Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi
PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh :
KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(2)
ABSTRACT
This research examines knowledge and factors affecting the access of migrants population in squatter dwellings to free or subsidized health services from the government. Most migrants live in this squatter dwellings came from villages around Java Island. Their migrants status will be an interesting topic related to their legal community status. There is a significant relation between the community legal status and their access to free or subsidized health services from the governmnet. The ownnership of a local ID Card or KTP (Kartu Tanda Penduduk) is very important for accessing the free or subsidized health services. Only minor of the respondents own DKI Jakarta ID Card, the majority of them still hold their origin village ID Card. Some respondents hold free or subsidized health services cards from their origin villages and only can use them in their origin villages.
(3)
RINGKASAN
KHOERINI RIFKI SAPUTRI. PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI. Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI).
Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai tersebut sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap. Tetapi pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah yang dijalani oleh migran akan mempersulit mereka memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (2) menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (3) menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009.
Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin dalam bidang kesehatan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung.
Permukiman liar yang ada di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan berada di antara bantaran rel kereta
(4)
api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri di atas tanah milik pribadi dan tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Seluruh penghuninya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal diwilayah tersebut semuanya bergerak di sektor informal seperti pengumpul barang rongsokan.
Sebanyak sembilan orang responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Akan tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 21 orang responden. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga dianggap tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan.
Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan.
Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Tingkat pendidikan responden tidak menunjukkan bahwa adanya hubungan dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu dapat dengan mudah memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi.
Faktor ekonomi merupakan faktor dasar yang menyebabkan responden tidak mampu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Selain itu status kependudukan juga menjadi syarat mutlak dalam memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tidak mungkin memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tetapi memiliki kartu pelayanan kesehatan, biasanya kartu tersebut terdaftar di daerah asal responden.
(5)
PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh :
KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(6)
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Nama Mahasiswa : Khoerini Rifki Saputri Nomor Mahasiswa : I34051807
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
(7)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (KASUS: KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN
JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2009
Khoerini Rifki Saputri I34051807
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Khoerini Rifki Saputri yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan suami isteri H. Sakimo dan Hj. Ulfah Mundiastri. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Borobudur pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Negeri 03 Jagakarsa Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan SMA 49 Jakarta pada tahun 2002-2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati satu tahun di TPB (Tingkat Persiapan Bersama) penulia berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Theater FPIK ”Jaring” pada tahun 2006-2007 dan UKM Photography Faperta ”Lensa” pada tahun 2007-2008, peserta Workshop Jurnalistik TV bersama AnTeve dengan Tema ”Topik Citizen Journalistik” pada tahun 2008, anggota kepanitiaan Event besar di IPB Communication and
Comunity Development Expo (COMMNEX) 2008 serta tergabung sebagai
anggota Divisi Photography and Cinematography, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 2007-2008. Prestasi lain yang pernah diraih antara lain, Juara 1 Kompetisi Geografi antar SMU se-DKI Jakarta dan Juara 1 Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) dalam acara COMMNEX 2008.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran di Permukiman Liar di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini menjelaskan mengenai pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah yang dimiliki migran di permukiman liar. Selain itu juga mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akses migran tersebut dalam memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Ir. Said Rusli, MS selaku dosen penguji utama yang telah
meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi selaku penguji dari Departemen Sains
KPM yang telah bersedia mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
(10)
4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA selaku pembimbing akademik
atas masukan dan nasihatnya selama ini.
5. Bapak H. Sakimo dan Ibu Hj. Ulfah, Mas Tiar, Mbak Vivin dan Zahra
tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya.
6. Seluruh responden, atas kerjasamanya yang baik selama penelitian.
7. Bapak Haidin dan keluarga, Ibu Dokter Dewi dan Bapak Mustofa yang telah membantu dalam proses penelitian di Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, terima kasih atas bantuannya.
8. Sahabatku, Ema, Puty, Nits, Taye, Hesti, Lusi, Indah, Egi, Rofian, Nchie, Tami, Riska, Achie, Yoe, Ufa, Ira, Novi, Merlin, Selvi, Sinta, Adilla, Corry, Ria, Nia, Ani, Hendri dan Edo yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doanya.
9. Teman-teman KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya.
10. Mas Gunawan, atas perhatian, semangat dan motivasinya.
11. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi selanjutnya, khususnya yang menyangkut topik serupa.
Bogor, September 2009
(11)
PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh :
KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(12)
ABSTRACT
This research examines knowledge and factors affecting the access of migrants population in squatter dwellings to free or subsidized health services from the government. Most migrants live in this squatter dwellings came from villages around Java Island. Their migrants status will be an interesting topic related to their legal community status. There is a significant relation between the community legal status and their access to free or subsidized health services from the governmnet. The ownnership of a local ID Card or KTP (Kartu Tanda Penduduk) is very important for accessing the free or subsidized health services. Only minor of the respondents own DKI Jakarta ID Card, the majority of them still hold their origin village ID Card. Some respondents hold free or subsidized health services cards from their origin villages and only can use them in their origin villages.
(13)
RINGKASAN
KHOERINI RIFKI SAPUTRI. PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI. Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI).
Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai tersebut sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap. Tetapi pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah yang dijalani oleh migran akan mempersulit mereka memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (2) menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (3) menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009.
Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin dalam bidang kesehatan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung.
Permukiman liar yang ada di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan berada di antara bantaran rel kereta
(14)
api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri di atas tanah milik pribadi dan tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Seluruh penghuninya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal diwilayah tersebut semuanya bergerak di sektor informal seperti pengumpul barang rongsokan.
Sebanyak sembilan orang responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Akan tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 21 orang responden. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga dianggap tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan.
Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan.
Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Tingkat pendidikan responden tidak menunjukkan bahwa adanya hubungan dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu dapat dengan mudah memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi.
Faktor ekonomi merupakan faktor dasar yang menyebabkan responden tidak mampu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Selain itu status kependudukan juga menjadi syarat mutlak dalam memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tidak mungkin memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tetapi memiliki kartu pelayanan kesehatan, biasanya kartu tersebut terdaftar di daerah asal responden.
(15)
PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI
PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS
KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh :
KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(16)
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
(Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Nama Mahasiswa : Khoerini Rifki Saputri Nomor Mahasiswa : I34051807
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
(17)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (KASUS: KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN
JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2009
Khoerini Rifki Saputri I34051807
(18)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Khoerini Rifki Saputri yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan suami isteri H. Sakimo dan Hj. Ulfah Mundiastri. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Borobudur pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Negeri 03 Jagakarsa Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan SMA 49 Jakarta pada tahun 2002-2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati satu tahun di TPB (Tingkat Persiapan Bersama) penulia berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Theater FPIK ”Jaring” pada tahun 2006-2007 dan UKM Photography Faperta ”Lensa” pada tahun 2007-2008, peserta Workshop Jurnalistik TV bersama AnTeve dengan Tema ”Topik Citizen Journalistik” pada tahun 2008, anggota kepanitiaan Event besar di IPB Communication and
Comunity Development Expo (COMMNEX) 2008 serta tergabung sebagai
anggota Divisi Photography and Cinematography, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 2007-2008. Prestasi lain yang pernah diraih antara lain, Juara 1 Kompetisi Geografi antar SMU se-DKI Jakarta dan Juara 1 Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) dalam acara COMMNEX 2008.
(19)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran di Permukiman Liar di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini menjelaskan mengenai pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah yang dimiliki migran di permukiman liar. Selain itu juga mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akses migran tersebut dalam memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Ir. Said Rusli, MS selaku dosen penguji utama yang telah
meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi selaku penguji dari Departemen Sains
KPM yang telah bersedia mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
(20)
4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA selaku pembimbing akademik
atas masukan dan nasihatnya selama ini.
5. Bapak H. Sakimo dan Ibu Hj. Ulfah, Mas Tiar, Mbak Vivin dan Zahra
tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya.
6. Seluruh responden, atas kerjasamanya yang baik selama penelitian.
7. Bapak Haidin dan keluarga, Ibu Dokter Dewi dan Bapak Mustofa yang telah membantu dalam proses penelitian di Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, terima kasih atas bantuannya.
8. Sahabatku, Ema, Puty, Nits, Taye, Hesti, Lusi, Indah, Egi, Rofian, Nchie, Tami, Riska, Achie, Yoe, Ufa, Ira, Novi, Merlin, Selvi, Sinta, Adilla, Corry, Ria, Nia, Ani, Hendri dan Edo yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doanya.
9. Teman-teman KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya.
10. Mas Gunawan, atas perhatian, semangat dan motivasinya.
11. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi selanjutnya, khususnya yang menyangkut topik serupa.
Bogor, September 2009
(21)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Kegunaan Penelitian... 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 8
2.1. Tinjauan Pustaka ... 8
2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi Di Indonesia ... 8
2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi Di Indonesia ... 11
2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya Di Daerah Perkotaan ... 14
2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin ... 18
2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin ... 20
2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ... 20
2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin) ... 23
2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ... 26
2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia ... 27
2.1.6.1. Registrasi Vital ... 27
2.1.6.2. Registrasi Penduduk ... 28
2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional ... 29
2.2. Kerangka Pemikiran ... 29
(22)
ii
Halaman
2.4. Definisi Konseptual ... 32 2.5. Definisi Operasional... 33
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
3.1. Metode Penelitian... 36 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37 3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 38 3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39 3.5. Teknik Analisis Data ... 40
BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN ... 43
4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah... 43 4.2. Fasilitas Umum ... 45
BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN ... 49
5.1. Pembahasan Gambaran Umum Responden ... 49 5.2. Pendidikan Terakhir Responden ... 51 5.3. Daerah Asal Responden ... 52 5.4. Keberadaan Keluarga Responden ... 54 5.5. Pekerjaan Responden ... 55 5.6. Pendapatan Responden... 56 5.7. Akses Migran Di Permukiman Liar Terhadap Pelayanan Kesehatan
Gratis atau Bersubsidi ... 59 5.8. Ikhtisar ... 60
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62
6.1. Pengetahuan Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Mengenai
Adanya Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi ... 62 6.2. Keterkaitan Antara Pengetahuan Responden dan Aksesnya Terhadap
(23)
iii
Halaman
6.3. Kendala Dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi Serta Keterkaitannya dengan Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi ... 69
6.3.1. Tingkat Pendidikan Responden ... 69 6.3.2. Pendapatan Responden ... 71 6.3.3. Faktor-faktor Lainnya ... 74 6.4. Status Kependudukan Responden ... 78 6.5. Ikhtisar ... 84
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 86
7.1. Kesimpulan ... 86 7.2. Saran ... 88
Daftar Pustaka ... 89 Lampiran ... 93
(24)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006 ... 3 Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir, di
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 52 Tabel 3. Jumlah Responden Menurut Daerah Asalnya, di Kelurahan
Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 53 Tabel 4. Jumlah Responden Menurut Tempat Tinggal Keluraga, di
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 55 Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Pekerjaan, di Kelurahan Lenteng
Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 55 Tabel 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan, di Kelurahan
Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 57 Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Informasi Mengenai Fasilitas
Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 63 Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pengetahuan dan Aksesnya
Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi,
di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 66 Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir dan
Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 70 Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan Individu Per
bulan dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan
(25)
v
Halaman
Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Pengetahuan Cara Memperoleh Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 75 Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Kepemilikan KTP dan Masa Berlaku
KTP, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa,
Juli 2009 ... 78 Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Dimana KTP Terdaftar Terhadap
Kepemilikan Kartu Pelayanan Kesehatan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ... 82
(26)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Dokumentasi ... 93 Lampiran 2 Hasil Analisis chi-square (x2) ... 94 Lampiran 3 Hasil Analisis rank spearman ... 95
(27)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep pembangunan yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi dan konsep pembangunan yang bertujuan untuk membangun kualitas sumberdaya manusia (Sugianto, 2007). Pembangunan di Indonesia terlihat lebih mengarah pada pembangunan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan hasil pembangunan yang diharapkan dapat dirasakan oleh semua pihak tidak dapat diwujudkan. Hasil pembangunan hanya tersentralisasi pada penduduk yang berada dekat dengan pusat pemerintahan dan kota-kota besar saja.
Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan merupakan salah satu bentuk permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan pembangunan (Sugianto, 2007). Menurut Sugianto (2007) hal tersebut menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Setiap tahunnya jumlah penduduk yang melakukan migrasi ke DKI Jakarta mengalami peningkatan sehingga terjadi kepadatan penduduk di wilayah DKI Jakarta.
Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2006 penduduk DKI Jakarta sebanyak 8,96 juta
(28)
2
jiwa dengan luas wilayahnya adalah 661,52 kilometer persegi (BPS, 2007). Berdasarkan estimasi SUSENAS tersebut berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,5 ribu per kilometer persegi. Jika dilihat dari jumlah dan laju pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil SUSENAS pada tahun 1990, 2000 dan 2006 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1990 diketahui jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 8.259.266 jiwa, tahun 2000 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 8.385.639 jiwa, tahun 2006 jumlah penduduk DKI Jakarta menjadi 8.961.680 jiwa (BPS, 2007). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan laju pertumbuhan penduduk antara tahun 1990-2000 (0,16%) dan tahun 2000-2006 (1,11%).
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk kota di negara berkembang, termasuk DKI Jakarta, telah menimbulkan banyak masalah. Gejala paling nyata dalam masalah ini adalah pertumbuhan yang tidak terkendali dari permukiman migran dan juga semakin banyaknya daerah miskin di banyak kota. Menurut Suyono (2003) saat ini tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Salah satu negara berkembang adalah Indonesia dimana jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia berjumlah 76,4 juta jiwa (Depkes, 2008).
Menurut Rusli (1995) keputusan melakukan migrasi ke kota yang dilakukan oleh penduduk desa dipengaruhi oleh faktor pendorong yang berasal dari daerah asal para migran (desa) dan faktor penarik yang berasal dari tempat tujuan migrasi (kota). Faktor pendorong penduduk desa melakukan migrasi antara lain adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang terdapat di desa serta rendahnya upah yang diperoleh dianggap kurang dapat menopang biaya hidup yang semakin
(29)
3
mahal. Faktor penarik penduduk desa melakukan migrasi adalah beragamnya jenis pekerjaan yang tersedia di kota
Terkadang kedatangan para migran ke kota tidak diimbangi dengan keterampilan yang mendukung dan tidak sedikit diantara mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut menjadi kendala bagi migran dalam memperoleh pekerjaan. Selain itu persaingan dalam memperoleh pekerjaan di kota juga dapat dilihat dari perbandingan jumlah penduduk pencari kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS dapat diketahui bahwa di DKI Jakarta telah terjadi ketimpangan antara jumlah pencari kerja dengan lapangan pekerjaan yang masih tersedia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Pencari Kerja 135.257 354.087 20.618 48.803 65.687
Lapangan Pekerjaan
yang Masih Tersedia
8.049 44.524 7.782 15.711 18.768
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.
Data di atas menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang masih tersedia yang ada di DKI Jakarta belum mampu menampung jumlah pencari kerja. Oleh karena itu, banyak penduduk yang lebih memilih pekerjaan disektor informal, tidak terkecuali para migran. Para migran dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah tidak mampu bersaing dengan pencari kerja lainnya yang memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan yang lebih tinggi. Pada
(30)
4
akhirnya mereka lebih memilih menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada sektor informal dengan upah yang rendah.
Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap (Rindarjono, 2007). Harga lahan di kota semakin hari semakin mengalami peningkatan. Tetapi dengan keadaan ekonomi yang dialami oleh migran dengan upah rendah maka akan sulit memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang belum terpakai seperti di bantaran kali, pinggir rel kereta api, tempat pembuangan sampah akhir bahkan di pemakaman cina atau yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Keberadaan tempat tinggal mereka di tempat tersebut tentu saja bersifat ilegal. Hal tersebut berpengaruh terhadap status kependudukan yang dimiliki oleh migran. Keberadaan mereka yang ilegal menyebabkan mereka sulit memperoleh KTP kelurahan setempat.
Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan.
Manusia sebagai makhluk biologis pada saat tertentu pasti mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga kuman penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan orang yang bersangkutan menderita sakit. Jika seseorang mengalami sakit sudah selayaknya orang tersebut memeriksakan diri ke dokter
(31)
5
untuk mengetahui penyakit apa yang diderita dan apa penyebabnya. Akan tetapi, saat ini untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk yang berada di permukiman liar mengingat keadaan ekonomi mereka yang serba kurang.
Pemerintah sebenarnya telah menyediakan beberapa pelayanan kesehatan bagi masyarakat menengah kebawah. Salah satunya cara yang dilakukan pemerintah antara lain menerbitkan kartu yang dapat digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis atau subsidi bagi masyarakat miskin yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Surat Keluarga Miskin (GAKIN) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Namun apakah semua masyarakat miskin yang menjadi sasaran program tersebut sudah dapat memanfaatkannya dengan baik?. Kemungkinan terlewatinya masyarakat migran di permukiman liar untuk dapat menikmati fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah menjadi lebih besar karena mereka tidak mempunyai catatan tempat tinggal yang pasti. Selain itu, masih menjadi pertanyaan sejauhmana pengetahuan masyarakat yang menjadi target program tersebut mengerti apa dan bagaiamana cara menggunakan fasilitas kesehatan tersebut. Maka dalam penelitian ini akan dicoba untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perumusan masalah penelitian.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa masalah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini yaitu:
(32)
6
1. Sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta
mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?
2. Apa kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta
dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?
3. Apakah status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta mempengaruhi akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
2. Menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
3. Menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di
permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan yang terjadi antara keberadaan tempat tinggal migran yang bersifat ilegal dengan kemampuan mengakses pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah, khususnya bagi warga miskin. Dari segi akademis, penelitian ini
(33)
7
diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca maupun peminat studi yang dijadikan topik penulisan untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan bagi penulisan ilmiah terkait. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih memperhatikan pola pendistribusian fasilitas kesehatan yang diperuntuhkan untuk masyarakat miskin. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan kesadaraan mengenai pentingnya melakukan registrasi penduduk serta dapat meningkatkan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk fasilitas kesehatan bagi masyarakat miskin.
(34)
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi di Indonesia
Migrasi merupakan salah satu istilah yang biasa dipakai dalam menyatakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari daerah asal ke tempat tujuan (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komutasi.
Zelinsky (1971) dalam Rusli (1995) menyatakan bahwa, istilah circulator
secara umum bermakna berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dimana punya kesamaan dalam hal tak nampak niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal yang permanen. Menurut Rusli (1995) sirkulasi merupakan gerak berselang antara tempat tinggal dengan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain pada periode waktu tertentu dimana para sirkulator menginap ditempat tujuan sedangkan komutasi adalah gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dengan tempat tujuan atau dengan kata lain komuter pada dasarnya tidak punya rencana untuk menginap didaerah tujuan.
