Konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

(1)

Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga Debby Susanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan secara fisik, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga/ekonomi.

Metodologi yang digunakan penelitian ini adalah studi kasus terhadap seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga melalui metode wawancara semiterstruktur, observasi nonpartisipan, dan tes Thematic Apperception Test (TAT). Data yang telah diperoleh kemudian melalui tahap pengkodean terhadap aspek-aspek konsep diri sehingga dapat memunculkan gambaran aspek konsep diri subyek yang diteliti.

Berdasarkan penelitian terhadap aspek-aspek konsep diri diketahui bahwa seorang istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai pengetahuan diri yang positif namun memiliki penilaian diri dan pengharapan diri yang negatif. Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah negatif.


(2)

Self-Concept of a Wife Experiencing Abuse in the Family Debby Susanti

ABSTRACT

This research aimed to investigate the self concept of a wife who had been experiencing abused in the family, whether it is physical, psychological, or financially abuse.

Methodology used in this research was a case study of a wife experiencing abuse in her family through methods, including: semi-structured interview, non-participant observation, and Thematic Apperception Test (TAT). Collected data was through the coding stage of aspects of self-concept thus able to discover the description of self-concept within the subject.

According to the research of aspects of self-concept, it was discovered that a wife experiencing abuse in the family has positive self-knowledge but has negative self-judgment and negative self-expectation. Thus, the result is that a wife who experiencing abuse in the family has negative self-concept.


(3)

KONSEP D

KEKERAS

Diajuk M

FAK

UNIVER

DIRI ISTRI YANG MENGALAMI

ASAN DALAM RUMAH TANGGA

SKRIPSI

jukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi

Disusun oleh: Debby Susanti NIM: 019114059

AKULTAS PSIKOLOGI

ERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya meyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ____________

Penulis


(7)

!

!

!

!

"

#

"

#

"

#

"

#

#

#

#

#

#

$

#

#

$

$


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas selesainya penulisan skripsi dengan judul “Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga.” Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis secara pribadi ingin menghaturkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibu Dra. Lusia Pratidarmananstiti, M.Si, selaku dosen pembimbing yang mau dengan sabar dalam membantu penulis menyelesaikan penelitian ini.

2. Papi Osu yang udah ompong tapi mau tetep kerja susah payah buat mami dan anak-anak...thanks banget ya pi...dan Mamiku yang cantik yang selalu memberi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi serta memberikan nasehat kepada penulis. Makasih juga buat dukungan finansialnya...i love you. 3. Bapak Edy Suhartanto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas segala

bantuan baik teknis maupun non-teknis.

4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari S.Psi, M.Si, selaku Kepala Program Studi Psikologi dan Dosen Pembimbing

5. Semua dosen fakultas Psikologi yang dengan senang hati membantu saya selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini.


(9)

6. Mas Gandung, Mas Mudji, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gie’, terimakasih atas semua bantuannya.

7. Jeffry yang rese thanks ya buat support-nya disaat-saat terakhir mo jadi... 8. Krishna, yang biarpun hujan badai menerpa tetap membantu penulis dalam

mengerjakan skripsi ini sehingga dapat segera diselesaikan. Thank you ya udah mau free talk jam 12 malem. Jangan kapok...hehehe...Makasi juga udah mau dengerin cerita tentang orang aneh...wakakakaka...

9. Temen-temenku tersayang: Lala, Selly, Nana, yang tetep ngasih semangat meskipun udah pada lulus duluan dan yang ga capek-capeknya nanyain,”Kapan lo lulus??”

10.Siska, thank you ya Bu udah mau jadi tempat ngomel-ngomel dan udah jadi temen aku selama ini.

11.Tien, Yayack, thanks ud mau jadi temen curhat....

12.Vivi, adekku sing paling ayu dewe...hahaha...thank you ya motornya. Makasi juga buat perhatiannya selama ini.

13.Ricky, si-”TIMI”, makasi buat ga’ ngasih support nya..ga ding, yang pasti makasi udah mau disuruh-suruh. Makasih banyak ya m’be...

14.Cici Henny, makasi banyak ya buat semua bantuannya.

15.Irene anaknya mami sayang makasih ya udah hibur tiap hari, walaupun nakal tapi ngangenin banget, terutama brindilnya itu loh...

16.Papi Redy, selaku suami kedua dan Oka, selaku suami ketiga...hehehe...Makasi ya tiap malem udah menemin ngobrol, kapan turun


(10)

17. Temen-temen fakultas Psikologi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih atas semuanya.

Akhir kata, segala upaya dan kemampuan telah penulis curahkan agar menjadikan skripsi ini sebagai suatu hasil karya yang bermanfaat. Penulis menyadari akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada. Oleh karena itu penulis akan sangat berterimakasih dan berbesar hati bila ada kritik dan saran dari pembaca untuk lebih memperbaiki karya penelitian ini.

Yogyakarta, April 2007


(11)

Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga Debby Susanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan secara fisik, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga/ekonomi.

Metodologi yang digunakan penelitian ini adalah studi kasus terhadap seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga melalui metode wawancara semiterstruktur, observasi nonpartisipan, dan tes Thematic Apperception Test (TAT). Data yang telah diperoleh kemudian melalui tahap pengkodean terhadap aspek-aspek konsep diri sehingga dapat memunculkan gambaran aspek konsep diri subyek yang diteliti.

Berdasarkan penelitian terhadap aspek-aspek konsep diri diketahui bahwa seorang istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai pengetahuan diri yang positif namun memiliki penilaian diri dan pengharapan diri yang negatif. Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah negatif.


(12)

Self-Concept of a Wife Experiencing Abuse in the Family Debby Susanti

ABSTRACT

This research aimed to investigate the self concept of a wife who had been experiencing abused in the family, whether it is physical, psychological, or financially abuse.

Methodology used in this research was a case study of a wife experiencing abuse in her family through methods, including: semi-structured interview, non-participant observation, and Thematic Apperception Test (TAT). Collected data was through the coding stage of aspects of self-concept thus able to discover the description of self-concept within the subject.

According to the research of aspects of self-concept, it was discovered that a wife experiencing abuse in the family has positive self-knowledge but has negative self-judgment and negative self-expectation. Thus, the result is that a wife who experiencing abuse in the family has negative self-concept.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... i

LEMBAR PENGESAHAN OLEH PEMBIMBING………. ii

LEMBAR PENGESAHAN OLEH PENGUJI……….. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO……… v

KATA PENGANTAR……… vi

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

ABSTRAK……….. xiv

ABSTRACT……… xv

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah………. 4

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Manfaat Penelitian……… 5

1. Manfaat Praktis………... 5


(14)

BAB II LANDASAN TEORI……….. 6

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga………... 6

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga………. 6

2. Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga………. 8

a. Kekerasan Seksual………. 8

b. Kekerasan Fisik……….. 9

c. Kekerasan Ekonomi……….. 9

d. Kekerasan Emosional atau Psikis………. 10

3. Karakteristik Kepribadian Korban dan Pelaku Kekerasan………. 11

a. Karakteristik Korban………. 11

b. Karakteristik Pelaku……….. 12

4. Faktor Penyebab KDRT……….. 13

5. Memahami Pola Kekerasan Terhadap Istri………….. 14

a. Fase I: Tahap Munculnya Ketegangan………….. 15

b. Fase II: Tahap Pemukulan Akut……… 15

c. Fase III: Bulan Madu……… 16

B. Konsep Diri……… 17

1. Pengertian Konsep Diri……… 17

2. Konsep Diri dan Dimensi-dimensinya………. 20


(15)

c. Dimensi Penilaian Terhadap Diri………... 20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kosep Diri……… 21

4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif……….. 24

a. Konsep Diri Negatif………... 24

b. Konsep Diri Positif………. 25

C. Istri………. 27

D. Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga……… 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 30

A. Desain Penelitian……… 30

B. Subyek Penelitian………... 30

C. Identifikasi Penelitian……… 31

D. Definisi Operasional……….. 31

E. Alat Pengumpulan Data……… 32

1. Wawancara……….. 32

2. Observasi………. 36

3. Tes Psikologi……… 39

F. Kredibilitas……… 42

G. Analisis Data………. 43

H. Pengkodean (Coding)………... 44


(16)

B.Pembahasan………... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 54

A. Kesimpulan………... 54

B. Saran………. 54

DAFTAR PUSTAKA………. 56


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pengkodean (Coding) Wawancara………... 60

2. TAT……… 92

A. Analisis TAT……… 92

B. Kesimpulan TAT……….. 96

C. Pengkodean TAT………. 98

3. Observasi……… 101

A. Hasil Observasi………. 101


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Untuk sebagian orang, keluarga merupakan tempat untuk berlindung dan mendapatkan rasa aman dari berbagai macam ancaman serta kesulitan dari luar. Keluarga juga merupakan tempat pertama kali kita belajar sesuatu, namun untuk sebagian orang keluarga dapat menjadi sebuah neraka atau malapetaka. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat untuk berteduh dan mendapatkan rasa aman, menjadi tempat ‘penyiksaan’ lahir dan batin. Dalam hal ini biasanya yang menjadi korbannya adalah kaum yang sering dianggap lemah seperti perempuan (istri) serta anak-anak.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah sangat sering didengar dan sudah menjadi fenomena tidak hanya di luar negeri, di Indonesia pun KDRT sudah banyak terjadi. Baik dari media cetak ataupun media elektronik sering menayangkan berita tentang KDRT. KDRT menyita banyak perhatian dari berbagai pihak karena setiap tahunnya jumlahnya semakin meningkat.

Sebenarnya KDRT muncul sudah sejak lama namun belum mencuat sampai ke permukaan, sehingga masyarakat tidak mengetahuinya. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa masalah rumah tangga dalam hal ini kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat dalam keluarga atau kehidupan


(19)

pribadi kita tabu untuk diketahui oleh orang lain apalagi sampai dibicarakan. Mereka menganggap masalah tersebut adalah masalah interen yang tidak pantas untuk dibicarakan dan merupakan aib keluarga jika sampai diketahui oleh orang lain, sehingga banyak korban yang jarang mau melaporkan pelaku kekerasan tersebut.

Sampai pada akhirnya muncul LSM Indonesia pertama yang bekerja untuk otonomi dan hak perempuan yaitu Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) yang didirikan di Jogyakarta tahun 1982. Kemudian pada tiga tahun kemudian didirikan Kalyana Mitra, yaitu LSM perempuan yang menyediakan informasi tentang hak-hak perempuan. Baru pada tahun 1993 di Jogjakarta telah didirikan sebuah organisasi yang menyediakan pelayanan khusus bagi perempuan yang mengalami kekerasan yang bernama Rifka Annisa Women’s Crisis Center , yang kemudian banyak ditiru diberbagai daerah lain di Indonesia. (Hakimi dkk, 2001).

Data dari kasus kekerasan terhadap perempuan di Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 1994 menangani 10 kasus, pada tahun 2002 kasus yang ditangani meningkat sampai 247. Pada tahun 2004 kasus yang dilaporkan sampai bulan November tercatat 192 kasus. (Harian Kompas Senin, 22 Desember 2004). Selain itu menurut data dari Jurnal Perempuan, sebanyak 88,49% kekerasan terhadap wanita adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri dan sebagai pelakunya adalah pasangannya atau


(20)

Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah menjadi permasalahan publik dan pemerintah juga cukup serius menangani masalah KDRT, hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang Anti Kekerasan pada tanggal 22 September 2004 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri. Pengesahan Undang-Undang ini sebagai wujud dari kepedulian masyarakat Indonesia khususnya kaum perempuan yang menentang tindak kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memuat 10 bab dan 56 pasal, yang didalamnya sudah dijabarkan secara jelas tentang hak dan kewajiban korban, asas dan tujuan, perlindungan terhadap korban, serta

ketentuan pidana dan lain-lain.

(http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_23_04.htm?200529)

Sebagian besar istri yang menjadi korban kekerasan ternyata masih mau menerima atau memaafkan suami yang menjadi pelaku kekerasan, salah satu alasan mengapa seorang istri yang sudah disakiti bahkan disiksa oleh suaminya mau menerima kembali suaminya untuk kesekian kalinya adalah berkaitan dengan konsep diri istri.

Konsep diri merupakan sebuah struktur mental yang merupakan suatu totalitas dari persepsi realistik, pengharapan dan penilaian seseorang terhadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika, keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi


(21)

simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan asuh selama hidupnya (Purwanti, 2000).

Hurlock (1978) mengemukakan bahwa konsep diri pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realita yang sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologik. Konsep diri memiliki pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang dilakukan oleh setiap individu.

Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat konsep diri istri yang mau menerima kembali suaminya meskipun dirinya sudah disakiti sedemikian rupa baik fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh suaminya. Penulis membatasi pembahasan dalam tulisan ini hanya mengenai konsep diri istri, karena didalam konsep diri terdapat aspek pengetahuan tentang diri, penilaian tentang diri serta harapan terhadap diri. Hal ini merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi perilaku istri yang selalu menerima kembali suami yang sudah menganiaya dirinya.

B. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep diri yang dimiliki istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga?


(22)

C.TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan secara fisik, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga/ekonomi.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Praktis

Manfaat bagi peneliti yaitu memberikan masukan kepada peneliti tentang konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga peneliti dapat memberikan pendampingan pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga dan konsep diri seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

2. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan informasi bagi dunia psikologi mengenai konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.


(23)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Gelles (dalam Kristyanti, 2004) menyatakan kesulitan dalam mendefinisikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dirumuskan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam lingkungan keluarga. Kekerasan itu sendiri meliputi kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga inti, keluarga besar atau keluarga yang menganut sistem poligami. Ini tidak hanya mencakup keluarga karena pernikahan yang sah, tetapi juga hubungan pacaran dan hubungan perkawinan yang sudah berakhir.

Menurut undang-undang anti kekerasan no. 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, 2004).


(24)

Tursilarini (2004) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap kaum perempuan adalah segala bentuk kekerasan yang berdasar pada gender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan, termasuk disini ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi ditempat umum atau didalam kehidupan pribadi seseorang. Jadi, kekerasan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk kekerasan dari segi fisik, melainkan juga dari segi non fisik. Menurut Prastyowati (2004), tindak kekerasan terhadap istri yaitu tindakan suami yang dilakukan terhadap istri baik disengaja maupun tidak disengaja, langsung atau tidak langsung telah menimbulkan rasa sakit pada istri, baik secara fisik maupun non fisik.

Humanitarian Affairs, salah satu publikasi PBB (dalam Chusairi, 2000), menyebutkan bahwa kekerasan terhadap istri adalah tindakan yang termasuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Tindakan itu mencakup penganiayaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Ahli lain seperti Walker (dalam Chusairi, 2000), menyebutkan bahwa kekerasan pada istri adalah kekerasan secara fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pasangan intimnya.

Dari definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan baik secara fisik, seksual, psikologis dan ekonomi yang dilakukan oleh suami kepada istri yang


(25)

terjadi dalam lingkup rumah tangga, dimana kekerasan tersebut dapat menimbulkan luka secara fisik maupun psikologis.

2. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Hamim (2001), menyatakan bahwa ada beberapa macam jenis kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang dialami oleh seorang istri sebagai korbannya. Kekerasan tersebut diantaranya yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi.

a. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual atau aktivitas seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Wignjosoebroto (Hariadi dan Suyanto, 1999) berpendapat bahwa kekerasan seksual dipandang sebagai tindak perkosaan, yaitu sebuah usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Sebagai contoh:

1) Dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan orang yang tidak diinginkan.

2) Memaksa selera seksual sendiri.


(26)

b. Kekerasan Fisik

Yaitu perbuatan yang menyebabkan cedera fisik/tubuh orang lain atau menyebabkan kerusakan secara fisik seseorang dan sampai matinya seseorang. Grant (dalam Chusairi, 2000), menyatakan bahwa kekerasan suami secara fisik dapat berbentuk pemukulan, menampar, menjambak, mendorong dan menendang, kekerasan tersebut dapat menyebabkan terlukanya seseorang secara fisik. Sebagai contoh lain kekerasan secara fisik yaitu:

1) Meludahi

2) Menyulut dengan rokok

3) Melukai dengan barang /senjata c. Kekerasan Ekonomi

Pengertian penelantaran rumah tangga yaitu menelantarkan atau kelalaian yang disengaja dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan, khususnya dalam lingkup rumah tangga. Kurang menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran (Herkutanto, 2000).

Dalam hal ini harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuan ekonomis” dengan “penelantaran yang disengaja”. Contoh kekerasan ekonomi atau penelantaran ekonomi dalam rumah tangga:


(27)

1)Tidak memberikan uang belanja.

2) Memakai/menghabiskan uang istri untuk foya-foya.

3) Dilarang atau dibatasi bekerja secara layak (hidup dikendalikan) d. Kekerasan Emosional atau Psikis

Bentuk kekerasan ini sebetulnya sulit untuk dibatasi karena setiap orang mempunyai sensitivitas emosi yang bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini sebenarnya penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi yang timbul akibat kekerasan psikis lebih sulit diukur tidak seperti kekerasan fisik (Herkutanto, 2000). Tetapi secara garis besar kekerasan psikis dapat diartikan segala tindakan yang pada akhirnya berpengaruh pada kejiwaan seseorang, atau perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, rasa tidak berdaya serta penderitaan psikis berat lainnya seperti depresi. Sebagai contoh kekerasan psikis:

1) Mencela, menghina.

2) Mengancam/menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3) Mengisolasi istri dari dunia luar. 4) Berselingkuh


(28)

3. Karakteristik Kepribadian Korban Dan Pelaku Kekerasan

Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya memiliki ciri fisik seperti bertubuh kecil, kurang cantik, kurang pandai, dll. Tetapi tidak menutup kemungkinan yang menjadi korban adalah perempuan yang cantik dan memiliki karir yang baik. Istri yang menjadi korban kekerasan biasanya dijauhkan oleh suaminya dari pihak keluarga istri maupun lingkungan sosialnya, karena suami tidak ingin perbuatan kejinya diketahui oleh orang lain. Sehingga ia merasa aman dalam melakukan aksinya, dan dapat terus menerus mengulangi aksinya. Ada beberapa karakteristik lain dari korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

a. Karakteristik Korban:

1) Menganut peran stereotype tradisional laki-laki dan perempuan. 2) Pasif. Menerima segala perlakuan.

3) Menerima dominasi dan superioritas laki-laki.

4) Menyamakan dominasi dengan kejantanan (maskulinitas). 5) Merasa bahwa mereka tidak punya hak asasi.

6) Mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya.

7) Mengaku bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pasangannya. 8) Bertindak sebagai tumbal perbuatan pasangannya di luar.

9) Punya hasrat kuat untuk dibutuhkan.


(29)

11)Punya keyakinan tak tergoyahkan bahwa keadaan akan menjadi baik, atau merasa bahwa tak ada sesuatupun yang dapat dilakukan berkaitan dengan keadaannya.

