Analisis sekresi untuk tujuan pengumpulan ikan hiu dalam penangkapan ikan

(1)

ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN

IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN

Oleh :

Adi Munadi

C05400008

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

ABSTRAK

ADI MUNADI. C05400008. Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu dalam Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh ANWAR BEY PANE.

Belum diketahuinya penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah warna atau bau atau zat dari berbagai macam darah tersebut yang membuat ketertarikan hiu. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kepekatan warna darah, kadar amoniak darah dan asam amino dalam darah serta hubungan ketiga parameter diatas yang diduga menyebabkan ketertarikan hiu. Jenis-jenis darah yang dianalisis adalah darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur, darah pari dan darah hiu.

Penelitian ini menggunakan metode Sahli untuk analisis kepekatan warna darah, metode Phenate untuk analisis amoniak darah dan metode HPLC untuk analisis asam amino. Hasil penelitian telah diuji secara statistik menggunakan Anova, beda nyata terkecil (BNT) dan pengelompokkan rata-rata terbesar hingga terkecil menggunakan kaidah Student Newman Keul.

Diperoleh hasil bahwa darah hiu memiliki kepekatan warna yang paling tinggi yaitu 67,83 g/ml. Diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi ikan hiu bila dibandingkan dengan darah-darah lain. Darah layur menunjukkan kadar amoniak yang paling rendah yaitu 105,23 ppm, sehingga diduga darah layur memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi hiu karena hiu lebih tertarik terhadap darah yang kadar amoniaknya rendah. Selanjutnya dari analisis asam amino perangsang nafsu makan ikan, darah hiu menunjukan konsentrasi yang paling tinggi yaitu 0,570 %. Diduga, darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi hiu.

Kombinasi kandungan kepekatan warna darah, kadar amoniak dan asam amino menunjukkan bahwa darah hiu dapat dikategorikan kepada penilaian “terbaik”, sehingga diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi ikan hiu.


(3)

ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN

IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ADI MUNADI

C05400008

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(4)

SKRIPSI

Judul : ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN

IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN Nama : Adi Munadi

NRP : C05400008

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA. NIP. 130 814 494

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2006

ADI MUNADI C05400008


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 27 April 1981 dari pasangan H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih. Penulis adalah anak ke-4 dari empat bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Bojonggede pada tahun 1988-1994, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bogor pada tahun 1994-1997 dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Plus dibawah naungan Yayasan Persaudaraan Haji Bogor (YPHB) pada tahun 1997-2000. Pada tahun 2000 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).

Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Bioteknologi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (BIOTEK PSDI) di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan pada semester genap tahun akademik 2003-2004 dan 2004-2005.

Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN”.


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu dalam Penangkapan Ikan”, disusun berdasarkan penelitian yang tela h dilakukan selama bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005. Penelitian lapang dilakukan di Palabuha nratu, sedangkan penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.

2. Bapak Kosasih dan Bapak Jajang yang telah membantu penulis dalam menganalisis sampel di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium Lingkungan.

3. Kedua orang tua, H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doanya.

4. Sdr. Arik, Sdr. Syarif dan Sdr. Agus yang telah membantu penulis dalam penelitian lapang di Palabuhanratu.

5. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi dari awal hingga akhir penelitian, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna memberikan referensi-referensi pemahaman baru yang saat ini masih menjadi keterbatasan penulis. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi penulis tapi juga bagi semua pihak yang me mbutuhkan dan bagi ilmu pengetahuan Indonesia.

Bogor, Februari 2006


(8)

i

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Permasalahan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Deskripsi Hiu ... 6

2.1.1 Klasifikasi Hiu ... 6

2.1.2 Morfologi Hiu ... 7

2.1.3 Fisiologi Hiu ... 11

2.1.4 Habitat Hiu ... 12

2.1.5 Penyebaran Hiu ... 13

2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makanan ... 14

2.2 Unit Penangkapan ... 15

2.2.1 Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut) ... 15

2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut ... 16

2.3 Penelitian Tentang Hiu ... 17

2.4 Definisi Sekresi ... 20

2.4.1 Sekresi sebagai Pesan ... 20

2.4.2 Telemediator Kimiawi ... 20

2.4.3 Semiokemikal ... 22

2.5 Darah ... 25

2.5.1 Darah Ikan ... 25

2.5.2 Darah Mamalia ... 26

2.6 Parameter yang Diidentifikasi ... 28

2.6.1 Warna Darah ... 29


(9)

