Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam

kurang atau mundurnya kemampuan berbahasa, toilet training, gangguan tidur, dan persoalan kelekatan ketika anak mudah takut dan stres ditinggal pengasuhnya dalam Margaretha, 2007; 2010. Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak usia pra- sekolah ditunjukkan dengan emosi negatif anak yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti dengan rasa sedih dan adanya keinginan anak untuk menghalangi dan ikut campur. Sebagian anak tidak menunjukkan emosinya akan tetapi setelahnya menjadi marah. Selain itu, juga terdapat anak yang terlihat biasa saja bahkan terlihat bahagia, namun sebagian besar dari mereka menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebaya. Dalam Margaretha 2007; 2010 mengungkapkan bahwa anak yang berada di masa kanak-kanak awal sejak lahir hingga usia 6-7 tahun yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dapat memunculkan lebih banyak permasalahan perilaku, permasalahan relasi sosial, gejala post-traumatic stress disorder PTSD, dan kesulitan mengembangkan empati jika dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga Huth-Bocks, Levendosky, Semel, 2001. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan tingkat distress yang lebih tinggi. Delange 1986 melalui pengamatannya melihat bahwa kekerasan dalam rumah tangga berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia pra-sekolah. Jaffe dkk 1990 mengungkapkan bahwa pada usia sekolah dasar, orangtua menjadi role model yang sangat berarti. Anak cenderung belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan antar sesama manusia. Hughes, 1986 dalam Wahab, 2006 melihat bahwa anak-anak usia sekolah dasar sering kali memiliki kesulitan terhadap pekerjaan sekolah, memiliki prestasi akademik yang buruk, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986; Jaffe et.al, 1986; Christopoulus et.al, 1987 dalam Wahab, 2006 melalui studinya menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga cenderung memiliki permasalahan perilaku lebih banyak dan memiliki kompetensi sosial yang rendah. Dalam Margaretha 2007; 2010, pada usia sekolah, dampak kekerasan dalam rumah tangga yang paling sering terlihat adalah kurang berkembangnya kemampuan sosial dan agresif, memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, munculnya perasaan sedih dan depresi Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009. Anak dengan keterbatasan kemampuan sosial dapat menjadi lebih reaktif dan agresif atau menarik diri secara sosial, akibatnya anak-anak tersebut sering dilaporkan menjadi pelaku ataupun korban bullying Bauer dkk, 2006 dalam Margaretha 2007; 2010. Selain itu, dampak lain yang juga ditimbulkan kepada anak usia sekolah yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga mengalami kesulitan untuk mengikuti atau menaati peraturan di sekolah, dan mereka kurang mampu untuk menjalin relasi dengan teman sebaya serta sulit mempercayai guru. Berdasarkan uraian diatas, dampak kekerasan terhadap anak sebagai korban secara tidak langsung memengaruhi perilaku anak, memengaruhi kemampuan anak mengontrol emosi dan mengatasi masalah emosi, memengaruhi kemampuan kognitif, memengaruhi kompetensi perkembangan sosial-kognitif dan menunjukkan permasalahan relasi sosial.

C. PENGASUHAN IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami keadaan emosional yang mendalam dari dampak-dampak psikologis yang dialaminya. Pengalaman adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri juga memupuk emosi negatif dalam dirinya seperti depresi, cemas, takut, sedih, dan marah. Hal tersebut membuat istri sebagai seorang ibu kesulitan untuk menyediakan kebutuhan emosi akan keamanan dan kenyamanan yang konsisten bagi anak. Mereka cenderung sibuk mengelola emosi negatif seperti marah dan takut serta perasaan sedih dan kecewa bahkan depresi atas apa yang mereka alami sebagai korban kekerasan. Emosi-emosi negatif seperti kecemasan dan depresi sering kali membatasi perhatian Basso, et al, 1996. Emosi negatif dianggap memiliki potensi untuk proses perhatian yang tidak teratur, sehingga sulit untuk mempertahankan fokus perhatian Rothbart Bates, 1998; Ruff Rothbart, 1996. Tak jarang ibu juga kesulitan untuk mengelola emosi mereka sebagai korban kekerasan secara internal atau pribadi. Terbagi diantara rasa sedih, marah, kecewa dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak Margaretha, 2012. Jika ibu gagal memberikan dukungan emosional bagi anaknya, maka mengakibatkan kelekatan antara keduanya menjadi lemah Levendosky, Huth- Bocks, Semel, 2002. Selain itu, ibu juga dapat mengalami stres pengasuhan. Akibat yang ditimbulkan saat ibu mengalami stres pengasuhan adalah menurunnya kualitas dan efektivitas pengasuhan yang diberikan oleh ibu Sri Lestari, 2012. Stres yang dialami ibu memengaruhi perilaku dan perhatian ibu terhadap anak. Tekanan dan keadaan emosional yang mendalam yang dialami oleh ibu sebagai korban kekerasan mengakibatkan pengasuhan yang tidak efektif dan memungkinkan adanya pengasuhan yang salah terhadap anak. Dengan kata lain, anak dapat dikatakan tidak terawat atau cenderung terlantar karena keadaan ibu sebagai pengasuh yang menjadi korban kekerasan. Anak yang tidak terawat dengan benar seringkali menunjukkan keterlambatan bahasa Coster, Gersten, Beeghly, Cicchetti, 1989. Mereka seringkali terpuruk dalam tes kognitif, di sekolah, dan menunjukkan masalah perilaku Dubowitz, 1999; Eckenrode, Laird, Doris, 1993; Shonk Cicchetti, 2001. Anak yang tidak terawat memiliki keterikatan yang tidak tertata dan tidak terorientasi serta memiliki konsep diri yang negatif dan terdistorsi Papalia, 2008. Mereka tidak