus terdapat sesuatu (pesan/informasi) yang dikirim oleh penutur dan diterima oleh mitra tutur. Dalam hal ini penutur harus benar-benar dapat memberikan suatu pesan atau informasi dengan jelas sehingga mitra tutur dapat menerima pesan atau informasi yang diberikan oleh penutur dengan jelas dan terarah.

Dalam suatu peristiwa tutur, interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur memungkinkan munculnya berbagai macam tuturan yang isi proposisi yang disampaikan juga bermacam-macam. Misalnya saja, ada tuturan yang isi proposisinya bertanya, menolak, berbasa-basi, memberikan informasi, memerintah, menegur, dan lain-lain. Untuk memahami dan menggunakan berbagai macam tuturan, setiap partisipan tutur harus menguasai sejumlah


(44)

kompetensi komunikasi. Salah satu kompetensi komunikasi yang harus dipahami oleh partisipan tutur adalah mengerti dan dapat menggunakan tuturan dengan bahasa yang santun. Tuturan yang disampaikan oleh partisipan tutur selalu diusahakan saling berhubungan atau berkaitan (Purwo, 1990).

Ukuran kesantunan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh kemampuan seorang partisipan tutur untuk menjaga agar konfik personal dapat terhindar ketika proses komunikasi sedang berlangsung. Akan tetapi, ukuran kesantunan juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kejelasan dan ketepatan tuturan, saling menghargai, mematuhi norma-norma yang berlaku, berusaha untuk menyelamatkan muka dan diperlukan adanya kerja sama. Kerja sama diperlukan agar komunikasi berjalan dengan baik. Aturan kerja sama dalam komunikasi dikemukakan oleh Grice (1975) dalam empat maksimnya, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi.

Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh seorang partisipan tutur karena terdorong oleh sikap hormat kepada partisipan tutur lain. Kesantunan berbahasa sangat erat kaitannya dengan status partisipan tutur yang merasa sama-sama saling menghormati dan saling membutuhkan sehingga diperlukan strategi interaksi yang efektif seperti yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan dikenal dengan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama Grice tertuang dalam empat maksim, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi. Namun, Leech (1993) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tidak hanya dibatasi pada keempat maksim kerja sama . Akan tetapi, kesantunan berbahasa nemiliki prinsip tersendiri yang bertujuan untuk memperkecil


(45)

penggunaan pengaruh ungkapan yang tidak santun dan untuk memperbesar ilokusi yang sudah santun menjadi lebih santun.

Beranjak dari prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice dan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi setiap partisipan tutur perlu menerapkan tidak hanya prinsip kerja sama saja tetapi juga prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan berbahasa merupakan seperangkat maksim yang mengatur perilaku dalam berkomunikasi, baik perilaku linguistik maupun ekstralinguistik. Dalam hal ini, Leech (1993) berpendapat bahwa untuk merealisasikan kesantunan berbahahasa perlu memerhatikan aspek-aspek etika berkomunikasi, yaitu prinsip kesantunan (politeness principle) yang di dalamnya mencakup maksim (1) kearifan, (2) kedermawanan, (3) pujian, (4) kerendahan hati, (5) kesepakatan, dan (6) simpati.

Subbab ini menjelaskan mengenai beberapa hal, khususnya yang berkaitan

dengan bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” di

kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta. Serta hal-hal apa saja yang mempengaruhi tingkat kesantunan berbahasa.

Teori kesantunan berbahasa adalah teori yang mengkaji bentuk-bentuk tuturan yang santun yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi terjadi. Teori ini penting dikemukakan karena teori ini dianggap sebagai salah satu alat untuk memprediksi atau menjelaskan tuturan mana yang santun dan tuturan mana yang tidak santun. Walaupun harus disadari bahwa memprediksi atau menjelaskan santun tidaknya sebuah tuturan bukanlah hal yang mudah karena ukuran kesantunan tidak hanya dapat diprediksi atau dijelaskan dengan


(46)

menerapkan teori kesantunan akan tetapi banyak variabel lain yang ikut menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Variabel yang dimaksud antara lain adalah bagaimana hubungan emosional antarpartisipan tutur, latar belakang pendidikan yang dimiliki, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya.