12)Rasa harga dirinya didasarkan pada kemampuan mereka menarik dan mempertahankan pasangannya.

13)Menjadi rendah diri.

14)Meragukan kesehatan jiwanya sendiri. b. Karakteristik Pelaku

Dibawah ini juga ada beberapa karakteristik pelaku yang biasanya melakukan kekerasan kepada pasangangannya, antara lain: 1) Pencemburu – seringkali membayangkan bahwa pasangannya

sedang “selingkuh”.

2) Berusaha mengisolasi pasangannya. 3) Berusaha mengontrol pasangannya. 4) Berkepribadian ganda.

5) Temperamental; gampang marah tanpa alasan berarti. 6) Meyakini kekerasan sebagai tindakan lumrah.

7) Suka memproyeksikan dan memikulkan kesalahan dirinya pada pasangannya.

8) Berasal dari keluarga dimana kekerasan biasa terjadi.

9) Menyangkal kekerasan atau kemarahan; tampak berusaha mengingkarinya.


(30)

4.Faktor Penyebab KDRT

Faktor-faktor yang menyebabkan tindak kekerasan menurut Djannah dkk (dalam Salmah 2004) dapat dirumuskan dalam 2 faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang telah dilegalitaskan oleh masyarakat yang kadang disalahgunakan. Faktor eksternal lainnya yaitu gambaran yang tidak seimbang dalam pranata sosial dalam pembagian tugas dan posisi laki-laki dan perempuan. KDRT dipercaya sebagai fenomena yang berakar dari struktur sosial yang tidak seimbang (Sciortino & Smyth dalam Kristyanti, 2004).

Faktor internal timbulnya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan. Rica R. Langley dan Levy. C. (dalam Djannah dkk, 2003) menyatakan bahwa kekerasan laki-laki terhadap perempuan dikarenakan: sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya untuk untuk menyelesaikan masalah yang diturunkan dari kebiasaan keluarga atau orang tua.

Ada pandangan yang berasumsi bahwa perilaku abnormal dalam bentuk melakukan kekerasan merupakan hasil interaksi dari tiga hal yang saling berhubungan yaitu tingkah laku, proses kognitif, dan pengaruh lingkungan (Corsini dalam Kristyanti, 2004). Dalam Salmah (2004), dapat


(31)

disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat sedikitnya 6 faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri:

a. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat

b. Masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat dan berani serta tidak toleran. c. Budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada

laki-laki atau kepada suami, khususnya secara ekonomi.

d. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dianggap harus ditutup karena termasuk wilayah privat suami-istri dan bukan sebagai persoalan sosial.

e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri, dan tentang ajaran kepatuhan istri kepada suami.

f. Kondisi kepribadian dan psikologi suami yang tidak stabil dan tidak benar.

5. Memahami Pola Kekerasan Terhadap Istri

Berita tentang kekerasan domestik lebih sering kita dengar ketika seorang istri meninggal dunia akibat dibunuh oleh suaminya, padahal terbunuhnya istri tersebut merupakan akhir dari sebuah siklus kekerasan.


(32)

Sebenarnya untuk memahami kasus kekerasan terhadap istri, ada tiga fase dalam sebuah siklus kekerasan dalam rumah tangga yang disebut dengan teori lingkaran kekerasan (Hamim, 2001). Disebut teori lingkaran karena ketiga fase ini terus berputar seperti siklus yang terus berulang. Teori ini dapat membantu kita untuk mengerti mengapa perempuan yang dipukul seakan menyediakan diri untuk di”keras”i pasangannya. Ketiga fase itu adalah:

a. Fase I: Tahap Munculnya Ketegangan

Dalam tahap ini ada ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus atau sikap “cuek” masing-masing atau perpaduan keduanya saling tidak perduli. Kadang-kadang juga muncul kekerasan kecil. Biasanya bagi pasangan fase ini dianggap sebagai “bumbu” perkawinan. Ketegangan demi ketegangan selanjutnya berlalu begitu saja. Kemudian suami mulai mengintimidasi dan mencari alasan untuk menyudutkan istri.

b. Fase II: Tahap Pemukulan Akut

Tahap inilah yang disebut juga tahap penganiayaan, penyiksaan oleh suami sehingga mengalami penderitaan. Tahap inilah yang biasa kita baca di koran-koran atau saat berita kriminal tentang kekerasan suami terhadap istri. Kekerasan itu mungkin dengan meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan itu bisa berhenti kalau si perempuan pergi dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dia


(33)

lakukan, atau si perempuan perlu dibawa ke rumah sakit, atau bahkan meninggal. Setelah kekerasan itu terjadi, biasanya perempuan akan merasakan ketegangan yang luar biasa. Yang pada awalnya akan mengalami shock, kaget, dan merasa tegang. Kemudian, ketika mulai sadar bahwa ia telah dianiaya ia merasa takut, sedih, jengkel dan tak berdaya.

Beberapa perempuan akan merasa demikian tertekan hingga mungkin mulai berpikir untuk membela diri, bahkan ada beberapa perempuan berpikir untuk melarikan diri tapi biasanya seringkali tidak punya keberanian dan kesempatan utuk melarikan diri, namun ada beberapa punya keberanian dan kesempatan untuk melarikan diri. Jika pada tahap ini istri tidak bertindak apa-apa maka terjadilah fase bulan madu.

c. Fase III: Bulan Madu

Dalam fase ini biasanya laki-laki sering kali menyesali tindakannya, bahkan sampai menyembah dan menangis untuk dimaafkan. Bentuknya biasanya bermacam-macam, ada juga rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi dan berusaha mengubah diri. Bahkan tak jarang laki-laki menunjukkan sikap mesra dan istimewanya, seperti menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh hatinya dan memaafkannya. Biasanya perempuan masih sangat berharap hal itu tidak akan terjadi


(34)

Dalam periode bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh kasih sayang.

Suasana ini menjadi semangat bagi perempuan yang mencemaskan dirinya, gagal perkawinannya, takut karena dia tidak punya keterampilan kerja, dan lain-lain. Tahap ini akhirnya pudar dan fase siklus ketegangan muncul lagi, menyulut kekerasan, dan selanjutnya terjadi bulan madu kembali. Siklus ini terus berlanjut dan kurun waktunya semakin cepat. Sampai akhirnya tidak ada kontrol lagi dari suami dan kematianpun dapat terjadi. Yang menarik pada fase bulan madu adalah waktunya yang terus memendek dan bisa hilang, sehingga tidak dapat disangkal yang terjadi hanyalah fase ketegangan dan fase penganiayaan.

B. Konsep diri

1. Pengertian Konsep diri

Konsep diri merupakan pengertian, harapan dan penilaian seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita-citakan dan dirinya dalam realita yang sesungguhnya secara fisik maupun psikologis. Pengertian atau pengetahuan tentang diri kita ini sendiri seperti usia, jenis kelamin, suku atau pekerjaan. Pada saat kita mempunyai rangkaian pengertian tentang dirinya, ia juga mempunyai satu rangkaian pandangan lain yaitu kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang. Kita mempunyai pengharapan bagi dirinya. Kita sendirilah yang menjadi penilai tentang


(35)

dirinya sendiri. Penilaian tersebut diartikan seberapa besar kita, menyukai dirinya (Hurlock, 1998).

Lebih lanjut, Hurlock (1998) mengungkapkan bahwa dengan bertambahnya usia, konsep diri relatif akan bertambah stabil dan hanya sedikit terjadi perubahan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai masalah-masalah penyesuaian diri, penguasaan tugas-tugas perkembangan, tekanan-tekanan budaya serta harapan-harapan yang timbul akibat perubahan yang terjadi sepanjang rentang usia dewasa dini.

Menurut Burns (1979) konsep diri adalah suatu sistem sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep dan evaluasi-evaluasi mengenai diri kita. Konsep diri pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan kita mengenai diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realita sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologis.

Konsep diri menurut Rogers (1961) adalah keseluruhan informasi dan kepercayaan kita mengenai karakteristik dirinya dan semua yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap orang mempunyai pendapat mengenai diri mereka sendiri. Apabila konsep diri atau pendapat mereka tentang diri mereka sendiri sesuai dengan kenyataan yang ada maka kita tersebut akan berhasil dan menunjukkan konsep diri kearah yang positif. Akan tetapi, apabila ada kesenjangan antara konsep diri dengan kenyataan yang ada maka kita akan mengalami kecemasan dan menunjukkan konsep


(36)

Brooks (dalam Rakhmat, 1985) mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi mengenai diri kita sendiri baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain.

Rakhmat (1985) mengemukakan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif saja, melainkan juga penilaian orang tersebut terhadap dirinya. Jadi konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri kita sendiri.

Konsep diri adalah sebuah struktur mental yang merupakan suatu totalitas dari persepsi realistik, pengharapan dan penilaian seseorang terhadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika, keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan asuh selama hidupnya (Purwanti, 2000).

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah persepsi realistik mengenai diri kita yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh melalui proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok lingkungan dalam hidup seseorang, selain itu konsep diri juga merupakan penentu atau determinant yang paling penting terhadap tingkah laku seseorang.


