HASIL PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN

dengan lingkungan sekitar atas kehamilannya dikarenakan keadaan ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan, mengundang warga sekitar membicarakan dirinya. Selain itu, informan juga meyakini dirinya ti dak dapat berpisah karena “ilmu” yang dimiliki oleh suaminya. “Bapaknya kan punya daya tarik itu lho mbak, cari orang pinter… Misalkan saya ingin berubah sikap, waktu belum ada X itu, waktu pacaran, itu gak bisa pisah sama bapaknya. Sampai sekarang juga gitu, misalnya gimana gitu saya pulang ke Jawa Timur tetep gak bisa mbak. Dia ke orang tua terus, maksudnya kayak dukun gitu lho” WI2, L265-270 Informan hanya bisa mengalah terhadap suaminya. Sesekali informan membantah tuduhan dan kesalahan yang dilemparkan pada dirinya. Informan merasa masih memiliki harga diri. Akan tetapi, jika informan membantah, suaminya akan lebih tega untuk memperlakukan dirinya dengan kasar. Informan merasa dirinya serba salah. Informan juga pasrah kepada Tuhan karena dirinya yakin Tuhan memberikan jalan yang baik. Informan berusaha untuk sabar, dan menerima kenyataan serta keadaan dengan berdoa. e. Latar belakang informan dan keluarga informan Informan dilahirkan dari sebuah keluarga kecil sederhana dari sebuah pedesaan di daerah Pacitan. Sejak berusia lima tahun, informan hanya dibesarkan dan dididik oleh ibu karena ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu ibu informan menjadi orangtua tunggal untuk kedua anaknya. Infoman memiliki satu orang adik laki- laki. Mata pencaharian ibu informan sehari-hari ialah berkebun dengan memanfaatkan kebun yang dimiliki oleh neneknya. Ibu informan cukup keras dalam mendidik anak-anaknya. Ibu informan sering menggunakan fisik bahkan benda untuk menertibkan informan dan adiknya. “Diasuh sama ibuk, ya sama ibuk saya itu kalau saya ngeyel saya dicubit. Kalau itu juga diguyur pake air cucian piring yang basi itu lho mbak. Mamak saya dulu juga gitu. Sampai daun itu yang lidi itu, batang itu mbak yang segitu ada daunnya, daunnya habis. Sampai lupa itu mamak saya, buat jemuran yang gede itu mbak, pringkak gitu, sampai nancep disini…” WI.3, L586-589; WI.5, L918-921 Hingga saat ini, pada bagian punggung informan terdapat bekas benda yang menancap saat ibu informan memukulkan benda pada bagian tersebut. Informan menyelesaikan pendidikannya pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan SMK di Solo sedangkan adiknya hanya lulusan Sekolah Dasar SD. Sejak memutuskan untuk meneruskan sekolah di bangku SMK, informan tinggal bersama saudaranya di Solo. Setelah lulus, informan memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Yogyakarta. Akhirnya informan mendapatkan pekerjaan di salah satu tempat perbelanjaan di Malioboro. Dari sanalah informan bertemu dengan suaminya dan hubungan informan dengan kekasih yang sebelumnya berakhir. f. Latar belakang suami dan keluarga suami Suami informan adalah satu-satunya anak laki-laki, sehingga suami informan sangat dimanjakan di dalam keluarga. Apapun yang diinginkan dan diminta selalu terpenuhi. “Bapaknya apa-apa minta diturutin. Dari dulu apa-apa maunya dia diturutin…” WI.2, L556 L558 Semenjak ayah dan ibu mertua informan meninggal, suami informan tinggal bersama saudaranya. Suami informan tidak menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Suaminya berhenti atau putus sekolah saat duduk di kelas empat Sekolah Dasar SD. Suami informan memiliki pergaulan yang tidak baik sejak memutuskan untuk berhenti bersekolah. Sejak duduk di bangku SD, suami informan meminta untuk dibelikan sepeda motor dan berulang kali berganti-ganti sepeda motor. Selain itu, beranjak remaja suami informan mengenal minuman beralkohol dan bergaul dengan banyak perempuan. “Ya sekitar umur 10tahunanlah… Ya sekitar 11, 12 itulah mbak udah minta motor. Kakaknya sayang banget, cowok satu-satunya. Aneh orangnya. Udah brutal gitu lho. Minta motor, gonta ganti, dirusakin, kenal minuman. Sampai dijualin apa-apa. Udah kenal cewek, ya mungkin usia SMA gitu…” WI.5, L935-937 L942-944 2. Dampak kekerasan yang dialami terhadap pengasuhan Informan memiliki tugas untuk memberikan pengasuhan kepada anak. Terlebih lagi, keadaan informan yang tidak memiliki pekerjaan dan hanya beraktivitas di dalam rumah, menjadikan informan sebagai tokoh utama dalam tugas pengasuhan. Keterlibatan suami dalam pengasuhan kepada anak sangatlah sedikit sehingga sepenuhnya dipegang oleh informan. Kekerasan fisik dan psikologis yang dialami informan membuat dirinya tidak dapat berfungsi efektif untuk anak-anak. Dampak dari kekerasan yang dialami membuat informan terluka dan merasakan sakit secara fisik dan sakit secara psikis. Secara fisik informan mendapatkan memar dan luka pada bagian yang mendapatkan kekerasan. Secara psikologis, informan merasa sakit hati dan stres. Keadaan tersebut membuat informan merasa dibawah tekanan karena harus memikirkan banyak hal sekaligus. Memikirkan tingkah laku suami yang keras dan kasar, kekhawatiran informan jika kembali mendapatkan perlakuan kasar, kebiasaan suami berjudi melalui permainan catur yang masih belum sepenuhnya berubah, memikirkan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan memikirkan anak-anak yang sangat aktif sehingga sulit diatur. “Harusnya gini, tapi bapaknya malah kayak gitu. Kan nambah- nambahin beban. Harusnya kan didik anak, malah mikirin bapaknya. Dulu pernah nyusul dia, anak-anak tak ajak kok. Itu lho mbak daerah Prawirotaman. Itu main catur bapaknya disana…” WI.2, L251-254 Selain itu, dengan keadaan informan saat ini yang sedang mengandung anak keempat, seringkali informan merasakan nyeri pada perut bagian bawah dan nyeri pada saluran kencing disaat sedang memiliki banyak pikiran. Beban pikiran yang informan rasakan membuat dirinya menjadi membuang banyak waktu dengan termenung. “Bengong karna mikir. Mikir khawatir kalau dipukul lagi” WI.2, L480 Hal ini berdampak pada tugas pengasuhannya terhadap anak, seperti: a. Informan menjadi tidak fokus dalam merawat dan mendidik anak. Informan terkesan membiarkan anak-anak dengan memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk melakukan apa saja. Informan tidak banyak bertindak untuk anak-anak. “Kalau ke anak, ya mungkin cara mendidik berkurang mbak. harusnya disiplin, jadi terlenalah. Jadi keteteran. Mungkin anak- anak pada ngeyel mungkin karena itu juga mbak… Ngasuh anak itu jadi gimana gitu. Kebagi fokusnya. Harusnya bisa fokus ke anak- anak…” WI.2, L546-548; WI.3, L625-626 Informan hanya sekedar menggunakan kata-kata yang halus untuk menertibkan anak-anak. Pada kenyataannya anak-anak tidak dapat dikendalikan atau ditertibkan dengan kata-kata. Informan kurang tanggap terhadap perilaku yang anak-anak munculkan. b. Menggunakan fisik untuk menertibkan anak Ketidakfokusan informan dalam memberikan pengasuhan membuat anak-anak bertingkah semaunya. Anak-anak menjadi sulit diatur dan tidak mendengarkan perkataan dan arahan dari informan. Dengan keadaan anak yang demikian, membuat informan memberikan pengasuhan dengan cara menyubit atau menggunakan lidi serta mengikat untuk menertibkan anak-anak. Meskipun demikian, anak- anak masih saja sulit untuk diberitahu. “Dulu itu ngasuh anak itu ya saya gak keras. Cuma saya stres sendiri. Kadang kalau saya banyak pikiran saya diam tapi kadang saya juga keras mbak. Nyubit sampai kenceng banget sampai hitam… Oh, anak-anak ngeyel mbak. Waktu banyak pikiran, mungkin saya keras toh. Jadi anak- anak nyontoh… Biasanya saya nyubit mbak, pake lidi kecil itu lho. Kadang kalau lupa pake yang gede” WI.2, L540-542; WI.3, L639-640; WI.4, L782-783 c. Membohongi dan mengancam anak Keadaan anak-anak yang sulit untuk diberitahu dan diatur terkadang membuat informan menangis karena bingung harus bertindak seperti apa ditengah keadaannya yang demikian. Oleh karena itu, informan juga kerap membohongi dan mengancam anak-anak agar mendengarkan dan mengikuti apa yang dikatakan oleh informan. “Kesulitannya itu ya itu kalau anak-anak nakal itu mbak. Susah banget, sampai nangis. Ya gimana ya kok anak nakal- nakal…” WI.2, L161-162 Disamping keadaan yang informan alami, informan berupaya menjalankan perannya sebagai ibu dan menunjukkan tanggungjawabnya, dengan cara: a. Memberikan perhatian kepada anak-anak Informan memberikan perhatian kepada anak-anak dengan cara memperingatkan anak-anak untuk berhati-hati saat bermain di luar rumah. Informan tidak terlalu banyak melarang anak-anak untuk beraktivitas atau bermain di luar rumah, tetapi informan melarang anak-anak jika mereka bermain dan membuat orang lain terganggu. Selain itu, informan juga merawat anak-anak disaat sakit dengan memberikan obat-obatan ataupun menggunakan cara tradisional. Informan juga berupaya untuk memberikan hiburan untuk menyenangkan hati anak-anak. b. Memberikan ajaran-ajaran yang baik Informan mengajarkan anak-anak untuk berlaku sopan pada orang lain, seperti mengatakan permisi saat melewati orang yang lebih tua. Informan juga menegur anak-anak saat berbicara kotor atau tidak sopan. Selain itu, informan mengajarkan anak-anak untuk mengucapkan terima kasih dan salim pada orang yang lebih tua. c. Melindungi dan menjaga anak-anak dari hal yang tidak baik Informan memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh anak, seperti permasalahan yang dihadapi oleh anak pertama yang mendapatkan perlakuan kasar dari teman sebayanya. Informan memberikan pandangan dan nasehat kepada anak pertama. “Temennya mbak, temen-temennya yak eras. Kadang ngelemparin batu. Tapi kalau X tak bilangin jangan, gak boleh. Saya bilang, kan mamak gak punya. Nanti kalau orang itu marah, mamak gak bisa ganti, gak punya duit…” WI.2, L192-195 Selain itu, informan menjaga anak-anak agar tidak terpengaruh atau mendapatkan pengaruh buruk dari lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah. “Kemarin itu ada liat porno tetangga deket sini. Nonton pake laptop gitu. Anak gede, usia SD gitu. Yang ikutan lihat X. udah tak ancam mbak, kalau lihat, nonton dari TV, dari laptop gitu nanti di sel sama polisi, dimasukkan ke penjara…” WI.3, L668-672 d. Mementingkan kebutuhan dan keperluan anak-anak Di tengah keadaan ekonomi yang memprihatinkan, informan tetap mementingkan kebutuhan anak-anak terutama kebutuhan pangan. Informan juga berusaha untuk melengkapi keperluan anaknya yang sudah sekolah. e. Mencoba memahami karakter anak Informan mencoba untuk memahami karakter anak-anak agar informan mengetahui bagaimana menyikapi anak-anak sesuai dengan karakter mereka. “Ngeyelnya itu mbak. Kalau misalkan jajan gak terlalu harus. Kalau maem juga gampang. Paling berantem, kadang ngeyel. Harus sabar mbak. Misalkan kita keras dianya nambah nakal… Kalau dikerasin tambah ngeyel. Kalau Y ngeyelnya sama saya mbak. Kayak sejenis manja itu lho mbak kalau ada saya…” WI.3, L610-612; WI.5, L1119 1123 f. Memiliki aktivitas bersama dengan anak Adanya aktivitas yang dilakukan informan bersama dengan anak- anak. Informan menemani dan membantu anak pertama yang duduk di bangku kelas satu mengerjakan pekerjaan rumah. Informan juga menemani anak-anak menggambar, mewarnai, melihat-lihat buku yang bergambar, dan membacakan