Pengasuhan ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

(1)

(2)

(3)

PENGASUHAN IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Martha Veronica

NIM: 119114089

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015


(4)

(5)

(6)

iv

Apa yang kita tahu hanyalah setetes air…

Yang kita tidak tahu adalah lautan~

(Isaac Newton)


(7)

v

Kupersembahkan untuk

“Dia yang mengajarkanku

kasih

Dan

“M

ereka yang aku kasihi


(8)

(9)

vii

PENGASUHAN IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Martha Veronica

ABSTRAK

Kasus kekerasan terus-menerus mengalami peningkatan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri dan suami sebagai pelakunya. Tampak masih sedikit yang menyadari bahaya akan dampak yang ditimbulkan dari KDRT. Istri yang menjadi korban KDRT memiliki tugas yang lebih yaitu memberikan pengasuhan kepada anak-anak ditengah keadaan yang dihadapi dan beratnya dampak kekerasan yang dirasakan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengasuhan yang diberikan oleh ibu yang mengalami KDRT, faktor yang memengaruhi pengasuhan, dan dampak yang ditimbulkan kepada anak.Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan rekam kasus atau dokumen. Wawancara dilakukan pada satu orang informan. Hasil penelitian menggambarkan bahwa KDRT yang dialami memengaruhi pengasuhan yang diberikan kepada anak melalui dampak yang dirasakan informan. Pengasuhan yang dimunculkan ialah pengasuhan negatif yang merujuk pada ketidakefektifan informan dalam memberikan pengasuhan. Hal tersebut juga didukung oleh tanggungjawab pengasuhan yang hanya dipegang oleh informan, pengaruh buruk suami terhadap anak, dan faktor ekonomi. Disisi lain, informan masih mampu berfungsi dengan baik sebagai ibu yang memberikan pengasuhan positif. Hal ini didukung oleh naluri keibuan yang informan miliki, intensitas informan terhadap anak, dan adanya harapan terhadap anak dan keluarga.Dampak kekerasan dan ketidakefektifan dalam pengasuhan terhadap anak-anak berupa perilaku agresi, kemampuan untuk mengontrol diri yang kurang, sulit mengendalikan perilaku, tidak mau patuh, suka melawan, tidak bertanggungjawab, dan berharap mendapatkan apa yang diinginkan.


(10)

viii

MOTHER’S PARENTING IN THE CASE OF DOMESTIC VIOLENCE

Martha Veronica

ABSTRACT

The case of violence has been increased continuously including the case of domestic violence happened to the wife and put the husband as the doer. Apparently, there is still slightly people who are aware of the impact of domestic violence. A wife who experienced the domestic violence has an extra role to give the parenting to her children in the middle of the violence circumstances and the impact she got. This research aims to see how the parenting given by a mother who experienced domestic violence is, the factors influence the parenting, and the impact that the children got. This research is a case-study using the qualitative method. The data-collecting method is using interview, observation, and recorder data or document. The interview has been done towards an informant who was 38 years old and experiencing domestic violence since the beginning of married life. The result of this research shows that the domestic violence experienced by a person influenced the parenting given to the children towards the impact that she (the informant) has. The parenting appeared is the negative one which refers to the ineffective ways. It has also been influenced by the responsibility of parenting which only comes to the informant, the negative influence from the husband towards the children, and economic factor. However, the informant is still be able to have her role as a mother goes well and gives the positive parenting. This is also supported by her motherhood instinct, the intensity towards her children, and the existence of hope towards her children and family. The impact of violence and ineffective in parenting the children are the aggression behavior, the low self-control and behavior-self-control, lack of obedience, irresponsibility, and expectation of getting what he wants.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Penulis merasa terpanggil untuk berkecimpung dalam tugas kemanusiaan, terkhusus bagi perempuan dan anak. Berawal dari keprihatinan penulis terhadap keadaan perempuan dan anak yang kerap kali menjadi korban kekerasan terutama dalam keluarga. Ketika belum mampu memberikan yang nyata dan lebih, maka penulis memberikan kepeduliannya lewat karya ilmiah ini dan menjadi bahan pembelajaran dan bekal bagi penulis untuk langkah selanjutnya.

Dengan segala lika-liku yang penulis alami selama menyelesaikan penelitian ini, penulis ingin memanjatkan syukur dan mengucapkan terimakasih kepada:

1. DIA yang memberikan napas kehidupan dan hidup yang layak penuh berkat dan kasih, Tuhan Yesus Kristus.

2. Mama dan Bapak yang selalu berjuang untuk anak-anaknya. Sumber dana dan semangat. Terimakasih banyak, juga teruntuk Rano, Robert, Thalia, Tuhan sertai selalu.You’re my everything, my strength.

3. Informan yang baik hati, memberikan kepercayaannya kepada penulis untuk berbagi cerita dan pengalamannya.

4. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang menyambut dengan hangat dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan data klien dan membantu sepanjang penelitian. 5. Ibu Sylvia Carolina yang sudah bersedia membimbing penulis dan


(13)

xi

6. Ibunda Debri Pristinella, selaku Dosen Pembimbing Akademik, Ibu Bos semasa menjabat Asisten Lab, dan Nyonya di standar 6 borang akreditasi,

setiap ketemu selalu nanya “gimana skripsinya, nduk? Udah sampai

mana?”

7. Yoannes Chrysostomus Awang Adhy Wibowo, I don’t know what I want

to say. Cause’ so many service that you give to me. I’m blessed to have

you, hon ... Kamu semangat ya, segera menyusul.

8. Ciwik-ciwik gengges! Agnes Wijaya, Albertin Melati Widyaninta, Benedikta Elsa Yuninda Pasaribu, Ketut Yunita Primaturini, Margareta Theresia Ghea Kuncahyani, Marius Angga Kurnianto, Nidia Gabriella, dan Raysa Bestari Siniwi, bersama kalian mengajarkan banyak hal. LOVE 9. BBG, geng terhits dari SMP, SMA, dan sampai sekarang jauh dimata

dekat disosmed hahaha dekat dihati dong. Dari delapan orang dan sekarang tinggal dua yang belum bergelar, salah satunya aku. Finally, aku

nyusul. Yeay, I’m waiting for our reunion. See you on top, guys.

10.Mas Muji, Mas Doni yang sudah memberikan kesempatan dan banyak sekali pengalaman dan teman-teman sepekerjaan yang jadi kuli di Lab. Psikologi.

11.Heyho pejuang akreditasi. We’re rock!!! Pembicaraan tentang skripsweet disela-sela tugas kenegaraan yang selalu menggelintik terkadang menusuk kalbu, tapi memotivasi aku buat segera LULUS.

12.Semua yang sudah selalu ada, mendukung, mendoakan, dan membantu penulis untuk menyelesaikan tanggungjawab ini. Tidak dapat penulis


(14)

xii

sebutkan satu per satu, biarlah Tuhan yang membalas dengan kasih dan rahmatNya. God Bless US 

Penulis sadar tulisan ini perlu mendapatkan saran dan masukan agar menjadi lebih baik dan berguna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan menerima dengan senang hati setiap saran dan kritik yang membangun penelitian ini.

Yogyakarta,


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………ii

HALAMAN PENGESAHAN………iii

HALAMAN MOTTO………...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………....vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT………..viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………ix

KATA PENGANTAR……….x

DAFTAR ISI……….xiii

DAFTAR GAMBAR………xvi

DAFTAR LAMPIRAN………xvii

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah………. 11

C. Tujuan Penelitian……….. 11

D. Manfaat Penelitian……….11

1. Manfaat Teoritis……….. 11

2. Manfaat Praktis………12


(16)

xiv

A. Pengasuhan……….12

1. Pengertian Pengasuhan……….12

2. Gaya Pengasuhan……….16

3. Peran Keluarga, Orangtua, dan Ibu………..24

4. Faktor yang Memengaruhi Pengasuhan………...28

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga………..31

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga………..31

2. Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga………...32

3. Karakteristik Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga………..34

4. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….35

5. Faktor yang Mendorong Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….36

6. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….39

a. Dampak Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Korban Secara Langsung………39

b. Dampak Kekerasan Terhadap Anak Sebagai Korban Secara Tidak Langsung………41

C. Pengasuhan Ibu yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga…...44

BAB III METODE PENELITIAN………...48

A. Jenis Penelitian………...48

B. Informan Penelitian………49

C. Prosedur Pengumpulan Data………..50


(17)

xv

1. Wawancara………...51

2. Observasi………..53

3. Dokumen………..55

E. Instrumen Penelitian………...55

F. Metode Analisis Data ………56

G. Kredibilitas Data………....58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….61

A. Persiapan Penelitian………...61

B. Pelaksanaan Penelitian………...62

C. Hasil Penelitian…...………...67

1. Deskripsi Informan dan Suami...………...68

2. Pengasuhan Informan ………...………..75

3. Gambaran Anak………...81

4. Faktor Yang Mempengaruhi pengasuhan………84

D. Pembahasan………..……….87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..98

A. Kesimpulan ………...98

B. Kelemahan Penelitian………99

C. Saran………..99

DAFTAR PUSTAKA………..101


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Tinjauan Pustaka……… 47 Gambar 2. Bagan Pengasuhan………. 97


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Inform Consent………105

Lampiran 2. Member Checking………109

Lampiran 3. Tabel Kategori Tema dan Sub-Kategori Tema………111

Lampiran 4. Tabel Kategorisasi………...116


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU No. 23/ 2004, pasal 1). Catatan tahunan Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2014 sebesar 293.220 kasus yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama yang tersebar di 30 propinsi di Indonesia. Kekerasan yang terjadi di ranah personal mencatat kasus paling tinggi, yaitu sejumlah 280.710 kasus yang terjadi terhadap istri.