ii halaman

2.6.3 Asam Amino ... 31

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

3.1 Waktu dan Tempat ... 33

3.2 Bahan dan Alat ... 33

3.3 Metode Penelitian ... 34

3.3.1 Tahapan-tahapan Penelitian ... 35

3.3.2 Data dan Informasi yang Dikumpulkan ... 38

3.4 Analisis Data ... 38

4. KEADAAN UMUM PALABUHANRATU ... 40

4.1 Kondisi Geografis dan Prasarana Umum ... 40

4.2 Kondisi Perikanan Tangkap ... 41

4.2.1 Prasarana Perikanan ... 41

4.2.2 Penangkapan Ikan di Palabuhanratu ... 42

4.2.3 Penangkapan Ikan Hiu di Palabuhanratu ... 46

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Analisis Kepekatan Warna Darah ... 53

5.2 Analisis Total Amoniak Nitrogen (TAN) ... 58

5.3 Analisis Asam Amino ... 62

5.4 Hubungan Kadar Hemoglobin (Hb), Kadar Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan Jenis-jenis Asam Amino dalam darah ... 69

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

6.1 Kesimpulan ... 72

6.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(10)

iii

DAFTAR TABEL

halaman 1. Analisis kimiawi daging ikan hiu ... 11 2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan praktek

penangkapan hiu ... 19 3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut ... 21 4. Perkembangan jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN

Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 1994-2004 ... 42 5. Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu

tahun 1994-2004 ... 43 6. Perkembangan jumlah nelayan yang beraktifitas di PPN Palabuhanratu

tahun 1994-2004 44

7. Jenis-jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu ... 47 8. Frekuensi masuk dan keluar kapal perikanan jenis kapal motor yang dapat

mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ... 48 9. Jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 ... 50 10. Volume jual dan harga jual hiu segar/basah di PPN Palabuhantratu tahun

2004 ... 49 11. Hasil pengukuran kadar he moglobin (Hb) dalam darah ... 54 12. Analisis sidik ragam kadar hemoglobin (Hb) pada jenis sampel darah yang

berbeda ... 55 13. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda

terhadap rata-rata kadar Hemoglobin ... 56 14. Hasil pengukuran kadar TAN dalam darah ... 58 15. Analisis sidik ragam kadar TAN pada jenis darah yang berbeda ... 60 16. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda


(11)

iv halaman 17. Hasil pengukuran jenis-jenis asam amino dalam darah... 62 18. Jenis asam amino yang memiliki konsentrasi tertinggi pada setiap sampel

darah... 63 19. Konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan

(alanina dan glisina) pada sampel darah 65

20. Analisis sidik ragam konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan pada ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah ... 67 21.Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda

terhadap kadar asam amino jenis utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina ) ... 67 22.Pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu ... 70


(12)

v

DAFTAR GAMBAR

halaman 1. Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu ... 4 2. Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu ... 7 3. Anatomi tubuh bagian dalam dari ikan hiu ... 7 4. Beberapa tipe sistem penerimaan sensor ya ng ditemukan pada ikan hiu ... 9 5. Sketsa molekul asam amino ... 31 6. Perkembangan produksi ikan yang di PPN Palabuhanratu tahun

1994-2004 ... 45 7. Produksi ikan segar, ikan pindang dan ikan asin yang didistribusikan dari

PPN Pelabuhanratu tahun 1994-2004 ... 46 8. Frekuensi masuk kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN

Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ... 49 9. Frekuensi keluar kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN

Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ... 49 10. Rata-rata kadar hemaglobin (Hb) yang diukur dari beberapa jenis darah .. 54 11. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kepekatan warna darah

sampel menggunakan analisis pengelompokan ... 57 12. Rata-rata kadar TAN yang diukur dari beberapa jenis sampel darah... 59 13. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kadar bau darah

menggunakan analisis pengelompokan ... 61 14. Konsentrasi jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan

(alanina dan glisina) dalam darah ... 65 15. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap konsentrasi jenis asam amino

utama (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan pada ikan menggunakan analisis pengelompokan ... 68


(13)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Beberapa jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu... 77

2. Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya ... 79

3. Alat-alat untuk analisis laboratorium ... 80

4. Diagram alat HPLC ... 81

5. Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan HPLC ... 82


(14)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan hiu dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, baik di perairan territorial, perairan samudera maupun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE), dari Sabang sampai Marauke, dari Talaud sampai Cilacap. Jenis hiu yang ditemukan pun beraneka ragam. Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di perairan Indonesia dan sebagian besar dari jenis tersebut potensial untuk dimanfaatkan (Wibowo dan Susanto, 1995).

Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa pada tahun 1988 hasil tangkapan ikan hiu di Indonesia mencapai 39.055 ton, sedangkan menurut Statistik Perikanan Indonesia tahun 2000 (Anonymous, 2002), tidak kurang dari 68.366 ton hiu ditangkap dan didaratkan di berbagai tempat pendaratan ikan di Indonesia. Hal ini berarti terjadi peningkatan sebesar 62,2 % dalam kurun waktu 12 tahun atau rata-rata naik sebesar 5,2 % per tahun.

Diantara daerah yang paling banyak didaratkan hasil tangkapan ikan hiu pada tahun 2000 adalah perairan utara Sulawesi sebesar 10.152 ton (14,8 %), perairan timur Sumatera sebesar 9.815 ton (14,4 %), perairan utara Jawa sebesar 9.044 ton (13,2 %) dan perairan barat Sumatera sebesar 8.062 ton (11,8 %) (Anonymous, 2002). Selanjutnya, di perairan pantai selatan Palabuhanratu, hiu juga tertangkap oleh nelayan-nelayan setempat, pada tahun 2004 produksinya mencapai 87,3 ton (Anonymous, 2004).

Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing, jaring insang dan rawai mini (Sala, 1996 vide Susanti, 1997). Alat tangkap yang digunakan cenderung berbeda-beda berdasarkan karakteristik perairan dimana hiu tertangkap. Nelayan Cirebon menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut ) untuk menangkap hiu yang pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan di daerah Cilacap para nelayannya menggunakan rawai cucut. Alat tangkap lain seperti tuna longline bisa juga menangkap hiu, namun hanya sebatas sebagai hasil tangkapan sampingan (Narsongko, 1993).


(15)

2 Hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan, mulai dari sirip, kulit, daging, hati, isi perut dan tulang. Tidak salah jika hiu disebut sebagai ikan serba guna, berkhasiat pangan dan obat, serta bermanfaat industri. Oleh karenanya memiliki nilai ekonomis tinggi.

Bagian yang paling khas dan menarik dari tubuh hiu adalah siripnya. Sirip hiu harganya sangat mahal. Pada tahun 1995, sirip hiu yang setengah kering saja harganya mencapai Rp. 50.000,00 per kg dan yang kering mencapai Rp. 100.000,00. kalau sudah diolah menjadi serat-serat sirip yang disebut hisit bisa mencapai Rp. 750.000,00 per kg (Wibowo dan Susanto, 1995).

Kulit hiu dapat disamak dan dijadikan barang-barang kerajinan tangan atau industri kecil yang dapat dijual seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang bahkan jaket. Daging ikan hiu tidak kalah enaknya dengan daging ikan lain jika bau amoniak yang tidak sedap pada hiu dihilangkan terlebih dahulu atau dikurangi dengan cara pengasapan, pemanggangan, perebusan atau perendaman dalam larutan asam. Daging hiu bisa dijadikan abon, bakso, sosis, atau produk pangan lainnya (Wibowo dan Susanto, 1995).

Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa minyak hati ikan hiu sangat dicari oleh pihak industri kosmetika dan farmasi. Hati hiu mengandung minyak yang kaya vitamin A dan D, bahkan banyak mengandung senyawa biokos (biokosmetika) skualen. Tulang hiu mengandung kolagen yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi lem atau dibuat tepung. Jika diekstrak, tulang hiu dapat menghasilkan senyawa kondroiton untuk digunakan sebagai obat tetes mata dan dapat mencegah proses penuaan sel.

Salah satu keunikan ikan hiu di laut adalah ketertarikannya terhadap darah. Hasil berbagai penelitian atau praktek penangkapan hiu yang telah dilakukan mengenai penggunaan darah untuk pengumpulan ikan hiu, diperoleh informasi-informasi yang beragam. Darah-darah yang pernah digunakan untuk pengumpulan hiu tersebut diantaranya yaitu darah hewan ternak seperti sapi (Narsongko,1993), darah ikan seperti cakalang, lemadang, lumba- lumba (Hendrotomo, 1989), layur, cucut, remang, sidat, belut laut (Wirianata, 1982), pari, tuna dan tongkol. Namun dari


(16)

3 berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, sejauh ini belum pernah dilakukan analisis lebih lanjut mengenai apa penyebab yang membuat ikan hiu tertarik terhadap darah yang terdapat dalam sampel yang telah dicobakan tersebut.