Menurut Yule (1996:104), kesantunan sama halnya dengan kesopanan. Kesopanan ini diartikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan atau mengekspresikan wajah orang lain. Ketika kita melakukan kegiatan berkomunikasi dengan orang lain, bahasa yang kita gunakan juga harus diperhatikan matang-matang. Tidak hanya sekedar berbicara asal-asalan. Misanya saja saat kita tengah berbicara dengan guru, orang tua, dan lain-lain, tentunya bahasa yang kita pakai tidak sama dengan bahasa pergaulan sehari-hari dengan teman-teman kita. Dalam hal berdagang, penggunaan bahasa juga harus melihat konteks yang ada. Tidak semata-mata hanya berkomunikasi biasa melainkan menggunakan bahasa yang memang mengacu pada konteks berdagang. Hal ini pasti akan berbeda pula dengan penggunaan bahasa dalam sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.

Berbahasa secara santun dapat membuat penutur mendapatkan respon berupa rasa simpati dari mitra tuturnya. Ada banyak hal yang harus kita perhatikan dan kita pelajari bersama aga kita dapat menggunakan bahasa secara santun dalam berkomunikasi. Kesantunan berbahasa akan membuat penutur dan mitra tutur menjadi akrab dan saling mengerti satu sama lain. Sikap akrab dan mengerti ini akan dapat memperlancar kegiatan berkomunikasi yang tengah berlangsung.


(47)

Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupam bermasyarakat (Sarwoyo, 2005). Mengapa dikatakan demikian? Karena ketika kita menggunakan bahasa secara santun dalam kegiatan berkomunikasi, maka akan tercermin kepribadian secara utuh melalui tuturan yang diujarkan. Menurut Pranowo (2009:4), struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca.

Berdasarkan kenyataan itu, kesantunan berbahasa dapat diprediksi atau dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, dipelajari, dan ditelaah agar tuturan yang kita ujarkan menjadi santun. Penelitian ini menguraikan bagaimanakah dan apa sajakah yang harus diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli telah menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa, seperti prinsip-prinsip kesantunan, cara berkomunikasi secara santun, indikator-indikator yang harus diperhatikan agar tuturan yang kita ujarkan dapat menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Adapun teori-teori yang dapat dipaparkan di bawah ini.

2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan

Peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech dalam penelitian ini. Prinsip kesantunan Leech ini yang biasa dikenal sebagai prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama Leech ini tentu mengacu pada konteks kerjasama antara penutur dengan petutur dalam komunikasi. Prinsip kesantunan


(48)

yang dikemukakan oleh Leech (1983) merupakan suatu prinsip kesantunan yang hingga saat ini dianggap paling lengkap dan paling komperehensif. Di bawah ini, rumusan tersebut akan dijelaskan secara detail dalam enam maksim menurut Geoffrey Leech (1993:206-207) sebagai berikut.

1) Maksim Kearifan (TACT MAXIM)

Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

2) Maksim Kedermawanan (GENEORISITY MAXIM)

Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

3) Maksim Pujian (APPROBATION MAXIM)

Kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin.

4) Maksim Kerendahan Hati (MODESTY MAXIM)

Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

5) Maksim Kesepakatan (AGREEMENT MAXIM)

Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain juga terjadi sebanyak mungkin.


(49)

6) Maksim Simpati (SYMPATHY MAXIM)

Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkanlah rasa simpati dengan sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dan orang lain.

Rumusan mengenai prinsip kesantunan juga tertuang dalam enam maksim interpersonal menurut Rahardi (2005:59) sebagai berikut.

1) Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.

2) Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.

3) Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.

4) Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.

5) Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self and other.

6) Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy between self and other.

Wijana (1996:56-61) memaparkan keenam maksim Leech tersebut secara lebih ringkas dan mudah dipahami sebagai berikut.

1) Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

2) Maksim Penerimaan

Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.


(50)

3) Maksim Kemurahan

Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

4) Maksim Kerendahan Hati

Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

5) Maksim Kecocokan

Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

6) Maksim Kesimpatian

Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

Lain halnya dengan Rahardi dan Wijana, Pranowo (2009:36) dituliskan bahwa prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh Leech menurut Pranowo tersebut adalah maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan ini memiliki definisi yakni maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa penutur diharapkan dapat membuat mitra tuturnya merasa


(51)

lega terhadap tuturan yang diujarkan penutur ketika proses berkomunikasi berlangsung.

2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan

Kriteria (skala) adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian sesuatu. Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai ukuran kesantunan, hal ini dikhususkan pada kesantunan dalam berbahasa. Yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Beberapa ahli telah menyatukan pendapat-pendapatnya dari berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang telah dirangkum oleh beberapa para ahli, yakni Robin Lakoff, Brown dan Levinson, dan Geoffrey Leech.

1) Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973)

Skala kesantunan yang dijelaskan oleh Robin Lakoff terdiri atas tiga skala kesantunan saat bertutur kata.

a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta pertuturan, yakni penutur dan mitra tutur merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Oleh karena itu, tuturan yang digunakan dalam kegiatan bertutur tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, penutur dan mitra tutur harus tetap menjaga jarak sewajarnya mungkin antara yang satu dengan yang lainnya.


(52)

b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale) menunjukkan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Oleh karena itu, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Partisipan tutur tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

c) Skala kesekawanan (equality scale) menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu mempertahankan persahabatan antar penutur dengan lawan tutur. Penutur harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahabatnya, begitu juga sebaliknya. Rasa persahabatan ini merupakan salah satu prasyarat untuk tercapainya kesantunan.

2) Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1978)

Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentuan kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala (a) jarak sosial, (b) status sosial penutur dan lawan tutur, dan (c) tindak tutur.

a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social

distance between speaker and hearer). Skala ini banyak ditentukan oleh

parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker


(53)

kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik (kesenjangan) antar penutur dan mitra tutur.

c) Skala peringkat tindak tutur atau yang sering disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the

required expenditure of goods or services didasarkan pada kedudukan

relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. 3) Skala Kesantunan Geoffrey Leech (1983)

Geoffrey Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya.

a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, merujuk pada

besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur dalam sebuah pertuturan. Ukuran dari skala ini adalah semakin tuturan yang diujarkan merugikan diri sendiri, maka akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, apabila tuturan yang diujarkan semakin menguntungkan diri penutur, maka akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Seorang penutur harus bisa membuat mitra tutur atau lawan tuturnya merasa nyaman dan tidak dirugikan ketika tengah melakukan percakapan.

b) Optionally scale atau skala pilihan, mengacu pada banyak atau sedikitnya

pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin prtuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.


(54)

c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, merujuk pada peringkat

langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d) Authority scale atau skala keotoritasan, merujuk pada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam kegiatan pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

e) Social distance scale atau skala jarak sosial, merujuk pada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan sosial di antara keduanya yakni penutur dan lawan tuturnya akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak hubungan sosial di antara keduanya, maka akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan skala kesantunan tuturan suatu bahasa ketika bertutur (Rahardi, 2005:66-70).


(55)

Skala-skala menurut para ahli di atas telah dijelaskan dengan sedemikian rupa. Untuk mempersingkat pemahaman mengenai skala-skala tersebut, peneliti akan merangkumnya dengan singkat, padat, dan jelas. Skala Robin Lakoff (1973) memaparkan mengenai kenyamanan dalam berkomunikasi, skala Brown dan Levinson (1978) memaparkan mengenai peringkat dalam berkomunikasi, baik untuk subjek maupun tuturannya, dan yang terakhir adalah skala Geoffrey Leech (1983) yang memaparkan mengenai cakupan atau rangkuman dari skala Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Mengapa dikatakan bahwa skala Geoffrey Leech merupakan rangkuman dari kedua skala lainnya? Hal ini karena dalam skala milik Leech dipaparkan mengenai kenyamanan dan peringkat dalam berkomunikasi seperti yang telah dijelaskan pada skala milik Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Dengan kata lain, skala milik Leech merupakan skala yang lengkap.

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari paparan di atas mengenai kriteria kesantunan yang harus diperhatikan adalah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya suatu pilihan saat kita bertutur kata, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan penutur dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutr dan mitra tutur.

Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan

kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti


(1)

karena PB dapat memilih dagangan PJ.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki

dewasa dan “Mbak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah wanita tengah baya.

DT 33 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (yowes).

34. PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.

PB : Empat tahun bisa gak?

PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK juga, Mbak.

PB : Iya. Berapa? PJ : Empat lima aja!

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.27 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gelang kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Hal itu terlihat pada tanggapan PB terhadap tuturan PJ yang mengindikasikan bahwa PJ memberikan harga yang mahal sehingga PB memberikan tanggapan tersebut.

U-R U-R TS

Setuju

TS Setuju


(2)

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat merugikan PJ.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki

tengah baya dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah wanita tengah baya. DT 34 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (mbrangkang). 35. PJ : Sekawan?

(Empat?)

PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki. (Ya empat tahun yang sama ini) PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak.

(Empat tahun kan? Seperti ini, Pak) PB : Warnane?

(Warnanya?)

PJ : Nggih namung niki warnane. (Ya hanya ini warnanya) PB : Model iki ra ono?