Berdasarkan data statistik jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa KDRT menjadi masalah yang sangat serius untuk ditangani secara hukum oleh negara karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) terutama bagi kaum perempuan. Selain itu yang tidak kalah penting adalah keadaan psikologis yang dialami oleh korban kekerasan yaitu kaum perempuan yang akan berakibat pada banyak hal dalam aspek kehidupan mereka. Hal tersebut diperparah dengan sebagian besar perempuan yang menjadi korban bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dialami yang memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan


(21)

pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindak kekerasan dalam ikatan pernikahan atau rumah tangga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Bhayangkara Tk. IV Pekanbaru, jenis kelamin yang menjadi korban kekerasan adalah perempuan (231 orang, 97,5 %) dengan rentang usia 19-30 tahun (38%) dan 31-40 tahun (39,2%). Ibu rumah tangga merupakan pekerjaan terbanyak yang menjadi korban KDRT (83,5%). Komnas Perempuan juga mencatat bahwa mayoritas rentang usia perempuan yang menjadi korban kekerasan di ranah personal pada usia 25-40 tahun atau pada usia menikah. Dari penelitian Buzawa & Buzawa (1996), menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang mengalami kekerasan, 78% penelitian menemukan bahwa mereka berpenghasilan rendah dan mempunyai status sosial ekonomi yang rendah.

Krauss (dalam Krahe, 2005) mengatakan bahwa fitur yang khas dari KDRT adalah tindakan tersebut jarang merupakan kejadian tunggal, tetapi cenderung berlangsung berulang-ulang, terus-menerus, dan dalam jangka waktu yang lama. Berbagai bentuk KDRT yang dilakukan oleh suami memberikan dampak pada fisik dan psikologis istri. Terlebih kekerasan yang kerap kali dilakukan secara berulang-ulang akan memperparah dampak yang akan dialami oleh istri.

Dampak bagi kesehatan fisik yang dikemukakan oleh Komnas Perempuan (2002) antara lain: luka-luka atau cedera ringan maupun berat, cacat tubuh permanen, penyakit seksual, gangguan siklus haid, gangguan nafsu


(22)

makan atau bahkan meninggal dunia. Sedangkan dampak psikologis yang dikemukakan oleh UNICEF (2000) antara lain: depresi, menghindar atau

withdrawal, harga diri yang rendah, kecemasan yang berat, ketakutan yang

berlebihan, perasaan bersalah dan malu, menyalahkan diri sendiri, isolasi sosial, penggunaan obat-obatan terlarang, menghindar dari kontak mata, penolakan terhadap pengobatan, merasa tidak nyaman dekat dengan penolong (caregiver), dan bunuh diri. Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis dari kekerasan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, gangguan seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan makan dan tidur yang merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan.

Adanya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengindikasikan bahwa terdapat relasi perkawinan yang tidak harmonis. Adanya hubungan di dalam keluarga yang tidak baik atau disorganisasi di dalam keluarga. Relasi pasangan dalam pernikahan sedang mengalami masalah. Permasalahan yang sedang dialami tidak dapat dibicarakan atau dikomunikasikan dengan baik, tetapi berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Akibat yang ditimbulkan dari KDRT tidak hanya dialami oleh perempuan atau istri sebagai korban tetapi juga dialami oleh anak-anak yang ada dalam rumah tangga tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung (Hartman, 1997; United Nations, 1989). Akibat secara langsung seperti mendapatkan tindak kekerasan secara nyata dan akibat secara tidak langsung yaitu berpengaruh terhadap pengasuhan dari orangtua.


(23)

Pengasuhan adalah proses orangtua mendampingi dan memberikan pendidikan atau pembelajaran kepada anak sejak kelahirannya hingga mencapai kedewasaan personal. Pengasuhan anak bertujuan untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak dan dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang (Sri Lestari, 2012). Pengasuhan merupakan bagian penting dalam sosialisasi, proses untuk anak dapat belajar dalam bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial. Menurut Darling (dalam Prasetyawati, 2000), pengasuhan merupakan aktivitas kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individual dan serentak dalam memengaruhi tingkah laku anak. Pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik melalui pengasuhan fisik, pengasuhan emosi, dan pengasuhan sosial (Hoghughi, 2004).

Orangtua menghadapi berbagai pilihan tentang seberapa besar mereka harus merespon kebutuhan anak, seberapa besar kendali yang harus diterapkan, dan bagaimana menerapkannya. Dalam hal ini orangtua diharapkan dapat memberikan pengasuhan yang efektif untuk membekali anak dengan karakter yang baik yang terbangun dari cara mengasuh yang diberikan oleh orangtua. Oleh karena itu, anak akan terbentuk sesuai dengan pengasuhan yang diberikan oleh pengasuh. Perilaku pengasuh dalam memberikan pengasuhan akan memengaruhi anak dalam masa tumbuh kembangnya.

Diana Baumrind (1991, 1993) meyakini bahwa orangtua berinteraksi dengan anak melalui empat cara atau empat jenis gaya pengasuhan, yaitu:


(24)

authoritarian, authoritative, neglectful, dan indulgent. Masing-masing gaya

pengasuhan akan menghasilkan atau memberikan pengaruh terhadap anak. Pada gaya pengasuhan authoritarian hasil yang biasanya muncul pada anak adalah cemas terhadap perbandingan sosial, kurang inisiatif, dan kemampuan komunikasi yang buruk. Pada gaya pengasuhan authoritative hasil yang biasanya muncul ialah kompeten secara sosial, mampu bergantung pada diri sendiri, dan bertanggung jawab secara sosial. Pada gaya pengasuhan neglectful dan indulgent hasil yang biasanya muncul adalah cemas terhadap perbandingan sosial, kurang inisiatif, dan kemampuan komunikasi yang buruk.

Hubungan di dalam keluarga menjadi tempat untuk anak mendapatkan kehangatan dan kenyamanan dalam pengasuhannya.Relasi diantara pasangan dapat memengaruhi cara orangtua bertindak terhadap anak (Schact, Cummings, & Davies, 2009). Situasi yang menunjukkan tidak adanya kerjasama antara ayah dan ibu sebagai figur penting yang bersifat dwitunggal dalam pemberian pengasuhan membuat anak-anak akhirnya akan mengembangkan keterampilan melakukan manipulasi.

Istri sebagai seorang ibu memiliki peran yang lebih banyak dalam pengasuhan anak. Figur ibu biasanya merupakan objek pertama dan utama dari kelekatan bayi, namun pada berbagai budaya, bayi juga dekat dengan ayah, saudara kandung, dan kakek-nenek (Hrdy, 1999). Di Indonesia, tampaknya ibu masih menjadi figur utama dalam kelekatan bayi. Adakala bayi atau anak dekat dengan ayah, saudara kandung, ataupun kakek-nenek, hal tersebut bersifat kontekstual. Misal, seorang anak lebih banyak ditinggal oleh ibunya


(25)

dikarenakan ibu yang bekerja, sehingga anak dititipkan pada nenek, tidak menutup kemungkinan anak akan lebih lekat kepada nenek dibandingkan dengan ibu. Hal ini dikarenakan anak lebih banyak waktu bersama nenek dalam proses tumbuh kembangnya dibandingkan dengan ibu yang sibuk bekerja.

Peran utama istri sebagai seorang ibu ialah memberikan pengasuhan sejak bayi kepada anak-anak (Santrock, 2012). Ibu ialah figur yang mampu memberikan kasih sayang dan perhatian untuk anak-anak. Segala perilaku dan kepribadian ibu akan menjadi dasar yang penting bagi anak untuk memulai hidupnya dengan optimis, pesimis, gembira, bergairah, murung, percaya pada diri sendiri, atau sebaliknya. Seorang anak yang terpenuhi kebutuhannya akan makan, tidur, kebersihan, kehangatan, dan perhatian dari lingkungan seperti kontak, belaian, perbincangan, lambat laun akan mampu mengatasi apa saja yang dihadapinya dengan penuh rasa percaya diri. Oleh karena itu, pengasuhan dari ibu dari segi fisik dan psikologis sangatlah berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu menjadi kunci utama.

Suami tidak berpikir panjang terhadap dampak yang akan terjadi ketika melakukan tindakan kekerasan kepada istri. Istri sebagai seorang ibu sangat berpengaruh dan berperan penting untuk mengasuh dan mendidik serta mendampingi anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan ketika suami sibuk dengan pekerjaan dalam mencari nafkah dan kurang memiliki waktu untuk mengikuti setiap proses yang dijalani oleh anak. Dalam teori psikososial Erik Erikson, tahap awal perkembangan anak adalah tahap awal anak untuk membangun kepercayaan dengan dunia luar. Pada tahap ini, sosok ibu paling


(26)

signifikan untuk membentuk kepribadian anak. Oleh karena itu, jika ibu mendapat tekanan melalui tindak kekerasan maka ibu cenderung tidak dapat berfungsi dengan baik untuk memberikan pengasuhan yang efektif kepada anak.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Indu, Manju Mahananda, dan Anshu (University Shiats Allahabad, 2015) menggunakan adaptasi skala pengasuhan dari Dr. Rajeev Lochan Bhardwaj (1995) dan adaptasi skala kematangan emosi dari Dr. Yashvir Singh dengan subjek penelitian 120 orang ibu (60 orang ibu normal dan 60 orang ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga) dan 120 orang anak (60 anak dari orangtua normal dan 60 anak orangtua yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara gaya pengasuhan orangtua normal dengan orangtua korban kekerasan dalam rumah tangga. Orangtua yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki derajat yang tinggi pada pengasuhan negatif dibandingkan dengan orangtua normal. Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kematangan emosional pada anak dengan orangtua normal dan anak dengan orangtua sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Anak dengan orangtua sebagai korban kekerasan menunjukkan derajat yang lebih rendah pada kematangan emosional dibandingkan pada anak dengan orangtua normal.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ibu memiliki peran penting dalam proses pengasuhan. Ibu yang menjadi korban KDRT mengalami


(27)

keadaan emosional yang mendalam dari dampak-dampak psikologis yang dialaminya. Pengalaman adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami ibu juga memupuk emosi negatif dalam dirinya seperti depresi, cemas, takut, sedih, dan marah. Hal tersebut membuat ibu kesulitan untuk menyediakan kebutuhan emosi akan keamanan dan kenyamanan yang konsisten bagi anak. Mereka cenderung sibuk mengelola emosi negatif seperti marah dan takut serta perasaan sedih dan kecewa bahkan depresi atas apa yang mereka alami sebagai korban KDRT.