(35)
9
Menurut Rusli (1995) secara umum terdapat dua jenis migrasi yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internasional adalah migrasi yang terjadi antar negara dan seorang dikatakan melakukan emigrasi jika migrasi internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim. Sementara imigrasi bilamana migrasi tersebut dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Migrasi internal adalah migrasi yang terjadi dalam batas-batas wilayah suatu negara. Menurut Kartini (1995) dalam Pardede (2008) yang mengutip pendapat Safa dan Du Toit (1975), menyatakan bahwa migrasi tidak semata-mata sebagai proses perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, tetapi proses migrasi mencakup bagaimana penyesuaian warga yang melakukan migrasi terhadap lingkungan sosial yang baru.
Proses migrasi pada umumnya terjadi karena adanya faktor pendorong dari desa asal (push factor) dan faktor penarik dari kota tujuan (pull factor). Selain itu, Lee (1969) berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara.1 Faktor pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah asal yang menjadi pertimbangan migran dalam melakukan migrasi. Melihat alasan-alasan yang dikemukakan responden maka dapat diketahui bahwa faktor pendorong yang melatarbelakangi migran keluar dari daerah asal terutama didorong oleh alasan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pendapatan yang lebih baik.
Faktor penarik dalam penelitian ini adalah daya tarik kota bagi migran. Migran merasa tidak dapat berkembang jika tetap tinggal di kampung karena
1
Lee (1969) dalam Rusli, Said.1995.Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7(revisi).Jakarta:PT Pusaka LP3ES.
(36)
10
terbatasnya lapangan pekerjaan. Bayangan mengenai kota yang menawarkan lebih banyak kesempatan dalam memperoleh pekerjaan serta jenis pekerjaan yang lebih banyak telah menarik migran untuk bermigrasi ke kota. Jika dibandingkan antara faktor penarik dengan faktor pendorong, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa migran yang bermigrasi sebagian besar memiliki alasan untuk mencari pekerjaan.
Penyebab utama perpindahan penduduk yang kebanyakan bersifat ekonomi juga didukung pula oleh pendapat Keyfitz dan Nitisastro (1955). Sebagian besar penduduk di desa menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian. Padahal, penduduk desa dari tahun ke tahun akan terus bertambah sehingga jumlah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan pertanian juga akan terus meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah lahan pertanian yang tersedia. Dengan demikian penduduk desa akan semakin sulit memperoleh pekerjaan dan kalaupun ada pekerjaan biasanya upah yang didapat sangat rendah. Hal tersebut juga didukung oleh Tangnga (1988) dimana hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa faktor dominan yang mendorong meningkatnya arus migrasi di Kotamadya Ujung Pandang antara lain kecilnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan di daerah asal dan kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh pendatang di daerah asal.
Pendatang yang berasal dari desa juga mengemukakan alasan lain yang melatarbelakangi keputusan mereka untuk melakukan migrasi yaitu banyaknya pekerjaan di kota dibandingkan di desa. Selain itu adanya anggapan bahwa di kota lebih mudah mendapatkan pekerjaan juga menarik minat para pendatang untuk datang ke kota.
(37)
11
2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi di Indonesia
Saat ini masih banyak orang memiliki persepsi yang salah mengenai konsep urbanisasi. Banyak orang mengetahui bahwa urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Menurut Rusli (1995) urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan yang disebabkan migrasi desa-kota, pertambahan alami penduduk perkotaan sendiri, dan adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pertambahan alami penduduk adalah pertambahan penduduk yang disebabkan oleh selisih antara kelahiran dengan kematian dari suatu penduduk dalam jangka waktu tertentu.
Watts (1992) dalam Nasution (2002) menyebut urbanisasi sebagai “worldwide phenomenon” merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Bahkan dalam batas tertentu, urbanisasi memberikan insentif bagi kemajuan perekonomian kota, dalam wujud supply tenaga kerja yang dibutuhkan bagi berbagai sektor ekonomi yang ada (Nasution, 2002). Urbanisasi berperan penting dalam meningkatkan angka pengangguran terbuka di perkotaan, yaitu 5,8 persen pada tahun 1992, meningkat menjadi 10,5 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000). Hal ini selaras dengan temuan McGee (1971) dalam Nasution (2002) yang mengungkapkan bahwa dikebanyakan kota-kota negara dunia ketiga, yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Akibatnya selain memicu peningkatan pengangguran, luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten (Nasution, 2002).
(38)
12
Setiap tahunnya penduduk di daerah perkotaan selalu mengalami peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alami dan sebagian besar karena meningkatnya migrasi dari desa ke kota. Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa 30,9 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah perkotaan dimana angka ini terus mengalami peningkatan dari 14,8 persen pada tahun 1961, 17,4 persen pada tahun 1971, dan 22,3 persen pada tahun 1980 (Rusli, 1995).
Sensus Penduduk 1980 memperlihatkan angka urbanisasi di Indonesia sebesar 22,3 persen. Angka ini meningkat menjadi 30,9 persen di tahun 1990 (Chotib, 2000). Berdasarkan sensus penduduk yang telah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) diperoleh data tingkat urbanisasi penduduk Indonesia pada tahun 1990 sebesar 30,9 persen dan meningkat menjadi 42,0 persen pada tahun 2000 (BPS, 2007). Selama kurun waktu sepuluh tahun ini angka pertumbuhan penduduk perkotaan diketahui sebesar 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 1,97 persen per tahun (Chotib, 2000).
Hal tersebut tidak berlangsung secara merata disetiap kota di Indonesia. Sebagai contoh adalah Kota Depok dimana pada tahun 1982 jumlah penduduk kota ini sebanyak 240.000 jiwa, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.313.495 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 5.818 jiwa per kilometer persegi dan pertumbuhan penduduk 3,70 persen per tahun (Astuti, 2006). Berdasarkan hasil perhitungan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS di Kota Jakarta pada tahun 1961, 1971 dan 1980, penduduk DKI Jakarta pada waktu yang sama berkembang berturut-turut dari 2,97 juta, 4,58 juta dan kemudian menjadi 6,5 juta
(39)
13
jiwa. Dengan perkataan lain, penduduk Jakarta telah meningkat sebesar 4,46 persen dimana peningkatan setiap tahunnya sebesar 3,93 persen. Hasil sensus penduduk pada tahun 2000 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah migran yang datang ke wilayah DKI Jakarta berjumlah 8.347.083 jiwa atau sebesar (42,43%).
