Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada
PB. DT 28
Penekanan kata delokken pada data 21 ini terlihat tidak santun. Kata delokken termasuk dalam kata suruhan. Penutur menyuruh mitra tutur untuk
melihat terlebih dahulu dagangan penutur. Akan tetapi cara pengucapan penuturlah yang menjadikan suasana komunikasi menjadi kacau. Ditambah lagi
dengan pemakaian kata delokken dalam data tuturan di atas yang terkesan menyuruh dan disertai dengan paksaan. Kata delokken dirasa tidak tepat
digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata delokken diganti dengan kata dipilih, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana komunikasi jual beli
menjadi tidak kacau. Kata delokken yang dinilai tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini termasuk dalam kategori
penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam kriteria tabel pemakaian diksi pilihan kata di atas. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa kata delokken memang tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi. 22
PB : Mas, ini sepasang ya? PJ : Iya, Dik.
PB : Ini tadi dua berapa? PJ : Tujuh puluh
PB : Dua, empat puluh, Mas. PJ : Gak boleh
PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan sambil menggerutu dan langsung
pergi
Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan
PJ yang dirasa kurang sopan. Alangka h baiknya apabila kata „gak boleh‟
diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟ sehingga dapat terlihat lebih sopan. DT 15
Data 22 merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada seorang pembeli. Kata gak menunjukkan suatu penekanan maksud dari apa yang
diharapkan oleh penutur. Tidak ada basa-basi dari si penutur akan tetapi si penutur secara langsung menyampaikan tuturan tersebut kepada mitra tutur pembeli.
Kata gak dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata gak tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki
oleh kata tersebut, maka kata gak tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi
tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh
tuturan si penutur. Kata gak ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria
pemakaian diksi pemilihan kata di atas. Alangkah baiknya apabila kata gak diganti dengan kata maaf, belum boleh sehingga tuturan terlihat santun dan layak
untuk dituturkan. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
kesantunan, yakni pemakaian diksi pilihan kata. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 7 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI
PEMAKAIAN DIKSI PILIHAN KATA
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
PEMAKAIAN DIKSI SANTUN
TIDAK SANTUN
1. Analisis 19
DT 1 2.
Analisis 20 DT 18
3. Analisis 21
DT 28 4.
Analsis 22 DT 15
4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
Keraf, 1985:113. Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan
efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat
menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu. Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa
jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya- gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual penutur yang menggunakan gaya bahasa untuk menarik perhatian para pembeli mitra tutur, tetapi ada pula penjual
penutur yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan agar pembeli mitra tutur marah, malu kehilangan muka, dan lain-lain.
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya bahasa yang baik, yaitu:
a. Kejujuran
Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti
kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak
jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan
kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.
Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk digunakan dalam konteks berkomunikasi.
b. Sopan Santun
Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,
dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras
untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka
tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam berkomunikasi.
c. Menarik
Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,
humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur
diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila
penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur
membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat
untuk digunakan dalam berkomunikasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda
kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini
adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan
memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa dalam sebuah tuturan.
TABEL 8 KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA
KESANTUNAN BERBAHASA SANTUN
TIDAK SANTUN 1.
Kejujuran.
a. Penutur tidak hanya mencari
keuntungan saja. b.
Kata-kata yang digunakan tidak berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi. b.
Bertutur kata dengan singkat dan jelas, sehingga tidak membuat
mitra tutur bingung .
3. Menarik.
a. Penutur
dapat memberikan
humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung.
b. Penutur dapat membuat suasana
komunikasi yang menyenangkan, sehingga mitra tutur merasa
nyaman dan senang.
1. Kejujuran.
a. Penutur
hanya mencari
keuntungan saja. b.
Kata-kata yang digunakan sangat berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Tidak
menghormati mitra
tuturnya saat berkomunikasi. b.
Bertutur kata dengan panjang lebar dan tidak jelas, sehingga
membuat mitra tutur bingung .
c. Menarik.
a. Penutur tidak dapat memberikan
humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung.
b. Penutur tidak dapat membuat
suasana komunikasi
yang menyenangkan, sehingga mitra
tutur tidak merasa nyaman dan senang.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan
kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin
yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual
beli pedagang “perko” Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian gaya
bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel
pemakaian gaya bahasa di atas. 23
PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Nawar aja bisa. PB : Ini all size atau apa?
PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. PB : Ada warna lain?
PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. PB : Berapa?
PJ : Tiga puluh lima PB : Ini aja. Berapa?
PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah PB : Lima belas ya?
PJ : Bahannya bagus soalnya. PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah 22.500 ya?
PJ : Udah murah, Ibu. PB : Hehe ya ya.
Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. Penutur memberikan penawaran agar mitra tutur menawar
terlebih dahulu. DT 25
Data 23 ini merupakan tuturan yang diucapkan pedagang baju kepada pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata nawar sendiri
memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur.
Tetapi penutur langsung mempersilakan mitra tutur PB untuk menawar harga dagangannya. Kata nawar tergolong dalam kriteria tuturan yang santun. Hal ini
dikarenakan kata nawar merupakan sebuah permintaan penawaran sebuah harga. Penutur mempersilakan mitra tutur untuk terlebih dulu menawar dagangannya.
Jadi, penutur memberikan kesempatan mitra tutur untuk menawar dagangannya. Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi