Kerusakan Mental Dan Trauma Korban Sebagai Perihal Yang Memberatkan Hukuman Tidak Terbukti Mahkamah Agung Membenarkan Pertimbangan Hukum Judex Factie

3. Pertimbangan Hukum Tidak Cukup Lengkap Terhadap Unsur Tindak Pidana Yang Dinyatakan Terbukti

Pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara haruslah dibuat secara cukup lengkap terkait dengan uraian unsur-unsur pidana yang dianggap terbukti. Putusan judex factie dalam mempertimbangkan unsur-unsur Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak dibuat secara sangat sumir singkat karena tidak ada dipertimbangkan secara cukup perihal unsur “dengan sengaja” unsur “membujuk” dan unsur “melakukan persetubuhan” terkecuali hanya menguraikan ulang keterangan saksi korban dan saksi AP. Menafsirkan unsur membujuk dalam peristiwa perkara ini sebagai sekedar rayuan dibarengi janji akan bertanggungjawab dikaitkan dengan fakta adanya hubungan istimewa terdakwa dengan saksi korban berupa hubungan asmara dan bahkan terkadang saksi korban sendiri yang mendatangi terdakwa adalah sangat sulit untuk diterima akal jika membujuk disini diartikan sebagai perbuatan sengaja oleh terdakwa sepihak saja tanpa ada peranan saksi korban dan pertimbangan ini tergolong pertimbangan yang kurang cukup lengkap terhadap unsur-unsur perbuatan pidana yang didakwakan.

4. Kerusakan Mental Dan Trauma Korban Sebagai Perihal Yang Memberatkan Hukuman Tidak Terbukti

Sebelum hakim tingkat pertama sampai kepada penjatuhan hukuman, terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan berupa adanya kerusakan mental dan trauma korban akibat perbuatan persetubuhan yang dilakukan terdakwa. Universitas Sumatera utara Fakta kebenaran yang dapat menunjukkan tentang kerusakan mental dan trauma saksi korban ini tidak pernah mendapat uji klinis dari yang berkompeten untuk itu sehingga pertimbangan hakim seputar ini tidak lebih hanya sekedar asumsi.

