Menarik. Pemakaian Gaya Bahasa

PB2: L sak aku, Pak. L ukuran saya, Pak PJ2: Ya ra entuk Ya tidak dapat PJ1: Nyoh. Wis tas‟e, Pak? Ini. Sudah tasnya, Pak? PB1: Wis, makasih Sudah, terima kasih Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memaksa PJ. DT 3 Data 48 merupakan tuturan dari pembeli kaos dagadu kepada penjualnya. Dalam data tuturan ini terdapat kata yang perlu ditekankan, yakni kono lho. Kata kono lho sendiri terucap ketika penutur PB tengah bertransaksi jual beli dengan si mitra tutur. Dari percakapan di atas, kata kono lho yang termasuk dalam kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra tutur, serta kata tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur PJ. Ketika penutur menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi kacau dan penuh emosi. Tuturan penutur dengan penekanan kata suruhan yang disertai dengan paksaan itu dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra tutur yang menanggapi dengan jengkel dan marah. Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai penjualnya. Penutur dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu kepada mitra tutur. Mitra tutur PJ dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur PB. Hal itu dirasa sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu pertuturan jual beli. Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas. Oleh karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. 49 PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L? Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L? PJ : Ora enek. Gak ada. Tidak ada. Tidak ada PB : Terus tak tukokne warna opo yo? Terus saya belikan warna apa ya? PJ : Terima kasih. Matur suwun penjual kepada pembeli lain Terima kasih. Terima kasih PB : Lha iki aku werno opo? Ini saya warna apa? PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho. Yang biru ini saja. Biru ini lho PB : Endi? Mana? PJ : Iku lho. Ini lho PB : Elik iki birune. Jelek ini birunya PJ : Putih, item Putih, hitam PB : Putihe koyok ngopo? Putihnya seperti apa? PJ : Putihe sing neng ngisor. Putihnya yang di bawah PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L. Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L PJ : Harus itu? L putih? PB : Ndang, Mas golekke iki sik memaksa Cepat, Mas carikan ini dulu PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e. Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S PB : Tak berantakke, Mas. Saya buat berantak, Mas PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung. Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong- tolong PB : Sing iki pasangane enek ora? Yang ini pasangannya ada tidak? PJ : Iki tulisane Jogja. Ini tulisannya Jogja Konteks: Penekanan kata „ndang‟ inilah yang dirasa mempengaruhi kalimatnya menjadi kurang sopan. Jadi terlihat menyuruh dengan sedikit memaksa. Alangkah baiknya apabila tuturan PB diubah menjadi, “Tolong, saya dicarikan yang ini dulu, Mas” dalam bahasa Jawanya, “Tulung, aku digolekke sing iki dhisik, Mas”. Penekanan kata „ndang‟ diganti dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan. DT 8 Pada data 49 ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pembeli penutur tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pembeli penutur tersebut menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada penjual mitra tutur. Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata ndang dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur menyuruh mitra tutur PJ untuk mencarikan kaos yang diinginkan si penutur dengan tidak sopan. Tuturan penutur di atas dengan penekanan kata ndang membuat suasana yang sangat tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur yang notabene sebagai penjual merasa tidak nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan si penutur. Suasana yang tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan penutur yang menyuruh mitra tutur dengan kasar dan tidak sopan. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan kata ndang menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang tidak sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur saat komunikasi transaksi jual beli. Seharusnya penekanan kata „ndang‟ diganti dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan dan layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini. TABEL 16 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI PEMAKAIAN GAYA BAHASA NO. URUTAN ANALISIS KODE DATA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SANTUN TIDAK SANTUN 1. Analisis 46 DT 10 2. Analisis 47 DT 18 3. Analisis 48 DT 3 4. Analsis 49 DT 8

4.3 Pembahasan

Kesantunan berbahasa merupakan sebuah cerminan dari pribadi seseorang. Karena ketika berbahasa dengan santun, orang lain yang menjadi lawan bicara pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang dilangsungkan. Santun tidaknya suatu tuturan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tingkat kesantunan berbahasa ini dianalisis menggunakan tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech. Adanya sebuah kerjasama sama suatu tuturan yang dilakukan oleh kedua partisipan tutur, baik penutur maupun mitra tutur merupakan hal yang sangat penting dan sangat perlu untuk diperhatikan oleh semua orang. Dengan adanya sebuah kerjasama dalam suatu tuturan akan menimbulkan efek positif terhadap isi dan arah tuturan dan juga akan memperlancar sutu tuturan yang sedang dikomunikasikan. Ada banyak orang yang berpikir bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta sangat rendah dan tuturan-tuturan yang tidak santun tersebut sering bermunculan dalam transaksi jual beli di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi karena orang lain yang di luar sana belum mengerti akan konteks tuturan yang terjadi dan bagaimana suasana tuturan pada saat tuturan tersebut dikomunikasikan. Dalam suatu tuturan, yang paling penting dan harus diperhatikan betul-betul adalah bagaimana atau sejauh mana penutur dan mitra tutur memahami serta mengerti akan makna dan arah tujuan pembicaraan di antara kedua partisipan tutur itu. Orang lain tidak bisa hanya melihat dan menilai begitu saja tanpa melihat ada beberapa hal yang dianggap penting yang memengaruhi tingkat kesantunan suatu tuturan yang terjadi di sekitarnya.

