Feminisme Liberal dalam Wacana Fenomena Koruptor Perempuan pada Rubrik Topik Kita di Majalah Noor

(1)

MAJALAH NOOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Aulia Rahmi NIM. 1110051100055

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Denganinisayamenyatakanbahwa:

1. Skripsiinimerupakanhasilkaryasaya yang

diajukanuntukmemenuhisalahsatupersyaratanmemperolehgelarStara 1 (S1) UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

2. Semuasumber yang sayagunakandalampenulisanini,

telahsayacantumkansesuaidenganketentuan yang belaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

3. Jikakemudianhariterbuktibahwakaryainihasilplagiatatauhasiljiplakankarya orang lain, makasayabersediamenerimasanksi yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Desember 2014


(5)

ABSTRAK Aulia Rahmi

Feminisme Liberal DalamWacana Fenomena Koruptor Perempuan Pada Rubrik Topik Kita di Majalah Noor.

Majalah merupakan salah satu media komunikasi massa dalam menyampaikan pesan kepada khalayak dengan sangat terperinci karena memiliki karkteristik yang berbeda dari media cetak lainnya. Pemberitaan di majalah dihadirkan dalam bentuk yang menarik dan isinya yang lebih imajinatif. Salah satu pemberitaan yang menjadi topik hangat di media cetak beberapa waktu lalu adalah kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat perempuan. Namun, diantara beberapa media, baik media elektronik maupun media cetak yang memuat berita mengenai fenomena koruptor perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana teks yang dibangun oleh majalah Noor mengenai fenomena koruptor perempuan ?Bagaimana kognisi sosial yang melatar belakangi wacana yang dibentuk pada rubrik topik kita di majalah Noor? Bagaimana pula kontekssosial yang melatar belakangi wacana dalam pemberitaan mengenai fenomena koruptor perempuan pada rubrik topik kita di majalah Noor?

Teori yang digunakan dalam instrument penelitian ini adalah teori feminisme liberal yang diuraikan dalam buku Feminist Thought karya Rosmarie Putnam Tong, dimana penganut aliran feminisme liberal menekankan bahwa keadilan gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, yang didalamnya perempuan dapat merasakan hak yang sama dengan laki-laki baik dalam memperoleh pendidikan dan bermanfaat di ruang publik. Karena itu, penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif untuk menjelaskan keterikatan antara teori feminisme liberal dengan permasalahan mengenai koruptor perempuan menggunakan pisau analisis wacana kritis milik Teun. A. Van Dijk.

Metodologi penelitian ini menggunakan paradigm kritis dengan pendekatan kualitatif. Paradigma kritis bersumber pada bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan proses produksi berita. Metode ini menekankan pada level teks, kognisi sosial, dan konteks sosial yang berhubungan dengan berita yang ditampilkan pada rubrik topic kita di majalah Noor agar menjadi sebuah pembelajaran untuk dapat menyampaikan pesan komunikasi dengan baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada berita terdapat makna teks yang meliputi enam struktur teks. Selain itu terdapat kognisi sosial yang meliputi empat skema berupa skema person, skema diri, skema peran, dan skema peristiwa. Pemberitaan tersebut juga dilatarbelakangi oleh konteks sosial berupa praktik kekuasaan dan akses yang mempengaruhi wacana di dalamnya.

Kata kunci: Media cetak, Feminisme liberal, Rubrik topik kita, Koruptor perempuan.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Segala puji bagi Allah SWT ., Tuhan

semesta alam yang senantiasa melimpahkan nikmat, karunia, dan ridhoNya . Shalawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta para sahabat dan keluarganya, yang telah menjadi panutan yang baik bagi umat Muslim di seluruh dunia. Serta hidayah dan inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Selama kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya peneliti dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Kritis Citra Koruptor Perempuan Pada Rubrik Topik Kita di Majalah Noor”, yang disusun guna

memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1) pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya skripsi ini juga berkat doa, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu peneliti bermaksud untuk mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Mereka adalah:

1.

Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Arief Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed, Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs. Jumroni, M.Si, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, H. Sunandar, M.A.


(7)

2.

Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si. serta Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik, Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah meluangkan waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal perkuliahan. Tak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Ketua dan Sekretaris terdahulu, Rubiyanah, MA. dan Ade Rina Farida, serta Dosen Pembimbing Akademik Dr. Rully Nasrullah, atas bantuan dan petuahnya kepada peneliti selama ini.

3.

Dosen Pembimbing, Wati Nilamsari, M. Si., yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan banyak pelajaran, baik dari segi keilmuan maupun tulisan, dan selalu memotivasi peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Semoga Ibu selalu dilimpahkan karunia dan nikmat serta senantiasa selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT.

4.

Seluruh dosen pengajar dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis, .

5.

Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang telah menyediakan buku serta fasilitas lainnya sehingga penulis mendapat banyak referensi dalam penelitian ini.

6.

Narasumber Penelitian, Pemimpin Redaksi Majalah Noor, Jetti R.


(8)

Majalah Noor, Riri atas bantuannya guna melengkapi syarat penelitian ini.

7.

Orangtua tercinta, Ayahanda Drs. Gustiri MAK dan Ibunda Ende Juju Julaeha serta keluarga besar yang tiada henti menyemangati peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu, serta memberikan dukungan berupa doa, moril, dan materil yang tak terhingga jumlahnya. Semoga Allah senantiasa memberikan mereka nikmat sehat dan umur panjang agar bisa menjadi saksi hingga anaknya menjadi pribadi yang sukses serta berguna bagi nusa dan bangsa.

8.

Fajar Febrianto, yang senantiasa membantu peneliti dalam hal

apapun, termasuk dalam doa, semangat, serta tidak pernah lelah mengingatkan peneliti agar menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan bermanfaat. Terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan. Semoga Allah membalas budi baikmu.

9.

Sahabat terbaikku yang senantiasa menjadi pelipur lara, Norma Gustiany, Athifa Rahmah, Dea Nuva, Bella Stevany, Ira Wati, Latifah, Ika Suci Agustin, Revalia Ayunda, Alica, Faradilla Nurul Rahma, Vera. Terima kasih kalian selalu berhasil membuat saya tertawa bahagia.

10.

Teman-teman seperjuangan Konsentrasi Jurnalistik 2010, Jurnalistik A, Septinia, Tezar Aditya, beserta teman Najua lainnya, teman-teman Jurnalistik C, dan khususnya Jurnalistik B, Ntep, Diyah, Damar, Tyo, Damar, Bunbun, Nissa, Sri, Fauziah dan teman-teman JB lainnya yang tidak dapat peneliti tuliskan satu-persatu. Terima kasih untuk


(9)

kenangan selama empat tahun lamanya, dalam belajar, berkarya, berimajinasi, dan belajar bersama menjadi calon Jurnalis yang baik

11.

Keluarga besar Radio Dakwah dan Komunikasi (RDK FM), yang

telah memberikan banyak pelajaran berharga. Terima kasih telah memberikan pengalaman yang terbaik bagi peneliti untuk terus belajar dan belajar.

12.

Keluarga besar Unity Agency, khususnya Terry Sintawati Latif yang telah banyak memberikan peneliti waktu untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Terima kasih atas motivasi dan pelajaran yang selalu diberikan.

13.

Teman-teman KKN SIMFONI 2013 Tanjakan Mekar. Terima kasih atas pengalaman hidup selama satu bulan, dan canda tawa yang kita lalui bersama dengan penuh rasa kekeluargaan.