(37)

2.Konsep Diri dan Dimensi-Dimensinya

Rosenberg (dalam Burns, 1993) menyatakan ada aspek-aspek dari konsep diri yang membedakan sikap-sikap terhadap obyek lainnya yang manapun. Rogers (dalam Calhoun & Acocella, 1995) juga memandang konsep diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri dan penilaian terhadap diri sendiri. Komponen-komponen yang terkandung dalam konsep diri yaitu:

a. Dimensi Pengetahuan Tentang Diri

Gambaran diri atau pengetahuan tentang diri yaitu segala pengetahuan atau informasi yang seseorang ketahui tentang dirinya seperti umur, jenis kelamin, penampilan, peran yang sedang dipegang, pandangan tentang watak kepribadian yang dirasa ada pada dirinya, pandangan tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan yang dimiliki, serta kecakapan yang dikuasai. b. Dimensi Pengharapan Diri

Yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan menjadi apa individu dimasa mendatang atau dengan kata lain dimensi pengharapan ini merupakan gambaran diri yang ideal. Diri yang seperti apakah yang diinginkan dikemudian hari.

c. Dimensi Penilaian Terhadap Diri

Yaitu pandangan tentang harga atau kewajaran sebagai pribadi. Bagaimana individu merasa tentang dirinya, apa suka atau tidak suka dengan pribadi yang dianggap sebagai pribadi kita. Jika seseorang suka dengan


(38)

dirinya, maka ia memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya jika seseorang tidak suka maka ia memiliki harga diri yang rendah.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep diri

Rahkmat (1985) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Hal tersebut antara lain:

a. Penerimaan orang lain

Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap dan menghormati diri kita. Sebaliknya, apabila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, maka kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.

b. Pergaulan dengan kelompok rujukan

Apabila kita bergaul dengan kelompok atau teman sepermainan kita, seringkali ada kelompok yang secara emosional mengikat kita dan berengaruh terhadap pembentukan konsep diri yang kita miliki. Dengan melihat kelompok, seseorang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Menurut Burns (1993), faktor-faktor tersebut adalah:

a. Usia

Adanya perbedaan usia menentukan perbedaan bagaimana konsep diri akan dibentuk. Burns melakukan penelitian terhadap perbedaan tersebut


(39)

lebih dikarenakan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu sesuai dengan peran seksnya dan perbedaan pengalaman yang diperoleh seseorang sehingga akan semakin mempengaruhi luasnya wawasan kognitif. Selanjutnya akan menentukan bagaimana persepsi seseorang terhadap pengalamannya dan akhirnya turut juga berpengaruh dalam mempersepsi ”self-nya”.

b. Peran Seksual

Peran seksual adalah pengetahuan individu sendiri apakah ia termasuk laki-laki ataukah perempuan. Peran seksual akan mempengaruhi perkembangan konsep diri individu. Itu berarti, peran seksual yang diterapkan pada seorang anak lambat laun akan membentuk konsep diri pada anak. Perbedaan peran seksual ini mengakibatkan adanya perbedaan perilaku terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perilaku terhadap kedua jenis kelamin ini telah diterapkan sejak dini pada kehidupan anak. Orang tua akan memberikan perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Orang tua mengajarkan anak laki-laki untuk bersikap sebagai makhluk kuat, mandiri, bertanggung jawab dan harus melindungi perempuan dan anak-anak. Pembedaan perlakuan ini yang akan membentuk konsep diri laki-laki sesuai dengan peran seksnya.

c. Keadaan Fisik

Gambaran fisik dipahami melalui pengalaman langsung dan persepsi mengenai tubuhnya sendiri. Adanya ketidak sempurnaan tubuh seseorang,


(40)

proses evaluasi tentang tubuhnya didasarkan pada norma sosial dan umpan balik dari orang lain. Penilaian yang positif terhadap keadaan fisik seseorang baik dari diri sendiri maupun orang lain sangat membantu perkembangan konsep diri kearah yang positif.

d. Sikap-sikap orang di lingkungan sekitarnya

Rogers (1961), menyatakan bahwa perkembangan konsep diri ditentukan oleh interaksi yang terbentuk antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Ini berhubungan dengan umpan balik yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya terhadap perilaku individu tersebut. Umpan balik yang diberikan orang dilingkungannya akan mempengaruhi konsep diri individu. Jika umpan balik yang diberikan orang-orang dilngkungannya menunjukkan penerimaan maka individu merasa diterima dan akan membantu perkembangan diri ke arah positif. Tetapi jika umpan balik yang diberikan oleh orang-orang dilingkungannya menunjukkan penolakan maka individu akan merasa terabaikan, terasing, merasa rendah diri dan akan membentuk konsep diri ke arah yang negatif.

e. Figur-figur bermakna

Banyak figur yang bermakna bagi individu yang pada intinya memberi pengaruh pada dirinya, baik melalui umpan balik ataupun melalui perilaku yang kemudian diinternalisasikannya. Figur-figur tersebut memberi pengaruh yang sangat terasa dalam pembentukan dan perkembangan konsep diri. Figur bermakna biasanya orang yang mempunyai arti khusus


(41)

bagi individu meliputi orang tua, anggota keluarga, guru, teman, pacar, dan tokoh idola.

4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif

Perkembangan konsep diri ditentukan juga oleh interaksi yang terbentuk antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Ini berhubungan dengan umpan balik yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya terhadap perilaku individu tersebut. Umpan balik yang diberikan orang dilingkungannya akan mempengaruhi konsep diri individu. Jika umpan balik yang diberikan orang-orang disekitarnya menunjukan penerimaan, maka individu merasa diterima dan akan membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Tetapi jika umpan balik yang yang diberikan orang-orang dilingkungannya menunjukan penolakan, maka individu akan merasa terabaikan, terasing dan merasa rendah diri maka akan membentuk konsep diri yang negatif.

Lebih lanjut, Calhoun dan Acocella (1995) menjelaskan tentang konsep diri positif dan konsep diri negatif:

a. Konsep Diri Negatif

Individu yang mempunyai konsep diri negatif umumnya memiliki sedikit pengetahuan tentang dirinya sendiri, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri, tidak tahu siapa dirinya, kekuatannya dan kelemahannya. Individu tersebut menciptakan konsep diri yang tidak


(42)

menyebabkan kecemasan yang mengancam dirinya. Harapan individu yang mempunyai konsep diri negatif tidak realistis. Individu ini mempunyai pengharapan sedemikian rupa sehingga dalam kenyataannya ia tidak mencapai apapun yang berharga. Bila ia mengalami kegagalan, maka kegagalan ini akan merusak dirinya sendiri. Individu yang mempunyai konsep diri yang negatif akan memberi penilaian terhadap dirinya juga negatif. Apapun keadaan dirinya, tidak pernah cukup baik. Apapun yang diperolehnya tampak tidak berharga dibanding dengan apa yang diperoleh orang lain. Individu ini sering menghadapi kecemasan karena menghadapi informasi tentang dirinya yang tidak diterimanya dengan baik dan mengancam dirinya. Individu yang mempunyai konsep diri negatif mempunyai pengertian yang tidak tepat tentang dirinya, pengharapan yang tidak realistis dan konsep diri yang rendah. Individu ini memandang dirinya tidak punya potensi dan mempunyai motivasi yang rendah, mudah cemas dan putus asa, kurang mampu mengaktualisasikan potensinya, sensitif dan mudah curiga.

b. Konsep Diri Positif

Individu yang mempunyai konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu ini dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri baik positif maupun negatif, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya. Pengharapan individu yang berkonsep diri positif dirancang dengantujuan-tujuan yang sesuai dan realistis, artinya


(43)

memiliki kemungkinan besar untuk dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut. Individu ini dapat menghadapi kehidupan didepannya, dapat tampil ke depan dengan bebas, bertindak dengan berani, spontan dan memperlakukan orang lain dengan hangat serta hormat. Individu ini memandang hidup lebih menyenangkan dan penuh harapan. Individu yang mempunyai konsep diri positif, memiliki pengertian yang luas dan bermacam-macam tentang dirinya, pengharapan yang realistis dan harga diri yang tinggi. Individu ini akan mampu mengatasi dan mengarahkan dirinya, memperhatikan dunia luar. Kemampuan individu ini dalam berinteraksi dengan lingkungan sangat bagus, dalam arti sangat menghargai dirinya dan orang lain, spontan dan prinsipil, bebas dan dapat mengantisipasi hal-hal negatif, bebas mengemukakan pendapat, memiliki motivasi yang tinggi serta mampu mengaktualisasikan potensinya (Shiffer, 1977).

Untuk lebih singkatnya menurut Brooks dan Emmert (dalam Rahkmat, 1985), ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki konsep diri yang negatif, tanda-tanda tersebut yaitu:

a. Peka terhadap kritik.

b. Responsif sekali terhadap pujian.

c. Sikap hiperkritis, yaitu sikap tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.


(44)

e.Pesimis terhadap kompetisi seperti yang terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang positif memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

a. Yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah. b. Merasa setara dengan orang lain.

c. Menerima pujian tanpa rasa malu.

d. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masayarakat. e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadiannya yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

C. Istri

Istri adalah seseorang yang mendampingi kaum laki-laki ketika mereka sudah terikat dalam suatu lembaga penikahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami, dengan kata lain wanita yang dinikahi (1993). Menurut tradisi jawa perempuan sebagai seorang istri dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal yang mengutamakan nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan. Nilai-nilai tradisional tersebut menginterpretasikan lelaki sebagai pemimpin perempuan, sehingga oleh karenannya mengharuskan perempuan untuk patuh pada suaminya (Cholil dalam Hakimi 2001). Setelah menikah, seorang perempuan


(45)

dimasyarakat harus memenuhi tuntutan peran yang telah ditentukan secara sosial yaitu mengurus rumah, melahirkan dan mengasuh anak, serta melayani suami (Djohan dalam Hakimi 2001). Nilai-nilai tradisional jawa terus mendesak dan memberikan pengaruh yang kuat, yaitu bahwa tunduk dan patuh sebagai ciri feminin yang ideal.