Diduga, darah (hewan) mengandung zat/senyawa/bau dan mungkin warna tertentu yang membuat hiu tertarik. Setiap darah hewan dari jenis yang berbeda memiliki zat/senyawa/bau/warna darah yang berbeda-beda, sehingga diduga akan memberikan reaksi hiu yang berbeda pula terhadap darah-darah tersebut. Zat/senyawa/bau/warna darah tersebut dapat diduga berfungsi sebagai “feromon” dalam hal tertariknya ikan hiu terhadap darah hewan lain. Pada hewan atau organisme laut, “feromon” pada umumnya berupa sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut dan memberikan pengaruh terhadap hewan atau organisme laut lainnya dalam suatu jarak yang cukup jauh baik dalam spesies yang sama (intraspesies) atau spesies yang berbeda (interspesies).

Sekresi merupakan suatu senyawa kimiawi yang dikeluarkan suatu individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok lain baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja dengan fungsi- fungsi tertentu. Untuk merespon suatu sekresi atau suatu darah di perairan, diduga selain menggunakan indera penciumannya, hiu juga mengeluarkan senyawa bioaktif tertentu yang disebut sebagai sekresi. Begitu juga organisme lain yang menjadi mangsa hiu diduga dapat mengeluarkan senyawa bioaktif dalam darah yang tersebar ke perairan, misalnya melalui luka tubuh yang dialaminya.

Untuk itu sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, perlu dilakukan penelitian tentang apa yang menyebabkan ketertarikan ikan hiu terhadap darah hewan lainnya. Apakah itu berupa zat atau senyawa atau bau atau warna tertentu dari darah yang dicobakan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

(1) Mendapatkan konsentrasi kepekatan warna darah, kadar Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan jenis-jenis asam amino dalam darah pada berbagai macam


(17)

4 darah hewan yang dapat membuat ketertarikan ikan hiu untuk berkumpul; yaitu darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur, darah pari dan darah hiu itu sendiri.

(2) Mendapatkan hubungan antara warna darah, kadar TAN dan jenis-jenis asam amino dalam darah dari berbagai macam darah tersebut diatas yang dapat membuat ketertarikan hiu untuk berkumpul.

1.3 Permasalahan Penelitian

Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah zat atau senyawa atau bau atau warna dari berbagai macam darah yang membuat ketertarikan hiu tersebut yaitu darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur dan darah pari serta darah hiu itu sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian awal dari rangkaian penelitian-penelitian yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan produk tiruan (rekayasa) darah yang berisi kandungan-kandungan atau substansi aktif yang mempunyai daya tarik terhadap pengumpulan hiu; untuk tujuan penangkapannya.

Gambar 1. Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu

Hasil-hasil penelitian dan praktek penangkapan hiu

dengan darah

Penelitian tentang kandungan darah yang

membuat hiu tertarik

Uji coba darah di perairan dalam skala laboratorium

atau lapangan

Penelitian rekayasa produk tiruan darah untuk mengumpulkan hiu Uji coba di laut, penebaran

produk tiruan untuk mengumpulkan hiu

Hasil : kandungan darah

Hasil : presisi hasil penelitian

Hasil : produk rekayasa awal Hasil : produk akhir akurat


(18)

5 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

(1) Sebagai bahan pedoman bagi nelayan atau pihak-pihak terkait tertentu yang ingin melakukan praktek penangkapan ikan hiu menggunakan darah sebagai cara pengumpulannya.

(2) Memberikan informasi tentang data jenis darah kepada pihak yang ingin melakukan pene litian lanjutan mengenai perilaku ikan khususnya reaksi hiu terhadap darah.


(19)

6

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Hiu 2.1.1 Klasifikasi Hiu

Seekor ikan pada dasarnya dapat diklasifikasikan sebagai ikan hiu jika memiliki insang seperti kisi-kisi yang terpasang di kedua sisi kepalanya (Wibowo dan Susanto, 1995). Seperti ikan lain, hiu termasuk kelas pisces dengan subkelas elasmobranchii atau chondricthyes dalam filum chordata. Menurut katalog yang disusun FAO tahun 1984 (Campagno, 1984a), di dunia ditemukan sekitar 350 spesies ikan hiu yang dikelompokkan dalam 8 ordo yaitu hexanchiformes, squaliformes, pristiophoriformes, squantiformes, heterodontiformes, orectolobiformes, lamniformes dan carcharhiniformes.

