Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri
Pengertian negara berdasarkan hukum berarti bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat harus didasarkan atas hukum. Hal ini
berarti hukum mempunyai kedudukan yang tinggi dan setiap orang baik pemerintah ataupun warga negara harus tunduk terhadap hukum.
2
Selain itu ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi
kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warganya. Selain itu, salah satu asas penting didalam negara hukum adalah asas
legalitas. Dimana asas tersebut menghendaki setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan atau
pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.
3
Sehingga menurut penulis diperlukan suatu peraturan tersendiri yang mengatur mengenai
pengangkatan Kapolri sehingga dalam pengangkatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pakar hukum tata negara Margarito Khamis pun menyatakan
4
, keputusan Presiden Joko Widodo tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah dia
dinyatakan lolos fit and proper test di DPR dianggap mempermainkan proses konstitusional di DPR. Seharusnya menurut Margarito, selepas DPR menyetujui
nama yang diajukan oleh Presiden, secara ketatanegaraan seyogyanya presiden melantik calon tersebut. Margarito menambahkan, seseorang yang dicalonkan
menjadi Kapolri bersifat imperatifmengikat. Secara logika menurut Margarito, di
2
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2012, h.37.
3
Ni‟matul Huda, Ilmu negara, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012, h.78.
4
http:m.rmol.conews.php, diakses pada 8 September 2015, pukul 09.15 WIB.
dalam Pasal 11 ayat 3 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia jika dalam 20 hari DPR tidak memberikan tanggapan atas nama yang diajukan sebagai Kapolri,
maka DPR dianggap setuju. Maka dalam kasus ini yang terjadi justru kebalikannya. Calon yang diajukan oleh Presiden sudah disetujui oleh DPR,
namun justru dibatalkan oleh Presiden. Margarito menambahkan, jika Presiden Joko Widodo ingin membatalkan pengangkatan Budi Gunawan, maka seharusnya
Presiden Joko Widodo melantik terlebih dahulu baru kemudian memberhentikan. Senada dengan Margarito, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin
berpendapat bahwa batalnya Presiden melantik Budi Gunawan menunjukkan lemahnya sistem presidensial yang dianut Indonesia. Irman menambahkan Budi
Gunawan merupakan calon Kapolri pilihan rakyat karena disetujui oleh DPR yang merupakan wakil-wakil rakyat. Sehingga tidak ada alasan bagi Joko Widodo
untuk tidak melantik Budi Gunawan.
5
Maka dari itulah penulis berpendapat tindakan yang dilakukan Presiden Joko Widodo dinilai kurang tepat. Seharusnya sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi Presiden mampu mengambil sebuah keputusan yang bijak sehingga tidak menimbulkan polemik baik di tataran pemerintahan maupun di masyarakat.
Kemudian, selain Presiden harus memahami alur hukum ketatanegaraan terutama di dalam pengangkatan pejabat negara, presiden juga seharusnya memahami
dalam hal etika hukum terutama dalam hukum tata negara. Penulis juga sependapat dengan Margarito, seharusnya jika Presiden ingin
membatalkan pelantikan maka Presiden harus mengangkat terlebih dahulu baru
5
http:m.cnnindonesia.comnasionalirmanputra-Joko Widodo-tak-boleh-mundur-untuk- lantik-budi-gunawan, diakses pada 8 September 2015, pada pukul 10.00 WIB.
setelah itu memberhentikan. Karena sebagaimana dalam Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 yang menyebutkan “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
6
Artinya wewenang presiden yaitu mengangkat dan memberhentikan. Sehingga apabila presiden
hendak memberhentikan Kapolri, maka Kapolri tersebut haruslah sudah diangkat. Dan dalam kasus Budi Gunawan, karena yang bersangkutan belum diangkat maka
seharusnya diangkat terlebih dahulu baru kemudian diberhentikan. Kemudian penulis menilai secara legal formal Presiden memang sudah
sesuai dengan aturan, namun di balik itu semua ada etika hukum yang harus dilakukan presiden. Dalam hal ini penulis berpendapat tindakan yang diambil
Presiden mengurangi kewibawaannya sebagai seorang yang memiliki wewenang untuk mengangkat Kapolri. Presiden terlihat ragu dalam mengambil keputusan
apakah melantik Budi Gunawan atau tidak. Padahal DPR telah memberikan persetujuan. Keraguan itu pun akhirnya berimbas pada dibatalkannya pilihan
presiden terhadap calon tunggalnya tersebut. Begitu pun dalam etika hubungan antar lembaga negara. Senada dengan
Margarito, Presiden dinilai telah melecehkan lembaga DPR yang telah memberikan persetujuan namun presiden tidak melantik Budi Gunawan. Hal ini
tentunya dapat mempengaruhi hubungan antara Presiden dengan DPR. Dengan hal ini seharusnya DPR dapat menggunakan haknya yaitu hak interpelasi untuk
meminta penjelasan mengenai keputusan Presiden tersebut.