(Model ini tidak ada?)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.28 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu yang sudah tua sedangkan mitra tutur adalah laki-laki yang sudah tua. Tuturan ini menandakan bahwa PJ menguntungkan mitra tuturnya yakni PB. PJ memberikan

U-R S-KL S

Setuju

TS Setuju


(3)

PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten niki.

(Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini) PB : Piro iki?

(Berapa ini?) PJ : Sami mawon (Sama saja) PB : Seket to, Bu?

(Lima puluh kan?)

PJ : Nggih mboten napa-napa. (Ya sudah tidak apa-apa) PB : Lha iyo to?

(Lha iya kan?) PJ : Nggih, Pak.

(Iya, Pak)

dagangannya sesuai dengan harga penawaran PB. Ditambah PJ yang menggunakan bahasa Jawa Krama dalam berkomunikasi dengan PB yang sama-sama sudah dewasa. Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB langsung menawar harga dagangan PJ. Tuturan PJ juga menggunakan bahasa Jawa Ngoko sehingga dirasa kurang sopan.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah ibu-ibu yang

sudah tua dan “Pak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah laki-laki yang sudah tua.

DT 35 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko.

36. PJ : Ini warna-warni PB : Ini berapa? PJ : Dua puluh ribu PB : Sepuluh

PJ : Kalau harganya pas tadinya dua lima. Gini aja deh, dua, dua lima.

PB : Sepuluh ya, Bu?

PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.33 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur adalah wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki

U-R U-R TS

Setuju

TS Setuju


(4)

PB : Sepuluh ya?

PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis. Harga-harga mepet itu.

PB : Tiga, tiga puluh gak boleh?

PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas setengah kali tiga jadinya tiga tujuh setengah.

PB : Tiga, tiga puluh ya?

PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang. Kalau tidak ya sudah. Sudah pas. Sudah murah.

PB : (pergi)

tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB sehingga PB langsung pergi meninggalkan PJ. Tuturan PJ juga terlihat sedikit kasar dan memaksa.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB dapat merugikan PJ dengan penawaran harga yang dirasa PJ kurang tepat.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah wanita dewasa

dan “Mas” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah laki-laki tengah baya.

DT 36 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

37. PB : Setelan cah cilik?

(Atas bawah anak kecil?) PJ : Umur pinten?

(Umur berapa?) PB : Limang tahun

(Lima tahun)

PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten, Bu?

(Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.36 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa

U-R S-P TS

Setuju

S Setuju


(5)

Yogyakarta, 11 September 2014

Triangulator Peneliti

Dr. B. Widharyanto, M.Pd. Fransisca Dike Desintya DS

PB : Yo lumayan. (Ya lumayan) PJ : Sak menten?

(Ini?)

PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu. (Lengan panjang, buat mengaji, Bu) PJ : O lengen panjang? Mboten wonten

nek lengen panjang. Njenengan tindak mawon dateng toko (mengejek)

(O lengan panjang? Tidak ada kalau lengan panjang. Anda pergi ke toko saja)

tuturan PJ bersifat mengejek. Hal itu dapat dilihat pada tuturan PJ yang merugikan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ. Namun tanggapan tidak santun terlihat pada tuturan PJ.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) dan pembeli yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu.

DT 37 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko.


(6)

306

BIOGRAFI PENULIS

Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya lahir di Blitar, Jawa Timur, 03 Desember 1991. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Kepanjen Lor II Blitar pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007, ia melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Blitar. Selanjutnya, pada tahun 2007-2010 ia menempuh pendidikan menengah atas di SMA Katolik Diponegoro Blitar.

Pada tahun 2010, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, banyak sekali prestasi yang diraihnya, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Pada bidang akademik, mulai tahun 2010-2013 ia berperan aktif dalam organisasi-organisasi baik dalam lingkup prodi maupun universitas. Tahun 2013 ia dipercayakan oleh prodi untuk menjadi perwakilan mahasiswa berprestasi pilihan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Pada tahun 2011 dan 2012, ia juga dipercaya menjadi koordinator fasilitator pada kegiatan PPKM Prodi PBSI, dan masih banyak lagi prestasi-prestasi lainnya.

Selain di bidang akademik, ia juga tercatat sebagai mahasiswa yang berprestasi dalam bidang non-akademik. Prestasi yang ia raih dalam bidang ini adalah prestasi-prestasi menari yang didalaminya saat ia bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Group Tari Sanata Dharma (GRISADHA) di tahun 2010-2014. Hingga pada akhirnya masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul

Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Ia dapat dengan mudah dihubungi pada email: fransisca_dike@yahoo.co.id.