Tahun 2001 pertambahan penduduk DKI Jakarta sebanyak 135.186 jiwa, tahun 2002 sebanyak 231.528 jiwa, tahun 2003 sebanyak 204.830, tahun 2004 sebanyak 190.356 jiwa dan pada tahun 2005 sebanyak 180.767 jiwa (Setiawan, 2006). Menurut Nafi (2006) laju penambahan penduduk DKI Jakarta selama lima tahun terakhir rata-rata 188 ribu orang yang datang. Saat ini secara definitif jumlah penduduk DKI Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun hasil sensus pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta jiwa pada saat malam hari. Pada siang hari jumlah penduduk DKI Jakarta ada sekitar 12 juta jiwa (Nafi, 2006). Perbedaan jumlah penduduk yang ditunjukkan tersebut lantaran banyak yang bekerja dari luar Jakarta.
Salah satu penyebab meningkatnya proporsi penduduk perkotaan adalah adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami hal tersebut. Pada tahun 1906 kota ini dengan cepat mengalami perkembangan yang sangat pesat (Basundoro, 2004). Dalam beberapa segi terutama dalam sektor industri Surabaya telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Masa-masa rekonstruksi setelah kota-kota dilanda peperangan hebat telah menjadikan kota-kota-kota-kota besar di Indonesia berkembang menjadi tempat tujuan bagi masyarakat desa yang ingin mengadu nasib di kota. Proses urbanisasi merupakan salah satu akibat dari
(40)
kemajuan-14
kemajuan pesat di kota, dimana bagi kaum pendatang tersedia lapangan kerja yang luas.
2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya di Daerah Perkotaan
Distribusi penduduk berhubungan atau terkait dengan pola permukiman dan persebaran penduduk di suatu negara atau daerah-daerah lain seperti kota dan pedesaan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memiliki kriteria yang dapat menentukan suatu daerah termasuk kota atau bukan yang pada umumnya dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, kepadatan penduduk, dan persentasi angkatan kerja yang bekerja dibidang non pertanian. Proporsi atau persentase penduduk yang bermukim di daerah perkotaan suatu wilayah atau negara merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat urbanisasi (Rusli, 1995).
Pesatnya pertumbuhan kota cenderung menimbulkan permasalahan perumahan baru di kawasan sekitarnya seperti munculnya permukiman liar. Mengingat bahwa perumahan merupakan bagian dari kebutuhan dasar (basic need), yang harus dipenuhi oleh setiap orang untuk mempertahankan eksistensinya. Menurut Basundoro (2004) permukiman liar adalah suatu tempat atau wilayah tertentu yang dijadikan tempat hunian oleh sekelompok orang secara ilegal. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup (Suyogo, 2009). Permukiman liar berbeda dengan permukiman kumuh. Permukiman kumuh belum tentu permukiman liar karena
(41)
15
ada di beberapa daerah dimana permukiman kumuh yang ada di wilayah tersebut berdiri secara legal.
Menurut Suyogo (2009), terdapat tiga karakteristik yang bisa membantu kita memahami permukiman liar
1. Physical ( Phisik )
Kurangnya pemaksimaksimalan fasilitas dan infrastruktur. Seperti halnya rumah yang didirikan semipermanen atau hanya sekedar gubuk, kurang layak atau tidak memiliki fasilitas kamar kecil, tidak memiliki RT dan RW yang jelas.
2. Social ( Sosial )
Kebanyakan penghuni liar mempunyai pendapatan tergolong lebih rendah, diantaranya bekerja sebagai tenaga kerja upah atau dalam perusahaan sektor informal. Kebanyakan mendapat gaji atau upah minimum atau dapat juga pendapatan tinggi karena bekerja sambilan. Penghuni liar sebagian besar orang pindah. Tetapi banyak juga penghuni liar dari generasi ke generasi secara turun - temurun.
3. Legal ( undang – undang)
Penghuni liar adalah ketiadaan kepemilikan lahan padahal diatasnya mereka sudah membangun rumah. Ini bisa jadi merupakan tanah pemerintah lowong atau daratan publik, parcels tanah pinggiran seperti pinggiran rel kereta api atau tanah kesultanan (sultan ground).
Permukiman liar di perkotaan menjadi masalah tersendiri bagi kota atau wilayah yang bersangkutan. Keberadaan permukiman liar dianggap mengganggu pemandangan kota yang berisi gedung-gedung megah. Keberadaan permukiman liar juga memberikan masalah tersendiri terhadap proses registrasi penduduk di
(42)
16
wilayah tempat permukiman liar tersebut berada. Keberadaan mereka secara ilegal diwilayah tempat tinggal mereka menyulitkan mereka untuk memperoleh KTP yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses regristrasi penduduk diwilayah setempat. Registrasi penduduk adalah proses yang pelaporan dan pencatatan kelahiran, kematian, dan migrasi (Rusli, 2005).
Kepadatan penduduk di desa-desa yang terus mengalami peningkatan dapat menyebabkan banyak penduduk desa-desa yang bersangkutan mencari nafkah ke kota. Hal tersebut lebih dikarenakan semakin besarnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan di desa dimana jumlah pekerjaan yang tersedia di desa sangat terbatas. Dengan demikian banyak penduduk desa memutuskan melakukan migrasi ke kota dimana pekerjaan yang tersedia lebih banyak. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh pendatang yang sebagian besar hanyalah lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Pada akhirnya para pendatang hanya mampu bekerja pada sektor-sektor informal seperti buruh, tukang becak, pemulung. Dengan pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh para pendatang tentunya upah yang diperoleh tidak sebanding dengan mereka yang bekerja disektor formal. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sandyatma (2004) dimana penulis melakukan penelitian terhadap tiga keluarga pendatang yang tinggal di permukiman liar sekitar tempat pembuangan sampah di Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan disektor formal karena mereka terganjal dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat bersaing dengan pendatang lain yang memiliki
(43)
17
pendidikan lebih baik dari mereka. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pemulung disekitar tempat mereka tinggal.
Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh pendatang adalah tempat untuk mereka tinggal selama di kota. Di kota besar seperti Jakarta semakin hari semakin sulit untuk memperoleh tempat tinggal. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya lahan-lahan permukiman penduduk serta semakin banyaknya penduduk kota yang tentunya juga membutuhkan semakin banyak lahan untuk bermukim. Kalaupun masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal, harga yang ditawarkan untuk mendapatkan lahan tersebut sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh mereka yang bekerja pada sektor informal dengan upah rendah.
