Teori Kesalahan Korban Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

mana oleh pandangan-pandangan dan harapan-harapan masyarakat terhadap pelaku masih dapat berbuat lain. Jika dilihat rumusan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman di atas secara terang dinyatakan bahwa hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang jika ditemukan minimal dua alat bukti disertai keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Itu artinya bahwa jika benar sekalipun berdasarkan minimal 2 dua alat bukti dan didukung keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya, tetapi untuk sampai kepada penjatuhan pidana masih diperlukan syarat penting yaitu apakah terdakwa memiliki kesalahan.

c. Teori Kesalahan Korban

Teori kesalahan korban ini dikembangkan oleh Angkasa dan kawan-kawan yang mengajarkan bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil agar mendukung putusan dan memenuhi rasa keadilan. Ia bependapat sebagaimana dikutip oleh H. Salim sebagai berikut: 106 106 H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 160-161. Model penjatuhan pidana harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil agar mendukung putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan. Model dimaksud adalah: Pertama, untuk penjatuhan pidana harus memenuhi syarat pemidanaan yang meliputi unsur perbuatan dan orang. Kedua, apabila syarat tersebut telah terpenuhi maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana, namun sebelum penjatuhan pidana, terdapat aspek-aspek yang harus dipertimbangkan di luar syarat pemidanaan yaitu aspek korban dan aspek pelaku. Universitas Sumatera utara Ketiga, setelah semua syarat tersebut di atas terpenuhi, maka pemidanaan dapat diputuskan. Jenis dan lamanya pidana yang dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan serta aspek korban dan pelaku. Angkasa berpendapat bahwa, dalam hal pertanggungjawaban pidana, korban mempunyai tanggung jawab fungsional, yakni harus bertindak secara aktif menghindar untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Provokasi atau kontribusi korban terhadap terjadinya victimisasi dalam perspektif viktimologi disebut victim precipitation yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korban atas viktimisasi. 107 Bila ternyata korban memiliki andil terhadap terjadinya tindak pidana, maka selayaknya demi alasan keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan dan dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana. 108 Hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya. Benjamin Mandelsohn sebagaimana yang dikutip Bambang Waluyo 109 dan Lilik Mulyadi 110 a. Yang sama sekali tidak bersalah; berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 lima macam yaitu: b. Yang jadi korban karena kelalaiannya; c. Yang sama salahnya dengan pelaku; d. Yang lebih bersalah dari pelaku; e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah dalam hal ini pelaku dibebaskan. 107 Ibid, hlm. 161. 108 Ibid. 109 Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 19-20. 110 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teorisasi dan Praktik Peradilan: Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, Bandung: Mandar Maju, 2010, hlm. 7. Universitas Sumatera utara Secara viktimologi, korban dibedakan antara korban murni dengan korban tidak murni, dimana yang jenis korban yang pertama benar-benar merupakan korban yang sebenar-benarnya senyatanya yang tidak tahu menahu dan tidak memiliki andil terhadap terjadinya tindak pidana yang merugikan dirinya sebagai korban, sedangkan yang terakhir adalah korban sendiri sebagai pemicu dan stimulator terjadinya tindak pidana, yang dalam tulisan Bambang Waluyo, 111 Lilik Mulyadi “bukan saja ikut andil, sering terjadi korban sama salahnya dengan pelaku”. 112 menyebutkan bahwa tipologi korban kejahatan dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu: pertama, ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan; dan kedua, ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri. Stephen Scafer 113

2. Landasan Konsepsional

mengemukakan salah satu tipologi korban adalah provocative victims yaitu korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan, karena itu aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesalahpahaman mengenai definisi atau pengertian sebuah istilah sebagai berikut: 111 Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 21. 112 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 16. 113 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, New York: Random House, 1968, hlm. 159, dalam Lilik Mulyadi, Loc.Cit. Universitas Sumatera utara a. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan- keinginan hukum pidana menjadi kenyataan. b. Pelaku adalah seseorang yang melakukan tidak pidana dader strafecht. c. Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab 114 atau perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 115 d. Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Pebruari 1912 W.9292. 116 e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 117 f. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang. 114 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 211. 115 Moeljatno, Op.Cit, hlm. 54. 116 R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 209. 117 Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Universitas Sumatera utara g. Judex factie adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai fakta-fakta yaitu pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. h. Judex juris adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai penerapan hukum yaitu Mahkamah Agung.

G. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 17