Ordo hexanchiformes terdiri dari dua famili yaitu chilamydoselachidae dan hexanchidae. Squaliformes memiliki tiga famili yaitu Echinorhinidae, squalidae dan oxinotidae. Squalus acanthias adalah salah satu spesies yang paling sering ditemukan berasal dari famili squalidae. Pristiophoriformes, squantiformes dan heterodontiformes hanya memiliki masing- masing satu famili yaitu pristiophoridae, squantinidae dan heterodontidae.

Selanjutnya, ordo orectolobiformes terdiri dari tujuh famili yaitu parascyllidae, branchaeluridae, orectolobidae, hemiscyllidae, stegostomatidae, gynglymostomatidae dan rhiniodontidae. Ordo lamniformes memiliki jumlah famili yang sama dengan ordo orectolobiformes yaitu tujuah famili diantaranya odontaspididae, mitsukurinidae, pseudocarchariidae, megachasmidae, alopiidae, cetorhinidae dan lamnidae. Ordo yang memiliki jumlah famili paling banyak adalah ordo carcharhiniformes dengan delapan famili yaitu scyliorhinidae, proscylliidae pseudotriahidae, leptochariidae, triakidae, hemigaleidae, carcharhinidae dan sphyrnidae. Spesies Carcharhinus melanopterus yang lebih dikenal dengan hiu lanjam (blacktip-reef shark) berasal dari famili carcharhinidae.


(20)

7 2.1.2 Morfologi Hiu

Gambar 1 dan 2 menampilkan bagian-bagian tubuh hiu. Ikan hiu memiliki tubuh memanjang dengan bentuk seperti cerutu dan ekornya berujung runcing. Nontji (1989) menyatakan bahwa pada umumnya hiu memiliki tubuh berbentuk atau menyerupai torpedo disertai ekor yang kuat.

Gambar 2. Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu(Anonymous, 2004)


(21)

8 (1) Organ tubuh

Alat pernapasan hiu sangat unik dan tidak dimiliki oleh ikan- ikan lain. Alat ini dinamakan insang jendela karena rongga insangnya mempunyai tutup yang berlubang- lubang seperti jeruji jendela. Keunikan pernapasan hiu terletak pada tubuhnya yang harus terus bergerak. Bila hiu berhenti bergerak maka aliran air ke dalam rongga insang akan terhenti (Wibowo dan Susanto, 1995).

Struktur kulit hiu berupa serat-serat yang tersusun malang- melintang membentuk susunan seperti anyaman. Kulit hiu dilapisi oleh sisik-sisik halus yang disebut dermal denticle.. Hal ini didukung oleh Nontji (2005), bahwa hiu memiliki kulit yang tertutup oleh sisik plakoid berupa duri-duri halus yang posisinya condong ke belakang. Menurut Susanti (1997), warna kulit hiu adalah lebih gelap di bagian punggung dan lebih terang di bagian perutnya, meskip un ada pula yang berwarna lain.

Jaringan daging hiu menempel langsung ke kulit tanpa ada lapisan lemak sebagai lapisan perantara seperti yang terdapat pada ikan- ikan lain. Dengan daging menempel langsung pada kulit saling-silang ini maka ikatan daging dengan kulit sangat kuat. Kondisi ini menyulitkan proses penanganan hiu ketika harus memisahkan kulit dari dagingnya (Wibowo dan Susanto, 1995).

Hiu memiliki mulut yang letaknya di bagian bawah dan agak ke belakang dari bagian moncongnya (Nontji, 2005). Ungkapan Nontji tersebut diperjelas oleh Baker (1975) vide Susanti (1997) bahwa bagian mulut hiu seperti tersebut diatas berfungsi mengarahkan arus air ke arah pharinx untuk menyaring makanan.

Pada umumnya, gigi hewan darat atau manusia tertanam dengan kuat pada rahangnya. Berbeda halnya dengan hiu, gigi hiu tidak tertanam pada rahang melainkan pada kulitnya (Wibowo dan Susanto,1995). Akibatnya, gigi hiu dapat mudah lepas. Johnson (1990) vide Susanti (1997) menyatakan bahwa penyebab gigi hiu mudah lepas adalah karena gigi tersebut tumbuh pada bagian rahang yang lunak seperti kulit.