Pada penulisan skripsi ini, peneliti sadar masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Namun, peneliti telah semaksimal mungkin berupaya agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga skripsi ini menjadi manfaat bagi yang membacanya. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 12 Desember 2014


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR………....…...i

DAFTAR ISI………....…..…v

DAFTAR TABEL……….…...viii

DAFTAR GAMBAR………...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...7

D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian……….…..…8

2. Pendekatan Penelitian………...…9

3. Metode Penelitian……….…...11

4. Teknik Pengumpulan Data………….…………....11

5. Teknik Analisis Data………...…14

6. Subjek dan Objek Penelitian…………...15


(11)

E. Tinjauan Pustaka……….…..…...15

F. Sistematika Penulisan………..………..…..17

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Landasan Teori 1. Feminisme……….19

a. Feminisme Liberal………...23

2. Analisis Wacana………....25

a. Analisis Wacana Kritis Van Dijk………...28

B. Kerangka Konseptual 1. Korupsi a. Pengertian Korupsi……….……….…35

b. Korupsi di Indonesia……….……..38

2. Perempuan dalam Perspektif Islam………..40

3. Media Massa a. Pengertian Media Massa………..….…..45

b. Fungsi Sosial Media Massa………....48

c. Media Cetak………..….49

BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH NOOR A. Gambaran Umum Majalah Noor………...…...53

1. Visi dan Misi Majalah Noor………...…56

2. Logo Majalah Noor………...57


(12)

B. Gambaran Umum Rubrik Topik Kita

1. Rubrik Topik Kita………..……..…...59

2. Karakteristik Pembaca Majalah Noor…...…...60

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Struktur Teks Berita……….………62

1. Analisis Teks Berita “Agar Perempuan Tak Rentan”……...63

2. Analisis Teks Berita “Peta Identitas Perempuan: Menyikapi Fenomena Koruptor Perempuan (31/12/2013)….…...74

B. Analisis Level Kognisi Sosial………...…88

C. Analisis Level Konteks Sosial………....93

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………97

B. Saran………...99

DAFTAR PUSTAKA………100


(13)

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

Tabel 1: Struktur Teks Analisis Wacana Van Dijk………...31

Tabel 2: Elemen Teks pada Wacana Teun A. Van Dijk………...32

Tabel 3: Skema pada Level Kognisi Sosial………..33

Tabel 4: Struktur Redaksi Majalah Noor………...………..58

Tabel 5: Analisis Level Teks Berita Berjudul “Agar Perempuan Tak Rentan”....70

Tabel 6: Analisis Level Teks Berita Berjudul Peta “Identitas Perempuan: Menyikap Fenomena Koruptor Perempuan”………82


(14)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Realitas dunia tidak bisa hanya diamati melalui mata dan telinga saja, perlu pihak ketiga yaitu media massa.1 Media massa memiliki peran penting dalam komunikasi. Media massa itu sendiri sebagai alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal.2 Sedangkan komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Pada awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komuniksi massa) yang dihasilkan oleh teknologi modern.3

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, teknologi komunikasi media massa mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan teknologi tersebut telah mengantarkan masyarakat agar semakin mudah dalam berhubungan antara satu dengan lainnya. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, beredar surat kabar sebagai sumber informasi media cetak pertama kali. Media cetak adalah berita-berita yang disiarkan

1

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.2.

2

Burhan Bungin, Sosiologi komunikasi (Jakarta: Kencana, 2008), h.72.


(16)

melalui benda cetak.4 Keberadaan surat kabar sebagai media cetak pertama kali dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg di Jerman. Sedangkan keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui lima periode, yakni masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, serta zaman orde lama dan orde baru.

Setelah beredarnya surat kabar di Indonesia, munculah komunikasi berupa tulisan yang lebih beragam konten beserta isinya, yaitu majalah. Majalah merupkan salah satu media komunikasi massa dalam menyampaikan pesan kepada khalayak dengan sangat terperinci karena memiliki karakteristik yang berbeda dari media cetak lainnya. Karakteristik dari majalah dapat dilihat dari isi pesan yang disajikan. Dalam penyajian pesannya, majalah menyajikan pesan lebih banyak serta memiliki cover/sampul sebagai daya tarik.

Majalah terbit secara berkala dan isinya meliputi beragam liputan jurnalistik, pandangan tertentu, topik aktual yang layak diketahui konsumen pembaca, artikel, dan sastra. Penerbitan majalah dibedakan atas majalah mingguan, bulanan, dan sebagainya. Menurut pengkhususan isinya, majalah dibedakan atas majalah wanita, berita, remaja, olahraga, sastra, dan ilmu pengetahuan tertentu. Dan segmentasi pembacanya pun berbeda-beda. Salah satu majalah wanita yang ada di Indonesia yaitu majalah Noor.

4 Zaenudin HM,


(17)

Majalah Noor adalah majalah wanita yang terbit bulanan, dimana di dalam majalah ini terdapat beberapa rubrik yang dapat menjadi inspirasi bagi para pembacanya seperti info kesehatan, perjalanan, karier, kecantikan dan berbagai hal menarik di dalamnya. Majalah yang

mempunyai tagline “Yakin Cerdas Bergaya” ini merupakan majalah yang

bernafaskan Islam. Konten yang terdapat didalamnya terdiri dari 11 rubrik. Salah satu rubrik yang menarik dan membedakan majalah Noor dengan majalah lainnya adalah rubrik Topik Kita. Rubrik topik kita merupakan rubrik tentang pengetahuan yang didalamnya terdapat pandangan Islam. Rubrik topik kita hadir di setiap edisi majalah Noor dengan ulasan tema yang berbeda-beda setiap bulannya.

Salah satu tema yang dihadirkan dalam rubrik topik kita yaitu tentang fenomena koruptor perempuan pada majalah Noor edisi Vol X th. XI/2013. Dalam rubrik edisi tersebut membahas tentang persoalan politik yang kian ramai diperbincangkan. Dan tidak hanya dituliskan tentang fenomena yang sedang terjadi, tetapi dijelaskan juga mengenai pandangan dalam Islam terhadap perempuan.

Perempuan merupakan makhluk yang sangat dimuliakan. Hal tersebut yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dimana beliau sangat menghormati ibunya. Pada hakikatnya, perempuan tercipta untuk menjadi makmum (orang yang berdiri di belakang imam), tetapi seiring berkembangnya zaman, perempuan tidak hanya menjadi seorang pengikut laki-laki dan berproses menjadi seorang pemimpin layaknya kaum pria.


(18)

Dalam fikih siyasah (politik) maupun fikih munakahah

(pernikahan), kaum perempuan dipandang tak berhak menjadi pemimpin sebagai kepala pemerintahan maupun kepala keluarga.5 Realitanya, banyak kaum perempuan yang didaulat sebagai seorang pemimpin. Dimulai dari hal kecil, kedudukan ketua kelas yang semula hanya dipimpin oleh kaum lelaki, sekarang perempuan pun bisa menjadi seorang ketua kelas. Dalam sejarah politik Indonesia, tercatat Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin Negara dari kaum perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri. Dan kini semakin marak perempuan yang mencalonkan dirinya sebagai pemimpin penyalur aspirasi rakyat Indonesia.

Menjadi seorang pemimpin bukan hal yang mudah karena bertanggung jawab atas banyak jiwa. Tetapi banyak diantara pemimpin wanita yang mencalonkan dirinya untuk menunggang popularitas saja.

Dalam suatu Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: “Dari Ibnu Umar ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas

kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarga, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, kalian sebagai pemimpin akan dimintai

5

Nasarudin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.169


(19)

pertanggungjawaban kalian atas kepemimpinannya.”6 Dalil tersebut menjelaskan bahwa apabila sudah diberi amanat berupa jabatan yang baik lalu tidak dapat mempertanggungjawabkannya dengan baik seperti berbuat curang yaitu dengan melakukan tindak pidana korupsi, maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Meskipun tindak korupsi merupakan tindakan terlarang baik secara hukum maupun agama, tidak sedikit pemimpin yang melakukannya. Fenomena koruptor di Indonesia kian merajalela, dan pelakunya bukan hanya dari kalangan pria, tetapi juga wanita. Wanita yang terdaftar sebagai koruptor di Indonesia, beberapa diantaranya ialah Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti, Siti Hartati Murdaya,dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Menurut survey yang dilakukan oleh pihak Transparency International Indonesia (TII), Indonesia menempati urutan ke-118 dalam urutan Negara terkorup. Pihak TII juga melansir Indonesia berada di empat Negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi dengan kondisi yang semakin memburuk.7 Kondisi tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi Negara dalam upaya pemberantasan korupsi menurun.