Permasalahan harga lahan yang terus meningkat tersebut tidak menyurutkan niat para pendatang untuk tetap tinggal dan mengadu nasib di kota. Tentunya mereka masih tetap membutuhkan tempat tinggal yang dapat mereka gunakan sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Oleh karena itu dengan kemampuan terbatas yang mereka miliki maka mereka memutuskan untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang masih tersisa di kota tidak jarang lahan tersebut adalah lahan milik negara. Mereka mulai menempati lahan-lahan tersebut dan menjadikannya permukiman. Ada yang menyewa rumah semipermanen dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah dengan menggunakan peralatan seadanya seperti triplek dan seng bekas yang mereka temukan. Semakin banyak pendatang yang bernasib sama dengan mereka dan memiliki inisiatif untuk melakukan hal serupa maka dapat kita lihat sekarang ini semakin banyak permukiman liar yang ada di kota-kota besar di Indonesia.
(44)
18
2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin
Menurut KBI Gemari (2003) penduduk miskin DKI Jakarta secara absolut jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk miskin karena adanya berbagai faktor seperti krisis ekonomi dan urbanisasi. Dari hasil survey BPS DKI Jakarta menyatakan bahwa jumlah rumah tangga miskin ada 101.674 rumah tangga atau sebanyak 340.687 anggota rumah tangga (KBI Gemari, 2003). Apabila dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang berjumlah 2.025.699 rumah tangga berarti rumah tangga miskin DKI Jakarta ada 5,02 persen atau dengan perkataan lain bila dibandingkan dengan jumlah penduduk ada 16,82 persen penduduk DKI Jakarta yang tergolong miskin (KBI Gemari, 2003). Tempat tinggal rumah tangga miskin pada umumnya bermasalah dan tidak layak huni. Mereka tinggal di bantaran aliran sungai, pinggiran jalan kereta api serta daerah kumuh lainnya. Pada umumnya mereka berada di lima wilayah kota dari 43 kecamatan, walaupun tidak seluruh dari 265 kelurahan dihuni oleh rumah tangga miskin (KBI Gemari, 2003).
Menurut BPS (2007), ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga miskin. Rumah tangga yang memenuhi minimal sembilan variabel, maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Kriteria rumah tangga miskin yang dimaksud yaitu:
1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
(45)
19
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500
meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
(46)
20
2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin 2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik dalam hal pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan, maupun lingkungan strategis kesehatan, termasuk pengaruh globalisasi. Salah satu kebijakan penting yang perlu menjadi acuan adalah Jamkesmas. Menurut Hambuako (2009) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang diselenggarakan secara nasional, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pelaksanaan kebijakan Jamkesmas dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Hambuako, 2009).
Penamaan program Jamkesmas mengalami berbagai bentuk perubahan (Hambuako, 2009). Awalnya, sebelum program ini menjadi regulasi yang diamanatkan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan program Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM). Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi sebagai regulator. Program DUKM secara operasional dijabarkan dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
(47)
21
Penjaminan akses untuk penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1998 saat melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Bermula dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) Tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS–BBM) Tahun 2002–2004.
Tahun 2005 pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang dikenal dengan nama program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Program ini merupakan bantuan sosial yang diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh PT Askes (Persero). Setelah dilakukan evaluasi dan dalam rangka efisiensi dan efektivitas, maka pada tahun 2008 dilakukan perubahan dalam sistem penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut adalah dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang didukung dengan penempatan tenaga verifikator disetiap rumah sakit. Nama program tersebut juga berubah menjadi Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Kegiatan verifikasi yang dilakukan pada pelaksanaan Jamkesmas meliputi verifikasi pelayanan, keuangan dan administrasi akan dilakukan oleh verifikator independen yang direkrut oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan di daerah (Ariane, 2007). Dalam hal pendanaan, dana untuk program ini disalurkan langsung dari kas negara ke rekening rumah sakit melalui bank yang ditunjuk
(48)
22
pemerintah. Sehingga benar-benar dana yang ada diharapkan akan langsung diterima oleh penyelenggara pelayanan kesehatan.
Tujuan umum diselenggarakannya program Jamkesmas menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Tujuan khusus program Jamkesmas, antara lain:
a. Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit b. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa (Hambuako, 2009). Jumlah tersebut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran Nasional tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan Bupati/Walikota.
Administrasi kepesertaan Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitan dan pendistribusian kartu kepada peserta (Hambuako, 2009). Untuk administrasi
(49)
23
kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes (Persero), dengan kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry oleh PT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan di Kabupaten/Kota. b. Entry data setiap peserta.
c. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan dan didistribusikan kepada peserta.
d. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang berhak, mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima yang ditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta.
e. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat.
Kartu Jamkesmas dapat digunakan di puskesmas, rumah sakit pemerintah atau swasta yang sesuai kontrak di seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut merupakan kelebihan yang dimiliki kartu Jamkesmas dibandingkan kartu Gakin yang hanya dapat digunakan di wilayah DKI Jakarta.
2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin)
Selain kartu Jamkesmas pemerintah kota DKI Jakarta juga mengeluarkan kartu Gakin dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Akan tetapi kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota DKI Jakarta, membuat sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui cara membuat kartu Gakin (keluarga miskin). Padahal, kartu Gakin sangat vital bagi keluarga
(50)
24
miskin untuk keperluan berobat gratis baik ke Puskesmas maupun rumah sakit (Bian, 2008). Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengerti tetap dikenai biaya rumah sakit meski mereka tergolong tidak mampu.
Program Gakin adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga miskin yang merupakan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta (Badan Informasi Daerah, 2007). Masyarakat yang berhak menerima kartu Gakin adalah yang memenuhi kriteria seperti tingkat ekonominya rendah, keadaan rumahnya buruk, dan belum memiliki penghasilan tetap (Bian, 2008). Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang mengaku miskin dan mendaftar sebagai keluarga miskin sehingga kartu gakin menyebar tak merata ke masyarakat.