6
Pasal 11 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Hal mendasar dari permasalahan ini menurut penulis adalah karena tidak adanya pengaturan yang eksplisit mengatur mengenai pengangkatan Kapolri.
Selama ini pengangkatan Kapolri hanya mengacu pada Pasal 11 Undag-Undang No. 2 Tahun 2002. Padahal pasal tersebut belumlah cukup untuk mengakomodir
megenai pengangkatan Kapolri dengan segala permasalahannya, sehingga diperlukan aturan lebih lanjut yang lebih lengkap dalam pengangkatan Kapolri.
Apalagi Indonesia sendiri sebagai negara hukum rechstaat, bukan negara berdasarkan kekuasaan semata machstaat. Sehingga seyogyanya segala
kebijakan yang dilakukan oleh pejabat negara yang berkaitan dengan kenegaraan harus berdasarkan dengan hukum yang mengaturnya.
Di dalam al- qur‟an pun dijelaskan dalam surat Shad ayat 26 :
كڬ݃ضيف ݒݑݏْلا عبڬتت اݐ ڮقحْل۱ب س۱ڬلا ْ݉يب ْ݅كْح۱ف ضْܐأا يف ةفي݃خ ك۱ْ݃عج ۱ڬ݊إ دݐاد ۱ي
ڬلا ڬ݈إ ڬَ ليبس ْ݉ع ۲۱سحْلا ْ݄ݑي اݑس݊ ۱݇ب ديدش ۲اع ْ݅ݏل ڬَ ليبس ْ݉ع ݈ݑڭ݃ضي ݉ي
٦٢
Yang artinya : “Hai Daud, sesungguhnya Kami jadikan kamu sebagai khalifah penguasa di
muka bumi, maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” QS
Shâd38: 26. Ayat di atas mengandung perintah kepada kita untuk mengekang hawa
nafsu. Allah SWT menyuruh agar kita senantiasa mengikuti perintah-Nya dan jangan mengikuti perintah hawa nafsu yang akan merugikan dan menghancurkan
kehidupan kita. Hawa nafsu mengandung pengertian kecenderungan hati kepada hal-hal yang disukai dan dicintai yang tidak ada kaitannya dengan urusan akhirat,
seperti perkara yang melalaikan, menggiurkan, melenakan, takabur, riya‟, sombong, „kemaruk‟ tamak, rakus pangkat dan kekuasaan, cinta dunia, suka
berkata kasar, makan berlebihan, mengumbar syahwat, dan sifat-sifat tercelalainnya.
Ayat ini menandaskan bahwa tatkala menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum dan mengadili tidak berdasarkan kecendrungan pribadi
karena hukum seperti ini akan membuat manusia berpaling dari kebenaran dan hakikat. Dalam masalah menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum, ayat
di atas menggunakan kata hak bahwa hukum dan peradilan harus berdasarkan kebenaran dan fakta yang ada sehingga tiada satu pun yang dizalimi dari dua
pihak yang bersengketa. Dan dalam Al-Hadits pun disebutkan :
ܐ ݑݏف ۱݊ ْܑ݆أ هْي݃ع سْيل ا݇ع ل݇ع ْ݆݉
Yang artinya : “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam urusan
kami hukumnya, maka amalannya tertolak tidak sah ”. HR. Bukhari dan
Muslim.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa suatu perbuatan haruslah ada hukum atau peraturan yang mengaturnya. Apabila manusia dalam beribadah tanpa
ada hukum yang mengaturnya, maka ibadah tersebut ditolak. Kita analogikan ibadah itu sebagai perbuatan yang dilakukan dalam bertatanegara. Apabila suatu
perbuatan dalam bertata negara dilakukan tanpa ada hukum yang mengaturnya, maka dapat dikatakan perbuatan tersebut tidak sah, atau illegal. Sehingga jelas
dalam melaksanakan sesuatu harus ada hukum yang mengaturnya.