Sebagaimana yang terungkap dari peribahasa ‘suwarga nunut neraka katut’, yang artinya seorang wanita harus betul-betul mengikuti kemana suaminya pergi menuju ke surga atau ke neraka (Cholil 1999). Ada 6 hal yang berkaitan dengan kesetiaan wanita kepada suami, yaitu takut dan hormat kepada suami, berkasih sayang, mengetahui kehendak suami, mengimankan suami, taat kepada suami serta bersedia membela suami (Buletin Psikologi, 2 Desember 1998).

D. Konsep Diri Istri yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga yang marak terjadi belakangan ini dan sudah menjadi konsumsi publik, bukan merupakan hal yang tabu lagi untuk dibicarakan. Tetapi bagi para istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya merasa malu atau risih jika permasalahan dalam keluarganya sampai diketahui oleh orang lain. Mereka cenderung menutupi masalah yang ada karena mereka menganggap itu merupakan aib keluarga yang harus dijaga agar orang lain tidak mengetahuinya.


(46)

kembali suaminya setelah apa yang ia terima selama ini. Salah satu alasan yang terkait dengan sikap istri yang mau menerima kembali suami yang telah menyiksanya adalah konsep diri yang dimiliki oleh istri tersebut.

Menurut Calhoun (dalam Centi, 1993), konsep diri merupakan gambaran diri seseorang mengenai dirinya sendiri meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, harapan dan penilaian tentang diri.

Rogers (dalam Burns, 1993) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan determinant atau penentu yang paling penting dari respons seseorang terhadap lingkungannya. Konsep diri yang dimiliki seseorang akan berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang dan perilaku tersebut merupakan perwujudan dari sikap seseorang (Azwar, 1995).

Berdasarkan uraian diatas, konsep diri yang dimiliki individu berkaitan erat dengan sikap yang dimiliki individu. Sama halnya dengan istri yang mau menerima kembali suami yang telah menyiksanya merupakan perwujudan dari sikap yang tentunya juga dipengaruhi oleh konsep diri yang dimiliki. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi kasus sebagai metodologi penelitiannya. Penelitian studi kasus ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus yang disajikan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal. Pendekatan studi kasus tunggal yang dipergunakan ini adalah untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang secara lengkap dan mendalam (Winkel, 1991).

B. Subyek Penelitian

Adapun subyek dalam penelitian ini adalah:

1. Istri yang berprofesi wanita karier dan ibu rumah tangga

2. Mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara seksual, fisik, psikis ekonomi, maupun keseluruhannya

3. Berdomisili di Yogyakarta

Dalam penelitian ini tidak ada batasan umur, daerah asal, lamanya berdomisili di Yogyakarta. Hal ini karena peneliti menganggap faktor tersebut


(48)

C.Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini tidak ada kontrol terhadap variabel karena merupakan penelitian studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep diri seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dimana kekersan tersebut meliputi kekerasan seksual, fisik, psikologis, dan ekonomi.

D. Definisi Operasional

1. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menggambarkan seorang wanita yang berstatus sebagai istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis maupun ekonomi.

2. Kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan yaitu suami yang dilakukan terhadap istri, baik sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung telah menimbulkan rasa sakit pada istri, baik secara fisik maupun non fisik. Untuk jenis-jenis tindak kekerasan dalam kajian ini meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual.

3. Konsep diri adalah persepsi nyata tentang diri individu yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang dipengaruhi oleh penerimaan orang lain dan pergaulan dalam kelompok. Komponen-komponen yang terkandung dalam konsep diri, yaitu:


(49)

a.Pengetahuan tentang diri adalah pengetahuan individu tentang diri individu

b. Harapan diri adalah cita-cita atau keinginan individu dimasa mendatang, lebih kepada diri ideal yang dicita-citakan.

c. Penilaian terhadap diri adalah pandangan individu terhadap dirinya, termasuk pandangan orang lain terhadap dirinya.

4. Istri adalah seorang wanita yang mendampingi laki-laki dan terikat dalam suatu lembaga perkawinan.

E. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi mengenai konsep diri yang ada pada diri subyek, dalam penelitian ini metode pengumpulan datanya adalah wawancara, observasi, dan penggunaan test psikologi yaitu tes proyektif dengan alat tes Thematic Apperception Test (TAT).

1. Wawancara

Wawancara merupakan suatu bentuk percakapan yang memiliki tujuan (Matarazzo, 1969 dalam Nietzel 1994). Melalui wawancara yang dilakukan, seorang interviewer mengali informasi yang mendalam mengenai diri subyek serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Wawancara yang dilakukan untuk tujuan tertentu tidak didasarkan pada banyaknya isi dari wawancara tersebut. Penelitian ini menggunakan wawancara semiterstruktur. Wawancara semiterstruktur merupakan


(50)

(Nietzel, 1994). Wawancara semiterstruktur lebih fleksibel karena selain menggunakan outline sebagai petunjuk wawancara, peneliti juga bebas untuk mengajukan pertannyaan diluar outline tersebut sehingga data dan infomasi yang didapat lebih dalam.

Ada beberapa langkah wawancara (Nietzel, 1994) sebagai tuntunan dalam melakukan wawancara, yaitu:

a. Wawancara Awal

Hal penting yang perlu dilakukan pada wawancara awal adalah melakukan rapport. Rapport ini dilakukan untuk menjalin hubungan yang baik, nyaman, dan harmonis dengan subyek. Sikap interviewer yang hangat dan terbuka adalah awal yang baik untuk sebuah wawancara. Rapport ini juga untuk mendorong subyek untuk berbicara secara bebas dan bersahabat tentang masalah yang dihadapi. Kemampuan interviewer untuk membangun rapport pada wawancara awal ini dapat membantu proses wawancara selanjutnya sehingga akan diperoleh data dan informasi yang jelas mengenai diri dan masalah subyek.

b. Wawancara Pertengahan

Ada tiga tehnik dalam tahap wawancara pertengahan ini, yaitu: 1) Teknik Tidak Langsung

Pada pertengahan wawancara beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan secara open-ended. Dengan pendekatan open-ended ini klien diberikan


(51)

kebebasan untuk memulai sesuai keinginannya dan memudahkan klien untuk masuk pada pokok masalah yang dihadapinya. Pendekatan kedua adalah dengan mendengarkan secara aktif untuk membantu klien mengekspresikan diri secara penuh. Mendengarkan secara aktif ini dilakukan dengan memberikan merespon perkataan klien untuk menunjukan bahwa interviewer mengerti dan berusaha mendorong klien untuk maju. Kemampuan mempharaprasekan perkataan klien merupakan pendekatan ketiga dalam wawancara ini. Pharaprase dilakukan untuk membantu mengklarifikasi pernyataan klien yang membingungkan interviewer. Selain itu pula dapat memperbaiki pernyataan maupun feedback dari interviewer sendiri. Pendekatan terakhir dalam wawancara ini adalah dengan melakukan refleksi yang penekanannya bukan saja pada mengulang isi dari perkataan subyek tetapi juga menyoroti perasaan subyek.

2) Teknik Langsung

Teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi khusus dan memberikan kebebasan pada klien untuk merespon pernyataan interviewer. Pada tehnik ini seorang interviewer perlu berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan secara langsung untuk mengeksplorasi masalah subyek karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.


(52)

Wawancara pertengahan yang dilakukan dapat menggunakan kedua teknik tersebut karena sifat wawancara yang fleksibel. c. Wawancara Penutup

Beberapa hal yang perlu dilakukan pada tahap akhir ini adalah membuat kesimpulan dari apa yang sudah dilakukan selama proses wawancara. Hal terpenting adalah mengklarifikasi terjadinya kesalahpahaman pada saat proses wawancara dilakukan dan melakukan evaluasi. Proses evaluasi yang telah dilakukan bertujuan untuk membantu proses selanjutnya. Pada wawancara penutup ini juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data yang dirasa kurang pada saat wawancara sebelumnya.

Agar wawancara ini lebih terarah maka peneliti membuat suatu outline yakni:

Aspek Konsep Diri Pertanyaan

Pengetahuan Tentang Diri 1. Menurut anda bagaimana penampilan anda sebagai wanita? (menarik, cantik, dsb)

2. Menurut anda bagaimana pendapat orang lain mengenai penampilan anda?

3. Apa peranan yang sedang anda jalani saat ini? 4. Menurut anda sifat baik apakah yang anda

miliki?

5. Menurut anda sifat buruk apakah yang anda miliki?

6. Keterampilan atau kecakapan apa yang anda miliki?


(53)

Harapan Diri 1. Apa yang anda harapkan dari penampilan anda dimasa mendatang?

2. Menurut anda apa harapan orang lain terhadap diri anda?

3. Apa yang anda harapkan sebagai seorang wanita?

4. Apa yang anda harapkan sebagai seorang istri? 5. Apa yang anda harapkan sebagai seorang ibu? 6. Dari semua sifat buruk yang anda miliki

manakah sifat yang paling ingin anda hilangkan? Mengapa?

7. Kepribadian seperti apa yang ingin anda miliki? Contohnya dan mengapa?

8. Keterampilan apa yang ingin anda miliki? Penilaian Terhadap Diri 1. Apakah anda merasa puas dengan penampilan

fisik anda? Mengapa?

2. Apakah anda senang dengan peran yang sedang anda jalani saat ini? Mengapa?

3. Menurut anda apakah semua orang disekitar anda menyukai anda? Lebih banyak mana, yang menyukai atau yang tidak menyukai?