5. Hakim Judex Factie Tidak Mempertimbangkan Kausalitas Perbuatan

Pidana Majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding sebelum sampai kepada penjatuhan hukuman telah menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi tidak memberikan pertimbangan seputar causalitas perbuatan pidana persetubuhan dalam perkara ini. Kekosongan pertimbangan seputar causalitas ini menjadikan penjatuhan hukuman bagi terdakwa mengabaikan gradasi kesalahan terdakwa yang sepatutnya dapat menjadi titik tolak dalam menilai berat ringannya hukuman yang dijatuhkan. 254 Pembuktian yang dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara ini jika mempergunakan sistem pembuktian undang-undang secara negatif maka perbuatan persetubuhan itu terbukti dilakukan oleh terdakwa berdasarkan alat bukti berupa adanya keterangan saksi korban dan surat berbentuk visum et repertum, keterangan terdakwa serta petunjuk. 255 254 Kesalahan diperlukan karena menjadi penentu dapat tidaknya seseorang dipidana dan jika dapat dipidana menjadi penentu pula dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 183. 255 Pasal 188 ayat 1 dan 2 KUHAP berbunyi: 1 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; 2 Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Tetapi pembuktian perihal keberadaan saksi korban sebagai tergolong anak tidak pernah mendapatkan pembuktian yang patut untuk itu di Universitas Sumatera utara depan persidangan karena tidak satupun dokumen atau surat-surat resmi yang secara valid menjelaskan tentang itu. Berdasarkan hal ini maka unsur “anak” sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak secara yuridis tidak pernah terbukti secara sah. Sikap hakim tingkat pertama yang menyatakan perihal keterbuktian umur saksi korban sebagai anak adalah lebih kepada alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan surat dalam bentuk visum yang di dalamnya terkandung identitas saksi korban, yang pada akhirnya menimbulkan keyakinan hakim bahwa tindak pidana persetubuhan terhadap anak itu benar telah terjadi dan terdakwalah pelakunya, perbuatan mana dilakukannya secara salah. Remmelink menyatakan bahwa kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat terhadap perilaku menyimpang dari standar etis yang dapat dihindarinya, 256 betapapun kecilnya pencelaan etik itu. 257 256 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142. 257 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 74. Hal itu berarti bahwa benar terdakwa telah salah menyetubuhi korban, tetapi perbuatan korban yang mendatangi tempat tinggal pelaku, adanya hubungan asmara dan bahkan korban dari Medan mendatangi ke tempat kerja pelaku di Hotel Ambarita Samosir, persetubuhan itu berkali-kali dan lagi tingkat kecerdasan korban yang normal adalah juga memberikan pencelaan terhadap perbuatan korban dimaksud betapapun mungkin dalam tingkat yang sangat kecil. Kesalahan korban itu seharusnya mendapat pertimbangan yang patut dari hakim judex factie demi memberikan keadilan bagi masyarakat secara Universitas Sumatera utara umum dan sedapat mungkin hukuman yang dijatuhkan dapat memberikan efek cegah dan efek edukasi bagi pelaku laki-laki untuk tidak mudah menyetubuhi seorang wanita tanpa ikatan perkawinan apalagi seorang anak walau sekalipun dilandasi hubungan asmara dan dilain sisi juga bagi perempuan untuk tidak mudah menyerahkan kehormatannya tanpa ikatan perkawinan walau sekalipun itu dilandasi atas hubungan asmara. Penerapan Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak semata tanpa mempertimbangkan tingkat kesalahan terdakwa dan korban secara proporsional dalam menjatuhkan hukuman, potensial mendorong perbuatan tidak hati-hati baik bagi laki-laki maupun kaum hawa untuk menahan diri dari persetubuhan atas landasan hubungan asmara misalnya. Tidak seorangpun akan membenarkan tindakan pemerkosaan baik terhadap perempuan dewasa apalagi anak-anak, atau tindakan pencabulan atau persetubuhan dengan bujukan terhadap anak yang mungkin berumur di bawah 17 tahun, tetapi standar penilaian itu dapat bergeser ketika persetubuhan itu terjadi secara suka-sama suka terhadap pasangan laki-laki dan perempuan yang telah berumur 17 tahun ke atas dan sama-sama berfikiran normal. Pada kondisi yang terakhir ini bahwa seorang anak yang telah berumur 12 tahun saja telah dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, 17 tahun telah dapat memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum untuk menentukan nasib negara, 258 258 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan umum menegaskan: Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 tujuh belas tahun atau sudahpernah kawin mempunyai hak memilih. 