buku. g. Memiliki harapan untuk anak Informan berharap agar anak-anaknya menjadi orang yang sukses, sholeh, tidak terpengaruh dengan keadaan saat ini, dan dapat membahagiakan dirinya. “InsyaAllah kalau saya bekerja bisa sekolahin anak-anak, agar anak-anak berguna, jadi anak yang sholeh, gak terpengaruh. Mudah- mudahan gak kena yang negatif… Mudah-mudahan anak- anak besok bisa membahagiakan, jadi anak soleh…” WI.4, L806-808; WI.5, L1050-1051 3. Gambaran Anak Dalam paragraf ini akan dijabarkan beberapa gambaran anak yang didapatkan, yaitu: a. Keaktifan anak-anak Anak-anak tampak sangat aktif, selalu bermain dan bergerak kesana kemari, terutama anak kedua. Hal ini membuat anak-anak sangat sulit untuk mendengarkan bahkan melakukan apa yang diarahkan oleh informan. Anak-anak terkesan mengabaikan dan tidak mendengarkan apa yang diucapkan dan diperintah oleh informan. Informan pun tampak kesulitan untuk membuat anak tertib dan mudah untuk diatur. Tidak jarang karena keaktifan anak-anak, antar saudara saling ribut atau berkelahi. Banyak hal yang menjadi penyebab, seperti rebutan benda atau makanan, tidak mau diajak bermain, saling ejek-ejekan, tidak diajak untuk pergi bermain, merusak barang saudaranya, dan sebagainya. b. Aktivitas anak-anak Selain beraktivitas dengan saudara kandung, anak-anak juga sudah mampu bersosialisasi dan beraktivitas dengan lingkungan sekitar, seperti lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar rumah. Aktivitas yang dilakukan anak-anak di dalam rumah seperti bermain bersama saudara dan informan, makan, tidur, dan belajar bersama. Aktivitas diluar rumah yang dilakukan seperti bermain sepeda, bermain layang-layang, memancing, bermain di selokan, bermain pasir, dan menonton TV di rumah saudara. c. Perilaku yang menonjol pada anak-anak Hal yang paling menonjol pada anak-anak ialah perilaku agresif. Agresi yang mereka tunjukkan dalam bentuk agresi verbal dan non verbal. Agresi verbal yang tampak seperti berbicara kotor atau tidak sopan, berteriak, dan menangis dengan kencang. Sedangkan agresi non verbal atau fisik ditunjukkan dengan memukul, menampar, mendorong, menendang, melempar benda-benda, dan merebut barang milik orang lain atau yang sedang dipegang oleh orang lain. Perilaku agresi ditujukan tidak hanya kepada sesama saudara, tetapi juga kepada teman sebaya, dan juga kepada informan. “Kapan itu saya nangis. X pulang sekolah itu lempar batu itu lho mbak sama saya… Rebutan apa gitu. X gak mau ngalah. Sekarang sudah mau mengalah sedikit. Tapi masih suka rebutan juga. Kadang Y punya makanan, direbut sama X. X tuh belum bisa ngalah mbak. Itu bikin ramai. Kalau gak berantem- berantem itu lho mbak, gelut… Kadang kalau gak boleh ikut itu dipukulin adeknya, sampai mau diinjek- injek itu lho… Kalau dulu juga ngelawan mbak. Temennya mukul, dia pukul hidung temennya… ” WI.2, L135-136; L173-174; L175-177; L186-187 L202-203 d. Kebersihan anak-anak yang kurang Kebanyakan pakaian yang dikenakan oleh anak-anak terdapat sobekan dan tidak bersih. Anak-anak juga terbiasa hidup tidak bersih, seperti tidak menggunakan alas kaki saat bermain, pakaian yang kotor, muka yang kotor, dan tangan serta kaki yang kotor. Informan kurang memperhatikan kebersihan anak-anak, sehingga anak-anak sudah terbiasa dengan keadaan yang kumuh dan kotor. Begitu pula dengan keadaan rumah yang kotor dan berantakan. e. Anak-anak menyaksikan kekerasan yang terjadi Anak-anak menjadi saksi atas kekerasan yang dilakukan suami terhadap informan. Anak-anak melihat secara langsung bagaimana suami memperlakukan informan dan melukai fisik informan. Anak- anak peduli dan kasihan melihat informan yang diperlakukan kasar oleh suami. X mencoba melerai kedua orangtuanya, Y hanya diam