(22)

9 Menurut Baker (1975) vide Susanti (1997), Sirip-sirip hiu terdiri atas bagian

pectoral, pelvic, anal, caudal, dorsal dan second dorsal (gambar 1). Sirip pectoral

digunakan sebagai alat keseimbangan, sedangkan sirip dorsal sebagai alat stabilisator.

(2) Alat indera

Ikan hiu memiliki tiga macam alat indera yaitu indera penciuman, indera penglihatan dan indera perasa (Narsongko, 1993). Indera yang paling berperan adalah indera penciuman. Sebagian besar otak hiu digunakan untuk melayani indera penciuman, tidak heran jika hiu memiliki indera penciuman yang sangat tajam. Nomura (1981) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa rongga di dalam kantung organ penciuman yang berbentuk kapsul adalah tersusun rapat dan tampak mengandung sel-sel pendeteksi zat kimia pada lubang kapsul tersebut. Nomura menyimpulkan bahwa alat penciuman hiu sangat peka.

Sebagaimana vertebrata yang lain, ikan memiliki dua sistem sensori/reseptor kimia yaitu pembau (olfaktori) dan pengecap (gustatori) yang beradaptasi terhadap substansi spesifik lingkungan. Secara umum olfaktori serupa dengan organ nasal untuk penciuman (hidung) manusia. Reseptor olfaktori mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk sinyal elektrik (Fujaya, 2002).

Sinyal kimia (alamon dan feromon) digunakan sebagai alat komunikasi yang selanjutnya mempengaruhi pola perilaku dan reproduksi ikan. Asam amino, steroid, prostaglandin dan garam empedu merupakan substansi kimia yang sangat sensitif terhadap sistem pengecapan pada ikan. Meskipun pada konsentrasi yang rendah, asam amino tetap mampu dideteksi oleh lebih dari 20 spesies ikan air tawar dan laut (Fujaya, 2002).

Poznanin (1970) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera penglihatannya. Menurut Bonaventura dan Bonaventura (1983) dalam Zahuranec (1983), organ olfaktori hiu dapat mendeteksi zat kimia sampai jarak ratusan meter


(23)

10 sedangkan organ penglihatan hiu hanya dapat melihat maksimal sampai jarak 20 meter. Selanjutnya Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) menambahkan bahwa hiu dilengkapi organ pencium paling tajam yang dapat menemukan tetesan darah dari jarak 400 m atau lebih.

Sistem sensor pada suatu organisme dibutuhkan untuk merasakan dan mengenal lingkungan yang ada disekitarnya. Sistem sensor ini sangat penting bagi kehidupan organisme khususnya hiu sebagai alat mendeteksi makanan dan keberadaan mangsanya. Hubungan yang ditimbulkan dan diterima pada sistem sensor dapat berupa pesan atau rangsangan (stimulant) (Bonaventura dan Bonaventura, 1983

dalam Zahuranec, 1983). Gambar 3 berikut ini menyajikan tipe sistem penerimaan sensor pada ikan hiu.

Gambar 4. Beberapa tipe sistem penerimaan sensor yang ditemukan pada ikan hiu(Bonaventura dan Bonaventura, 1983 dalam Zahuranec, 1983) (3) Kandungan urea

Kandungan urea yang terdapat pada daging hiu sangat tinggi. Urea ini merupakan sumber amoniak yang menyebabkan daging hiu sangat khas akan bau “pesing”nya (Wibowo dan Susanto, 1995). Saleh et. al. (1995) menyatakan bahwa urea merupakan sumber potensial amoniak, hampir semua penelitian tentang pengolahan ikan hiu diarahkan untuk menekan kadar urea serendah mungkin dengan cara menguraikannya menjadi amoniak yang selanjutnya akan menguap sehingga mengurangi bau seperti “pesing”.