17 tahun telah dapat diberikan Universitas Sumatera utara izin untuk memiliki Surat Izin Mengemudi, 259 Terdakwa melakukan persetubuhan dengan saksi korban adalah sebuah kesalahan karena terdakwa telah mampu untuk membedakan perbuatan baik dan buruk faktor kecerdasan dan telah mampu juga menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan itu faktor kehendak. Persetubuhan tanpa ikatan perkawinan adalah jelas perbuatan buruk tetapi terdakwa tetap juga melakukannya dengan saksi korban padahal terdakwa memiliki kehendak bebas memilih untuk tidak berbuat hal dimaksud sehingga dengan demikian pada diri terdakwa ada kesalahan. Adanya kesalahan pada diri terdakwa menjadikan pada tempatnya menjatuhkan pidana pada dirinya. Saksi korban sendiri yang dinilai telah berumur 17 tahun walaupun secara yuridis masih dianggap anak tetapi secara lalu karena menyetujui persetubuhan dengan pacarnya, kesalahan etis ini tidak dipertimbangkan sama sekali dalam memberikan keadilan bagi laki-laki yang menyetubuhinya. Usia 17 tahun seorang anak perempuan normal sepertinya dianggap belum bisa menentukan kehendaknya sehingga terkesan tidak memiliki ketercelaan ketika melakukan persetubuhan secara suka rela karena hubungan asmara, tetapi sebaliknya diberikan kepercayaan oleh negara untuk menentukan nasib negara lewat hak pilihnya dan kepercayaan untuk mengenderai kenderaan sendiri. 259 Pasal 81 ayat 1 dan 2 huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan: 1 Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. 2 Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 tujuh belas tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D. Universitas Sumatera utara kognisi 260 260 Kognisi berarti kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan termasuk kesadaran, perasaan dan sebagainya atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 712. dan kematangan berfikir sesungguhnya telah dapat menilai jika persetubuhan di luar nikah sebagai perbuatan buruk sehingga juga seharusnya telah dapat menentukan kehendaknya untuk melakukan atau tidak melakukan persetubuhan itu walau dengan bujukan terdakwa sekalipun. Kesalahan yang sama-sama ada pada diri terdakwa dan saksi korban sehingga terjadi persetubuhan dimaksud seharusnya menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Setidaknya kesalahan “kecil” perempuan itu harus mendapat pertimbangan hukum yang layak. Bila ditinjau dari sudut teori kesalahan, dapat dikatakan bahwa terdakwa dan korban sama-sama memiliki kesalahan karena perbuatan persetubuhan itu terjadi akibat pilihan bebas pelaku dan korban untuk melakukannya atau tidak melakukannya dimana pelaku dan korban sama-sama dapat menyadari nilai ketercelaan dari perbuatan persetubuhan itu sendiri, tetapi tetap melakukan perbuatan itu. Teori kesalahan korban mengajarkan bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil sehingga karena persetubuhan dalam perkara ini terjadi minimal akibat provokasi dan kontribusi saksi korban maka seharusnya korban dapat dipersalahkan sehingga patut mendapat tempat dalam pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana, minimal kesalahan yang ada pada korban harus “mendiskon” sebagai wujud konpensasi bagi kesalahan terdakwa yang pada akhirnya dapat meringankan pemidanaan terdakwa. Universitas Sumatera utara Indonesia sebagai sebuah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tentunya terikat dengan nilai-nilai religius betapapun mungkin pada tarap yang sangat tipis. Persetubuhan antara terdakwa dengan saksi korban dalam perkara ini dengan pertimbangan situasi dan kondisi keduanya, terkandung didalamnya pencelaan etika dan moral betapapun itu mungkin sangat kecil yang dapat ditimpakan bagi terdakwa dan saksi korban. Tidak ada pembenaran sekecil apapun baik itu bagi terdakwa maupun bagi saksi korban untuk bersetubuh diluar ikatan pernikahan dan jelas hal ini bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Sehingga sangat tepat apa yang ditulis oleh Sudarto sebagaimana dikutip oleh Madiasa Ablisar 261 Jika merujuk pendapat Sudarto di atas, maka walaupun yang jadi pijakan dalam menguji kesalahan perbuatan terdakwa adalah Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi pada tataran pemidanaan, kesalahan itu haruslah dilihat sebagai bagian bahwa hukum pidana itu merupakan cerminan dari nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Hukum pidana memberikan sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, perbuatan mana sangat tergantung pada pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan, hingga tidak salah kiranya kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana suatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu. 261 Madiasa Ablisar, Hukuman Cambuk: Sebagai Alternatif Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Medan: USU Press, 2011, hlm. 2. Universitas Sumatera utara dari hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai etis, moralitas dan agama serta pandangan hidup bangsa secara padu. Universitas Sumatera utara BAB IV PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH HAKIM JUDEX JURIS TERHADAP KASUS PERSETUBUHAN KEPADA ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR: 1202PID.SUS2009 Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. 