saja, dan Z menangis. Anak-anak juga peka jika melihat informan menangis. Saat informan menangis anak-anak mencoba mendekati informan. f. Lingkungan bermain anak Lingkungan bermain yang terkadang kurang bersahabat membuat mereka memiliki masalah dengan teman sebaya. Anak-anak mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari lingkungan bermain, seperti dimusuhi, diganggu, dan mendapatkan perlakuan kasar. “Kadang sandal diumpetin sama anak-anak gede. Ya X sandalnya diumpetin. Diumpetin sama anak-anak sini, ada aja mbak. Kadang Dimusuhi, dikeroyok gitu sama anak- anak gede… Orang kadang gak ngapa- ngapain, ditendang kadang itu…” WI.1, L74-77 L86-87 Selain itu, lingkungan bermain anak juga mulai dicemari oleh tontonan yang tidak baik, yaitu film atau video porno. g. Pengasuhan suami terhadap anak-anak Karakter yang dimiliki suami informan membuat dirinya juga bersikap keras pada anak-anak, termasuk dalam pengasuhan. “Kalau dulu plak-plek. Ini sampai guling-guling. Saya bilang jangan mas. Kalau dulu dikejar sampai anaknya… Kalau mukul itu lho, gak mikir anaknya jadi cacat atau gimana. Saya bilangin jangan ngikutin emosi…” WI.2, L564-567 Suami informan kerap menggunakan fisik untuk menertibkan anak- anak, seperti memukul menggunakan sapu, memlintir tangan, dan menyubit dengan keras. Selain itu, suami informan juga memaki anak-anak dengan kata-kata kotor disaat dirinya kesal dan marah. Hal tersebut membuat anak-anak tidak menyukai ayahnya sendiri, seperti ungkapan X yang mengatakan bahwa dirinya tidak sayang pada ayahnya. “X sayang gak sama mamak? Sayang. Sama bapak? Enggak. Kenapa? Bapak sukanya nakal. Kok nakal? Bapak sukanya mukul…” WA, L130-137

4. Faktor yang Memengaruhi Pengasuhan

Berikut faktor-faktor yang memengaruhi pengasuhan yang informan berikan terhadap anak-anak: a. Riwayat pengasuhan atau pengalaman pengasuhan Pengasuhan yang informan berikan kepada anak-anak saat ini mendapatkan peran dari riwayat pengasuhan atau pengalaman pengasuhan yang diberikan oleh ibu informan. Salah satunya ialah cara mendidik dengan menggunakan fisik. Di masa kecil informan, dirinya kerap kali mendapatkan pengasuhan menggunakan fisik seperti dicubit. Selain itu, ibu informan juga menggunakan benda untuk memukul informan. Hal ini dilakukan ibu informan untuk menertibkan dirinya yang pada waktu itu sulit untuk diatur ngeyel. Hal ini jugalah yang ditiru oleh informan untuk menertibkan anak- anak yang sangat aktif dan sulit untuk diatur ngeyel. b. Faktor ekonomi Faktor ekonomi juga berkontribusi dalam pengasuhan yang diberikan oleh informan kepada anak. Informan kesulitan untuk memberikan kehidupan yang layak kepada anak-anak dan mencukupi kebutuhan anak secara utuh. Terutama untuk hal kebersihan dan kenyamanan tempat tinggal yang layak huni. Keadaan saat ini jauh dari kata layak untuk menghidupi anak-anak di tengah tumbuh kembang anak. Selain itu, makanan yang bergizi juga tidak anak-anak dapatkan sebagai asupan untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dengan demikian, informan memiliki kendala untuk memberikan pengasuhan yang efektif dan baik untuk anak-anak. c. Pandangan dan karakter informan Pandangan informan juga turut memengaruhi pengasuhan yang informan berikan untuk anak. Informan meyakini bahwa dengan berlaku keras atau mendidik dengan keras, maka anak akan takut. Dengan adanya sesuatu yang ditakuti oleh anak, anak akan tertib dan mudah untuk diatur. Karakter informan yang sabar membuat informan sangat memaklumi setiap perilaku anak-anak sehingga terkesan membiarkan anak-anak atau memberikan kebebasan yang berlebihan sedikit kontrol. d. Peran dan keterlibatan suami dalam pengasuhan Keterlibatan suami dalam pengasuhan sangat