Emosi-emosi negatif seperti kecemasan dan depresi sering kali membatasi perhatian (Basso, et al, 1996). Emosi negatif dianggap memiliki potensi untuk proses perhatian yang tidak teratur, sehingga sulit untuk mempertahankan fokus perhatian (Rothbart & Bates, 1998; Ruff & Rothbart, 1996). Tak jarang mereka juga kesulitan untuk mengelola emosi mereka sebagai korban kekerasan secara internal atau pribadi. Terbagi diantara rasa sedih, marah, kecewa dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak (Margaretha, 2012). Jika orangtua, khususnya ibu gagal memberikan dukungan emosional bagi anaknya, maka mengakibatkan kelekatan antara keduanya menjadi lemah (Levendosky, Huth- Bocks, & Semel, 2002). Selain itu, ibu juga dapat mengalami stres pengasuhan. Akibat yang ditimbulkan saat ibu mengalami stres pengasuhan adalah menurunnya kualitas dan efektivitas pengasuhan yang diberikan oleh ibu (Sri Lestari, 2012).

Tekanan dan keadaan emosional yang mendalam yang dialami oleh ibu sebagai korban kekerasan mengakibatkan pengasuhan yang tidak efektif dan


(28)

memungkinkan adanya pengasuhan yang salah terhadap anak. Dengan kata lain, anak dapat dikatakan tidak terawat atau cenderung terlantar karena keadaan ibu sebagai pengasuh yang menjadi korban kekerasan. Anak yang tidak terawat dengan benar seringkali menunjukkan keterlambatan bahasa (Coster, Gersten, Beeghly, & Cicchetti, 1989). Mereka seringkali terpuruk dalam tes kognitif, di sekolah, dan menunjukkan masalah perilaku (Dubowitz, 1999; Eckenrode, Laird, & Doris, 1993; Shonk & Cicchetti, 2001). Anak yang tidak terawat memiliki keterikatan yang tidak tertata dan tidak terorientasi serta memiliki konsep diri yang negatif dan terdistorsi (Papalia, 2008). Mereka tidak mengembangkan keterampilan sosial, karena bertindak secara agresif, mereka cenderung ditolak oleh teman sebaya (Bolger & Patterson, 2001; Price, 1996).

Perilaku agresif cenderung tumbuh dari masa kanak-kanak awal. Beberapa penyebab yang menimbulkan perilaku agresif ialah kombinasi atmosfer rumah yang membuat stres dan tidak menstimulasi, disiplin yang keras, serta kurangnya kehangatan dari ibu dan dukungan sosial. Dalam sebuah penelitian longitudinal, kelekatan yang tidak aman serta kurangnya kehangatan dan afeksi ibu dalam masa bayi memprediksi keagresifan pada masa kanak-kanak awal (Coie & Dodge, 1998; MacKinnon-Lewis, Starnes, Volling, dan Johnson, 1997).

Martin (2002) menjelaskan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kesulitan dalam menentukan pendekatan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan afeksi anak yaitu rasa aman dan nyaman. Hal ini membuat anak kesulitan dalam belajar


(29)

mengidentifikasi, memahami, dan memilih emosi yang tepat untuk diungkapkan dalam suatu relasi yang dekat. Ibu kurang dapat berperan menjadi panduan dalam memahami dan mengungkapkan emosi yang tepat sesuai dengan konteks. Misalnya, kemarahan ibu sebagai korban KDRT yang tidak tersalurkan dapat disalurkan pada perilaku kekerasan dalam pengasuhan anak. Selain itu, dalam situasi sebagai korban KDRT dan mengalami keadaan emosional yang mendalam dan dikuasai oleh emosi negatif, ibu kewalahan mengelola perasaannya sendiri sehingga mengalami kesulitan melakukan pengasuhan dan pengawasan terhadap anak (Edleson, 1999).

Selain KDRT yang memengaruhi pengasuhan yang diberikan kepada anak, terdapat faktor lain seperti karakter anak, karakteristik keluarga, dan karakteristik orangtua. Gaya pengasuhan memengaruhi anak dan anak turut memengaruhi gaya pengasuhan yang diberikan. Ketiga karakteristik tersebut memiliki andil dalam memengaruhi proses pengasuhan.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengasuhan ibu yang mengalami dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peneliti ingin mengetahui lebih dalam terkait bagaimana ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memberikan pengasuhan kepada anaknya, faktor yang turut serta memengaruhi pengasuhan yang diberikan, dan dampak yang didapatkan anak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus.


(30)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pengasuhan yang diberikan oleh ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, faktor yang berperan dalam pengasuhan, dan dampaknya terhadap anak?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengasuhan yang diberikan ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga atau terkait ekonomi keluarga. Selain itu juga, untuk melihat faktor yang turut memengaruhi pengasuhan yang diberikan oleh ibu kepada anaknya dan bagaimana dampak pengasuhan terhadap anak serta kekerasan di dalam keluarga.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan kontribusi kepada ilmu psikologi dengan memberi gambaran pengasuhan ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Penelitian ini juga memberikan gambaran aspek lain atau faktor yang berkontribusi serta memengaruhi pengasuhan yang diberikan oleh ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitian ini juga


(31)

memberikan gambaran dampak bagi anak yang memiliki ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau hidup dalam keluarga yang memiliki riwayat kekerasan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya bagi istri sebagai ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anak. Penelitian ini juga dapat membantu pemerintah untuk mencanangkan strategi penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri yang memiliki tugas dalam pengasuhan anak.


(32)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGASUHAN

1. Pengertian Pengasuhan

Pengasuhan merupakan tugas dan tanggungjawab kedua orangtua untuk anak. Orangtua bersifat dwitunggal dan menjadi satu kesatuan dalam memberikan pengasuhan. Pengasuhan adalah proses orangtua mendampingi dan memberikan pendidikan atau pembelajaran kepada anak sejak kelahirannya hingga mencapai kedewasaan personal. Pengasuhan merupakan sebuah proses yang menunjukkan terjadinya suatu interaksi antara orangtua-anak yang berkelanjutan dan proses tersebut memberikan suatu perubahan pada kedua belah pihak (Brooks, 1991). Pengasuhan anak bertujuan untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak dan dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang (Sri Lestari, 2012).

Pengasuhan mengacu pada semua aspek perkembangan anak itu sendiri. Memberikan pengasuhan pada anak dikenal sebagai hal penting yang memengaruhi pengalaman, dan mengubah secara emosional, sosial, dan intelektual. Pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam sosialisasi, menjadi proses dimana anak belajar untuk bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial.

Pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik (Hoghughi, 2004). Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi (2004) lebih


(33)

menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Jerome Kagan mendefinisikan pengasuhan sebagai serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada anak, mencakup apa yang harus dilakukan oleh orangtua atau pengasuh agar anak mampu bertanggungjawab dan memberikan kontribusi sebagai anggota masyarakat. Selain itu, pengasuhan juga terkait dengan apa yang harus dilakukan oleh orangtua atau pengasuh ketika anak menangis, marah, berbohong, dan tidak melakukan kewajibannya dengan baik (Berns, 1997).

Pada dasarnya, ada tiga tujuan orangtua dalam memberikan pengasuhan pada anak. Pertama, orangtua ingin anaknya mampu bertahan dan sehat secara jasmani. Kedua, orangtua berharap anak-anaknya dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat mandiri secara finansial. Ketiga, berkaitan dengan cita-cita, kepercayaan regilius, dan kepuasan pribadi (Levine dalam Martin & Colbert, 1997).

Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan mencakup (1) interaksi antara anak, orangtua, dan masyarakat lingkungannya, (2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orangtuanya, (3) pemenuhan tanggungjawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak dan orangtua, dan (4) proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns, 1997).