262 Kasasi dalam bahasa Belanda disebut cassatie yaitu pembatalan putusan pengadilan bawahan yang telah dijatuhkan pembatalan mana oleh Mahkamah Agung dengan dasar: a transgression yaitu melampaui batas wewenang; b misjudge yaitu salah menerapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku; dan c negligent yaitu adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dengan membatalkan putusan. 263 Kasasi secara tegas di atur dalam KUHAP Pasal 244 yang berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” 264 262 Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 274. 263 Yan Pramadya Puspa, Op.Cit, hlm. 194-194. . Itu berarti terhadap seluruh putusan pengadilan yang berisi pemidanaan selain putusan Mahkamah Agung dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi. 264 Menurut rumusan pasal 191 ayat 1 KUHAP disebutkan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Itu Universitas Sumatera utara Tenggang waktu mengajukan upaya hukum kasasi yaitu 14 empat belas hari kalender sejak putusan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan 265 dan wajib menyerahkan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 empat belas hari kalender sejak tanggal diajukannya permohonan kasasi. 266 Permohonan kasasi dan memori kasasi disampaikan melalui kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang memutus perkaranya. 267 Fungsi utama peradilan kasasi yaitu mengoreksi atau memperbaiki kesalahan peradilan bawahan to correct error or mistake by the trial court or lower court, kesalahan mana yang umumnya terdiri dari kesalahan mengenai proses, kesalahan mengenai fakta dan kesalahan mengenai penerapan hukum. 268 berarti bahwa putusan bebas diberikan jika suatu tindak pidana benar dilakukan seseorang tetapi dia tidak memiliki kesalahan terhadap perbuatan itu. Dalam prakteknya jika seseorang didakwa melakukan suatu tindak pidana tetapi di depan pemeriksaan persidangan perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa, maka terdakwa akan diputus bebas. Secara doktrin, tulis M. Hamdan, “putusan bebas adalah putusan yang menyangkut tentang sifat melawan hukum pebuatan pelaku terdakwa yang dihapuskan dihilangkan, atau mengenai unsur perbuatan pidananya jadi dalam hal ini adalah sebagai unsur objektif yang dihapuskan”. Lihat M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana: Teori dan Studi Kasus, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012, hlm. 33-34. 265 Lihat Pasal 245 ayat 1 KUHAP. 266 Lihat Pasal 248 ayat 1 KUHAP. 267 Terdakwa telah menerima secara sah dan resmi pemberitahuan Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 05 Februari 2009 Nomor: 38Pid2009PT.MDN pada tanggal 21 April 2009 yang pada pokoknya menguatkan isi Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 18 Desember 2008 Nomor: 2417Pid.B2008PN-Mdn. Pada tanggal 23 April 2009 terdakwa melalui penasihat hukumnya mengajukan upaya hukum kasasi yang tertuang dalam Akta Permohonan Kasasi Nomor: 38Akta.Pid2009PN-Mdn selanjutnya menyampaikan Memori Kasasi pada tanggal 27 April 2009 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan. 268 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung:Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 selanjutnya disingkat dengan M. Yahya Harahap III, hlm. 237. Tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain yaitu: pertama, koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan yang didalamnya terkandung untuk memperbaiki dan Universitas Sumatera utara meluruskan kesalahan penerapan hukum dan atau tata cara mengadili sesuai dengan undang-undang dan atau pengadilan melampau batas wewenang; kedua, menciptakan dan membentuk hukum baru dalam hal ini misalnya membentuk yurisprudensi atau guna mengisi kekosongan hukum maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat; dan ketiga, pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum unified legal frame work dan unified legal opinion. 269 a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebgaimana mestinya. Tujuan pemeriksaan kasasi ditegaskan dalam Pasal 253 ayat 1 KUHAP yang berbunyi: 1. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Pemeriksaan kasasi merupakan wewenang Mahkamah Agung sebagai peradilan judex juris yaitu pengadilan yang mengadili penerapan hukum yang dilakukan oleh judex factie, sedangkan judex facti e adalah pengadilan yang mengadili fakta-fakta hukum yang kewenangan ini dipegang oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP yang menegaskan permohonan kasasi harus disampaikan di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang memutus 269 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 539-542. Universitas Sumatera utara perkaranya dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan diberitahukan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 248 KUHAP yang menegaskan bahwa Memori Kasasi wajib diberikan dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diajukan, berarti pemohonan kasasi terdakwa dalam perkara ini secara formil dapat diterima.

A. Memori Kasasi Terdakwa

Terdakwa melalui kuasa hukumnya telah mengajukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 38Pid2009PN-Mdn tanggal 05 Februari 2009 juncto Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008 dengan mengajukan Memori Kasasi pada tanggal 27 April 2009. Memori kasasi atau dalam praktik disebut juga risalah kasasi adalah uraian yang memuat tanggapan keberatan terhadap putusan yang dimintakan kasasi yang dapat berisi uraian tentang kesalahan penerapan hukum atau cara mengadili tidak dilaksanakan sesuai undang-undang atau karena pengadilan melampaui batas wewenangnya sebagaimana ditentukan secara limitatif dalam Pasal 253 ayat 1 KUHAP. 270 Adapun keberatan-keberatan Pemohon Kasasi Terdakwa yang diuraikan dalam Memori Kasasinya adalah berkaitan dengan 3 tiga hal pokok yaitu: pertama, Risalah yang berisi tentang bantahan-bantahan terhadap isi memori kasasi serta menekankan kembali kebenaran dan ketepatan putusan yang telah dijatuhkan dikenal sebagai kontra memori kasasi. 270 M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 553. Universitas Sumatera utara tentang pemeriksaan perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn bertentangan dengan hukum acara karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang- undang; kedua, tentang pertimbangan judex facti yang memeriksa dan memutus perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn kurang lengkap dan kurang sempurna onvoeldende gemotiveerd; dan ketiga, tentang pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn bertentangan dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Berikut ini akan diuraikan isi memori kasasi terdakwa secara lengkap. 271 1 Tentang Pemeriksaan Perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Bertentangan Dengan Hukum Acara Karena Cara Mengadili Tidak Dilaksanakan Menurut Ketentuan Undang-Undang. Pasal 253 ayat 1 huruf b KUHAP menentukan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi berwenang untuk memeriksa tentang apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Tata cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang bermaksud bahwa dalam hal atau kondisi tertentu suatu pemeriksaan perkara semestinya dan tidak boleh menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan secara baku oleh undang-undang dalam hal ini KUHAP namun ternyata sebaliknya. Maksud daripada cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 253 ayat 1 huruf b KUHAP adalah bahwa judex facti telah secara lalai tidak menunjuk penasehat hukum guna memberikan perlindungan hukum yang maksimal 271 Memori Kasasi terdakwa ini telah mengalami perobahan redaksi dari bunyi aslinya dengan tetap menjaga maksud dan tujuannya. Universitas Sumatera utara terhadap pemohon kasasi pembanding terdakwa selama proses persidangan yang mengancam kelalaian judex factie tersebut di atas dengan pembatalan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap pemohon kasasi pembanding terdakwa. Judex factie telah secara keliru memeriksa dan mengadili kasus a quo dikarenakan selama dalam pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri Medan, pemohon kasasi pembanding terdakwa tidak pernah didampingi oleh penasehat hukum, sementara pasal-pasal yang diancamkan terhadap pemohon kasasi pembanding terdakwa adalah pasal-pasal yang ancaman hukumannya 5 lima tahun atau lebih yaitu: pertama, melanggar Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; kedua, melanggar Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; dan ketiga, melanggar Pasal 293 ayat 1 KUHP. Pasal 56 ayat 1 KUHAP menentukan secara tegas: Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Berdasarkan Pasal 56 ayat 1 di atas, maka seharusnya judex factie menunjuk atau menyediakan seorang atau beberapa orang penasehat hukum untuk mendampingi pemohon kasasi pembanding terdakwa selama proses persidangan sehingga pemeriksaan perkara Nomor: 2417Pid.B2008PN-Mdn akan berjalan fair dan seimbang dan memungkinkan pemohon kasasi pembanding terdakwa dapat diputus bebas vrijspraak atau lepas dari segala tuntutan hukum onslag van alle Universitas Sumatera utara rechtsvervolging atau minimal dipidana dengan hukuman yang lebih ringan. Penunjukan penasehat hukum guna mendampingi terdakwa selama proses persidangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 ayat 1 KUHAP adalah bersifat imperatif yang tidak dapat diabaikan sehingga apabila ketentuan ini tidak dipenuhi mengakibatkan pemeriksaan tidak memenihi syarat yang diminta undang-undang yang berakibat “pemeriksaan sidang perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn adalah tidak sah illegal dan batal demi hukum null and void. Tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP, juga mengakibatkan pemeriksaan perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn juga tidak fair dan tidak seimbang bahkan mengabaikan hak asasi pemohon kasasi pembanding terdakwa guna memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaan diri yang maksimal dan hal ini juga secara nyata bertentangan dengan Pasal 11 ayat 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. 272 272 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A III, pada Pasal 11 ayat 1 berbunyi: 1 Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya. Berdasarkan hal-hal di atas, jelas dan nyata proses pemeriksaan dan persidangan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008 adalah bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, karenanya putusan dimaksud menjadi cacat hukum dan tidak sah sehingga perkara ini sangat berdasar hukum untuk diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung. Universitas Sumatera utara 2 Tentang Pertimbangan Judec Facti Yang Memeriksa dan Memutus Perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Kurang Lengkap dan Kurang Sempurna onvoeldende gemotiveerd. Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan memutus perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn dalam tingkat banding telah mengabaikan dan tidak sedikitpun mempertimbangkan seluruh dalil-dalil memori banding dari pemohon kasasi pembanding terdakwa. Pemohon kasasi pembanding terdakwa sangat keberatan atas Putusan Pengadilan Tinggi Medan yang menguatkan seluruh pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Medan dan sekaligus juga menjatuhkan putusan yang persis sama. Seharusnya Pengadilan Tinggi Medan wajib mempertimbangkan alasan-alasan dari banding pemohon kasasi pembanding terdakwa tentang ketidakabsahan pemeriksaan perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn sebagai akibat dari telah menyalahi peraturan perundang-undangan dalam hal ini pengabaian Pasal 56 ayat 1 KUHAP yang bersifat imperatif. Kenyataannya Pengadilan Tinggi Medan tidak saja mengabaikan dan menyampingkan alasan-alasan banding pemohon kasasi pembanding terdakwa, malahan Pengadilan Tinggi Medan secara penuh mengambil alih seluruh pertimbangan Pengadilan Negeri Medan tanpa sedikitpun mempertimbangkan memori banding pemohon kasasi pembanding terdakwa sehingga telah menyalahi prosedur pemeriksaan yang berlaku menurut hukum yang mewajibkan mempertimbangkan seluruh dalil-dalil alasan-alasan dari pemohon kasasi pembanding terdakwa, sehingga ini menjadikan Putusan Universitas Sumatera utara Pengadilan Tinggi Medan dapat dikwalifikasi sebagai putusan yang pertimbangannya kurang lengkap dan kurang sempurna onvoeldende gemotiveerd. 3 Tentang Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Bertentangan Dengan Fakta Hukum Yang Terungkap Dalam Persidangan. Pokok pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam memutus perkara a quo sebagaimana ternyata pada pertimbangan hukum pada halaman 19 alinea ketiga Putusan Pengadian Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008 yaitu: Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, dihubungkan dengan keterangan terdakwa, serta visum et repertum sebagai bukti surat yang terlampir dalam berkas perkara, maka Majelis akan memilih mempertimbangkan dakwaan kesatu dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 81 ayat 2 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Putusan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini semata- mata hanya mempertimbangkan tentang “membujuk anak untuk melakukan persetubuhan” sebagaimana yang telah menjadi salah satu unsur Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi tidak tidak cukup mempertimbangkan sebab-sebab causalitas kenapa terdakwa dan saksi korban sampai melakukan hubungan layaknya suami isteri dan seolah menutup mata terhadap realitas sosial dewasa ini dan telah menafsirkan Pasal 81 ayat 2 dimaksud secara sangat kaku. Berdasarkan keterangan saksi korban sebagaimana terurai dalam putusan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn halaman 13 sd 15 secara nyata bahwa saksi korban sendirilah yang kerap menjumpai terdakwa di rumah terdakwa dan bahkan saksi Universitas Sumatera utara korban mendatangi terdakwa ditempat kerjanya di Hotel Sanggam Ambarita Samosir sehingga dengan kenyataan ini seharusnya kesalahan ini tidaklah semata kesalahan pemohon kasasi terdakwa tetapi juga kesalahan ini haruslah dibagi secara sama antara saksi korban dengan pemohon kasasi sebagaimana adagium hukum “volle schuld gedelde schuld gedelde schade”- apabila kedua belah pihak c.q terdakwa dan saksi korban sama-sama salah maka harus sama menanggung salah dan rugi, tetapi fakta-fakta ini sama sekali tidak pernah dipertimbangkan oleh judex factie. Fakta tentang sebelum melakukan hubungan layaknya suami isteri dimana terdakwa merayu saksi korban adalah suatu alasan yang sesungguhnya manusiawi dan sangat klasik dan hal ini dilakukan oleh siapapun bahkan oleh suami terhadap isterinya. Hal terpenting sesungguhnya adalah saksi korban sendiri secara biologis telah dapat membedakan mana bujukan yang bersifat menipu dan atau mana bujuk rayu dari seorang terdakwa yang sebenarnya masih sebaya dengan saksi korban dan lagi pacar saksi korban sendiri. Saksi korban masih berusia 17 tujuh belas tahun adalah realitas Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai kategori “anak” tetapi usia 17 tujuh belas tahun sebagai realitas sosial adalah hal yang sangat berbeda, dimana lazimnya usia 17 tujuh belas tahun yang berakal sehat untuk dibujuk melakukan hubungan seksual dengan dasar hubungan asmara remaja dan saling suka sama suka dan lagi berulang kali sulit untuk dipahami apabila ini semata-mata secara kaku ditinjau dari Pasal 81 ayat 2 dimaksud. Universitas Sumatera utara Keterangan saksi AP ayah saksi korban pada halaman 16 alinea terakhir dalam putusan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn bertentangan dengan keterangan terdakwa, karena faktanya pihak terdakwa telah mencoba untuk berdamai dan bertanggungjawab untuk menikahi saksi korban, tetapi pihak saksi korban dalam hal ini diwakili oleh saksi AP dan ibu saksi korban mengabaikannya dengan alasan yang sangat rasial yaitu dikarenakan pemohon kasasi terdakwa seorang yang bersuku Nias. Uraian di atas bukanlah bermaksud untuk menafikan kesalahan terdakwa tetapi juga majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan memutus perkara ini sangat tidak mempertimbangkan keadilan sosial social justice tetapi semata-mata hanya dari sudut keadilan hukum legal justice yang sangat kaku hingga menimbulkan putusan hukum yang sangat mencederai keadilan secara mencolok dengan menjatuhkan pidana 12 tahun penjara bahkan sangat jauh dari upaya edukatif, korektif, preventif dan represif terhadap masyarakat luas. Berdasarkan seluruh fakta-fakta yuridis dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh terdakwa, jelas dan nyata Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 38Pid2009PT-Mdn tanggal 05 Februari 2009, telah diperbuat dengan kurang cukup pertimbangan dan bahkan menyalahi proses persidangan sebagaimana ditentukan oleh hukum acara pidana yang berlaku, sehingga putusan tersebut harus dibatalkan setidaknya diperiksa ulang kembali. Universitas Sumatera utara Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, terdakwa akhirnya meminta kepada Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini dalam tingkat kasasi agar memutuskan dengan amarnya yang berbunyi sebagai berikut: 273 1 Menerima permohonan kasasi dari pemohon kasasi BHZ. 2 Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 38Pid2009PT- Mdn tanggal 05 Februari 2009 jo Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008 dan mengadili sendiri. 3 Menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada pemohon kasasi BHZ. 4 Membebankan biaya perkara kepada negara.