sedikit. Adapun peran suami dalam pengasuhan terkadang mengarah pada pengasuhan yang lebih keras dari informan. Jika informan masih dalam tahap mengancam seperti memegang lidi tetapi tidak mengarahkan pada anak, maka suami sudah pada tahap eksekusi, seperti memukul menggunakan sapu, menyubit dengan keras, memlintir tangan, dan sebagainya. Hal ini yang terkadang membuat informan bingung untuk menyikapi sikap suami tersebut. Informan semakin tertekan dengan tuduhan suami yang mengatakan dirinya kurang tegas dan salah dalam mendidik anak. “Disalah-salahin. Itu rawat anak berdua, yang disalahin saya. Katanya didik salah, ngomong salah… ngurusinnya ya gak sepenuhnya mbak. Nyalah-nyalahin saya. Sepenuhnya saya…” WI.2, L317-318; WI.4, L682-683 Hal itu pula yang membuat informan terkesan memberikan pengasuhan yang keras agar anak-anak tertib. Pada kenyataannya, anak-anak tidak segera mendengarkan arahan walaupun sudah ditertibkan menggunakan fisik, seperti dicubit.

A. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami. Kekerasan yang informan dapatkan yaitu kekerasan fisik berupa pukulan fisik dan menggunakan benda, kekerasan psikologis berupa perilaku suami yang berselingkuh dan makian dengan kata-kata kotor, serta kekerasan ekonomi berupa larangan informan untuk bekerja dan suami yang menghambur- hamburkan uang dengan berjudi. Seperti yang telah dilaporkan dalam laporan Bank Dunia 1994, bentuk kekerasan yang banyak terjadi ialah penyiksaan terhadap istri atau penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim Intimate Partner Violenceyang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol, yaitu pasangan berupaya untuk menerapkan terhadap istri melalui penyiksaan fisik, emosi, sosial, seksual, dan ekonomi. Karakter dan sifat suami berkontribusi mendorong dirinya menjadi pelaku kekerasan, seperti tempramen, pemarah, tidak mampu mengontrol emosi, menyalahkan orang lain dan tidak mau disalahkan, impulsif, egois, agresif, cemburuan, tidak suka diatur, dan tidak memiliki ketakutan atas apa yang telah dilakukan. Pembawaan personal dalam diri suami informan sangat berpengaruh terhadap tindak kekerasan yang dilakukan kepada informan. Peran dan pandangan suami bahwa istri harus tunduk dan menurut pada suami juga menunjukkan adanya peran-peran jenis kelamin yang masih bersifat tradisional di dalam rumah tangga. Dalam posisi salah, suami tetap merasa yang benar dan informan tidak boleh membantah. Penyebab lain terjadinya kekerasan dalam rumah tangga ialah perselisihan verbal yang terjadi antara informan dan suami. Adanya larangan informan untuk bekerja membuat kebebasan yang dimiliki informan dibatasi dan informan menjadi ketergantungan terhadap kebutuhan dan keuangan pada suami. Hal ini memungkinkan informan menerima tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami. Ketergantungan secara ekonomi istri terhadap suami berkaitan erat dengan kekerasan yang berat Berkowitz, 1994, seperti yang dialami oleh informan. Keadaan ekonomi rumah tangga informan dalam status ekonomi yang rendah turut menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan, pengangguran, pekerjaan serabutan, dan sulitnya mencari pekerjaan memunculkan stres dalam situasi rumah tangga. Hal tersebut mendukung suami untuk menyalurkan stres atau ketegangan yang suami rasakan dengan melakukan tindak kekerasan. Zastrow Browker dalam Wahab, 2006 menyatakan bahwa kekerasan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh situasi frustasi. Selain itu, suami kerap kali menyalahkan informan atas kondisi ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan yang terjadi tidak hanya menjadi satu kejadian tunggal tetapi kekerasan yang didapatkan terus berulang. Oleh karena itu, dampak