(24)

11 Urea dibentuk di dalam darah dan cairan tubuh semua ikan laut yang bertulang keras maupun ikan laut yang bertulang rawan. Bedanya, kedua kelompok ikan ini dengan cepat akan mengeluarkan urea tersebut, sedangkan hiu tidak. Urea tersebut akan ditimbun di dalam darah. Akibatnya, kandungan urea di dalam darah hiu menjadi lebih tinggi, tekanan osmotisnya pun menjadi lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap cara minumnya, dengan tekanan osmotis darah ya ng biasa-biasa saja maka kebanyakan ikan harus minum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak demikian halnya dengan ikan ini, hiu tidak harus minum untuk mendapatkan air, melainkan dengan cara menyerapnya melalui membran secara osmosis. Sejumlah besar urea yang terdapat dalam darah, cairan tubuh dan jaringan-jaringan daging hiu, dalam kadar lebih dari 1,5 % berat, dipercaya merupakan bagian dari mekanisme osmoregulasi yang mengatur daya selam dan daya apung dari ikan jenis Elasmobranchii ini (Wibowo dan Susanto, 1995).

Hasil analisis kadar urea pada daging hiu dengan bobot basah dan bobot kering yang berasal dari bagian ekor, perut dan punggung menunjukkan bahwa kadarnya tidak berbeda yaitu 1,81 % (bobot basah) atau 7, 64 % (bobot kering) (Saleh et. al., 1995). Tabel 1 berikut mengemukakan hasil analisis kimiawi daging ikan hiu :

Tabel 1. Analisis kimiawi daging ikan hiu

No Parameter Bobot Basah Bobot Kering

1 Kadar Air (%) 76,33 -

2 Kadar Abu (%) 1,22 5,14

3 Protein kasar (%) 21,34 90,23

4 Lemak (%) 0,37 1,55

5 Urea (%) 1,81 7,64

6 Amoniak (mg.N %) 15,43 -

7 pH 5,96 -

Sumber : Saleh et. al. (1995)

2.1.3 Fisiologi Hiu

Banyak hal- hal yang menarik dan unik yang dimiliki ikan hiu bila dibandingkan dengan ikan lain, seperti kemampuan menga mbang dimana hiu tidak memiliki


(25)

12 kantung udara, karena ikan- ikan pada umumnya memiliki kantong udara yang berfungsi sebagai alat untuk mengambang atau tenggelam. Bentuk tubuh yang khas dan ditunjang posisi sirip-siripnya, hiu secara alami dapat membentuk gerakan hidrodinamik sehingga tubuhnya dapat terangkat. Selain itu cara berenang hiu juga menjadi salah satu keunikan tersendiri yaitu dengan cara menggeleng ke kiri dan ke kanan. Cara berenang hiu seperti tersebut diatas digunakan pada saat hiu mencari dan melacak mangsanya (Wibowo dan Susanto, 1995).

Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengatakan bahwa hiu memiliki hati yang cukup besar. Rata-rata hiu memiliki hati dengan berat hingga 25-30 % dari berat total tubuhnya. Berdasarkan volumenya, hati hiu bisa mencapai 30 % dari total volume tubuhnya. Hati hiu menyimpan hampir 80 % lemak berupa minyak dari total berat hati. Berat jenis lemak tersebut lebih ringan dari air laut yaitu 0,82 – 0,92 g/ml. Secara keseluruhan berat jenis hiu pun menjadi lebih ringan dari berat jenis air laut. Ternyata, kondisi inilah sebagai pengganti kantung udara untuk memberikan daya mengambang pada hiu. Jadi, mengambangnya hiu ditentukan oleh minyak di dalam hatinya, sedangkan gerakannya di dalam air ditentukan oleh sistem hidrodinamik yang terbentuk pada sirip dan bentuk tubuhnya.

2.1.4 Habitat Hiu

Ikan hiu terdapat di seluruh perairan Indonesia, mereka umumnya ditemukan di perairan berkarang atau perairan yang dasarnya berpasir dengan kedalaman bervariasi tergantung jenisnya (Wibowo dan Susanto, 1995). Selain dilaut, beberapa jenis hiu ada yang hidup atau berenang ke daerah air tawar (Collins, 1992 vide Susanti, 1997), seperti hiu sentani yang dijumpai di danau Sentani, Papua.

Pada siang hari, hiu sering dijumpai di perairan karang yang lebih dangkal, sedangkan di perairan yang lebih dalam hiu lebih sering ditemukan. Meski demikian, banyak juga jenis hiu yang menyukai tempat-tempat seperti perairan dangkal, dasar perairan berpasir atau berlumpur, air payau bahkan air tawar. Hal ini seperti dikatakan Stead (1963) vide Narsongko (1993) bahwa ikan hiu terdapat di


(26)

13 perairan dengan kedalaman yang paling dangkal sampai beberapa ribu meter di lautan lepas.