4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta

Pembahasan yang pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data dan pembahasan ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah pembelinya. Di bawah ini akan dibahas secara detail satu per satu sesuai dengan rumusan masalah yang ada. Rumusan masalah yang pertama adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Melihat pada sebuah pusat perbelanjaan di sebuah kota kecil yakni Malioboro Yogyakarta tentu tidak lepas dari adanya transaksi jual beli yang ada di dalamnya. Transaksi yang dilakukan jelas dilakukan oleh penjual dan pembeli. Ada banyak pandangan yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam transaksi jual beli ini suka-suka. Suka-suka ini dimaksudkan bahwa penjual dan pembeli menggunakan bahasa sehari-hari dan tidak menggunakan pedoman berbahasa yang layaknya dalam berbahasa Indonesia. Para penjual dan pembeli berusaha menggunakan bahasa-bahasa tersebut agar komunikasi dapat terjalin dengan baik. Tak lupa maksud dan tujuan yang disampaikan saat berkomunikasi transaksi jual beli akan tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu akan memperlihatkan santun tidaknya sebuah tuturan yang dikomunikasikan antara penjual dan pembeli tersebut. Pokok bahasan yang pertama ini akan membahas mengenai tingkat kesantunan penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh penutur maupun mitra tutur agar tuturan yang dituturkan menjadi santun adalah 1 seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya skala untung rugi, 2 seberapa besar penutur memberikan pilihan- pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah percakapan atau sebaliknya skala pilihan, dan 3 sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi terlebih dahulu dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya skala ketidaklangsungan. Ketiga hal ini merupakan teori skala kesantunan Geoffrey Leech sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini, yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. 4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech 4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan Cost-Benefit Scale Bahasan pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta ditinjau dari skala untung rugi. Berdasarkan analisis di atas, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Karena tuturan yang dituturkan oleh penutur penjual kepada mitra tutur pembeli dalam percakapan transaksi jual beli yang dilakukan menggunakan kata-kata atau bahkan kalimat-kalimat yang menandakan bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan kepada si mitra tutur pembeli. Dalam hal ini santunnya tuturan tentu akan terlihat dari tuturan si penutur penjual apakah tuturannya menguntungkan mitra tuturnya pembeli atau bahkan sebaliknya merugikan diri si mitra tuturnya. Dapat dibuktikan pada penggunaan kalimat “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu” analisis 1 DT 1, “Ya wis, oke-oke, Dik” analisis 2 DT 4, “Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja” analisis 5 DT 18. Kalimat-kalimat yang dituturkan oleh penutur penjual dalam percakapan dengan mitra tutur pembeli saat transaksi jual beli tersebut di atas menandakan bahwa si penjual memberikan keuntungan kepada si pembeli. Dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam percakapan di antara kedua partisipan tutur itu, dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang santun menguntungkan mitra tuturnya. Dalam transaksi jual beli yang dilakukan penutur dan mitra tutur tentu tidak terlepas dengan adanya tuturan-tuturan yang dirasa tidak santun untuk dituturkan kepada diri si mitra tutur pembeli. Misalnya saja dengan penekanan kalimat-kalimat sebagai berikut, “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki- iki XL, XL sakmeneki”, “Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo” analisis 6 DT 3, “Gak boleh” analisis 8 DT 16, “Mau beli yang mana tak ambilin Mau beli gak? Kok dicampur- campur” analisis 10 DT 30. Penggunaan kalimat-kalimat tersebut di atas telah mencerminkan bahwa tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur pembeli tidak santun. Kalimat-kalimat itu menandakan bahwa penjual sangat merugikan diri si pembelinya. Oleh karena itu, dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat digolongkan ke dalam tuturan yang tidak santun merugikan mitra tutur. Bahasan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang dengan penekanan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai penanda apakah tuturan yang dituturkan penjual kepada pembeli itu santun atau tidak santun di atas termasuk dalam teori skala kesantunan milik Geoffrey Leech 1983 khususnya skala untung-rugi yang dijelaskan mengenai seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya agar penutur dan mitra tutur dapat saling memberikan keuntungan atau kepuasan saat bertutur kata. Seorang penutur sebaiknya merugikan dirinya sendiri, bukan malah meninggikan dirinya di hadapan lawan tuturnya ketika berkomunikasi.