4. Menurut anda apakah anda sudah menjadi istri yang baik?

5. Menurut anda apakah anda sudah menjadi ibu yang baik?


(54)

2.Observasi

Observasi merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung (Suhartono, 1988). Ada 2 karakteristik observasi dalam penelitian ini, yaitu:

a. Langsung

Informasi yang diperoleh melalui metode observasi bersifat asli dari tangan orang pertama yang tidak dicemari oleh faktor-faktor lain misal subyektivitas, hallo effect, dan lain-lain.

b. Metode observasi dapat digunakan untuk mengecek data yang telah diperoleh melalui metode pengumpulan data yang lain. Data yang diperoleh melalui observasi dapat dijadikan sebagai data pelengkap. Sebagai salah satu metode pengumpulan data, metode observasi ini memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa hasil pengamatan lebih bersifat subyektif. Hal ini disebabkan antara lain oleh latar belakang pemikiran observer, relasi observer dengan subyek penelitian dan hallo effect yang mempengaruhi pengamatan observer terhadap subyek penelitian. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka observasi dilakukan beberapa kali.

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipan dan metode observasi tidak terstruktur. Observasi nonpartisipan adalah observasi yang dilakukan oleh observer di mana observer hanya bertindak sebagai pengamat dan berusaha menciptakan hubungan yang erat dengan subyek penelitian. Sedangkan observasi tidak


(55)

terstruktur adalah metode observasi yang bersifat terbuka dan fleksibel, di mana observer melihat kejadian secara langsung. Dalam melakukan observasi ini tidak ada pedoman resmi yang digunakan misalnya daftar pertanyaan atau item tertentu.

Peneliti menggunakan observasi nonpartisipan karena dalam penelitian ini peneliti mengamati perilaku subyek secara langsung namun tetap berusaha menjalin hubungan yang erat dengan subyek sehingga peneliti tetap memperoleh data dan informasi secara langsung melalui interaksi tersebut. Sedangkan metode observasi tidak terstuktur digunakan untuk melihat kejadian terhadap diri subyek sehari-hari secara langsung tanpa pedoman yang mutlak untuk diikuti. Dalam melakukan observasi peneliti tetap memperhatikan 3 hal yaitu apa yang diobservasi, waktu observasi, dan bagaimana observasi tersebut dilakukan.

Observasi yang dilakukan akan mengungkap beberapa informasi untuk mendukung hasil wawancara. Adapun informasi yang akan digali melalui observasi adalah:

a. Tampilan diri 1) Fisik

2) Ekspresi Emosi b. Relasi

1) Dengan Suami dan Anak 2) Dengan Keluarga


(56)

c.Sikap atau perilaku subyek yang relevan 1) Perilaku yang nampak saat wawancara 2) Perilaku subyek sehari-hari

Berdasarkan prinsip determinisme psikis Model Psikodinamika (Nietzel, 1994) perilaku mempunyai hubungan dengan penyebab-penyebab yang terkadang tersembunyi dari observer. Dari perilaku yang tampak atau dari sikap yang tidak disadari oleh subyek dapat memberi tanda dari adanya konflik dan motivasi tersembunyi. Oleh karena itu, dengan metode observasi secara khusus dapat digunakan untuk mengamati secara langsung perilaku atau sikap subyek yang tampak dan tidak disadarinya.

3. Tes Psikologi

Untuk menambah data dan informasi mengenai subyek penelitian, peneliti mempergunakan tes Psikologi. Test psikologi yang dipergunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah test proyektif salah satu bagian dari test kepribadian.

Test proyektif ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu gambaran tentang struktur kepribadian subyek penelitian dengan jalan meminta subyek untuk memberikan respon pada stimulus tertentu yang tidak berstruktur dengan jelas (Faisal, 1989). Test proyektif yang dipergunakan oleh peneliti adalah Thematic Apperception Test (TAT) salah satu bentuk test asosiasi. Alasan dipergunakannya test TAT dalam penelitian ini adalah


(57)

untuk mengetahui bagaimana konsep diri subyek, gambaran diri mengenai diri subyek, kecemasan utama yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri subyek serta kebutuhan-kebutuhan (need) apa saja yang dimiliki oleh subyek. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa muncul dalam kesadaran maupun ketidaksadaran manusia.

Selain need, Murray sebagai tokoh yang mengembangkan TAT pertama kali juga mengemukakan tentang press. Press adalah faktor-faktor eksternal atau kekuatan lingkungan yang dapat berpengaruh pada keadaan kita dengan satu atau lain cara sehingga press memiliki potensi tertentu terhadap kita (1993).

Untuk menjembatani antara need dan press, Murray mengemukakan mengenai thema. Thema merupakan interaksi antara need dan press sehingga memunculkan perilaku tertentu.

Pada test ini subyek diminta untuk mengemukakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diketahuinya mengenai gambar yang diberikan. Melalui cerita subyek diharapkan dapat mencerminkan obsesi, kebutuhan, keinginan, kecemasan, atau pandangan hidup subyek ke dalam stimulus yang diberikan. Inilah yang menjadi alasan mengapa peneliti menggunakan TAT sebagai pendukung metode wawancara dan observasi.

Selain itu pula sebagai salah satu test proyektif TAT memiliki keutamaan yang terletak pada kemampuannya untuk mengungkap kecenderungan-kecenderungan terhambat yang tersembunyi, yang oleh


(58)

mengungkapkan sebagian besar dorongan, emosi, sentimen, kompleks, dan konflik dominan yang ada dalam diri subyek. TAT ini bermanfaat untuk memeriksa kepribadian secara komprehensif dan menjelaskan bentuk gangguan perilaku (Manual TAT, 1996).

Pada test TAT ini, subyek diberikan sepuluh buah kartu wajib yang biasa digunakan dalam test TAT. Kesepuluh kartu tersebut adalah kartu yang berlaku bagi subyek laki-laki maupun perempuan. Kesepuluh kartu wajib itu adalah 1, 2, 3BM, 4, 6BM, 7GF, 8BM, 9GF, 10, dan 13MF. Setelah kesepuluh kartu tersebut diceritakan kemudian diinterpretasi. Interpretasi cerita TAT yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik-teknik yang digunakan oleh Bellak. Tujuan interpretasi menurut Bellak (1993) adalah menemukan pola umum dari cerita-cerita yang diperoleh melalui kartu-kartu tersebut. Pola umum diperoleh melalui pengulangan-pengulangan dalam kebutuhan (need), press, mekanisme pertahanan diri, konflik, kecemasan, dan hal-hal lain yang muncul pada beberapa cerita. Untuk menginterpretasi cerita TAT ada sepuluh variabel menurut Bellak (1993) yang penting, yaitu:

1. Tema Pokok 2. Tokoh Utama

3. Kebutuhan-Kebutuhan dan Dorongan-Dorongan Utama dari Tokoh Utama

4. Konsepsi tentang Dunia atau Lingkungan 5. Sosok dalam Cerita Dilihat sebagai ….


(59)

6.Konflik-Konflik yang Disignifikan 7. Hakikat Kecemasan

8. Pertahanan-Pertahanan Utama Melawan Konflik dan Ketakutan 9. Ketepatan Superego sebagaimana Ditampakkan dalam Bentuk

“Hukuman” terhadap “Kejahatan” 10.Integrasi Ego

Kesepuluh variabel-variabel tersebut dipindahkan ke dalam blanko TAT Bellak untuk memudahkan membuat kesimpulan dan diagnosis akhir (Bellak, 1993).

F. Kredibilitas

Kredibilitas dalam penelitian ini digunakan untuk membuktikan bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan, dan apakah kejelasan yang diberikan tentang gejala yang diteliti memeng sesuai dengan yang sebenarnya terjadi.

Untuk memperoleh hasil yang sesuai dalam penelitian ini ada cara-cara yang dilakukan untuk mengusahakan agar hasil penelitian ini dapat dipercaya yaitu dengan menggunakan metode triangulasi. Kemudian setelah mendapatkan hasil wawancara, hasil wawancara tersebut ditanyakan ulang pada subyek. Metode ini digunakan untuk membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Metode ini dapat dicapai dengan


(60)

hasil dari test TAT yang diperoleh. Kemudian hasil akhir dari wawancara dan observasi tersebut di cross-check dengan hasil wawancara subyek.

G. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi data, karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setelah peneliti memperoleh data yang dibutuhkan maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisis data-data tersebut. Adapun tahap-tahap yang dilalui dalam proses analisis data yaitu:

1 Kategorisasi data

Proses ini diawali dengan membuat verbatim hasil wawancara kemudian memberi kode-kode atau catatan-catatan pada transkrip guna memilah-milah data. Data yang telah diperoleh akan disusun atau digolongkan dalam tema atau kategori yang sama dan sesuai dengan tujuan penelitian. 2 Memberikan test TAT pada subyek

Test TAT diberikan dengan tujuan untuk melihat konsep diri serta dinamika psikologis yang dimiliki subyek.

3 Rekapitulasi data

Data yang telah dikategorisasikan tersebut selanjutnya akan diolah dengan menyusunnya sehingga menampilkan suatu pola hubungan.

4 Interpretasi data dan pengambilan kesimpulan

Proses ini dilakukan dengan melihat dan membandingkan beberapa teori yang bersangkutan dengan hal yang diteliti.


