Teori Pembuktian Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian di atas, maka karena penelitian ini adalah berkaitan dengan penegakan hukum pidana atas perbuatan persetubuhan terhadap anak ditingkat pengadilan sebagai benteng terakhir last bastion yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka peneliti akan menganalisa penelitian ini berdasarkan teori hukum pembuktian pidana, teori kesalahan dan teori kesalahan korban yang akan digunakan sebagai pisau analisis untuk memandu dalam mengungkap, manganalisis serta memberikan penilaian yuridis terhadap fakta-fakta dan aturan hukum yang ingin dibahas.

a. Teori Pembuktian

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pembuktian termasuk salah satu pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah menemukan kebenaran materil. 75 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth. 76 75 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, selanjutnya disingkat Andi Hamzah II hlm. 228. 76 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 275. Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: Universitas Sumatera utara M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada Bidang Umum Bab I Pendahuluan yang berbunyi: Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Beberapa ajaran atau teori penting terkait dengan pembuktian 77 1 Conviction in Time adalah sebagai berikut : Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas dasar keyakinan hakim semata yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi. Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian 77 Beberapa literature buku saling mempertukarkan istilah teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia mempergunakan kata-kata “Sistem atau Teori Pembuktian”, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali yang diikuti oleh W. Riawan Tjandra dalam bukunya Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, mempergunakan kata-kata “Teori Sistem Pembuktian”, dan Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian memakai kata ”Teori Pembuktian”, tetapi kesemuanya tetap memiliki kesamaan substansi pembahasan. Universitas Sumatera utara “keyakinan” hakim. 78 Andi Hamzah 79 menyebut sistem pembuktian conviction in time ini dengan sebutan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, sedangkan Oddy O.S. Hiariej menyebutnya sebagai keyakinan semata. 80 2 Conviction Raisonnee Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat-alat bukti atau alasan- alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan putusan tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan-alasan yang logis atau diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan-alasan logis. Menurut teori ini, tulis Andi Hamzah, 81 Eddy H.S Hiariej menulis bahwa conviction raisonee berarti dasar pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis dimana hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti tapi harus hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan conclusi yang berlandaskan pada peraturan- peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan dengan suatu motivasi. Sistem ini juga disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya vrije bewijstheorie. 78 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277. 79 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 230. 80 Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16. 81 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 231. Universitas Sumatera utara disertai dengan alasan yang logis. 82 Tegasnya tulis M. Yahya Harahap, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee harus dilandasi reasoning atau alasan- alasan, dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima. 83 Sistem pembuktian ini dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia hanya sebatas dalam persidangan tindak pidana ringan, acara pemeriksaan cepat dan termasuk perkara lalu lintas. 84 3 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Positief Wettelijke Bewijs Theorie Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata-mata atas alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka ruang bagi keyakinan hakim. Alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang- undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu. Pembuktian jenis ini dikatakan positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Keyakinan hakim disini tidak diperlukan sama sekali. Sistem pembuktian ini juga disebut sebagai pembuktian formal formeel bewijstheorie. 85 82 Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 17. 83 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277. 84 Eddy O.S. Hariej, Loc.Cit. 85 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 229. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang Universitas Sumatera utara ditentukan undang-undang, untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. 86 Menurut Eddy O.S. Hiariej pembuktian ini hanya dapat digunakan dalam pemeriksaan perkara perdata yang hanya mencari kebenaran formal formeel waarheid dalam arti kebenaran yang hanya didasarkan pada alat bukti 87 semata sebagaimana disebutkan dalam undang-undang. 88 Sistem pembuktian ini pernah dianut di Eropah sewaktu berlakunya asas inkisitor inquisitor 89 dalam acara pidana, dan dewasa ini telah ditinggalkan. 90 4 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Negatief Wettelijke Bewijstheorie Sistem pembuktian undang-undang secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi 86 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 278. 87 Alat-alat bukti dalam hukum perdata adalah: bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 88 Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16. 89 Inkisitor inquisitor adalah sebuah sistem pemeriksaan yang menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Intinya adalah tersangka atau terdakwa dipandang sebagai objek pemeriksaan yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang arbitrary willikeur. Prinsip ini dahulu dipergunakan di Indonesia sewaktu berlakunya acara pidana berdasarkan HIR. Setelah berlakunya KUHAP maka sistem inkisitor ini ditinggalkan dan diganti dengan sistem akusator accusatory procedure accusatorial system. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka terdakwa harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang berharkat martabat dan harga diri. Objek pemeriksaan dalam sistem akusator diarahkan kepada kesalahan tindak pidana yang diduga dilakuan tersangka terdakwa. Prinsip akusator dilihat dari segi teknis yuridis maupun teknis penyidikan adalah sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah presumption of innoncence. Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II, hlm. 40. 90 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 229-230. Universitas Sumatera utara alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada didepan baru memunculkan keyakinan hakim bukan sebaliknya dibelakang. Keyakinan hakim yang dimaksud disini adalah keyakinan yang timbul berdasarkan alat-alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat-alat bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim conviction in time. Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana di Indonesia berdasaran ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Senada dengan itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat 2 dinyatakan: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman di atas selain sebagai penegasan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sekaligus sebagai pedoman dalam penjatuhan pidana dan pembatasan minimal pembuktian. Penjelasan Pasal 183 Universitas Sumatera utara KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.

b. Teori Kesalahan

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 17