dari kekerasan yang didapatkan semakin bertambah dan sangat berdampak bagi informan. Dampak yang dirasakan informan yaitu dampak secara fisik dan psikologis. Dampak kekerasan yang dirasakan informan membuat dirinya menjadi pasif dan mengalami penurunan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Informan banyak termenung, memikirkan kondisi dan keadaan dirinya, keadaan suami dan kekerasan yang suami lakukan, memikirkan perekonomian keluarga, serta memikirkan anak-anak. Emosi- emosi negatif yang dirasakan informan membatasi perhatiannya Basso, et al., 1996. Emosi negatif yang dirasakan dianggap memiliki potensi untuk proses perhatian yang tidak teratur, sehingga informan sulit untuk mempertahankan fokus perhatian Rothbart Bates, 1998; Ruff Rothbart, 1996. Keadaan tersebut membuat informan kesulitan untuk menyediakan kebutuhan emosi akan keamanan dan kenyamanan yang konsisten bagi anak. Terlihat dari pengasuhan yang informan berikan kepada anak-anak. Terbagi diantara rasa sedih, marah, kecewa dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak, termasuk dalam pengasuhannya Margaretha, 2012. Ketidakkonsistenan informan terlihat dari pengasuhan yang diberikan untuk anak-anak, yaitu adanya pengasuhan yang bersifat positif dan negatif. Pengasuhan yang positif mampu menunjukkan informan mampu berfungsi dengan baik sebagai seorang ibu well functionyang menjadi figur utama dalam pengasuhan. Adanya naluri keibuan yang masih melekat dalam diri informan. Hal ini tampak dari cara informan memberikan perhatian kepada anak dan mementingkan kebutuhan serta kepentingan anak. Hal ini menunjukkan adanya kepekaan informan terhadap kebutuhan anak-anak. Selain itu, sebagai salah satu cara penyesuaian kebutuhan hidup dan pemenuhan tanggung jawab informan untuk membesarkan serta memenuhi kebutuhan anak Berns, 1997. Menjaga anak-anak dari hal-hal yang tidak baik menunjukkan bahwa informan berusaha melindungi anak-anak dari pengaruh yang buruk untuk tumbuh-kembang mereka. Informan peka terhadap apa yang sedang dihadapi oleh anak-anak. Selain itu, informan mendidik dan mengajarkan hal-hal baik kepada anak-anak. Hal ini dilakukan agar anak-anak mampu bersikap sesuai dengan tuntutan sosial, yaitu dengan sopan santun. Keseharian informan sebagai ibu rumah tangga membuat informan memiliki waktu yang utuh untuk bersama dengan anak-anak. Adanya aktivitas yang dilakukan bersama mengarah pada terjalinnya komunikasi dan hubungan yang baik antara anak-anak dan informan. Dengan demikian, informan dapat semakin membentuk kelekatan dengan anak- anak. Informan juga berusaha untuk memahami karakter anak-anak sehingga informan semakin mengerti dan tahu cara menyikapi anak-anak. Cita-cita dan harapan informan untuk anak-anak di masa depan menunjukkan adanya tujuan yang baik dari pengasuhan yang informan berikan Levine dalam Martin Colbert, 1997. Hubungan yang tidak harmonis dengan suami memicu informan mengalami stres pengasuhan. Stres pengasuhan menandakan adanya gangguan dalam pengasuhan. Hal ini ditunjukkan dari kebingungan dan ketidaktahuan informan dalam menghadapi anak-anak yang sangat aktif ditengah keadaannya yang demikian. Akibat yang ditimbulkan ketika informan mengalami stres pengasuhan adalah menurunnya kualitas dan efektivitas pengasuhan yang diberikan untuk anak-anak Lestari, 2012. Pengasuhan negatif yang informan berikan kepada anak-anak sebagai salah satu konsekuensi stres pengasuhan yang dialami oleh informan. Stres pengasuhan disebabkan oleh kondisi anak-anak yang sangat sulit diatur, kondisi kehidupan dengan riwayat kekerasan yang dialami oleh informan yang menimbulkan stres, tidak adanya dukungan sosial terutama dukungan yang diberikan oleh suami, dan