Peserta program Gakin adalah masyarakat DKI Jakarta yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta dan memenuhi kriteria miskin menurut kriteria miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008):
1. Luas huni < 8 M2 per kapita
2. Jenis lantai rumah terluas tanah atau papan 3. Tidak memiliki sumber air minum
4. Tidak memiliki fasilitas jamban
5. Tidak mampu mengkonsumsi makanan berprotein atau bervariasi 6. Tidak mampu membeli pakaian satu stel setahun sekali untuk setiap
anggota rumah
7. Tidak punya asset rumah tangga, seperti : tanah, motor, warung, bengkel, perhiasan berharga dan lain-lain
(51)
25
Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan dua macam kategori miskin yaitu pasien miskin (gakin) dan pasien kurang mampu (SKTM) (Ariane, 2007). Apabila pasien dinyatakan miskin dan mempunyai kartu gakin atau surat pembebasan biaya dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pembebasan biaya. Bagi pasien yang dikategorikan kurang mampu, maka yang bersangkutan akan dikenakan iur biaya (cost sharing) yang besarannya ditentukan oleh Dinas Kesehatan DKI.
Masyarakat sebagai peserta Gakin sebelum mendapatkan kartu Gakin maka harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pengurusan kartu Gakin, antara lain (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008):
1. Peserta Gakin memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.
2. Peserta Gakin mengajukan Surat Keterangan Miskin (SKM) pada RT / RW. 3. Peserta Gakin ke Kelurahan dan Kecamatan dengan membawa SKM untuk
dilegalisir.
4. Peserta Gakin datang ke Puskesmas setempat dengan membawa SKM yang telah dilegalisir. Pihak Puskesmas akan memverifikasi dengan melakukan survey ke rumah pasien. Setelah survey dilakukan, akan ditentukan apabila pasien berhak untuk mendapatkan surat Gakin.
5. Setelah mendapat Hasil Laporan Verifikasi yang menyatakan pasien berhak
mendapatkan surat Gakin, selanjutnya semua berkas diserahkan ke Koordinator Gakin untuk dibuatkan Surat Keterangan.
6. Pasien datang ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta (Jl. Kesehatan No. 10 Jakarta Pusat) dengan membawa seluruh berkas (KTP, KK, SKM, SKTM Lurah/Camat, Rujukan Puskesmas, Laporan Hasil Verfikasi, Surat
(52)
26
Keterangan), untuk memperoleh Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan serta tindakan lainnya (SJP).
7. Pasien menyerahkan Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan
pengobatan serta tindakan lainnya (SJP) ke Koordinator JPK Gakin rumah sakit bersangkutan.
8. Untuk selanjutnya pasien diharuskan memperpanjang SJP tersebut setiap
bulannya dengan mengurus sendiri ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta dengan di lengkapi seluruh berkas (KTP,KK,SKM,RT/RW,SKTM Lurah/Camat, Rujukan Puskesmas, Laporan Hasil Verifikasi).
2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) adalah surat yang dikeluarkan oleh pihak Kelurahan bagi Keluarga Miskin (Gakin) (Admin, 2007). SKTM ini berguna bagi Gakin untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan gratis di rumah sakit yang ada. SKTM digunakan untuk meringankan biaya rumah sakit. Surat keterangan itu bisa menggantikan asuransi kesehatan bagi warga miskin (Askeskin) (Baskoro, 2007). Masyarakat miskin atau tidak mampu yang belum mempunyai Kartu Jamkesmas atau kartu Askeskin dan telah terdaftar sebagai penduduk miskin di kelurahan setempat, dapat menggunakan SKTM pada saat sakit (hanya berlaku sekali pada saat sakit) (Admin, 2007). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Depok Muhammad Ridwan dalam Baskoro (2007), menegaskan bahwa pengurusan SKTM ini tidak dipungut biaya alias gratis. Cara memperoleh SKTM:
(53)
27
a. Minta surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, disahkan oleh
Kelurahan dan Kecamatan.
b. Setelah lengkap dibawa ke Dinkesos dengan dilampiri foto copy Kartu
C1.
2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia
Sistem pencatatan atau sistem registrasi di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu registrasi vital (catatan peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, kematian dan perkawinan); registrasi penduduk dan statistik migrasi internasional (Lucas et al. 1984).
2.1.6.1. Registrasi Vital
Statistik vital merupakan sumber utama untuk mengetahui perubahan penduduk karena statistik ini dikumpulkan secara kontinu dalam berbagai buku registrasi yang biasanya meliputi kematian, kelahiran dan perkawinan (Lucas et al. 1984). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi kejadian-kejadian vital bertalian dengan registrasi seperti kelahiran, kematian, kematian janin, abortus, perkawinan dan perceraian.
Negara yang memelihara sistem registrasi kejadian-kejadian vital biasanya mewajibkan para warganya untuk segera atau dalam jangka waktu tertentu melaporkan kejadian-kejadian vital seperti kelahiran dan kematian (Rusli, 1995). Akan tetapi, banyak negara berkembang tidak dapat menyelenggarakan suatu sistem registrasi dengan baik dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan sangat besar (Lucas et al. 1984).
(54)
28
Menurut Rusli (1995) secara resmi telah dikeluarkan sertifikat yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan dengan dilengkapi bukti-bukti seperti umur, status perkawinan, dan sebagainya. Informasi didaftar isian formulir registrasi kelahiran antaranya berkisar pada nama dan jenis kelamin anak, tempat dan tanggal lahir, lahir hidup atau lahir mati; berbagai karakteristik orang tua seperti nama, umur, tempat lahir dan pekerjaan orang tua, dan nama-nama dan umur-umur dari anak-anak yang dilahirkan sebelumnya oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Daftar isian registrasi kematian biasanya mencatat informasi dari yang mengalami kematian meliputi: umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tanggal dan tempat lahir, dan sebab kematian.
2.1.6.2. Registrasi Penduduk
Sistem registrasi kejadian-kejadian vital dibedakan dari sistem registrasi penduduk (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi penduduk merupakan suatu sistem registrasi yang dipelihara penguasa setempat dimana biasanya dicatat setiap kelahiran, kematian, adopsi, perkawinan, perceraian, perubahan pekerjaan, perubahan nama dan perubahan tempat tinggal. Menurut PBB dalam Lucas. et al (1984), catatan penduduk yang baik seharusnya dilakukan secara kontinu mencatat ciri-ciri setiap individu maupun keterangan tentang semua peristiwa penting yang dialaminya.