Pada tahun-tahun pertama proses kehidupan anak adalah kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik,


(34)

mental, dan psikososial yang berjalan sedemikian cepat sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama sebagian besar menentukan hari depan anak. Masa kanak-kanak menengah merupakan masa penting dalam pengasuhan orangtua, terutama dalam segi kedisiplinan dan tingkah laku anak berhubungan dengan sekolah (Brooks, 1991). Pada masa ini, orangtua biasanya melakukan hal-hal seperti memeriksa tugas sekolah, menentukan target belajar yang harus dicapai anak, dan membantu anak menyesuaikan diri dengan guru dan teman baru. Biasanya peran ayah dan ibu berbeda. Ibu mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga dan lebih berinteraksi dengan anak, sedangkan ayah lebih melakukan hal-hal yang bersifat permainan fisik dan memberi perhatian yang sama baik pada anak laki-laki maupun perempuan (Brooks, 1991). Pada masa ini, anak mulai membuat keputusan sendiri dan orangtua menjadi pengawasnya serta membuat keputusan terakhir. Pembagian kontrol ini menjadi jembatan pada masa pra-remaja ke masa remaja, sehingga anak dapat terbiasa dengan kontrol yang lebih besar. (Brooks, 1991). Bila anak mendapatkan stimulasi, diterima, dan memperoleh kehangatan, maka akan berpengaruh sangat positif bagi perkembangan yang sehat (Rutter, 1972)

Berdasarkan uraian diatas, pengasuhan ialah sebuah proses yang berupa sikap dan tindakan dari orangtua terhadap anak yang dilandasi rasa kasih sayang untuk mendukung masa tumbuh-kembang anak sehingga


(35)

anak dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki, mandiri, dan bertingkah laku sesuai dengan standar dan harapan sosial. 2. Gaya Pengasuhan

Praktik pengasuhan orangtua-anak penting dalam membentuk kemampuan sosial anak. Menurut penelitian klasik oleh psikolog perkembangan, Diana Baumrind, terdapat empat kategori utama yang menggambarkan gaya pengasuhan yang berbeda.

a. Gaya pengasuhan authoritarian atau otoriter

Merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan menghukum. Orangtua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghargai kerja keras serta usaha. Orangtua yang kaku dan penghukum serta menghargai kepatuhan tanpa adanya pertanyaan dari anak-anak. Orangtua authoritarian menentang ekspresi ketidaksetujuan. Orangtua authoritarian secara jelas membatasi dan mengendalikan anak dengan sedikit pertukaran verbal. Orangtua authoritarian mendesak anak agar mengikuti pengarahan mereka serta menghormati pekerjaan dan jerih payah mereka. Orangtua authoritarian menempatkan batasan-batasan yang tegas pada anak serta tidak banyak memberi peluang kepada anak untuk bermusyawarah. Orangtua sedikit menunjukkan kehangatan dan dukungan. Gaya pengasuhan authoritarian diasosiasikan dengan ketidakmampuan anak secara sosial. Anak dari orangtua yang authoritarian sering kali gagal untuk memulai aktivitas, memiliki kemampuan komunikasi yang


(36)

buruk dan membandingkan dirinya dengan orang lain, cenderung lebih kaku dalam lingkungan sosial, tidak ramah, dan relatif menarik diri. Selain itu, anak dengan pola pengasuhan seperti ini biasanya memiliki kecenderungan moody, murung, ketakutan, sedih, dan tidak spontan (Martin & Colbert, 1997). Anak juga menggambarkan kecemasan dan rasa tidak aman dalam berhubungan dengan teman sebaya dan menunjukkan kecenderungan bertindak keras saat tertekan, serta memiliki harga diri yang rendah (Berk, 2012).

b. Gaya pengasuhan authoritative

Mendorong anak untuk mandiri namun tetap meletakkan batas-batas dan kendali atas tindakan mereka. Orangtua yang ketat, menentukan batasan yang jelas, serta memberikan alasan dan penjelasan kepada anak. Pertukaran verbal masih diizinkan dan orangtua menunjukkan kehangatan serta mengasuh anak mereka. Orangtua memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang ke arah yang positif (Berk, 2012). Gaya pengasuhanauthoritative ditandai dengan tiga perilaku pengasuhan, yaitu: kehangatan, keseimbangan kekuasaan, dan adanya tuntutan (Baumrind, dkk dalam Martin & Colbert, 1997). Kehangatan terdiri atas kedekatan emosional dan hubungan anak dengan orangtua. Keseimbangan kekuasaan mengkhususkan pada bagaimana orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang demokratis dengan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dan memberikan kesempatan mengemukakan pendapat. Orangtua


(37)

memberikan penguatan yang positif daripada memberikan hukuman yang keras. Anak-anak dengan orangtua authoritative cenderung lebih kompeten bersosialisasi, memiliki kecakapan sosial yang tinggi, kooperatif, ceria, enerjik, percaya diri, memiliki keingintahuan yang besar, berorientasi pada prestasi, menyenangkan, dapat diandalkan, mandiri, dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi, dan bertanggungjawab secara sosial.

c. Gaya pengasuhan neglectful

Merupakan gaya gaya pengasuhan dimana orangtua tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak dengan orangtua neglectful memiliki kebutuhan yang kuat atas perhatian orangtua mereka. Mereka mungkin merasa bahwa ada hal lain dalam kehidupan orangtua dibandingkan dengan diri mereka. Anak-anak dengan orangtua neglectful merasa tidak disayang dan secara emosional terlepas dari orangtuanya, cenderung kurang mampu bersosialisasi, buruk dalam hal kemandirian atau ketergantungan, memperlihatkan ketidakmatangan, mood yang cepat berubah, dan terutama menunjukkan kendali diri yang buruk atau kontrol diri yang rendah. Penelitian mengungkapkan bahwa ibu dengan pola pengasuhan seperti ini akan memiliki anak yang deficit dalam fungsi fisiologisnya, penurunan kemampuan intelektual, kesulitan dalam attachment, serta pemarah (Egeland & Sroufe dalam Prasetyawati, 2000).


(38)

d. Gaya pengasuhanindulgent atau permisif

Merupakan gaya pengasuhan dimana orangtua terlibat dengan anak namun memberikan hanya sedikit batasan atau kendali pada anak. Orangtua yang demikian memberikan anak-anak melakukan apa yang diinginkan. Orangtua yang memberikan anak perasaan santai dan arahan yang tidak konsisten. Adanya kebebasan yang berlebihan tidak sesuai untuk perkembangan anak, yang dapat mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang lebih agresif dan impulsif (Martin & Colbert, 1997). Orangtua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara demikian, karena mereka percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat serta sedikit batasan akan menciptakan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak-anak dengan orangtua indulgent seringkali memiliki kompetensi sosial yang buruk. Mereka sering gagal untuk belajar menghargai orang lain, tidak dapat mengontrol diri, selalu berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan, tidak mau patuh, sulit mengendalikan perilaku, tidak bertanggungjawab, suka melawan, impulsif, dan sedikit memiliki jiwa kepemimpinan.

Pengasuhan yang diberikan kepada anak, juga dapat dikategorikan pada pengasuhan yang positif dan pengasuhan yang negatif. Beberapa tipe atau gaya pengasuhan negatif pada anak (Inayati, 2011), yaitu:


(39)

a. Memerintah

Orangtua mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat, sehingga banyak memerintah dan anak harus patuh pada orangua dan anak tidak memiliki pilihan.

b. Menyalahkan

Orangtua ingin memberitahu kepada anak tentang kesalahan mereka. Anak merasa tidak pernah benar dan dianggap tidak baik oleh orangtua. Contohnya, anak memiliki masalah dengan salah seorang temannya sehingga membuat temannya tersebut celaka, orangtua langsung menyalahkan anak dan memberikan judge pada anak. Ketika ada sesuatu hal buruk terjadi, orangtua menyalahkan anak dan mencap bahwa anak turut terlibat.

c. Meremehkan

Orangtua ingin menunjukkan ketidakmampuan anak, menunjukkan orangtua lebih tahu atau lebih benar. Anak merasa tidak berharga dan tidak mampu melakukan apapun. Sebagai contohnya, ketika anak tidak

dapat melakukan sesuatu, orangtua sering berkata “begitu saja tidak bisa”.

d. Mencap atau melabel

Orangtua ingin memberitahu kepada anak tentang kekurangan anak supaya anak berubah. Akan tetapi, dengan sikap orangtua yang demikian anak merasa begitulah dirinya seperti yang dilabelkan padanya. Seperti, kamu bodoh, kamu nakal, dan lain-lain.


(40)

e. Membandingkan

Orangtua ingin memotivasi anak dengan memberi contoh orang lain. Anak merasa orangtua pilih kasih dan dirinya lebih jelek atau lebih buruk dibandingkan dengan orang lain.

f. Mengancam

Orangtua ingin anaknya menjadi anak yang patuh dan penurut dengan cepat. Akan tetapi, dengan sikap yang demikian anak sering merasa cemas atau takut dengan alasan yang tidak jelas.

g. Menasehati atau ceramah

Orangtua ingin anak mengetahui mana yang baik dan buruk. Akan tetapi, anak menilai orangtua, terlalu sok tahu dan cerewet, sehingga anak merasa bosan. Terkadang orangtua, selalu merasa dengan menceramahi, anak akan langsung berubah seperti apa yang mereka inginkan. Namun pada dasarnya, semakin banyak orangtua berceramah

anak akan mengalami “kelebihan muatan” pada otaknya dan membuat

anak tidak suka terhadap orangtuanya sendiri. h. Membohongi

Orangtua ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang mudah dan praktis. Akan tetapi, anak merasa orangtua tidak dapat dipercaya karena selalu dibohongi oleh orangtua.

i. Menghibur

Orangtua ingin anak tidak merasa sedih dan kecewa, supaya anak selalu senang. Anak terbiasa lari dari masalah, sulit menerima


(41)

kenyataan yang ada karena orangtua yang selalu menyembunyikan kenyataan.

j. Mengkritik

Orangtua ingin anak untuk memperbaiki kesalahan dan meningkatkan kemampuan dirinya. Akibatnya anak merasa terlalu serba kurang atau selalu salah dimata orangtua.

k. Menyindir

Orangtua ingin memotivasi dan mengingatkan supaya tidak mengulang kesalahan yang sama, dengan membalik pertanyaan anak menjadi sakit hati kepada orangtua karena sindiran yang diberikan.

l. Menganalisa

Orangtua menduga penyebab positif atau negatif anak ketika anak terlibat suatu masalah supaya bisa mencegah agar masalah tidak terulang kembali. Akan tetapi, anak menganggap orangtua sok pintar. m. Mengabaikan

Sikap orangtua kepada anak seperti tidak mau mendengar apapun yang diungkapkan oleh anak atau dengan mengisolasi anak dalam ruangan tertutup sebagai hukuman.

n. Menyakiti Fisik

Perlakuan orangtua kepada anak dapat berupa pukulan atau cubitan atau apapun. Meskipun tidak meninggalkan bekas ditempat yang disakiti, tindakan orangtua yang demikian akan menimbulkan bekas


(42)

dihati dan ingatan anak. Bahkan tidak akan hilang seumur hidup tanpa maaf dan keinginan darinya untuk berdamai dengan luka tersebut.

Menurut Hughoghi (2004), prinsip pengasuhan lebih menekankan pada pengasuhan fisik, emosi, dan sosial. Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik yaitu dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya.

Pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasingkan dari teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi merupakan pengasuhan yang membuat anak untuk merasa dihargai sebagai seorang individu, membantu anak untuk mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan mengetahui resiko. Pengasuhan emosi bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungan, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistik pada hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak.

Pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.


(43)

Pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun sekolah dan membantu anak belajar bertanggungjawab secara sosial (Hughoghi, 2004).

Secara keseluruhan pengasuhan ialah cara orangtua mendidik anak, mengajarkan anak ke arah yang baik atau lebih baik, seperti cara bersikap, terkait pendidikan, religiusitas, dan lain-lain. Pengasuhan juga ditunjukkan dari adanya interaksi yang terjalin serta adanya komunikasi antara orangtua dan anak. Respon orangtua kepada anak juga menjadi bagian dalam pengasuhan, seperti kepekaan orangtua terhadap keadaan anak, cara orangtua menyikapi kebutuhan anak, kemampuan anak, permasalahan anak, dan lain-lain. Selain itu, adanya tujuan orangtua terhadap anak menjadi bagian yang menggambarkan pengasuhan yang diberikan oleh orangtua. Tujuan yang orangtua miliki sebagai pengasuh menunjukkan bahwa adanya impian agar anak memiliki kehidupan yang lebih baik ke depannya.

3. Peran Keluarga, Orangtua, dan Ibu

Keluarga merupakan lingkungan sosial utama anak dalam tumbuh-kembangnya. Keluarga memberikan dukungan sosial dan lingkungan yang penting pada proses pembelajaran mengenai manusia, situasi, dan keterampilan. Pengaruh paling penting dari lingkungan keluarga pada perkembangan anak berasal dari suasana dalam rumah, apakah atmosfer di


(44)

dalam keluarga mendukung dan mencintai atau penuh dengan konflik. Apabila keluarga mengalami stres, terutama orangtua, maka lingkungan hidup anak memperoleh tekanan dan tekanan tersebut juga dirasakan oleh anak selaku anggota keluarga. Stres yang dirasakan orangtua akan menambah beban stres dalam memberikan pengasuhan kepada anak. Hal penting dalam perkembangan anak bukanlah kuantitas yang diluangkan orangtua untuk anaknya tetapi kualitas pengasuhan yang lebih penting (Benzies, Keown, & Magill-Evans, 2009; Chen, 2009a, b; Gross dkk, 2009).

Perilaku orangtua dapat memengaruhi kepribadian anak, bahkan pada awal-awal kehidupan. Adanya kedekatan fisik dan gaya pengasuhan orangtua dapat membantu anak untuk berkembang. Pengasuhan yang penuh dukungan dan kasih sayang, memberikan aspirasi pendidikan yang sesuai dengan kemampuan anak, penekanan pada peraturan yang konsisten, komunikasi yang terbuka, serta menghormati keberadaan anak, dapat membantu anak menjadi anak yang ceria, percaya diri, mandiri, dapat menghargai orang lain, dan berhasil di sekolah.

Pengasuhan yang diberikan orangtua akan memengaruhi motivasi dan keberhasilan anak dalam sekolah. Pengasuhan efektif mengandalkan kondisi hidup, mental baik orangtua, pernikahan bahagia, dan kondisi ekonomi yang baik (Schoppe-Sullivan dkk. 2007). Relasi diantara pasangan dalam keluarga dapat memengaruhi cara bertindak mereka sebagai orangtua terhadap anak (Schact, Cummings, & Davies, 2009).


(45)

Locke dan Newcombe (2003) menjelaskan bahwa ketidaklayakan perlakuan pada anak dalam pengasuhan terkait dengan disfungsi keluarga.

Berdasarkan sebuah studi pada 226 keluarga dari etnis berbeda yang memiliki anak-anak usia sekolah (Kaczynsky, Lindahl, Malik, &Laurenceau, 2006), konflik pernikahan secara konsisten berhubungan dengan pengasuhan yang tidak efektif. Anak dapat terekspos perselisihan orangtua serta pengasuhan yang buruk cenderung menunjukkan tingginya tingkat perilaku internalisasi seperti kecemasan, ketakutan, dan depresi, serta perilaku eksternalisasi seperti agresif, perkelahian, ketidakpatuhan, dan permusuhan.

Peran utama istri sebagai seorang ibu ialah memberikan pengasuhan sejak bayi kepada anak-anak (Santrock, 2012). Dalam teori psikososial Erik Erikson, tahap awal perkembangan anak adalah tahap awal anak untuk membangun kepercayaan dengan dunia luar. Pada tahap ini, sosok ibu paling signifikan untuk membentuk kepribadian anak.

Dorongan keibuan yang mengikat ibu dengan anaknya sejak awal merupakan dorongan instinktif yang berhubungan erat dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis. Ibu selalu mengalami kontak batin dengan anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan perlindungannya. Seringkali faktor yang mengikat cinta ibu terhadap anaknya dengan suatu realitas yang penting adalah karena ibu menyiapkan dirinya secara mutlak untuk kehidupan anak.


(46)

Istri sebagai ibu rumah tangga juga memiliki tugas sebagai pendidik bagi anak-anaknya; mampu menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia, dan bebas; menciptakan suasana rumah tangga yang semarak; memberikan rasa aman, nyaman, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih sayang. Iklim psikologis yang penuh kasih sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan dapat memberikan vitamin psikologis yang merangsang pertumbuhan anak menuju pada kedewasaan. Selain itu, ibu juga menjadi model tingkah laku untuk anak dan mudah diamati serta ditiru; menjadi pendidik yang memberikan arahan, dorongan, dan pertimbangan bagi perbuatan anak-anak untuk membentuk perilaku; menjadi konsultan yang memberikan nasihat; dan menjadi sumber informasi yang memberikan pengetahuan, pengertian, dan penerangan (Papalia Olds Feldman, 2008). Masa depan anak, baik dan buruknya kepribadian anak, akan sangat beruntung dari seberapa peran ibu dalam proses pendidikan anak.

Pengasuhan dari ibu dari segi fisik dan psikologis sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Segala perilaku dan kepribadian ibu akan menjadi dasar yang penting bagi anak untuk memulai hidupnya dengan optimis, pesimis, gembira, bergairah, murung, percaya pada diri sendiri, atau sebaliknya. Seorang anak yang terpenuhi kebutuhannya akan makan, tidur, kebersihan, kehangatan, dan perhatian dari lingkungan seperti kontak, belaian, perbincangan, lambat laun akan


(47)

mampu mengatasi apa saja yang dihadapinya dengan penuh rasa percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas, keluarga adalah lingkungan sosial yang utama untuk proses tumbuh-kembang anak. Apabila iklim di dalam keluarga tidak baik, akan mendukung suasana stres yang menyebabkan orangtua mengalami tekanan dan tekanan tersebut juga akan dirasakan oleh anggota keluarga yang lain, yaitu anak. Selain itu, ibu memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memberikan pengasuhan kepada anak sejak bayi. Iklim psikologis yang ada pada ibu dan diberikan dari ibu sebagai figur pengasuh akan memberikan dampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

4. Faktor yang Memengaruhi Pengasuhan

Terdapat tiga karakteristik faktor yang memengaruhi gaya pengasuhan, yaitu:

a. Karakteristik anak i. Usia

Semakin bertambah usia anak, interaksi antara orangtua dan anak akan berubah.

ii. Temperamen

Walaupun temperamen individual ditentukan saat lahir, faktor lingkungan memiliki peran penting untuk menentukan tingkah laku dapat dimodifikasi. Temperamen orangtua juga berpengaruh dan


(48)

memengaruhi gaya pengasuhan serta bagaimana orangtua merespon tingkah laku anak.

iii. Gender

Orangtua menyediakan lingkungan sosialisasi yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Orangtua mendorong anak perempuan agar lebih bergantung, penuh kasih sayang, dan emosional. Semakin anak laki-laki bertambah usia, semakin mendapatkan kebebasan yang lebih dibandingkan yang didapatkan anak perempuan.

b. Karakteristik keluarga i. Jumlah saudara

Antara orangtua dan anak dipengaruhi jumlah anak dalam keluarga. Orangtua dari keluarga yang besar, terutama dengan lingkungan rumah yang sempit dan ekonomi yang terbatas, cenderung lebih otoriter dan lebih sering menggunakan hukuman fisik dan kurang menjelaskan peraturan mereka dibandingkan keluarga kecil.

ii. Konfigurasi

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terhadap anak pertama dan anak bungsu berbeda, meski dalam usia yang sama. iii. Kemampuan coping dan stres

Orangtua yang merasa lelah, khawatir, atau sakit dan yang merasa kehilangan kontrol dari kehidupannya sering merasa tidak sabar.


(49)

Tipe stressor, kepribadian, dan hubungan dalam keluarga serta dukungan sosial memengaruhi kemampuan orangtua mengatasi tekanan tersebut.

iv. Lingkungan sosial

Hal ini mencakup hubungan orangua, anak, dan orang lain secara satu sama lain, seperti yang dikatakan oleh Brofenbrenner dalam Teori Ekologi. Lingkungan sosial mencakup mikrosistem, yaitu anak dengan ibu, tetangga, dan teman sekolah yang berhubungan secara langsung.

v. Status ekonomi dan sosial

Hal ini mencakup pendidikan orangtua, pendapatan, dan pekerjaan orangtua. Hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan memiliki hubungan dengan pengasuhan seperti bagaimana orangtua membagi konsentrasi dan mengatasi stres.

vi. Dukungan sosial

Hal ini mencakup masyarakat mengenai tindakan orangtua terhadap anak. Dukungan sosial yang diberikan termasuk dukungan emosional, dukungan instrumental, seperti bantuan dan saran, serta model pengasuhan.

c. Karakteristik orangtua i. Kepribadian

Orang dewasa berbeda dalam tingkat kedewasaan, tenaga, kesabaran, inteligensi, dan sikap. Hal ini memengaruhi sensitivitas


(50)

terhadap kebutuhan anak, harapan terhadap anak, serta kemampuan mengatasi tuntutan sebagai orangtua.

ii. Sejarah perkembangan orangtua

Hal ini termasuk masa kanak-kanak orangtua yang memengaruhi gaya pengasuhan yang mereka terapkan. Saat menjadi orangtua, mereka cenderung menerapkan pengasuhan yang mereka dapatkan kepada anak.

Dari uraian diatas, terdapat tiga karakteristik yang memengaruhi pengasuhan atau gaya pengasuhan yang diberikan orangtua, yaitu karakteristik anak, keluarga, dan orangtua.

B. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu pola pemaksaan kehendak atas seseorang terhadap pasangannya dengan menggunakan serangan dan ancaman termasuk penyiksaan secara fisik, mental atau emosional dan juga penguasaan secara ekonomis. Kekerasan terjadi karena ketidakseimbangan antara suami dan istri baik secara fisik, dan ekonomi kepada yang lemah, antara yang dominan kepada yang kurang dominan dan antara yang berkuasa dan yang tidak berdaya (LPKP2, 2003).

Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 pasal 1, kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara


(51)

fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut Laporan Bank Dunia (1994), bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak adalah penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim (Intimate

Partner Violence)yang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol,

yaitu penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istri melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual, dan ekonomi.

Berdasarkan uraian diatas, kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan terhadap perempuan melalui penyiksaan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi yang memberikan dampak terhadap perempuan sebagai korban.

2. Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Komnas Perempuan (2002) dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat berupa: a. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan seperti memukul, menampar, menjambak, menginjak, mendorong, melempar barang, sampai dengan melakukan pembunuhan seperti menusuk dan membakar. Perlakuan ini


(52)

akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah, atau bekas luka lainnya.

b. Kekerasan psikologis atau emosional

Kekerasan psikologis atau emosional merupakan kekerasan emosional berupa ucapan-ucapan yang menyakitkan, kotor, membentak, menghina, menyudutkan ataupun mengancam. Kekerasan psikologis atau emosional ialah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pelaku sering memutarbalikkan fakta, istri selalu dilihat sebagai pihak yang bersalah, sementara suami selalu berada dipihak yang benar.

c. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual ialah perbuatan pengisolasian atau menjauhkan istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, dan tidak memerhatikan kepuasan pihak istri. Tindak kekerasan yang dilakukan, seperti pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seks, pemukulan dan kekerasan yang dilakukan sebelum melakukan hubungan seks, pornografi, penghinaan seksualitas melalui bahasa verbal, dan lain-lain.

d. Kekerasan ekonomi

Kekerasan yang dilakukan, seperti tidak memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sementara melarang istri untuk bekerja, menghambur-hamburkan uang sementara istri dan anak


(53)

kekurangan, memperkerjakan istri atau menguasai uang atau barang milik istri dan sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas, jenis kekerasan dalam rumah tangga ialah kekerasan secara fisik, psikologis atau emosional, seksual, dan ekonomi atau penelantaran rumah tangga.

3. Karakteristik Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam Dewi (2007), menyebutkan beberapa karakteristik pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga (Marwick, 1998; Old Sally, 2004, Strack, 1996)yaitu, laki-laki atau suami sebagai pelaku berdampak dari adanya pengaruh dalam keluarga, seperti perilaku kasar dalam keluarga, kurangnya pengajaran agama, kemungkinan dengan status ekonomi yang rendah, peran-peran jenis kelamin yang bersifat tradisional dan agresif untuk laki-laki, dan terjadi disfungsi dalam sistem keluarga.

Pembawaan personal juga mendorong pelaku untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga, seperti perasaan tidak adekuat, inferior, sering menyalahkan orang lain karena tindakannya sendiri, memiliki kecemburuan yang berlebihan, ingin memiliki, cepat marah, tidak menerima diri, agresif, memiliki emosi yang belum matang, tidak dapat mengontrol diri sendiri, dan tidak menaruh hormat pada perempuan. Pengaruh gaya hidup juga menjadi pendukung laki-laki menjadi pelaku kekerasan, seperti penyalahgunaan konsumsi alkohol, perselisihan verbal, sulit mendapatkan


(54)

pekerjaan, membatasi kebebasan perempuan, kurang aktif bergerak, dan membatasi diri untuk berhubungan dengan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, karakteristik pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari faktor pengaruh keluarga, pembawaan personal, dan pengaruh gaya hidup.

4. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam Dewi (2007) menyebutkan bahwa perempuan atau istri sebagai korban berdampak dari pengaruh dalam keluarga seperti mendapatkan perilaku kasar dalam keluarga, kurangnya pengajaran agama, kemungkinan dengan status sosial ekonomi yang rendah, peran jenis kelamin yang masih bersifat tradisional seperti menerima dan pasif, dan terjadi disfungsi dalam sistem keluarga.

Pembawaan personal seperti self esteem yang rendah, pernah mengalami kekecewaan, merasa bertanggungjawab untuk disakiti, mudah merasa frustasi, merasa bersalah dan tidak berguna, senang menyendiri dan mengisolasi diri, sering merasa tidak percaya dengan orang lain, penakut, menolak perilaku kasar, marah dan takut menjadi penguat untuk perempuan atau istri menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengaruh gaya hidup juga menjadi salah satu pendukung yang menjadikan perempuan sebagai korban dari kekerasan, seperti penyalahgunaan konsumsi alkohol, perselisihan verbal, ketergantungan kebutuhan dan keuangan pada suami,


(55)

dan terisolasi sumber-sumber pendukung seperti keluarga, teman, dan kelompok.

Berdasarkan uraian diatas, karakteristik korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari faktor pengaruh keluarga, pembawaan personal, dan pengaruh gaya hidup.

5. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam Keumalahayati (2007), Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai sumber daya yang superior dibandingkan dengan perempuan, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan perempuan. Menguasai atau memukul istri merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan (Sciortino & Smyth, 1997; Suara APIK, 1997). Peran gender maskulin yang dimiliki laki-laki menuntut dirinya memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan kekuatan dan status sebagai laki-laki.

b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja, sehingga mengakibatkan perempuan atau sebagai istri ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri


(56)

cenderung mengalami tindak kekerasan. Ketergantungan secara ekonomi istri terhadap suami berkaitan erat dengan kekerasan suami yang berat (Berkowitz, 1994). Selain itu, terkait ketergantungan istri terhadap suami, hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa semakin besar ketergantungan psikologis istri terhadap suami maka semakin besar kecenderungan istri diperlakukan kasar oleh suami (ditampar, didorong dengan kasar, dan lain-lain).

c. Beban pengasuhan anak

Ketika istri tidak memiliki pekerjaan, maka tugas pengasuhan ditanggung oleh istri. Oleh karena itu, ketika terjadi sesuatu hal terhadap anak, maka suami akan cenderung menyalahkan istri.

d. Perempuan sebagai anak-anak

Konsep perempuan sebagai hak milik laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan. Laki-laki merasa memiliki hak untuk melakukan kekerasan layaknya sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi perempuan sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda dan ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi


(57)

suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

Faktor lain yang mendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah stres lingkungan, seperti kemiskinan dan pengangguran. Situasi yang stres seperti adanya konflik dalam pernikahan juga berkontribusi sebagai faktor pendorong. Selain itu, isolasi sosial dan adanya pengalaman menggunakan hukuman fisik yang diberikan oleh orangtua. Kontrol impuls yang buruk yang dimiliki suami dan harga diri yang rendah juga menjadi bagian dalam faktor yang mendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Zastrow & Browker (dalam Wahab, 2006), terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan terjadinya kekerasan yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol. Pertama, teori biologis menunjukkan bahwa manusia mempunyai insting agresif yang dibawa sejak lahir. Selain itu, perlakuan kasar merujuk pada perilaku agresi yang menjadi bagian perilaku yang dipelajari dan dipelajari di rumah. Kedua, teori frustasi-agresi menunjukkan bahwa kekerasan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Orang frustasi cenderung terlibat dalam tindakan agresif. Biasanya orang frustasi juga cenderung menyerang sumber frustasi atau memindahkan frustasinya kepada orang lain. Ketiga, teori kontrol menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu mengontrol dan mengendalikan perilaku yang impulsif dengan baik. Jadi kekerasan


(58)

cenderung dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan dekat yang berarti dengan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan di bidang ekonomi, beban pengasuhan, anggapan perempuan seperti anak-anak, orientasi peradilan pidana pada laki-laki, kemiskinan dan pengangguran.