perekonomian keluarga yang kurang mendukung Satiadarma, dalam Supatri, 2014. Pengasuhan negatif yang informan berikan dalam bentuk pengasuhan menggunakan fisik atau menyakiti fisik, membohongi anak, dan mengancam anak. Pengasuhan yang informan berikan juga terkesan membiarkan anak-anak bebas melakukan apa saja. Batasan dan kendali yang diberikan kepada anak-anak hanya sedikit. Adanya kebebasan yang cukup berlebihan dan arahan yang tidak konsisten membuat anak-anak menjadi terbiasa untuk bebas dan menjadi sulit untuk diatur serta mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang lebih agresif dan impulsif Martin Colbert, 1997. Dampak yang terlihat pada anak dari pengasuhan yang informan, seperti kurang dapat mengontrol diri, berharap mendapatkan apa yang diinginkan, tidak mau patuh, sulit mengendalikan perilaku, suka melawan, dan tidak bertanggungjawab. Pengasuhan fisik ialah aktivitas yang dilakukan bersama anak agar anak dapat bertahan hidup dengan baik, yaitu dengan menyediakan kebutuhan dasar, seperti makan, kehangatan, dan ketenangan waktu tidur Hughoghi, 2004. Kebutuhan dasar seperti kebersihan dan kenyamanan yang diberikan oleh informan masih sangat kurang. Keadaan rumah yang berantakan dan kotor sangat tidak mendukung pemberian pengasuhan fisik dalam aspek tersebut. Anak-anak menjadi terbiasa dengan kehidupan yang tidak teratur. Selain itu, keadaan ekonomi yang kurang mendukung membuat informan tidak mampu memberikan pengasuhan yang efektif kepada anak-anak, seperti memberikan makanan yang bergizi dan menyediakan kenyamanan dengan rumah yang layak huni untuk mendukung tumbuh-kembang anak. Pengasuhan yang efektif mengandalkan kondisi hidup, mental baik orangtua, pernikahan yang bahagia, dan kondisi ekonomi yang baik Schoppe-Sullivan dkk, 2007. Kenyataannya pada kehidupan informan, kekerasan yang didapatkan, mental yang tergoncang sebagai dampak dari kekerasan yang diterima, dan kondisi perekonomian keluarga yang buruk semakin mengarahkan informan pada pengasuhan yang tidak efektif. Relasi antara informan dan suami memengaruhi cara mereka bertindak sebagai orangtua terhadap anak Schact, Cummings, Davies, 2009. Konflik pernikahan yang terjadi dan atmosfer keluarga yang tidak baik juga turut memberikan dampak bagi perkembangan anak-anak. Seperti yang dijelaskan dalam teori ekologi Brofenbrenner, mikrosistem menyebutkan bahwa keluarga merupakan organisasi yang dekat dan memiliki interaksi langsung oleh anak. Oleh karena itu, keadaan keluarga dan keadaan orangtua berperan dan berpengaruh dalam tumbuh kembang anak-anak. Perilaku agresif yang anak-anak tunjukkan sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, yaitu agresi verbal dan non verbal atau fisik. Anak yang terekspos perselisihan orangtua menunjukkan tingginya perilaku eksternalisasi, seperti agresif, perkelahian, ketidakpatuhan, dan permusuhan Kaczynsky, Lindahl, Malik, Laurenceau, 2006. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan yang terjadi di dalam keluarga atau yang terjadi pada orangtuanya sering dicirikan dengan teriakan yang berlebihan dan berlanjut pada ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang tampak dalam permasalahan emosi Jaffe, dalam Wahab, 2006. Seperti halnya pada anak informan, yang kerap kali menunjukkan agresi verbal dengan teriakan yang kencang dan ketidakmatangan emosional, seperti sikap agresif yang ditunjukkan anak- anak saat marah yang kemudian berlanjut dengan menangis. Kondisi lingkungan yang menimbulkan ketegangan memicu tingginya emosionalitas anak-anak Hurlock, dalam Anggadewi, 2007. Anak-anak belum mampu belajar mengidentifikasi, memahami, dan memilih emosi yang tepat. Anak-anak di masa kanak-kanak awal rentan dengan ledakan-