B. Kontra Memori Kasasi Penuntut Umum

Menanggapi memori kasasi terdakwa, penuntut umum kemudian mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 08 Mei 2009 dan telah diserahkan kepada terdakwa pada tanggal 20 Mei 2009 dengan uraian sebagai berikut: 274 1 Tanggapan tentang Pemeriksaan Perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Bertentangan Dengan Hukum Acara Karena Cara Mengadili Tidak Dilaksanakan Menurut Ketentuan Undang-Undang. Apabila dipahami pasal 56 ayat 1 KUHAP, maka tidak ada kewajiban majelis hakim untuk menunjuk penasehat hukum apabila terdakwa mampu. Perihal ketidak mampuan terdakwa tidak pernah disampaikan baik oleh terdakwa sendiri ataupun keluarganya dan tidak ada satu buktipun berupa surat keterangan miskin dari 273 Bunyi amar permohonan terdakwa ini sesuai dengan redaksi aslinya dalam memori kasasi. 274 Kontra Memori Kasasi Penuntut Umum ini telah mengalami perobahan dari redaksi aslinya dengan tetap menjaga kesamaan maksud dan tujuannya. Universitas Sumatera utara kantor Lurah tempat terdakwa bertempat tinggal. Sewaktu pemeriksaan persidangan majelis hakim pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Medan telah menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa menghadap sendiri atau didampingi oleh penasehat hukum, dan terdakwa menyatakan menghadap sendiri dan tidak perlu didampingi oleh penasehat hukum. Atas alasan ini, keberatan penasehat hukum terdakwa tersebut di atas sama sekali tidak beralasan sehingga wajib dikesampingkan dan ditolak; 2 Tanggapan tentang Pertimbangan Judex Factie Yang Memeriksa dan Memutus Perkara No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Kurang Lengkap dan Kurang Sempurna onvoeldende gemotiveerd. Penuntut Umum menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Sumatera Utara mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang dimintakan banding dan Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara telah mempertimbangkan secara yuridis segala unsur-unsur pasal yang didakwakan dalam perkara ini. Setelah mencermati secara teliti Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara maka putusan tersebut telah sesuai dengan ketentuan maupun aturan hukum yang berlaku dimana penerapan hukum telah benar dan lengkap serta cara mengadili telah dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa putusan majelis hakim telah sempurna dan tidak cacat secara hukum. Oleh karena itu alasan penasehat hukum dalam poin ini wajib dikesampingkan dan ditolak. Universitas Sumatera utara 3 Tanggapan tentang Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn Bertentangan Dengan Fakta Hukum Yang Terungkap Dalam Persidangan. Keberatan terdakwa perihal saksi korban masih berusia 17 tujuh belas tahun secara nyata kerap menjumpai terdakwa di rumah terdakwa dan saksi korban mendatangi terdakwa ditempat kerjanya di Hotel Ambarita Samosir sehingga majelis hakim tidak cukup mempertimbangkan sebab-sebab kausalitas mengapa terdakwa dan saksi korban sampai melakukan hubungan layaknya suami isteri, menurut penuntut umum tidak memenuhi ketentuan sebagaimana alasan mengajukan memori kasasi. Hubungan sebab akibat perbuatan terdakwa dengan saksi korban telah diperiksa dan telah diberikan analisis yuridis pada tingkat peradilan pertama dengan memeriksa para saksi sehingga alasan penasehat hukum terdakwa pada poin ini wajib ditolak dan dikesampingkan. Berdasarkan uraian kontra memori kasasi tersebut di atas, penuntut umum dengan mengingat Pasal 244, 245, 248 dan 253 KUHAP, meminta agar Ketua Mahkamah Agung RI memutuskan sebagai berikut: 275 1 Menolak permohonan kasasi dari penasehat hukum terdakwa. 2 Menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara No. 38Pid2009PT-Mdn tanggal 05 Februari 2009. 3 Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa. 275 Bunyi amar permohonan penuntut umum sesuai dengan redaksi aslinya dalam kontra memori kasasi. Universitas Sumatera utara

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202KPid.Sus2009

Mahkamah Agung setelah mempertimbangkan alasan-alasan yang tertuang dalam Memori Kasasi Terdakwa berpendapat sebagaimana diuraikan di bawah ini. 276 Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No. 38Pid2009PT-Mdn Mahkamah Agung berpendapat bahwa judex facti tidak salah dalam pertimbangan hukumnya, dan menyatakan telah terbukti unsur-unsur Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dengan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dimana saksi korban adalah berusia 17 tahun bukan 15 tahun. Akan tetapi, terlepas dari alasan-alasan tersebut di atas tidak dipungkiri adanya hubungan yang istimewa antara saksi korban dan terdakwa sejak April 2007, dan lagi pula hubungan suami isteri sudah terjadi berkali-kali, dan fakta menunjukkan bahwa saksi korban berkali- kali datang ke rumah terdakwa, tempat kerja terdakwa dan ke hotel tempat kerja terdakwa tanpa ada paksaan dari terdakwa. Disamping itu juga, ada usaha dari pihak keluarga terdakwa untuk menikahkan terdakwa dengan saksi korban akan tetapi ditolak oleh orang tua saksi korban. Sekalipun unsur-unsur dari Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi, tetapi atas dasar alasan tersebut di atas ada alasan menurut Mahkamah Agung bahwa saksi korban dan terdakwa melakukan hubungan suami isteri atas dasar suka sama suka. 276 Redaksi pertimbangan Mahkamah Agung ini telah mengalami perobahan redaksi dari aslinya dengan tetap menjaga maksud dan tujuannya. Universitas Sumatera utara tanggal 5 Februari 2009 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008, tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut. Oleh karena permohonan kasasi terdakwa dikabulkan, akan tetapi oleh karena terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada terdakwa. Setelah memperhatikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Mahkamah Agung memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi BHZ tersebut; 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 38Pid2009PT- Mdn tanggal 5 Februari 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2417Pid.B2008PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008; 3. Menyatakan terdakwa BHZ telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya”; 4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 empat tahun; 5. Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp. 60.000.000,- enam puluh juta rupiah; 6. Menetapkan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 enam bulan; 7. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 8. Membebankan terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- dua ribu lima ratus rupiah; Universitas Sumatera utara

D. Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202KPid.Sus2009

Putusan Mahkamah Agung ini adalah sebuah putusan yang sangat bijaksana dan mencerminkan keadilan, karena pertimbangan hukumnya tidak hanya didasarkan atas pemenuhan unsur-unsur yuridis tetapi sekaligus memperhatikan fakta-fakta yang menjadi kausalitas tindak pidana yang terjadi. Tampak disini bahwa Mahkamah Agung telah melompat dari paradigma supremasi hukum law supremacy kepada supremasi keadilan justice supremacy sebagai tujuan terjauh dari hukum. 277

1. Mahkamah Agung Membenarkan Pertimbangan Hukum Judex Factie

Perihal Keterbuktian Unsur-Unsur Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002 Keberatan terdakwa terkait proses pemeriksaan perkara ini sewaktu diperiksa ditingkat pertama tanpa didampingi penasehat hukum yang menurut terdakwa bertentangan dengan hukum acara khususnya ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP dan juga tentang keberatan seputar kurang lengkap dan kurang sempurnanya pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Medan sebagaimana terurai dalam bagian memori kasasi di atas pada angka 1 dan 2, tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat bahwa pertimbangan hukum judex factie telah benar sehingga pertimbangan perihal unsur- unsur Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak terbukti secara sah dan meyakinkan. Itu berarti Mahkamah Agung berpendirian bahwa ketentuan Pasal 56 277 Romli Atmasasmita menulis bahwa tujuan keadilan sesungguhnya tujuan terjauh dari hukum, berbeda dengan ketertiban yang merupakan tujuan terdekat dari hukum setelah kepastian hukum. Lihat Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangungan dan Teori Hukum Progressif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, hlm. 24. Universitas Sumatera utara ayat 1 KUHAP tidak mengikat secara wajib jika terdakwa secara nyata tidak menginginkan didampingi penasehat hukum. Pertimbangan Hakim Agung seputar pembenaran pertimbangan judex factie ini yang tertuang dalam putusannya sangat singkat sehingga untuk mengetahui kenapa pertimbangannya sampai kepada pembenaran pertimbangan judex factie dan menolak keberatan-keberatan terdakwa dimaksud tidak ditemukan dalam putusan ini secara memuaskan.

2. Mahkamah Agung Memperhatikan Keberadaan Umur Korban yang Sudah 17 Tahun

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 17