6. Dampak Kekekerasan Dalam Rumah Tangga

a. Dampak Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Korban Secara Langsung

Kekerasan yang didapatkan istri menimbulkan dampak secara fisik dan psikologis. Dampak fisik yang dirasakan, seperti luka-luka atau cedera ringan maupun berat, lebam, cacat tubuh permanen, penyakit seksual, gangguan siklus haid, gangguan nafsu makan atau bahkan meninggal dunia (Komnas Perempuan, 2002). Selain itu, patah tulang, luka bakar, dan kerusakan otak sebagai akibat langsung dari kekerasan yang diterima (Chrisler & Ferguson, 2006; Stark, 2009). Beberapa bulan setelahnya, dampak yang dialami seperti sakit kepala, nyeri perut, nyeri panggul, dan gangguan kronis lainnya (O, Barnett et al., 2005; Logan et al., 2006).

Dampak yang dirasakan secara psikologis seperti depresi, menghindar atau withdrawal, harga diri yang rendah, kecemasan yang


(59)

berat, ketakutan yang berlebihan, perasaan bersalah dan malu, menyalahkan diri sendiri, isolasi sosial, penggunaan obat-obatan terlarang, menghindari kontak mata, penolakan terhadap pengobatan, merasa tidak nyaman dekat dengan penolong atau caregiver, dan bunuh diri (UNICEF, 2000). Rasa takut, cemas, letih, gangguan Post-Traumatic

Stress Disorder (PTSD), gangguan makan dan tidur merupakan reaksi

panjang dari tindak kekerasan (Suryakusuma, 1995).

Dampak psikologis yang dirasakan oleh istri sebagai korban kekerasan juga memengaruhi perilaku dan motivasi, seperti pasif, menyerah, dan menunda hal yang akan dilakukan. Dampak psikologis yang dirasakan juga mengakibatkan kemampuan kognitif, seperti penurunan kemampuan dalam menyelesaikan masalah, frustasi, dan harga diri yang rendah. Sedangkan efek lain yang dirasakan yaitu adanya penurunan emosional termasuk depressed mood yang diikuti hasil akhir yang negatif (Cemalcilar, Canbeyli, dan Sunar, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, dampak yang dirasakan oleh istri sebagai korban kekerasan secara langsung ialah dampak secara fisik dan psikologis. Dampak fisik yang dirasakan berupa rasa sakit pada fisik. Sedangkan dampak psikologis yang dirasakan memberikan pengaruh terhadap keadaan psikis korban dan memengaruhi aspek-aspek dalam kehidupannya.


(60)

b. Dampak Kekerasan Terhadap Anak Sebagai Korban Secara Tidak Langsung

Marianne James pada tahun 1994 (dalam Wahab, 2006), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, kemampuan kognitif anak, kemampuan pemecahan masalah, dan fungsi untuk mengatasi masalah emosi. Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak anak usia bayi hingga anak usia sekolah.

Jaffe dkk, 1990 (dalam Wahab, 2006) mengungkapkan bahwa anak bayi yang menyaksikan kekerasan yang terjadi pada kedua orangtuanya sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang buruk, dan teriakan yang berlebihan. Kondisi tersebut berlanjut pada ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yang sering kali tampak dalam permasalahan emosi anak, bahkan sangat berkaitan dengan persoalan kelancaran komunikasi anak.

Dalam Wahab (2006), dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak balita digambarkan dengan masalah perilaku, seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki harga diri yang rendah, dan memiliki masalah selama pengasuhan terutama permasalahan sosial, seperti memukul, menggigit, dan suka mendebat. Selain itu, stres yang dirasakan anak balita sebagai dampak dari menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi juga ditandai dengan mudah menangis,


(61)

kurang atau mundurnya kemampuan berbahasa, toilet training, gangguan tidur, dan persoalan kelekatan ketika anak mudah takut dan stres ditinggal pengasuhnya (dalam Margaretha, 2007; 2010).

Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak usia pra-sekolah ditunjukkan dengan emosi negatif anak yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti dengan rasa sedih dan adanya keinginan anak untuk menghalangi dan ikut campur. Sebagian anak tidak menunjukkan emosinya akan tetapi setelahnya menjadi marah. Selain itu, juga terdapat anak yang terlihat biasa saja bahkan terlihat bahagia, namun sebagian besar dari mereka menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebaya.

Dalam Margaretha (2007; 2010) mengungkapkan bahwa anak yang berada di masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga usia 6-7 tahun) yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dapat memunculkan lebih banyak permasalahan perilaku, permasalahan relasi sosial, gejala post-traumatic stress disorder (PTSD), dan kesulitan mengembangkan empati jika dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001).

Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan tingkat distress yang lebih tinggi. Delange (1986) melalui pengamatannya melihat bahwa kekerasan dalam rumah tangga berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia


(62)

pra-sekolah. Jaffe dkk (1990) mengungkapkan bahwa pada usia sekolah dasar, orangtua menjadi role model yang sangat berarti. Anak cenderung belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan antar sesama manusia.

Hughes, 1986 (dalam Wahab, 2006) melihat bahwa anak-anak usia sekolah dasar sering kali memiliki kesulitan terhadap pekerjaan sekolah, memiliki prestasi akademik yang buruk, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986; Jaffe et.al, 1986; Christopoulus et.al, 1987 (dalam Wahab, 2006) melalui studinya menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga cenderung memiliki permasalahan perilaku lebih banyak dan memiliki kompetensi sosial yang rendah.

Dalam Margaretha (2007; 2010), pada usia sekolah, dampak kekerasan dalam rumah tangga yang paling sering terlihat adalah kurang berkembangnya kemampuan sosial dan agresif, memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, munculnya perasaan sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Anak dengan keterbatasan kemampuan sosial dapat menjadi lebih reaktif dan agresif atau menarik diri secara sosial, akibatnya anak-anak tersebut sering dilaporkan menjadi pelaku ataupun korban bullying (Bauer dkk, 2006 dalam Margaretha 2007; 2010). Selain itu, dampak lain yang juga ditimbulkan kepada anak usia sekolah yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga mengalami kesulitan untuk mengikuti


(63)

atau menaati peraturan di sekolah, dan mereka kurang mampu untuk menjalin relasi dengan teman sebaya serta sulit mempercayai guru.

Berdasarkan uraian diatas, dampak kekerasan terhadap anak sebagai korban secara tidak langsung memengaruhi perilaku anak, memengaruhi kemampuan anak mengontrol emosi dan mengatasi masalah emosi, memengaruhi kemampuan kognitif, memengaruhi kompetensi perkembangan sosial-kognitif dan menunjukkan permasalahan relasi sosial.

C. PENGASUHAN IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami keadaan emosional yang mendalam dari dampak-dampak psikologis yang dialaminya. Pengalaman adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri juga memupuk emosi negatif dalam dirinya seperti depresi, cemas, takut, sedih, dan marah. Hal tersebut membuat istri sebagai seorang ibu kesulitan untuk menyediakan kebutuhan emosi akan keamanan dan kenyamanan yang konsisten bagi anak. Mereka cenderung sibuk mengelola emosi negatif seperti marah dan takut serta perasaan sedih dan kecewa bahkan depresi atas apa yang mereka alami sebagai korban kekerasan.

Emosi-emosi negatif seperti kecemasan dan depresi sering kali membatasi perhatian (Basso, et al, 1996). Emosi negatif dianggap memiliki potensi untuk proses perhatian yang tidak teratur, sehingga sulit untuk


(64)

mempertahankan fokus perhatian (Rothbart & Bates, 1998; Ruff & Rothbart, 1996). Tak jarang ibu juga kesulitan untuk mengelola emosi mereka sebagai korban kekerasan secara internal atau pribadi. Terbagi diantara rasa sedih, marah, kecewa dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak (Margaretha, 2012).

Jika ibu gagal memberikan dukungan emosional bagi anaknya, maka mengakibatkan kelekatan antara keduanya menjadi lemah (Levendosky, Huth- Bocks, & Semel, 2002). Selain itu, ibu juga dapat mengalami stres pengasuhan. Akibat yang ditimbulkan saat ibu mengalami stres pengasuhan adalah menurunnya kualitas dan efektivitas pengasuhan yang diberikan oleh ibu (Sri Lestari, 2012). Stres yang dialami ibu memengaruhi perilaku dan perhatian ibu terhadap anak.

Tekanan dan keadaan emosional yang mendalam yang dialami oleh ibu sebagai korban kekerasan mengakibatkan pengasuhan yang tidak efektif dan memungkinkan adanya pengasuhan yang salah terhadap anak. Dengan kata lain, anak dapat dikatakan tidak terawat atau cenderung terlantar karena keadaan ibu sebagai pengasuh yang menjadi korban kekerasan. Anak yang tidak terawat dengan benar seringkali menunjukkan keterlambatan bahasa (Coster, Gersten, Beeghly, & Cicchetti, 1989). Mereka seringkali terpuruk dalam tes kognitif, di sekolah, dan menunjukkan masalah perilaku (Dubowitz, 1999; Eckenrode, Laird, & Doris, 1993; Shonk & Cicchetti, 2001). Anak yang tidak terawat memiliki keterikatan yang tidak tertata dan tidak terorientasi serta memiliki konsep diri yang negatif dan terdistorsi (Papalia, 2008). Mereka tidak


(65)

mengembangkan keterampilan sosial, karena bertindak secara agresif, dan mereka cenderung ditolak oleh teman sebaya (Bolger & Patterson, 2001; Price, 1996).