Menurut Rusli (1995), di Indonesia sejarah registrasi penduduk dapat dikatakan mulai dalam masa “pemerintahan antara” Raffles yang memerintahkan di tiap desa harus diadakan suatu registrasi. Sayang rencana Raffles tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Bahkan setelah pemerintahan kolonial Belanda
(55)
29
berkuasa kembali, sistem registrasi tersebut semakin lama semakin tidak dapat dipercaya. Sampai kini, di Indonesia seperti halnya dikebanyakan negara-negara berkembang lain, di samping sistem registrasi penduduk belum dilaksanakan secara menyeluruh, data dari registrasi penduduk (jumlah kelahiran, kematian dan migrasi) sering tidak lengkap dan kurang dapat dipercaya (Rusli, 1995).
2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional
Menurut Lucas. et al (1984), statistik ini bersumber pada catatan tentang para pendatang di perbatasan internasional. Seorang pendatang yang melewati perbatasan biasanya harus menunjukkan paspor, dan mengisi berbagai formulir pada waktu datang maupun pergi. Namun demikian, tidak semua perpindahan internasional dapat dicatat.
2.2.Kerangka Pemikiran
Pemerintah memberikan perhatian lebih pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada beberapa tahun terakhir. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan dengan memberikan atau menyediakan fasilitas kesehatan bersubsidi atau bahkan gratis. Program-program kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan pemerintah antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Keluarga Miskin (Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Penelitian ini ingin melihat sampai sejauh mana program tersebut berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Selain itu ingin dilihat pula pendistribusian fasilitas tersebut, yang ditujukan bagi masyarakat miskin, sudah merata atau belum
(56)
30
termasuk bagi masyarakat migran yang tinggal di permukiman liar. Untuk mengetahui semua itu maka peneliti akan melihat pula akses para migran di permukiman liar tersebut terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang telah disediakan oleh pemerintah.
Jika ingin mengetahui akses migran di permukiman liar terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi maka perlu diketahui juga pengetahuan yang dimiliki oleh individu mengenai fasilitas kesehatan itu sendiri. Dengan demikian akan diketahui apakah terdapat keterkaitan antara pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dimiliki masyarakat migran di permukiman liar terhadap aksesnya pada fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah tersebut.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dilakukan oleh masyarakat migran di permukiman liar dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi dan kependudukan. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan status kependudukan yang dimiliki migran tersebut di wilayah DKI Jakarta. Selain faktor sosial ekonomi dan kependudukan, akses masyarakat migran di permukiman liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya antara lain kurangnya informasi yang dimiliki responden mengenai bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan. Kurangnya informasi yang dimiliki responden karena tidak adanya sosialisasi mengenai bantuan kesehatan tersebut. Selain informasi yang kurang, responden juga merasa belum membutuhkan kartu pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas, Gakin atau SKTM. Saat responden merasa membutuhkan bantuan biaya untuk pengobatan maka saat itu juga responden merasa membutuhkan kartu pelayanan kesehatan.
(1)
92
Bian. 2008. Sosialisasi Gakin Tak Optimal, Masyarakat Tetap Dipungut Biaya. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Sosialisasi+Gakin+ Tak+Optimal%2C+Masyarakat+Tetap+Dipungut+Biaya&dn=200803102 02601. Diakses tanggal 14 Mei 2009.
Departemen Kesehatan. 2007. Tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat. http://www.jpkmonline.net/index.php?option=com_content&task=view&i d=53&Itemid=89. Diakses tanggal 22 Mei 2009.
Hambuako, Ihm. 2009. Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Jamkesmas 2008.
http://dinkesbanggai.wordpress.com/2009/04/23/tinjauan-yuridis-penyelenggaraan-jamkesmas-2008/. Diakses tanggal 14 Mei 2009.
KBI Gemari. 2003. Dilema Kemiskinan di DKI Jakarta. http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=248. Diakses tanggal 4 September 2009.
Nafi, Muchamad. 2006. Pemerintah DKI Jakarta Tekan Urbanisasi. http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/01/17/brk,20060117-72424,id.html. Diakses tanggal 4 September 2009.
Setiawan, Yudha. 2006. Urbanisasi ke Jakarta Menurun. http://www.tempointeractive.com/hg/jakarta/2006/10/31/brk,20061031-86811,id.html. Diakses tanggal 4 September 2009.
Suyogo. 2009. Slum and Squatter Area.
http://suyogo.students.uii.ac.id/2009/03/08/hello-world/. Diakses tanggal 23 Mei 2009.
Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia. 2008. Program JPK Gakin.
(2)
(3)
LAMPIRAN 1 DOKUMENTASI
Bedeng tempat tinggal migran
Letak bedeng yang berdekatan dengan rel kereta api
Aliran sungai anak ciliwung yang ada di belakang bangunan bedeng
Pekerjaan yang dilakukan migran di halaman bedeng
Kartu Jamkesmas
(4)
HASIL ANALISIS CHI-SQUARE (X2)
Hubungan Pengetahuan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Crosstab
Count
Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau
Bersubsidi
Total
lemah sedang
Pengetahuan Responden baik 2 3 5
kurang baik 24 1 25
Total 26 4 30
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 11.308a 1 .001
Continuity Correctionb 6.981 1 .008
Likelihood Ratio 8.433 1 .004
Fisher's Exact Test .009 .009
Linear-by-Linear
Association 10.931 1 .001
N of Valid Casesb 30
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .67. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .523 .001
N of Valid Cases 30
Hipotesis :
H0 : tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
H1 : ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
Keputusan : p-value = 0,001 < α = 0,05 sehingga Tolak H0, artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
(5)
LAMPIRAN 3
HASIL ANALISIS RANK SPEARMAN
Hasil Analisis Rank Spearman Antara Tingkat Pendidikan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Correlations
Pendidikan Terakhir Responden
Akses Terhadap
Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Spearman's rho Pendidikan Terakhir
Responden
Correlation Coefficient 1.000 .284
Sig. (2-tailed) . .128
N 30 30
Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Correlation Coefficient .284 1.000
Sig. (2-tailed) .128 .
N 30 30
Hipotesis :
H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
Keputusan : p-value = 0,128 > α = 0,05 sehingga Terima H0, artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
(6)
Hasil Analisis Rank Spearman Antara Pendapatan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Correlations
Pendapatan Responden
Perbulan
Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Spearman's rho Pendapatan Responden Perbulan
Correlation Coefficient 1.000 -.043
Sig. (2-tailed) . .822
N 30 30
Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Correlation Coefficient -.043 1.000
Sig. (2-tailed) .822 .
N 30 30
Hipotesis :
H0 : tidak ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
H1 : ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi
Keputusan : p-value = 0,822 > α = 0,05 sehingga Terima H0, artinya tidak ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi