44
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN
PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
A. Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri
Seperti yang penulis telah jabarkan pada bab sebelumnya, bahwa kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri telah diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan terakhir diberlakukan undang-undang kepolisian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang berlaku saat ini, pada dasarnya memiliki persamaan dengan undang-undang sebelumnya. Persamaan yang dimaksud adalah terkait
kewenangan Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan Kapolri. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 mengubah kewenangan Presiden dalam hal
mengangkat dan memberhentikan Kapolri yang sebelumnya menjadi kewenangan penuh Presiden, diubah menjadi kewenangan bersama dengan DPR. Dalam
rangka adanya check and balances antar lembaga negara. Kewenangan bersama Presiden dan DPR mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
sebagaimana disebutkan di atas, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
bahwa “Kapolri
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam kasus pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan, Presiden sebagai Kepala Negara memiliki wewenang untuk menentukan siapakah yang
berhak menduduki jabatan tertinggi di dalam tubuh kepolisian. Sesuai yang diamanatkan undang-undang kepolisian, Presiden Joko Widodo telah
melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Beliau memilih nama Budi Gunawan dari beberapa nama yang diusulkan oleh Kompolnas sebagai calon
tunggal untuk selanjutkan diserahkan kepada DPR untuk dilakukannya fit and proper test dan kemudian mendapat persetujuan dari DPR.
Namun dalam prosesnya ternyata Budi Gunawan tersandung kasus dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Hal ini menyebabkan tertundanya
pelantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang mana dirinya telah mendapat persetujuan dari DPR. Karena merasa dirinya tidak pernah melakukan
apa yang dituduhkan, Budi Gunawan mengajukan praperadilan, dan keputusan praperadilan tersebut menyatakan bahwa Budi Gunawan terbebas dari statusnya
sebagai tersangka. Keputusan Joko Widodo untuk menunda pelantikan Budi Gunawan dan
menunggu hasil keputusan praperadilan memberikan sedikit harapan kepada Budi Gunawan untuk menduduki jabatan Kapolri tersebut. Tapi ternyata Joko Widodo
mengambil keputusan lain untuk tidak meneruskan pengangkatan Budi Gunawan dengan membatalkan pengangkatan dirinya dan menunjuk calon baru untuk
menggantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
Penulis menilai tindakan Presiden Joko Widodo tersebut kurang tepat, mengingat Presiden Joko Widodo telah mendapatkan persetujuan DPR. Ditambah
hasil gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan memenangkan Budi Gunawan sehingga dinyatakan tidak bersalah. Secara etika hukum tata
negara tindakan Presiden Joko Widodo tersebut kurang tepat karena dapat mencederai hubungan antar lembaga negara antara eksekutif dan legislatif baik
secara administratif maupun secara kelembagaan, karena DPR telah menyutujui nama yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo.
Meskipun hal tersebut merupakan kewenangan Presiden untuk mengangkat pejabat negara dalam hal ini Kapolri, namun menurut Jum Anggriani
berdasarkan teori kewenangan bahwasannya salah satu sumber kewenangan yaitu berasal dari atribusi
1
, yaitu kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan. Kewenangan Presiden ini biasanya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar dalam bentuk pembagian kekuasaan negara. Selain itu, pengaturan mengenai pengangkatan Kapolri juga hanya
mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka disimpulkan pembatalan Budi Gunawan
sebagai Kapolri tidak memiliki dasar hukum, dan tentu hal ini tidak sesuai dengan Indonesia sebagai Negara Hukum rechtsstaat dan bukan berdasarkan kekuasaan
belaka machtsstaat sebagaimana dijabarkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih tegas tercantum didalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat
3, yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
1
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, . . .h.89-92.
Pengertian negara berdasarkan hukum berarti bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat harus didasarkan atas hukum. Hal ini
berarti hukum mempunyai kedudukan yang tinggi dan setiap orang baik pemerintah ataupun warga negara harus tunduk terhadap hukum.
2
Selain itu ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi
kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warganya. Selain itu, salah satu asas penting didalam negara hukum adalah asas
legalitas. Dimana asas tersebut menghendaki setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan atau
pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.
3
Sehingga menurut penulis diperlukan suatu peraturan tersendiri yang mengatur mengenai
pengangkatan Kapolri sehingga dalam pengangkatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pakar hukum tata negara Margarito Khamis pun menyatakan
4
, keputusan Presiden Joko Widodo tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah dia
dinyatakan lolos fit and proper test di DPR dianggap mempermainkan proses konstitusional di DPR. Seharusnya menurut Margarito, selepas DPR menyetujui
nama yang diajukan oleh Presiden, secara ketatanegaraan seyogyanya presiden melantik calon tersebut. Margarito menambahkan, seseorang yang dicalonkan
menjadi Kapolri bersifat imperatifmengikat. Secara logika menurut Margarito, di
2
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2012, h.37.
3
Ni‟matul Huda, Ilmu negara, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012, h.78.
4
http:m.rmol.conews.php, diakses pada 8 September 2015, pukul 09.15 WIB.