(61)

H.Pengkodean (Koding)

Dalam penelitian ini koding dilakukan agar dapat mengorganisasikan data dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1998). Data yang telah diperoleh akan dianalisis baris per baris sehingga dapat memunculkan gambaran tentang aspek konsep diri subyek yang diteliti. Langkah-langkah koding dalam penelitian ini meliputi:

2. Menyusun transkrip wawancara (verbatim), catatan observasi, serta hasil interpretasi test TAT dengan memberikan kolom kosong yang cukup besar disebelah kanan transkrip. Kolom tersebut nantinya digunakan untuk memberikan kode atau catatan tertentu atas transkrip yang sudah dibuat. 3. Memberikan penomoran secara urut pada baris transkrip.

4. Memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode-kode tertentu yang dapat mewakili berkas tersebut. Sebagai contoh:

a. Pengkodean transkrip wawancara yaitu wawancara, aspek konsep diri positif atau negatif dan nomor baris, contoh: W/PTD+/70 untuk aspek pengetahuan terhadap diri, W/HD–/71 untuk aspek harapan diri, W/PnTD+/72 untuk aspek penilaian terhadap diri.

b. Pengkodean observasi yaitu observasi, aspek konsep diri positif atau negatif dan nomor halaman, contoh: O/PnTD+/90

c. Pengkodean hasil interpretasi TAT yaitu TAT, aspek konsep diri positif atau negatif dan nomor halaman, contoh: T/PnTD+/10.


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa subyek merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Melalui wawancara pula dan test TAT serta didukung oleh hasil observasi yang dilakukan maka dapat diketahui konsep diri istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam kategori yang positif atau negatif. Konsep diri itu sendiri memiliki 3 aspek, yaitu:

1. Pengetahuan Tentang Diri

Aspek pengetahuan diri subyek baik, hal itu dikarenakan subyek mengerti dengan benar kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya, sebagai contoh pada hasil wawancara W/PTD+/467:

terlalu pemaaf deh kayanya” W/PTD+/522 :

“...mungkin karena seneng bergaul dengan orang ya jadi melakukan pendekatan ke orang itu lebih cepat, untuk ngelobby orang juga. Ya pokoknya suruh jual barang apa aja bisa...”.

Selain itu subyek juga mau menerima dan mengakui bahwa setiap kejadian buruk yang menimpa diri subyek adalah bagian dari masa lalu subyek, ia tidak berusaha untuk melupakan setiap kejadian buruk yang menimpa dirinya. Walaupun mungkin untuk sebagian orang hal tersebut dapat


(63)

menyebabkan trauma yang panjang. Hal ini dapat dilihat pada hasil wawancara dengan kode W/PTD+/52:

“..Jadi istilahnya tukang asuhnya itu tukang asuhnya ci Y itu yang istilahnya itu ngelakukan hubungan sex jadi yang bener-bener istilahnya tante tuh….e… ngga papa kan dibuka kan…Jadi dia tuh celananya dibuka terus alat kelaminnya itu diitukan ke ci Y sampe…maaf loh ngomong istilahnya sampe si keringet e…spermanya itu suruh ngelap pake celana ci Y. Lalu dia bilang celananya itu kasih sama mbaknya itu. Itu yang pertama kali ci Y...”

W/PTD+/63:

“..Nah dalam fase pertumbuhan dari umur 5 tahun sampe 18 tahun itu pun ngalamin lagi hal itu gitu dan juga yang ngelakukan itu orang terdekat juga gitu loh. Nah yang dulu itu masih saudara juga, yang sekarang dari umur 5 sampe 18 tahun mengalami jadi istilahnya tantenya ci Y tuh kaya papa punya cici, jadi suaminya cici ini yang ngasuh Y dari umur 5 tahun sampe 18 tahun itu yang ngelakukan hal itu ke Y, dari umur aku lima…tiga… kayaknya umur SMP kelas 2, 13tahun sampai 18tahun jadi selama 6 tahun itu mengalami itu hampir setiap hari...”

Subyek mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan subyek tetapi subyek tetap bisa menerima kejadian itu dan menceritakannya kembali pada peneliti, dengan demikian subyek memiliki pengetahuan diri positif. Subyek juga menyadari benar bahwa dirinya adalah korban kekerasan dalam rumah tangga, ditunjukkan pada hasil wawancara dengan kode W/PTD+/127:

“..jadi ya udah ribut ribut ribut sampai ya sering gitu dipukulin bahkan sempat nih di sini nih pake apa sih kaya kapak ya kapak yang kecil itu ke kepala sini...”


(64)

W/PTD+/178:

“..Bahkan didepan C, C tuh udah umur setahunan lebih lah, bahkan didepan C itu sering juga dipukul bahkan dicekek bahkan ditarik sampai C itu traumanya..”

W/PTD+/233:

”...yang papanya B bukannya melakukan kekersan fisik tapi psikis hahaha….ya kan. Bisa ngga maksudnya membedakan, jadi istilahnya kita tuh tetep ngga di hargain. Intinya tuh the point kita tuh tetep tidak dianggap sebagai manusia sebenernya, ya kan, jadi dia mau dateng kalo dia mau, dan dia mau dateng kalo dia butuh make love gitu....” 2. Pengharapan Diri

Pada konsep diri terkandung aspek harapan, aspek harapan yang dimiliki subyek adalah aspek harapan diri yang negatif. Hal ini dikarenakan banyak harapan subyek yang cenderung tidak realistis. Pengharapan yang sedemikian rupa sehingga dalam kenyataannya subyek tidak mencapai apapun yang berharga. Dalam kehidupannya, dari sejak kecil sampai dengan saat ini subyek selalu mencari penghargaan dari orang lain, seperti yang ditunjukkan pada tes TAT dengan kode T/HD–/14 dimana keinginan subyek adalah dihargai oleh orang lain terutama orang terdekatnya. Subyek selalu merasa terbuang dan tidak diakui keberadaannya, hal ini membuat subyek selalu berharap bahwa orang lain bisa menghargai dirinya dan menganggapnya sebagai seseorang yang berharga dan mempunyai nilai, seperti yang tertera pada data wawancara dengan kode W/HD–/229:

“..Tapi tolong hargai, hargain saya gitu, maksudnya tuh lu boleh lu ngga dateng, gua ngga mungkin lah lu tuh ngga mungkin lah bisa jadi milik gua tuh udah tau cuma


(65)

maksudnya tolong hargain, hargain jangan memperlakukan seperti apa yang sudah orang lain perlakukan gitu..”

Harapan diri yang negatif juga ditunjukkan oleh keinginan subyek untuk mempunyai keluarga yang utuh. Harapan diri subyek tergolong harapan diri yang negatif karena harapan subyek jauh dari kenyataan yang ada dan sangat kecil sekali kemungkinannya untuk diwujudkan. Hal ini dikarenakan subyek merupakan istri kedua dan subyek sudah 3 kali menikah. Selain itu dari pernikahan kedua subyek juga menghasilkan seorang anak, dimana anak tersebut tinggal dengan mantan suami subyek. Harapan ini terungkap pada hasil wawancara dengan kode:

W/HD−/588

“..Cuma pingin ngerasain gimana sih punya keluarga yang bener-bener lengkap istilahnya ngga terpecah-pecah gitu, impiannya sih itu suatu saat nanti memang sih ngga kepikiran ya cari suami lagi atau apa...”

W/HD−/592

”..Ada impian pengen bisa gitu pengen ngelihat gimana rasanya papa mama anak jadi satu kan dari dulu ci Y ngga pernah ngerasain keluarga jadi satu. Ya pengen supaya B ngerasain ini loh ada mama ada papanya...”

Harapan subyek agar suaminya bertanggung jawab atas keluarga juga menjadi suatu harapan yang jauh dari kenyataan karena suami ketiga subyek sudah tua, sakit-sakitan, dan tidak berpenghasilan. Sehingga, subyek menjadi satu-satunya orang yang harus menanggung biaya hidup subyek maupun biaya hidup suami. Subyek juga berharap suaminya dapat


(66)

“...Ya itu karena ada believe gitu loh bahwa believe someday orang ini akan berubah...”

Perubahan sikap pada seseorang sangat mungkin terjadi, tetapi dalam kasus ini kemungkinan perubahan sikap pada suami subyek sangat kecil, tetapi subyek selalu berharap bahwa sikap suaminya akan berubah, walaupun harapan tersebut sangat kecil untuk diwujudkan.

3. Penilaian Terhadap Diri

Pada aspek penilaian terhadap diri subyek juga tergolong negatif. Hal ini dikarenakan subyek selalu memandang dirinya sebagai seorang perempuan yang lemah dan tidak berdaya sehingga selalu pasrah pada keadaan. Menurut subyek, laki-laki mempunyai kuasa yang besar atas diri wanita, sehingga laki-laki dapat dengan mudahnya menjatuhkan wanita sama seperti hasil wawancara dengan kode W/PnTD–/146:

“..rasanya tuh udah bener-bener muak karena dari kecil sampe sekarang tuh yang jatuhin itu selalu laki-laki...”

Masa lalu subyek banyak mempengaruhi penilaian subyek terhadap sosok laki-laki, dimana sosok yang seharusnya melindungi justru menjatuhkan subyek. Pada kenyataan sehari-hari subyek selalu merasa tidak dihargai oleh orang disekitarnya terutama lawan jenis dan orang-orang yang mempunyai hubungan emosional dengan subyek. Dalam tes TAT juga terlihat bahwa kebutuhan utama subyek adalah kebutuhan untuk dihargai dan dicintai serta menjalin hubungan dengan orang lain, seperti yang tertera pada T/PnTD–/14. Subyek memberi penilaian pada dirinya juga negatif, apapun yang diperolehnya tampak tidak berharga dibanding


(1)

A. HASIL OBSERVASI

Subyek seorang wanita yang berumur 35 tahun. Subyek memiliki rambut pendek dan dicat warna coklat pirang. Tinggi badan subyek 151 cm dengan berat badan 39 kg. Subyek keturunan Tionghoa dan memiliki warna kulit kuning langsat. Pada bulan Desember 2006 subyek melakukan operasi pada bagian rahim. 1 minggu setelah operasi subyek sudah melakukan aktivitasnya seperti biasa.