Perilaku agresif cenderung tumbuh dari masa kanak-kanak awal. Beberapa penyebab yang menimbulkan perilaku agresif ialah kombinasi atmosfer rumah yang membuat stres dan tidak menstimulasi, disiplin yang keras, serta kurangnya kehangatan dari ibu dan dukungan sosial. Dalam sebuah penelitian longitudinal, kelekatan yang tidak aman serta kurangnya kehangatan dan afeksi ibu dalam masa bayi memprediksi keagresifan pada masa kanak-kanak awal (Coie & Dodge, 1998; MacKinnon-Lewis, Starnes, Volling, dan Johnson, 1997).

Martin (2002) menjelaskan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kesulitan dalam menentukan pendekatan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan afeksi anak yaitu rasa aman dan nyaman. Hal ini membuat anak kesulitan dalam belajar mengidentifikasi, memahami, dan memilih emosi yang tepat untuk diungkapkan dalam suatu relasi yang dekat. Ibu kurang dapat berperan menjadi panduan dalam memahami dan mengungkapkan emosi yang tepat sesuai dengan konteks.


(66)

Gambar 1. Skema Tinjauan Pustaka

KDRT

mendapatkan berkontribusi pada

berdampak pada Suami

(Pelaku Kekerasan)

Istri

(Korban Kekerasan)

Dampak Kekerasan

Anak

Fisik Psikologis Pengasuhan yang


(67)

48

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif ialah mengamati individu dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, dan berusaha memahami bahasa serta tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, dalam Sugiono). Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks alamiah yang berfokus pada variasi pengalaman informan penelitian (Danim dalam Fransisca, 2006). Menurut Flick (2002), penelitian kualitatif adalah keterkaitan spesifik pada studi hubungan sosial yang berhubungan dengan fakta dari pluralisasi dunia kehidupan.

Studi kasus bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam. Penelitian studi kasus merupakan model penelitian yang terperinci terkait individu atau suatu unit sosial tertentu dalam kurun waktu tertentu. Studi kasus bersifat komprehensif, intens, memerinci, dan mendalam, serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah atau fenomena yang bersifat berbatas waktu. Sesuatu yang penting untuk dijelaskan dalam studi kasus adalah keterkaitan atau hubungan kasual antara aspek atau faktor yang membentuk sebuah fenomena. Dalam


(68)

studi kasus, batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas. Penelitian kualitatif dengan studi kasus dilakukan dengan mengidentifikasi topik dengan batasan yang jelas dengan cara melakukan analisis yang mendalam dalam konteks yang natural dengan menggunakan beragam sumber informasi. Penggunaan teori pada studi kasus tidak hanya menjadi sebuah bantuan yang besar untuk mendefinisikan desain penelitian yang tepat dan proses pengumpulan data, tetapi juga menjadi motor untuk mentranferabilisasikan hasil dari studi kasus.

Desain studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus deskriptif. Desain penelitian studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam bagaimana pengasuhan yang diberikan oleh ibu yang mengalami dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap anak, dan faktor yang turut memengaruhi pengasuhan yang diberikan oleh informan.

B. INFORMAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan non-probability sampling. Dalam penelitian kualitatif, salah satu teknik sampling yang umum digunakan adalah teknik purposeful sampling atau purposive sampling.Purposive sampling merupakan teknik sampling berdasarkan

kepada ciri-ciri yang dimiliki informan yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Informan yang digunakan dalam penelitian ini dengan kriteria:


(69)

1. Seorang istri yang mengalami kekerasan dari suami atau seorang istri yang menjadi korban kekerasan dari suami.

2. Memiliki usia dewasa awal (21-40 tahun).

3. Seorang Ibu yang memiliki anak kandung usia kanak-kanak.

C. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Peneliti mencari dan memilih informan sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya dalam penelitian.

2. Peneliti meminta bantuan dengan menghubungi instansi pemerintahan ataupun lembaga masyarakat untuk mendapatkan akses menuju informan. Peneliti juga membuat proposal dan surat izin kepada instansi tujuan yang dirasa dapat membantu peneliti masuk ke lokasi dan melakukan penelitian. 3. Peneliti membuat inform consent yang berisi deskripsi dan prosedur

penelitian yang akan dilakukan, kerahasiaan data, tanggungjawab peneliti, serta penanggungjawab penelitian. Informan yang telah setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian memiliki tanggungjawab etis untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya sepanjang informasi yang diberikan kepada peneliti tidak mengganggu privasi informan dan membuat informantidak nyaman. Informan berhak menghentikan proses wawancara atau partisipasinya dalam penelitian jika informan merasa tidak nyaman.


(70)

4. Peneliti melakukan proses pengumpulan data dengan wawancara dan observasi terhadap informan. Lokasi penelitian atau tempat penelitian berlangsung mengikuti aktivitas sehari-hari dari informan dan berdasarkan kesepakatan. Proses pengambilan data diambil dengan setting natural, dalam artian mengikuti aktivitas dari informan, seperti di rumah. Selain itu, peneliti juga menggunakan dokumen berupa rekam kasus yang dimiliki informan dari instansi yang menangani kasus kekerasan yang informan alami.

5. Peneliti membuat panduan wawancara dan observasi sebagai panduan dalam pengumpulan data.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode yang memungkinkan peneliti untuk menggali secara lebih mendalam pengasuhan ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.

1. Wawancara

Wawancara merupakan sebuah percakapan atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998). Wawancara diartikan sebagai sebuah interaksi yang didalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggungjawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi (Stewart & Cash dalam Herdiansyah, 2014).


(1)

didapatkan informan menjadi penyebab kekerasan yang didapatkan informan. Dari kekerasan yang didapatkan informan, membuat dirinya tidak dapat fokus dan efektif memberikan pengasuhan pada anak. Dampak psikologis sangat berpengaruh terhadap pengasuhan yang diberikan informan untuk anak. Kekecewaan, sakit hati, dan kekhawatiran informan terhadap kekerasan yang kembali berulang membuat dirinya banyak membuang waktu dengan termenung. Sehingga tugas pengasuhan yang dirinya emban tidak efektif dan anak terkesan dibiarkan. Hal ini jugalah yang membuat anak berkelakuan sangat

dengan anak-anak saat tinggal di shelter kasus kekerasan. Saat anak-anak sangat aktif, informan hanya berkata dengan halus seperti memanggil nama anak-anak. Tidak tanggap dengan anak.


(2)

bebas dan aktif sehingga sulit diatur.

5. Keterlibatan suami dalam pengasuhan

Keterlibatan suami dalam pengasuhan sangat sedikit. Tugas pengasuhan lebih diberatkan suami oleh informan. Suami hanya berkomentar bahwa informan kurang tegas terhadap anak-anak dan cenderung lamban. Oleh sebab itu anak-anak menjadi seperti sekarang ini, sulit untuk mendengarkan dan diberitahu. Suami mengatakan informan salah mendidik anak. Suami juga mendidik anak menggunakan fisik, seperti memukul menggunakan sapu, menggunakan tangan, dan berbicara kotor. Dari keterlibatan suami dalam pengasuhan

Keterlibatan suami dalam pengasuhan cenderung mengarah kepada cara mendidik dengan kasar dan menggunakan fisik. Selain itu, karena karakter atau sifat suami yang tempramen dan pemarah. Anak-anak juga kerap diperlakukan kasar oleh suami informan, seperti menyubit dengan keras dan memlintir tangan anak.


(3)

memberikan pengaruh yang tidak baik kepada anak-anak


(4)

D. Perilaku anak

1. Perilaku positif Anak pertama sudah mampu memahami keadaan dan sudah memiliki perubahan semenjak ia duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Anak pertama sudah mulai tanggap dengan situasi yang terjadi, seperti melerai orangtua saat berkelahi dihadapan anak-anak. Anak-anak sudah mampu bersosialisasi dengan teman sebaya.

Anak-anak sangat aktif. Bahkan keaktifan anak-anak membuat informan kesulitan mengatur dan mengendalikan anak, terlebih anak kedua. Anak-anak juga memiliki keingintahuan yang besar terhadap sesuatu yang belum pernah dilihat dan berusaha untuk melihat dari dekat, terutama anak ketiga. Adanya aktivitas bersama saudara, seperti bermain bersama. Anak sudah mulai mandiri, seperti mengambil makan sendiri dan makan sendiri, mencuci kaki sendiri, membeli sesuatu sendiri, dsb.


(5)

Akan tetapi, masih dalam beberapa hal saja.

2. Perilaku negatif Anak-anak seringkali mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Hal ini diyakini mengikuti apa yang sering dilakukan oleh suami informan. Agresi nonverbal yang ditunjukkan melalui perilaku seperti berkelahi dengan teman sebaya, yaitu anak pertama. Selain itu, melempari informan saat keinginannya tidak dituruti, seperti meminta uang jajan.

Agresi sangat terlihat menonjol dari perilaku anak-anak, baik agresi verbal maupun nonverbal. Agresi verbal yang muncul ialah mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan, berteriak, dan menangis. Agresi nonverbal yang ditunjukkan seperti memukul, menendang, melempar benda-benda, merebut, mendorong, dll

Saat tinggal di shelter

kekerasan, anak-anak tidak mau berbagi mainan dengan yang lain sehingga pengasuh di shelter mensiasati dengan meberikan permen jika berbagi mainan dan bermain bersama dengan yang lain. Anak juga merebut mainan yang ada disana. Anak kedua lebih banyak menunjukkan agresi fisik. Sedangkan anak ketiga lebih banyak menunjukkan agresi melalui verbal, seperti berteriak dan menangis.


(6)

sehingga terkesan tidak

mendengarkan dan

mengabaikan apa yang dikatakan oleh informan.