Melihat realitas yang ada, menimbulkan ketertarikan bagi penulis untuk meneliti fenomena koruptor perempuan di Indonesia dalam rubrik

6 Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin Jilid Satu, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h.

604.

7

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Membasmi Kanker Korupsi, (Jakarta Pusat, T. Np, 2005), h. 223.


(20)

topik kita di majalah Noor yang akan diteliti dengan cara mencari makna tersembunyi (latent) pada suatu teks di media yang menjadi rujukan utama dalam penelitian. Untuk menganalisis sebuah makna yang terkandung dalam sebuah teks dapat diteliti melalui sebuah studi analisis data kualitatif, berupa analisis wacana.

Penelitian ini difokuskan pada pemberitaan mengenai koruptor perempuan tentang Fenomena Koruptor Perempuan dan Agar Perempuan Tak Rentan edisi Desember 2013, karena melihat pada bulan tersebut isu ini sedang ramai diperbincangkan. Maka Penelitian ini mengangkat judul

Feminisme Liberal dalam Wacana Fenomena Koruptor Perempuan

Pada Rubrik “Topik Kita” di Majalah Noor.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar lebih fokus dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah Analisis wacana pada fenomena koruptor perempuan pada majalah Noor yaitu dalam rubrik Topik kita di majalah Noor edisi Vol X th. XI/2013.

Terdapat kurang lebih tiga berita mengenai hal ini dalam majalah Noor pada bulan Desember 2013. Namun, peneliti fokus pada dua berita. Dari pembatasan masalah tersebut perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana teks yang dibangun oleh majalah Noor mengenai fenomena koruptor perempuan?


(21)

2. Bagaimana kognisi sosial yang melatarbelakangi wacana yang dibentuk majalah Noor mengenai fenomena koruptor perempuan? 3. Bagaimana konteks sosial yang melatarbelakangi wacana dalam

pemberitaan fenomena koruptor perempuan di majalah Noor?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang tertulis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui makna teks yang terdapat pada rubrik topik kita di majalah Noor tentang fenomena koruptor perempuan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui kognisi sosial ditinjau dari analisis wacana terhadap

majalah Noor mengenai fenomena koruptor perempuan dalam rubrik topik kita.

3. Untuk mengetahui konteks sosial ditinjau dari analisis wacana terhadap majalah Noor mengenai fenomena koruptor perempuan dalam rubrik topik kita

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Seperti hal-hal yang enggan dan dianggap tabu untuk diberitakan, sama halnya dengan apa yang terjadi ditengah masyarakat Indonesia khususnya dalam kancah politik.


(22)

2. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif khususnya pada bidang ilmu komunikasi, terutama dalam konteks analisis wacana, serta rubrik yang terkait dengan bidang sosial, ekonomi dan politik.

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi peneliti, praktisi komunikasi, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tim redaksi majalah, dan berbagai konten masyarakat lainnya bahwa dalam produksi suatu berita, teks tidak berdiri secara netral. Namun, banyak aspek yang ikut mempengaruhi di dalam memproduksi sebuah berita. Termasuk kondisi kognisi wartawan dan pandangan masyarakat dalam melihat suatu isu yang ditampilkan oleh suatu media. Penelitian ini juga guna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam mempelajari praktik karya jurnalistik.

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma kritis bersumber pada bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan


(23)

dan media bersangkutan dalam keseluruhan proses produksi berita.8 Dalam pandangan kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.

Analisis wacana dalam pandangan kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.9 Analisis wacana kritis tidak dipusatkan pada benar atau tidaknya struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme, karena pada paradigma kritis kelompok dominan sangat berperan dan terlihat ingin menunjukan diri mereka dengan mengemas sebuah wacana untuk selanjutnya dilemparkan ke publik sehingga dianggap sebagai nilai yang dapat diterima bersama oleh khalayak.

2. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari suatu perwujudan makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat.10 Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode pengumpulan data dan analisis yang bersifat non-kuantitatif. Karena dalam melakukan penelitian kualitatif adalah dengan menggunakan instrumen wawancara mendalam dan pengamatan.

Dalam melakukan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, terdapat beberapa kriteria, diantaranya ialah kredibilitas yang digunakan

8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h.

31.

9

Eriyanto, Analisis Wacana, h.48


(24)

untuk mendeskripsikan/memahami fenomena yang menarik perhatian dari suatu sudut pandang. Kedua, transferabilitas yang merujuk pada tingkat kemampuan hasil penelitian kualitatif yang dapat masuk akal. Ketiga, dependabilitas yang secara esensial berhubungan dengan kemungkinan memperoleh hasil yang sama sesuai dengan pengamatan yang dilakukan. Keempat, konfirmabilitas yang berasumsi bahwa setiap peneliti membawa perspektif yang unik ke dalam penelitian.11 Selain kriteria, hal yang juga sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah objek analisis.

Objek analisis dalam pendekatan kualitatif ialah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penulis menyandingkan dengan pisau analisis wacana yang dikemukakan Teun A. Van Dijk. Analisis wacana diartikan sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Terdapat perbedaan antara analisis wacana dengan analisis isi kualitatif yaitu analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi, sedangkan analisis isi lebih menekankan pada pernyataan apa (what) dalam sebuah teks.12

11 Prof. Dr. Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: Raja Grafindo,

2009), h.

12

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h.68.


(25)

3. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif model Analisis Wacana Kritis. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori milik Teun A. Van Dijk, dimana teks memiliki ideologi dan kecenderungan tertentu terhadap suatu pemberitaan. Dalam menganalisis menggunakan Analisis Wacana Kritis model Van Dijk diperlukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.13

Analisis wacana berfokus pada pencarian makna terhadap suatu pesan yang sifatnya tersembunyi (latent). Dalam perangkat wacana milik Van Dijk, jika ada suatu teks yang memarjinalkan wanita, dibutuhkan suatu penelitian lebih dalam untuk melihat bagaimana produksi teks itu bekerja, kenapa teks itu memarjinalkan wanita. Dan penelitian ini sangat khas Van Dijk karena melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.14

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah sebagai berikut:

13

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 201

14

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 221.


(26)

a. Observasi Non Partisipan

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi non partisipan. Observasi berupa pengamatan langsung dilakukan kepada teks yang akan diteliti yaitu teks berita mengenai fenomena koruptor perempuan pada rubrik Topik Kita di Majalah Noor edisi Desember 2013. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian non partisipan dimana peneliti mengobservasi tanpa bantuan dari partisipan.15

b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu yang sesuai dengan data.16 Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan wawancara mendalam kepada narasumber terkait yaitu Jetti Rosilla Hadi (Pemimpin Redaksi Majalah Noor) dan Badriyah Fayumi (Penulis dan Redaktur rubrik Topik Kita).

Wawancara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur (wawancara secara mendalam). Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pertanyaannya telah ditetapkan sebelumnya dan telah disediakan pilihan jawabannya, sedangkan wawancara tak terstruktur disebut

15

John W. Creswell, Research Design. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 268.

16

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Bhineka Cipta, 1996), cet ke-10, h.72.


(27)

sebagai wawancara mendalam (intensif) yang bertujuan untuk mendapatkan bentuk-bentuk informasi dari semua responden yang disesuaikan dengan cirri-ciri setiap responden.17

Wawancara dalam penelitian kualitatif berlangsung dari alur umum ke alur khusus. Wawancara pada tahap pertama biasanya hanya bertujuan untuk memberikan deskripsi dan orientasi awal periset perihal masalah dan subjek yang dikaji. Tema-tema yang muncul kemudian diperdalam, dikonfirmasikan pada wawancara berikutnya, dan demikian seterusnya hingga mencapai titik jenuh. Periset kualitatif dalam melakukan wawancara dapat melakukan loncatan materi wawancara kepada responden yang secara natural memiliki informasi yang lebih banyak dan menjadi informan yang lebih penting.18

c. Dokumentasi

Dokumentasi berupa data tertulis yang berisikan keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang bersifat aktual.19 Dokumentasi pada penelitian ini berupa foto, arsip, dokumen, dan catatan-catatan yang terdapat di majalah Noor.

d. Studi Pustaka

17

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 103.

18

Agus Salim MS, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 17.

19


(28)

Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari beberapa buku, jurnal, kamus, dan artikel media lain yang berhubungan dengan penelitian.

5. Teknik analisis data

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana Teun A. Van Dijk. Analisis wacana oleh Van Dijk digambarkan sebagai analisis yang mempunyai tiga dimensi didalamnya, yaitu: level teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Kesimpulan dari analisis ini adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut kedalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat dalam suatu masalah.20

Setelah data terkumpul secara rapi dan lengkap, data yang didapatkan adalah hasil dari wawancara, arsip-arsip serta dokumentasi majalah Noor yang kemudian dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu dianalisis dan diberikan interpretasi dengan cara mengklasifikasikannya dengan kerangka teori dan dibuat kesimpulan.

6. Subjek dan objek penelitian

20

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 224.


(29)

Subjek yang diteliti adalah pihak redaksi majalah Noor, sedangkan objek penelitiannya adalah teks berita dengan judul “Menyingkap Fenomena Koruptor Perempuan” dan “Agar Perempuan Tak Rentan” pada rubrik topik kita edisi Vol X th. XI/2013 di majalah Noor.

7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di kantor Majalah Noor yang terletak di Jalan Karang Pola VI No. 7A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 dan waktu penelitian dilaksanakan pada 07 Mei – 16 Juni 2014.

8. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan ini mengacu pada buku pedoman penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

9. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul skripsi ini, penulis mengdakan tinjauan pustaka ke perpustakaan yang berada di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan dari hasil pencarian, penulis belum menemukan judul yang sama persis dengan judul yang akan diteliti. Hanya terdapat beberapa judul yang hampir sama dengan menemukan persamaan dan perbedaan yang terdapat di dalamnya. Skripsi yang dimaksud diantaranya ialah sebagai berikut:


(30)

a. Analisis Wacana Citra Perempuan dalam Tabloid Nova Edisi Khusus Kecantikan Tanggal 21-27 November 2011 yang ditulis oleh Tiara Mustika mahasiswa Jurusan Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi angkatan 2012. Pada skripsi ini terdapat kesamaan yaitu menggunakan analisis teks yang sama yaitu analisis wacana dengan model analisis wacana Teun A. Van Djik. Dan perbedaan yang terdapat di dalamnya adalah teori yang digunakan yaitu teori labeling, dan skripsi ini menggunakan tabloid Nova sebagai subjek dalam penelitiannya.

b. Analisis Wacana Karakteristik Islam Rubrik Mutiara Dakwah pada majalah Ummi Edisi Maret-Juni 2009 yang ditulis oleh Erma Mulyana mahasiswa Jurusan konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004. Pada skripsi ini tidak dijelaskan paradigma apa yang digunakan penulis, apakah paradigm positivis, konstruktivisme, ataupun kritis. Selain itu, media yang digunakan dalam penelitian adalah majalah UMMI dan lebih menekankan kepada penelitian karakteristik keislamannya.

Dari beberapa skripsi tersebut, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa belum ada mahasiswa yang meneliti judul skripsi Analisis Wacana Teun A. Van Dijk pada rubrik topik kita mengenai fenomena koruptor perempuan di majalah Noor.


(31)

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian skripsi ini lebih sistematis, penulisan ini disusun dengan lima bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab, yaitu:

BAB I

Penulis akan menjabarkan tentang Latar Belakang Masalah , Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II

Penulis akan menjelaskan pengertian umum tentang Teori Feminisme, Feminisme Liberal, Analisis Wacana, Analisis Wacana Kritis Van Dijk, Korupsi, Media Massa, serta perempuan dalam pandangan Islam.

BAB III

Menggambarkan secara umum tentang profil majalah Noor, sekilas tentang rubrik topik kita yang didapat dalam wawancara dengan tim redaksi.

BAB IV

Bab ini berisi hasil temuan dari hasil penelitian yang diperoleh penulis pada saat penelitian.


(32)

BAB V

Bab ini berisi tentang kesimpulan atas analisis penelitian juga kritik dan saran dari permasalahan yang diangkat disertai dengan beberapa lampiran yang didapat.


(33)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Landasan Teori

1. Feminisme

Feminisme merupakan istilah yang digunakan oleh para kaum feminis kultural untuk mendeskripsikan ideologi superioritas wanita. Secara umum,

istilah „feminisme‟ merujuk pada pengertian ideologi pembebasan wanita, karena yang melekat dalam semua pendekatannya ialah bentuk keyakinan bahwa wanita mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya.21 Feminisme pada umumnya adalah tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik.

Rosmarie Putnam Tong dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought menyebutkan bahwa teori feminisme terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah feminisme liberal, feminisme radikal libertarian dan radikal kultural, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme ektensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme.22

Feminisme radikal menekankan bahwa budaya patriarkal ditandai oleh adanya kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi.23 Laki-laki hanya diizinkan untuk menunjukkan karakteristik maskulin, sedangkan perempuan

21

Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Wanita dalam Iklan, (Yogyakarta: T.pn., 2008), h. 73.

22

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 1-10.


(34)

karakteristiknya hanya feminin saja. Maka feminisme radikal-liberal berfokus pada seks, gender, reproduksi. Seks, gender, dan reproduksi yang dimaksud Tong disini adalah jenis kelamin, sifat maskulin/feminin, dan apa yang dihasilkan perempuan dan laki-laki. Seperti, laki-laki tidak bisa melahirkan, menyusui layaknya seorang perempuan.24

Berbeda dengan Feminisme libertarian, feminisme radikal-kultural bersifat ekslusifitas seksual di mana laki-laki dan perempuan tidak bisa dipersatukan. Dalam pandangan Tong, ekslusif seksual adalah perempuan termasuk dalam golongan yang tidak diizinkan untuk menikah dengan laki-laki. Bahkan untuk bekerja di ruang publik sekalipun, tidak diperbolehkan. Hal yang ingin diperjuangkan dalam gerakan feminisme ini adalah mengembalikan hak-hak kebebasan perempuan yang sangat mendasar.25

Gerakan feminisme marxis dan sosialis terbentuk karena adanya tuntutan ekonomi sehingga perempuan terpaksa terjun ke ranah publik untuk menghasilkan uang dan akhirnya hanya menguntungkan pihak laki-laki. Tujuan dari gerakan feminisme marxis dan sosialis adalah agar ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga kepentingan laki-laki tidak terlalu diutamakan atas kepentingan perempuan.26

Berbeda dengan feminisme marxis dan sosialis, dalam feminisme psikoanalisis dan gender, laki-laki menganggap bahwa dirinya sebagai

24 Rosemarie Putnam tong,

Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 3.

25

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 5.

26

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 188.


(35)

maskulin dan perempuan menganggap bahwa dirinya sebagai feminin. Padahal dalam realitanya, laki-laki juga memiliki sifat feminin dalam dirinya, hal tersebut terbukti dari tingkat emosional yang laki-laki miliki. Sementara perempuan juga memiliki sifat pemberani dalam dirinya seperti laki-laki. Tujuan gerakan feminisme ini adalah untuk menuju masyarakat yang androgini, yaitu perempuan memiliki kedua sifat tersebut, feminin dan maskulin.27 Contohnya, laki-laki juga bisa menangis saat kehilangan seseorang yang disayang. Sedangkan perempuan single parent yang mampu menghidupi anak, baik sebagai ibu maupun sebagai seorang ayah, yaitu mengasuh anak dan mencari nafkah yang seharusnya menjadi tugas suami.

Aliran feminisme yang lain yaitu, feminisme eksistensialis. Menurut Beauvoir, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan perempuan dalam mencapai suatu perubahan. Pertama, perempuan bisa bekerja di lingkungan yang kebanyakan adalah laki-laki. Kedua, perempuan bisa membuat perubahan dengan cara pandangannya sendiri dalam suatu pekerjaan. Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai perubahan sosial khususnya di masyarakat.28

Gerakan selanjutnya yaitu feminisme posmodern yang ditujukan untuk mencapai kebebasan perempuan dari perbedaan ras, kelas, kecenderungan seksual, etnisitas, kebudayaan, umur, agama, dan sebagainya. Feminisme posmodern berkaitan dengan pemikiran posmodernisme yang secara garis

27

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 190.

28

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 274-275.


(36)

besar menekankan bahwa perempuan bisa mengeskpresikan dirinya sebagai perempuan, karena perempuan dan laki-laki berbeda. 29

Sedangkan pada feminisme multikultural dan global cenderung menekankan pada perbedaan antara perempuan kulit hitam dan perempuan kulit putih. Beberapa perempuan diuntungkan hanya karena ras dan kelas mereka. Di mana perempuan kulit hitam hanya boleh berbicara atau mengemukakan pendapat atas perempuan kulit hitam lainnya, dan begitu pula dengan perempuan kulit putih. Sedangkan feminisme global menekankan pada bergantung apakah seorang perempuan dalam menghadapi perannya sebagai warga negara.30

Aliran feminisme yang selanjutnya adalah ekofeminisme. Ekofeminis berpendapat ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi. Dalam ekofeminisme, terdapat hubungan antara perempuan dengan alam. Di mana laki-laki dianggap yang paling dominan dalam merusak alam, sehingga adanya gerakan ini untuk mencapai kesetaraan baik laki-laki maupun perempuan dalam memperbaiki lingkungan tanpa adanya dominasi dari kedua belah pihak.31 Dari berbagai macam aliran feminisme yang ada, aliran feminisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah feminism liberal.

29

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 283.

30 Rosemarie Putnam tong,

Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 309.

31

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 359.


(37)

a. Feminisme Liberal

Feminisme liberal merupakan aliran yang ada sejak abad ke-18. Akar feminisme liberal berawal dari pemikiran Alison Jaggar pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengamati pemikiran politis liberal yang mempunyai konsepsi atas sifat manusia, yang menempatkan keunikan kita sebagi manusia dalam kapasitas untuk bernalar.32 Pada abad ke-18, pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga) telah dilakukan di sekitaran rumah, baik perempuan maupun laki-laki. Tetapi kemudian kekuatan kapitalisme industri mulai menarik tenaga kerja keluar rumah, dan kemudian memasuki ruang kerja publik.

Pada mulanya, proses ini bergerak perlahan dan tidak teratur, dan meninggalkan dampaknya yang paling besar pada perempuan borjuis yang sudah menikah.33 Perempuan kelompok ini tidak intensif bekerja di luar rumah karena rata-rata menikah dengan seorang pengusaha kaya raya. Sedangkan perempuan kelas menengah juga tidak mempunyai kebebasan, bahkan dalam hal bernalar sekalipun. Wollstonecraft menegaskan bahwa jika nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari binatang, yakni masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti halnya juga dengan laki-laki. Karena setiap manusia berhak mendapat kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya.

32

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h.15.

33

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 18.


(38)

Pada abad ke-19, John Stuart Mill dan Hariet Taylor (Mill), memandang nalar tidak saja secara moral, namun sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom, tetapi juga melalui pemikiran yang hati-hati. Mill dan Taylor mengklaim cara yang dapat memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka inginkan.34 Jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual, dan keadilan gender, maka masyarakat harus membiarkan perempuan hak politik dan kesempatan, seta pendidikan yang sama dengan laki-laki.

Mill berpendapat bahwa setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan hak pilih, kebanyakan dari mereka akan memilih untuk tetap berada

di dalam lingkungan ranah pribadi untuk “mempercantik diri” dan bukan

untuk “mendukung” kehidupan. Sebaliknya, Taylor berpendapat dalam tulisan berjudul Enfranchisment of Women bahwa tugas perempuan dan laki-laki adalah sama-sama untuk “mendukung” kehidupan.35 Perempuan seharusnya tidak hanya mencari kesempatan untuk membaca buku dan memasukkan suara dalam pemilu. Mereka juga harus dapat menjadi partner laki-laki dalam usaha, keuntungan, risiko, dan pendapatan dari industri produktif. Taylor bersikeras, bahwa secara psikologis, sangatlah penting bagi seorang perempuan untuk bekerja, tidak masalah apakah pekerjaan yang dilakukan akan menghasilkan kegunaan atau tidak.

34

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 23.

35

Rosemarie Putnam tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h.24.


(39)

Mill juga menyampaikan bahwa salah satu perbedaan yang terdapat pada perempuan dan laki-laki terdapat pada pencapaian intelektualnya, di mana laki-laki lebih lengkap menerima pendidikan dibandingkan perempuan, dan posisi laki-laki yang lebih diuntungkan.

2. Analisis Wacana

Istilah wacana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kontemporer mencakup tiga hal. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur kata. Kedua, keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan suatu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar, terlengkap yang terealisasi pada bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, dan artikel.36 Ismail Marahimin mengartikan wacana

sebagai “kemampuan untuk maju (dalam pembahasan menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, serta komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan yang resmi dan teratur”.37

Menurut Riyono Pratiko, proses berpikir seseorang sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya.38 Semakin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.

Kajian terhadap wacana tersebut sering disebut sebagai analisis wacana. Menurut pandangan Littlejohn, terdapat beberapa rangkaian tentang

36

Peter Y Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002), h.1709

37

Ismail Muhaimin, Menulis Secara Populer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h.26. 38

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, (cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.10.


(40)

analisis wacana. Pertama, seluruhnya tentang analisis wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebagai aksi, yaitu dengan cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk mengetahui unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-tujuan pragmatic dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual melalui perspektif mereka seperti, ia tidak memedulikan ciri atau sifat psikologis tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan sehari-hari yang dikelola dan dipecahkan.39

Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap suatu linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa yang sempurna. Analisis wacana mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti unsur bahasa terikat pada konteks pemakaian. Berdasarkan analisisnya, ciri dan sifat wacana itu dapat dikemukakan antara lain: Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat, analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi, analisis wacana merupakan suatu pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik, analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam berbahasa, analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional.40 Dari kelima ciri dan sifat wacana berdasarkan analisisnya,

39

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 40

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 49-50


(41)

dapat disimpulkan bahwa analisis wacana berkaitan pada bahasa untuk mencari makna yang terdapat pada teks.

Dari beragam ciri dan sifatnya, analisis wacana memiliki tiga pandangan mengenai bahasa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris.41 Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Maksudnya ialah adanya pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya, konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna subjektif dari sebuah teks, karena yang terpenting ialah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, tata bahasa, kebenaran sintaksis merupakan bidang utama dari aliran positivism-empiris tentang wacana.

Pandangan kedua disebut sebagai pandangan konstrutivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi.42 Aliran ini adalah kebalikan dari aliran positivism-empiris, karena di dalam pandangan kostruktivisme, subjek dan objek bahasa tidak dapat dipisahkan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini mencoba mengoreksi pandangam konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun

41

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h.4.

42


(42)

institusional.43 Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pandangan yang ketiga yaitu pandngan kritis atau analisis wacana kritis.

a. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk

Analisis Wacana Kritis dibangun oleh sekelompok pengajar Universitas East Angelia pada tahun 1970-an. Dalam Analisis Wacana Kritis, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai suatu studi bahasa. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks yang ada.44 Dalam analisis wacana kritis, bahasa dilihat sebagai suatu faktor yang penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Terdapat beberapa Analisis Wacana dengan Paradigma kritis, beberapa diantaranya yaitu Fairclough dan Wodak, serta Teun A. Van Dijk. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.45 Analisis Wacana Kritis milik Fairclough dan Wodak melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai

43

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.

44

Aris Badara, Analisis Wacana; Teori, Metode, dan Penerapannya Pada Wacana Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h.27-28.

45

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h.7


(43)

bentuk dari praktik sosial.46 Praktik sosial dimaksudkan sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dalam memaknai suatu teks bahasa.

Dalam Analisis Wacana Kritis, terdapat lima karakteristik diantanya sebagai berikut:47 Pertama, tindakan, prinsip pertama wacana ditandai sebagai sebuah tindakan, dimana seseorang menulis, berbicara, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Kedua, konteks, wacana dalam analisis wacana kritis dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Ketiga, historis, wacana baru akan dipahami apabila kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Keempat, kekuasaan, dalam analisis wacana kritis terdapat elemen kekuasaan di dalam analisisnya. Karena di setiap wacana yang muncul dalam analisis wacana kritis dipandang sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, wajar, dan netral, tetapi juga merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kelima, ideologi. Ideologi dalam analisis wacana kritis dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Pandangan semacam ini, wacana tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

Kekuatan yang dimiliki Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah kemampuannya dalam melihat dan membongkar politik ideologi di dalam media. Hal tersebut menjadi sangat penting karena dalam wacana yang bersifat kritis diyakini bahwa teks merupakan bentuk dari praktik ideologi atau

46

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 7. 47


(44)

peencerminan ideologi tertentu.48 Dalam buku “Analisis Wacana Pengantar

Analisis Teks Media” karangan Eriyanto, didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengembngkan analisis wacana. Tokoh-tokoh yang terkenal dan dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk (1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana mengenai feminism, Theo Van Leeuwen (1986) adalah analisis yang diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang yang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijk adalah model yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian teks media. Meski pada umumnya penelitian Van Dijk mengenai rasialisme namun tidak menutup kemungkinan terhadap objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Teun A. Van Dijk memiliki tiga kerangka analisis, diantaranya sebagai berikut:

1. Dimensi Teks

Dalam melihat suatu teks, Van Dijk memiliki beberapa struktur/tingkatan masing-masing yang saling mendukung. Tingkatan tersebut terdiri atas 3 (tiga) bagian, meliputi: struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:

48

Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Wacana Media, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 7-8.


(45)

Tabel 1.49

Struktur Teks Analisis Wacana Van Dijk Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks.

Superstruktur

Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur mikro

Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu

teks.

Dalam dimensi teks ini, teks tidak semata dipahami melalui suatu teks berita, tetapi juga elemen yang nembentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf, dan proposisi. Sehingga bisa diketahui lebih dalam maknanya, seperti bagaimana cara media dalam menyampaikan pesan tersebut, dan retorika seperti apa yang digunakan.50 Dalam pandangannya Van Dijk menilai, bahwa segala teks dapat dianalisis dengan menggunakan elemen teks ini. Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan kesatuan, saling berhubungan, dan mendukung satu sama lainnya.

Terdapat 15 elemen yang mendasari wacana Van Dijk, diantaranya yaitu tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi kondisional, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, praanggapan, grafis, dan metafora. Semua elemen tersebut sangat berkaitan dengan struktur wacana khususnya dimensi teks, dimana

49

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 227.

50

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, (cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.74


(46)

semuanya adalah bagian dari struktur wacana makro, superstruktur, dan struktur mikro.

Tabel 2.51

Elemen Teks pada Wacana Teun A. Van Dijk

Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro Tematik

Tema/topik yang

dikedepankan dalam

suatu berita.

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh.

Skema

Srtuktur Mikro Semantik

Makna yang ingin

ditekankan dalam teks berita. Misalnya, dengan member detil pada satu

sisi atau membuat

eksplisit dan mengurangi detil sisi lain.

Latar, Detil, Maksud, Pra-anggapan, Nominalisasi.

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat

(bentuk, susunan) yang dipilih.

Bentuk kalimat, Koherensi, Kata

ganti. Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita.

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan

cara penekanan

dilakukan.

Grafis, Metafora, Ekspresi

2. Kognisi Sosial

Dalam kerangka analisis Van Dijk, dimensi kognisi sosial sangat penting karena ada peran wartawan di dalamnya. Kesadaran mental

51


(47)

wartawan membentuk makna dari suatu teks tersebut. Setiap teks pada dasarnya terbentuk lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental yang di dalamnya terdapat cara pandang terhadap manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Beberapa skema atau model yang digunakan dalam analisis kognisi sosial digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3.52

Skema Pada Level Kognisi Sosial

Skema person (Person Schemas)

Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain.

Skema Diri (Self Schemas)

Skema ini berhubungan dengan bgaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.

Skema Peran (Role Schemas)

Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang

ditempati seseorang dalam masyarakat. Skema Peristiwa (Event Schemas)

Skema ini merupakan skema yang paling sering digunakan, karena setiap hari selalu ada peristiwa yang terjadi. Dan dari setiap peristiwa tersebut selalu dapat ditafsirkan dan dimaknai

dalam skema tertentu.

Dalam dimensi kognisi sosial dijelaskan bagaimana cara wartawan dalam mempresentasikan kepercayaan atau prasangka dan pengetahuan strategi dalam pembentun teks peristiwa yang spesifik dan


(48)

tercermin melalui berita. Dan skema yang tersedia menunjukan bahwa kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang dating dari lingkungan sekitar.

3. Konteks Sosial

Dalam analisis sosial model Van Dijk mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting, yaitu: kekuasaan (power), dan akses (access). Berikut akan dijelaskan beberapa faktor tersebut:

a. Praktik kekuasaan

Teun A. Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok untuk mengontrol kelompok dari kelompok lain. Selain berupa control yang sifatnya langsung dan tidak langsung, kekuasaan juga dipahami Van Dijk yang berbentuk persuasif yang secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.

Analisis wacana memberikan perhatian yang besar terhadap apa yang disebut dominasi. Dominasi direproduksi oleh pemberian akses yang khusus pada suatu kelompok dibandingkan kelompok lain (diskriminasi).

b. Akses mempengaruhi wacana

Dalam buku milik Eriyanto dijelaskan bahwa Van dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai alat kontrol yang bersifat langsung dan fisik, serta berbentuk persuasif, yaitu kepercayaan, sikap, dan pengetahuan. Sedangkan akses adalah jalan masuk antara masing-masing


(49)

kelompok dalam suatu masyarakat. Pada umumnya, kelompok elit memiliki akses yang lebih besar dibandingakan kelompok yang tidak berkuasa.53 Oleh karena itu, kelompok elit mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam mempengaruhi khalayak melalui akses media yang dimiliki.

Struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah bagian yang integral dalam kerangka analisis wacana milik Van Dijk. Dan akses yang lebih besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.54

B. Kerangka Konseptual 1. Korupsi

a. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan permasalahan serius di banyak negara Asia. Perkembangan korupsi mengakibatkan terancamnya stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum. Di Indonesia, dari waktu ke waktu tindak pidana korupsi sudah begitu meluas dalam masyarakat. Perluasan itu tidak hanya dalam jumlah kerugian keuangan negara dan kualitas tindak pidana yang dilakukan, tetapi korupsi semakin sistematis dan meluas sehingga menimbulkan bencana terhadap perekonomian nasional

53

Eriyanto, Analisis Wacana, h. 272-273.

54


(50)

dan juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

DR. Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Patologi Sosial menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mendapat keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum dan negara.55 Dan semakin hari tingkat praktik korupsi semakin meningkat.

Praktik korupsi sudah banyak meruak di Indonesia. Melihat kondisi tersebut, dalam tiga tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Predikat tersebut juga datang dari Transparency International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di dunia.56 Akibatnya negara Indonesia yang seharusnya dapat menjadi negara yang bersih dari praktik korupsi masih menjadi wacana yang hingga kini belum terealisasikan karena banyaknya peluang di pemerintahan untuk para pejabat melakukan tindak pidana korupsi.

Korupsi dapat terjadi jika ada peluang, keinginan, dan bobroknya system pengawasan dalam waktu bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari mana saja: suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau sebaliknya seorang pejabat meminta (atau bahkan dengan cara memaksa) dengan uang pelican. Orang menawarkan sesuatu karena ingin memperebutkan apa yang bukan haknya (uang rakyat). Namun kasus korupsi yang terjadi tidak

55

DR. Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 80.

56

Masyarakat Transparansi Indonesia, Di balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta: T. Np, 2005.


(51)

pandang dia laki-laki ataupun perempuan. Semakin banyaknya kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan perempuan di dalamnya membuat Indonesia membenah diri dengan sistem hukumnya.

Sistem hukum yang wajib dibenahi dan dikaji lebih dalam lagi, dimaksudkan agar Indonesia tidak kehilangan peran hukum di dalamnya. Hilangnya peran hukum yang adil dalam kehidupan sosial politik di berbagai Negara modern mengakibatkan perjalanan bangsanya terganggu, tidak terarah, dan menimbulkan korupsi dengan berbagai corak dan variasinya.57 Korupsi politik tidak hanya terjadi di negara Asia, tetapi juga di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika Latin, maupun Amerika Utara. Korupsi di dunia politik tidak terlepas dari faktor kekuasaan, struktur sosial politik yang tidak adil dan lemahnya kontrol sosial, kontrol politik, dan kontrol hukum.

Sedangkan terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya ialah sebagai berikut58:

1. Adanya nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan dalam mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik.

57

Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH UII Press, 2008, hal.382.

58


(52)

2. Tersedianya sarana dan prasarana ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis.

3. Tidak adanya kontrol yang efektif dari rakyat.

4. Faktor iklim sosial dan politik yang krisis akan keteladanan dan kevakuman moral.

5. Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental dari aparat penegak hukum itu sendiri.

b. Korupsi di Indonesia

Pada 29 November 2002, terbentuklah RUU mengenai pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri atas 12 bab dan 17 pasal didalamnya dan telah disetujui oleh DPR.59 Terbentuknya RUU mengenai pembetukan KPK cukup membantu dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang dinilai sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi di Indonesia semakin menjadi saat negeri ini beranjak menuju demokratisasi. Pasca lengsernya rezim otoriter Soeharto, kasus korupsi merebak dimana-mana, dan dilakukan oleh berbagai kalangan. Semua lembaga pemerintah yang dibentuk untuk kepentingan publik terjangkiti korupsi.60 Padahal, pembahasan mengenai korupsi sudah dilakukan juga oleh semua kalangan.

59

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Membasmi Kanker Korupsi (Jakarta Pusat: T.pn., 2004), h. 211.

60

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Membasmi Kanker Korupsi, h. 223.


(53)

Di Indonesia, sudah banyak membuat perangkat hukum dengan tujuan untuk memberantas korupsi. Seperti UU No. 3/1971 tentang pemberantasan korupsi. Bahkan, jauh sebelum itu pada tahun 1950-an dan 1960-an juga sudah muncul peraturan-peraturan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Tap. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi). Terakhir, UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga sudah ditetapkan.61 Namun, peraturan-peraturan tersebut tampaknya belum terlihat bukti jelasnya, terbukti skala korupsi semakin tinggi.

Korupsi kian menjadi-jadi karena beberapa hal, diantaranya yaitu sistem pemerintahan/negara yang memberi peluang untuk korupsi, rendahnya moralitas dan kesadaran masyarakat, serta tidak ada kontrol yang ketat dan serius baik dari masyarakat maupun pihak yang berwenang. Dan sebab korupsi lainnya adalah pandangan dunia (mind-set) sebagian masyarakat yang keliru, yang terpengaruh oleh nilai-nilai agama dan budaya yang tidak kondusif bagi kehidupan yang bersih tanpa korupsi.62 Ada sebab, pasti ada akibat atau dampak dari perilaku tindak pidana korupsi. Dampaknya tidak hanya bersifat ekonomis dan politik seperti

high cost economy dan kerugian negara, tetapi juga bersifat moral dan budaya.

61

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Membasmi Kanker Korupsi, h. 224.

62

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Membasmi Kanker Korupsi, h. 231.


(54)

2. Perempuan dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita, keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Al-Imran (3) : 195). Di sisi lain, banyak para filosofis yang menganggap wanita sebagai penyebab terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Negara hancur karena wanita. Seorang pangeran bahkan ada yang rela menanggalkan mahkota kerajaannya karena wanita. Pertikaian muncul akibat perebutan wanita. Bahkan muncul permasalahan dari kaum agama bahwa wanitalah yang menyebabkan Nabi Adam as turun ke bumi. Wanita dianggap penyebab terjadinya dosa. Pada dasarnya, wanita dan laki-laki diciptakan dengan potensi yang berbeda-beda, tetapi dalam agama Islam, wanita adalah makmum dari kaum pria. Namun, banyak yang menilai, bahwa sejak munculnya emansipasi wanita, para wanita bebas melakukan apa yang laki-laki lakukan, sehingga kepempimpinan pun menjadi salah satu pekerjaan wanita pada saat ini.

Sebagai contoh, pada zaman Nabi, Ummul Mukminin Aisyah menjadi perempuan yang terkenal dengan kebijaksanaan dan ketajaman dalam membaca situasi.Padazaman modern, beberapa Negara yang dipimpin oleh wanita seperti Swiss, Finlandia, Denmark, dan Belgia. Banyaknya jabatan yang dipegang perempuan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif menjadi faktor penting yang mengantarkan Negara-negara ini menjadi Negara maju. Peran media massa khususnya majalah Noor


(55)

terhadap perempuan sangatbesar, karena majalah Noor adalah majalah wanita yang berlandaskan Islam.

Dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa perempuan ditempatkan pada posisi sederajat dengan laki-laki dalam aktivitas kehidupan di dalam bermasyarakat. Namun pada realitanya, sebuah data menyebutkan bahwa perempuan di Indonesia yang menjadi kepala keluarga, 1 dari 10 kepala keluarga miskin adalah kepala keluarga perempuan yang jumlahnya diperkirakan sekitar 1,2-1,5 juta jiwa dan rata-rata berpendidikan tidak tamat SD. Hal ini juga pernah ditegaskan oleh data dari Badan Pusat Statistik tahun 1999, sebagaimana dilaporkan dalam harian umum Media Indonesia, bahwa 13,2% rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan.

Soal kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi sebuah kontroversi yang menimbulkan perdebatan menarik, baik kepemimpinan di keluarga maupun di area publik. Karena sebuah kepemimpinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga ataupun bermasyarakat dan bernegara.63

Sedangkan dalam Islam sejak masa Rasul SAW, perempuan sudah banyak tampil sebagai sosok yang dinamis. Hal tersebut didorong oleh semangat kitab suci Al-Qur‟an yang memberikan jaminan pada perempuan

63

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-Kahfi, 2008, hal.93


(56)

untuk ikut berpartisipasi dan berkiprah dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya peran publik sebagai pemimpin.64

Setiap muslim dalam ajaran Islam wajib melakukan amar ma‟ruf

nahi munkar sebagai tanggung jawab dan amanah bersama dalam rangka memperbaiki kehidupan sosial. Sehingga berkiprah di politik juga merupakan implementasi dari tugas manusia (laki-laki atau perempuan) sebagai khalifah fil ardl. Karena perempuan dan laki-laki memiliki tugas untuk saling bekerja sama dalam kebaikan.

Allah SWT menegaskan dalam surat At Taubah ayat 71 mengenai ajaran amar ma‟ruf nahi munkar baik laki-laki maupun perempuan.

Ajaran amar ma‟ruf nahi munkar dapat disebut sebagai salah satu bentuk aktivitas politik. Ayat ini mempertegas bahwa sebagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban dan mempunyai hak melakukan hal yang baik untuk publik.65 Terbukti dalam ayat tersebut, baik laki-laki maupun perempuan berhak menyuruh mengerjakan yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.

Bidang politik merupakan bagian dari pergaulan sosial kemasyarakatan, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki., tidak terdapat diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Tetapi pada realitanya, perempuan dianggap

64

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-Kahfi, 2008, hal.95

65

Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya‟rawi, Jakarta : Teraju, 2004, hal.182-183


(57)

sebelah mata dan dianggap sebagai suatu kaum minoritas oleh beberapa kalangan. Padahal di dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Posisi laki-laki dan perempuan juga sama di bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara tekstual menempatkan perempuan sebagai pihak kedua.66

Dalam Qur‟an surat An-Nisa ayat 34 ditegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin wanita.

Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian dari mereka laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka, wanita yang shalehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan

nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanklah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi

Maha Besar.”

Kalimat ar-rijal qawwamun ala an-nisa yang terdapat dalam surat di atas menjadi salah satu alasan (dasar normatif) suprioritas laki-laki terhadap perempuan. Dalam tafsir al-Manar disebutkan (Rasyid Ridla, 1973, I:608) bahwa laki-laki lebih utama dari pada perempuan, sehingga lebih pantas untuk memimpin. Argumen yang dimunculkan dalam ayat ini,

66

Tari Siwi Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding

Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum, Jakarta: National Democratic dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, 2001, hal. 106.


(58)

mengapa kaum laki-laki bisa menjadi kaum perempuan, adalah karena dua hal, yaitu: pertama, ketentuan Allah yang telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan). Kedua, karena kaum laki-laki (suami) memberikan nafkah kepada istri.

Akan tetapi, Al-Qur‟an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah

qawwam (lebih unggul/kuat) dimana menurut gramatikal bahasa Arab: posisi kata dalam kalimat tersebut adalah sebagai khabar (predikat) dan

tidak mengatakan bahwa mereka “harus” menjadi qawwam. Bila susunan

Al-qur‟an itu menyatakan “harus” maka ayat ini merupakan sebuah pernyataan normatif dan yang demikian ini akan mengikat bagi kaum perempuan pada semua masa dan dalam semua keadaan, meskipun sebenarnya tidak demikian.67 Peran suami memberikan nafkah kepada istri

bukan merupakan keadaan “hakiki”, melainkan hanya perbedaan “fungsional” saja.

Senada dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa perempuan dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat Islam, sehingga kaum perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan Islam.68 Karena perempuam Islam di masa Rasulullah juga tidak takut untuk bertindak terhadap pemimpin Negara apabila terjadi kesalahan dalam suatu pemerintahannya.

67

Zaitunah Subhan, Perempuan dan Politik dalam Islam, Jakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004, hal. 26-31.

68

Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Lentera, 2004, hal. 79-98


(59)

Dalam realitas sosial, banyak diantara kaum perempuan yang mandiri secara ekonomi, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Makna sosiologis atas laki-laki itu berjalan (bergerak) dan berusaha di ruang publik, sedangkan perempuan tinggal di rumah. Dan konsekuensi yang didapatkan dari pemikiran logis tersebut adalah jika perempuan lebih aktif dibandingkan laki, maka perempuan tersebut akan menjadi laki-laki jika dilihat dari sudut pandang sosiologis.

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa para perempuan di awal Islam telah memerankan kiprah politik (publik) yang cukup penting. Apalagi jika dilihat dari latar belakang sosial seorang perempuan, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Meskipun kiprah perempuan sangat sederhana, tetapi setidaknya dapat disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat peran perempuan awal Islam ini, banyak pihak yang pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan hanya persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial.

3. Media Massa

a. Pengertian Media Massa

Secara etimologi media massa berasal dari dua term bahasa yaitu media dan massa. Media merupakan jamak dari bahasa Latin, yaitu

“median” yang berarti perantara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media diartikan sebagai alat komunikasi seperti koran, radio, televisi, film,


(60)

poster, dan spanduk.69 Media tersebut merupakan media penyampai pesan dengan cara berbeda sesuai dengan kategorinya.

Menurut Marshall McLuhan (1964), media merupakan pesan itu sendiri. Artinya media menjadi pembawa pesan dari informasi bagi organisasi media kepada khalayak.70 Media sebagai suatu alat untuk menyampaikan pesan berupa berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media yang dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.

Kemudian menurut Antonio Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetensi (the battle ground for competing ideology).71 Gramsci memberikan penjelasannya tentang media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Artinya, satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran sebuah ideologi baik dari ideologi yang berkuasa maupun dari ideologi yang berlawanan dengan penguasa.

Sedangkan massa merupakan khalayak. Media massa (pers) sering disebut juga the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dimainkan oleh media massa dalam kaitannya dengan

69

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi III, h. 726.

70

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006) h. 31.

71


(61)

pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat.72 Untuk itu hal terpenting dalam memahami media massa adalah bagaimana media massa merekonstruksi nilai-nilai masyarakat untuk kemudian disampaikan kepada khalayak. Seperti yang dikatakan oleh Gramsci media menjadi arena perang antar ideologi tentu menjadi dasar bahwa realitas yang ditampilkan kepada khalayak tidak terlepas dari cara pandang yang dimiliki oleh komunikator media tersebut. Sesuai yang dikatakan oleh Tony Bennet, media dianggap sebagai agen konstruksi sosial yang didefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.73 Artinya, media bukan hanya dapat berperang ideology dalam mendefinisikan suatu realitas, tetapi juga mengkonstruksi apa yang terjadi sesuai dengan kepentingan yang ada di dalam suatu media.

Lebih jelas lagi tentang media massa, Dennis McQuail menyatakan media massa merupakan filter yang menyaring sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang menghalangi kebenaran. Artinyaberita pada suatu media massa adalah suatu cara untuk menciptakan realitas yang diinginkan mengenai peristiwa atau kelompok orang yang dilaporkan. Dengan kata lain, berita yang terdapat pada suatu media tidak hanya menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna. Makna tidak secara sederhana dianggap sebagai reproduksi bahasa tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana.74 Dalam hal ini berarti titik tekannya pada

72

Alex Sobur, Analisis Teks Media,h. 30.

73

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 36.

74


(62)

bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Dalam sebuah

tulisannya, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in The Media Studies,” Stuart Hall – kutip Erianto – menyatakan, makna tidak bergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi lebih kepada praktik pemaknaan. Dalam pandangan Hall, makna adalah suatu produk sosial, suatu praktek konstruksi. Media massa, menurut Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemaknaan kata-kata terpilih.75Media massa pada dasarnya terbagi menjadi dua kategori, yakni media massa elektronik dan media massa cetak. Media massa cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah.76 Baik surat kabar maupun majalah, keduanya sama-sama memiliki fungsi sosial di dalam menyampaikan pesan.

b. Fungsi Sosial Media Massa

Setiap media massa mempunyai bentuk yang berbeda, tetapi fungsi sosial pada media massa satu dengan yang lain adalah sama. Harold Laswell menyatakan bahwa media memiliki tiga fungsi sosial, yakni:77

Pertama, fungsi pengawas sosial (the surveillance of the environment), adalah upaya media massa dalam menyebarkan informasi agar lingkungan masyarakat terkendali. Media menjadi pengamat lingkungan yang objektif.

75

Eriyanto, Analisis Wacana,h. 37.

76

Elvinaro Ardianto, dkk., Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), h. 103.

77

Darwanto Sastro Subroto, Televisi Sebagai Media Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 32-33.


(1)

Lampiran. 5

FOTO WAWANCARA

Wawancara dengan Pimpinan Redaksi Majalah Noor, Jetti R. Hadi di Kantor Redaksi Majalah Noor, Rabu (7/5/14)

Wawancara dengan Redaktur Ahli dan Penulis pada Rubrik Topik Kita, Badriyah Fayumi di Kantor Redaksi Majalah Noor, Senin (16/6/14)


(2)

116


(3)

(4)

(5)

(6)