Subyek mudah menangis ketika menghadapi masalah pribadi. Ketika ada masalah porsi rokok yang dihabiskan oleh subyek menjadi 1 bungkus rokok atau lebih banyak dari biasanya yang hanya setengah bungkus rokok per hari. Subyek tidak berselera untuk makan atau bahkan tidak makan ketika menghadapi suatu masalah khususnya masalah pribadi. Subyek sering pingsan kalau kerja terlalu berat. Subyek lebih banyak diam ketika ada masalah.

Saat ini subyek tinggal dengan anak subyek dari suami ketiga atau suami saat ini yang bernama B yang berumur 3.5 tahun dan seorang pengasuh anak, sedangkan suami ketiga subyek tinggal di Jakarta. Subyek berangkat ke kantor pada pukul 09.00-11.00 dan pulang kantor pada pukul 16.00-18.00. Ketika subyek bekerja anak subyek tinggal di rumah dengan pengasuh. Pada hari sabtu atau minggu subyek menghabiskan lebih banyak waktunya untuk pergi ke luar rumah bersama anaknya. Di rumah subyek tidak pernah memasak, subyek membeli makanan di luar rumah. Pada hari kerja pukul 19.00-21.00 subyek banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi.

Subyek tidak memiliki sanak saudara di Yogyakarta. Ibu subyek saat ini tinggal bersama dengan adik laki-laki subyek di Jakarta. Sedangkan ayah subyek


(2)

tinggal di Jakarta tapi tidak satu rumah dengan ibu subyek. Anak subyek hasil dari pernikahan kedua tinggal bersama dengan suami kedua subyek di Tasikmalaya.

Saat ini subyek menjabat sebagai pimpinan cabang sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta yang bergerak dibidang keuangan. Subyek memiliki 3 anak buah yang 2 laki-laki sebagai marketing dan seorang wanita sebagai sekretaris. Dalam seminggu setidaknya 3-4 kali untuk pergi makan siang bersama anak buahnya. Ketika ada suatu masalah baik masalah kantor maupun masalah pribadi subyek bercerita kepada anak buahnya. Subyek pergi keluar kota untuk urusan kantor setidaknya 1 kali dalam 1 bulan. Dalam keseharian kerjanya subyek lebih sering menghabiskan waktunya di luar kantor untuk menemui nasabahnya. Orang pertama yang dihubungi oleh subyek pada saat subyek mendapat suatu masalah adalah anak buahnya terutama marketingnya yang bernama A, karena A selain sebagai anak buahnya juga merupakan anak dari teman terdekat subyek. Pada saat pergi keluar makan dengan anak buahnya, subyek yang selalu membayar. Selain sebagai pimpinan cabang, subyek tergabung dalam sebuah organisasi yang bergerak dibidang sosial sebagai anggota. Dalam seminggu subyek belum tentu main ke rumah tetangganya. Subyek tidak pernah ikut dalam kegiatan RT/RW.

Ketika diwawancara subyek menggunakan kata “Gua” dan “Lu” pada saat menceritakan suatu hal. Pada saat wawancara subyek merokok. Subyek menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan suatu kejadian. Subyek tertawa sebelum menceritakan cerita yang lucu, bahkan ketika mau menceritakan kejadian yang menurut subyek cukup mengesalkan hatinya subyek juga tertawa.


(3)

Subyek beberapa kali membicarakan tentang Tuhan ketika diwawancara. Subyek juga menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya. Ketika diwawancara subyek sering mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi tidak jarang juga subyek menatap mata peneliti. Pada saat menceritakan masalahnya subyek tidak langsung menceritakan inti dari permasalahannya dan cenderung untuk memutar-mutar kalimatnya.

Ketika sudah berada di rumah setelah pulang kerja subyek tidak keluar rumah lagi. Subyek tidur antara jam 23.00-02.00 dan bangun pagi antara jam 07.00-09.00. Ketika anaknya tidak mau makan subyek sering berkata “Makan ngga kalo ngga gua jejelin ke mulut lu”. Dan saat anaknya tidak menuruti perkataannya subyek memukul bagian pantat anaknya.

B. PENGKODEAN (CODING) OBSERVASI

NO OBSERVASI CODING

1 2 3 4 5 6 7

Subyek seorang wanita yang berumur 35 tahun. Subyek memiliki rambut pendek dan dicat warna coklat pirang. Tinggi badan subyek 151 cm dengan berat badan 39 kg. Subyek keturunan Tionghoa dan memiliki warna kulit kuning langsat. Pada bulan Desember 2006 subyek melakukan operasi pada bagian rahim. 1 minggu setelah operasi subyek sudah melakukan aktivitasnya seperti biasa.

O/PnTD+/6

8 9 10

Subyek mudah menangis ketika menghadapi masalah pribadi. Ketika ada masalah porsi rokok yang dihabiskan oleh subyek menjadi 1 bungkus rokok atau lebih banyak dari

O/PnTD−/8 O/PnTD−/9


(4)

11 12 13 14 15

biasanya yang hanya setengah bungkus rokok per hari. Subyek tidak berselera untuk makan atau bahkan tidak makan ketika menghadapi suatu masalah khususnya masalah pribadi. Subyek sering pingsan kalau kerja terlalu berat. Subyek lebih banyak diam ketika ada masalah.

O/PnTD−/12

O/PnTD−/14 O/PnTD−/15 16

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Saat ini subyek tinggal dengan anak subyek dari suami ketiga atau suami saat ini yang bernama B yang berumur 3,5 tahun dan seorang pengasuh anak, sedangkan suami ketiga subyek tinggal di Jakarta. Subyek berangkat ke kantor pada pukul 09.00-11.00 dan pulang kantor pada pukul 16.00-18.00. Ketika subyek bekerja anak subyek tinggal di rumah dengan pengasuh. Pada hari sabtu atau minggu subyek menghabiskan lebih banyak waktunya untuk pergi ke luar rumah bersama anaknya. Di rumah subyek tidak pernah memasak, subyek membeli makanan di luar rumah. Pada hari kerja pukul 19.00-21.00 subyek banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi.

O/PnTD–/22

O/PnTD–/24

O/PnTD–/26

27 28 29 30 31

Subyek tidak memiliki sanak saudara di Yogyakarta. Ibu subyek saat ini tinggal bersama dengan adik laki-laki subyek di Jakarta. Sedangkan ayah subyek tinggal di Jakarta tapi tidak satu rumah dengan ibu subyek. Anak subyek hasil dari pernikahan kedua tinggal bersama dengan suami kedua


(5)

32 subyek di Tasikmalaya. 33

34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

Saat ini subyek menjabat sebagai pimpinan cabang sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta yang bergerak dibidang keuangan. Subyek memiliki 3 anak buah yang 2 laki-laki sebagai marketing dan seorang wanita sebagai sekretaris. Dalam seminggu setidaknya 3-4 kali untuk pergi makan siang bersama anak buahnya. Ketika ada suatu masalah baik masalah kantor maupun masalah pribadi subyek bercerita kepada anak buahnya. Subyek pergi keluar kota untuk urusan kantor setidaknya 1 kali dalam 1 bulan. Dalam keseharian kerjanya subyek lebih sering menghabiskan waktunya di luar kantor untuk menemui nasabahnya. Orang pertama yang dihubungi oleh subyek pada saat subyek mendapat suatu masalah adalah anak buahnya terutama marketingnya yang bernama A, karena A selain sebagai anak buahnya juga merupakan anak dari teman terdekat subyek. Pada saat pergi keluar makan dengan anak buahnya, subyek yang selalu membayar. Selain sebagai pimpinan cabang, subyek tergabung dalam sebuah organisasi yang bergerak dibidang sosial sebagai anggota. Dalam seminggu subyek belum tentu main ke rumah tetangganya. Subyek tidak pernah ikut dalam kegiatan RT/RW.

O/PnTD+/33

O/PnTD+/38

O/PnTD+/41

O/PnTD+/49


(6)

53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66

Ketika diwawancara subyek menggunakan kata “Gua” dan “Lu” pada saat menceritakan suatu hal. Pada saat wawancara subyek merokok. Subyek menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan suatu kejadian. Subyek tertawa sebelum menceritakan cerita yang lucu, bahkan ketika mau menceritakan kejadian yang menurut subyek cukup mengesalkan hatinya subyek juga tertawa. Subyek beberapa kali membicarakan tentang Tuhan ketika diwawancara. Subyek juga menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya. Ketika diwawancara subyek sering mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi tidak jarang juga subyek menatap mata peneliti. Pada saat menceritakan masalahnya subyek tidak langsung menceritakan inti dari permasalahannya dan cenderung untuk memutar-mutar kalimatnya.

67 68 69 70 71 72

Ketika sudah berada di rumah setelah pulang kerja subyek tidak keluar rumah lagi. Subyek tidur antara jam 23.00-02.00 dan bangun pagi antara jam 07.00-09.00. Ketika anaknya tidak mau makan subyek sering berkata “Makan ngga kalo ngga gua jejelin ke mulut lu”. Dan saat anaknya tidak menuruti perkataannya subyek memukul bagian pantat anaknya.

O/PnTD–/69

O/PnTD−/71