Wibowo dan Susanto (1995), membedakan jenis-jenis hiu menjadi dua populasi besar yaitu hiu permukaan atau hiu-atas yang hidup di perairan dangkal dan hiu perairan dalam atau hiu-dasar. Perbedaan habitat ini sangat mempengaruhi sifat dan ciri-ciri hiu. Hiu-dasar akan mengalami tekanan air yang lebih kuat, suhu yang lebih rendah dan keterbatasan caha ya, sedangkan di peraiaran yang lebih dangkal tekanannya lebih kecil, suhu makin mendekati permukaan dan cahaya melimpah. Faktor-faktor ini yang menentukkan sifat biologis hiu di setiap kedalaman perairan. Umumnya hiu yang hidup di perairan dalam memiliki tubuh yang lebih ramping daripada hiu yang hidup di perairan yang lebih dangkal.

Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengemukakan bahwa perbedaan tekanan air juga berpengaruh pada sifat dan ketahanan kulit hiu. Biasanya kulit hiu-dasar lebih mudah rusak dibandingkan hiu-atas. Kekuatan dan kelenturannya juga berbeda serta warna daging hiu-dasar lebih putih daripada hiu-atas.

2.1.5 Penyebaran Hiu

Menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997), faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran hiu adalah kedalaman perairan dan suhu, karena kedua faktor ini relatif tidak berubah. Kedalaman rata-rata dimana hiu berada, berkisar antara 70 – 1.000 meter (Taylor and Taylor, 1995 vide Susanti, 1997). Johnson (1990) vide

Susanti (1997) menambahkan bahwa walaupun demikian, ada beberapa hiu yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000 meter. Berikut ini jenis-jenis hiu berdasarkan perubahan suhu air menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997) :

(1) Jenis hiu tropis aktif (active tropical sharks)

Jenis hiu ini hidup pada perairan yang lebih hangat dengan suhu diatas 21º C. Biasanya hiu ini sangat aktif dan ruaya musimannya mengikuti perubahan suhu air. (2) Jenis hiu tropis penghuni dasar (bottom dwelling sharks)

Hiu jenis ini bukan merupakan pemangsa aktif. Mereka hidup bergerombol dan menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan dalam.


(27)

14 (3) Jenis hiu perairan sub tropis (temperate water sharks)

Hidup di perairan dengan suhu antara 10 - 21º C. Biasanya merupakan perenang aktif dan ruayanya mengikuti arus air yang disebabkan oleh perubahan suhu.

Menurut Stead (1963) vide Narsongko (1993) disebutkan bahwa ikan hiu lebih aktif pada sore hingga malam hari dan ikan ini akan menurun atau berhenti aktifitasnya apabila suhu air menurun sampai 18 º C. Stead juga menyatakan bahwa meskipun ikan hiu terdapat di semua laut, serangannya terbatas di perairan yang bersuhu lebih dari 21 º C hingga daerah antara 21º LS - 21º LU merupakan daerah yang mengalami serangan sepanjang tahun.

Pada umumnya hiu tersebar di berbagai jenis perairan dalam kondisi berkelompok maupun individual. Hal ini didukung oleh Stevens (1989) vide Susanti (1997), bahwa hiu merupakan jenis ikan soliter, namun ada juga spesies hiu yang ditemukan berkelompok. Kreuzer dan Ahmed (1978) vide Susanti (1997) memperjelas bahwa beberapa spesies hiu bergerak pada perairan dalam area yang cukup luas, sementara spesies yang lain bergerak dalam area yang lebih kecil atau area yang sama dari permukaan hingga perairan yang lebih dalam dan sebaliknya.Hal ini berarti bahwa setiap individu hiu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain berdasarkan habitatnya.

2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan

Ikan hiu termasuk omnivora yang sangat rakus (Rahayuningsih, 1993). Makanan pokoknya adalah ikan, tetapi ada juga yang memakan hewan laut lain seperti penyu, anjing laut dan bahkan ada yang bersifat kanibal dengan memakan jenisnya sendiri. Ommaney (1979) menjelaskan bahwa ikan hiu caring penghuni perairan beriklim sedang dan ikan hiu geger lintang penghuni perairan tropis hanya memakan plankton, ikan- ikan kecil, cumi-cumi dan udang.

Indera penciuman sangat mendukung hiu dalam menentukan jenis makanan apa yang akan dimakan. Melalui indera penciuman juga, hiu mempunyai kemampuan untuk menentukan lokasi makanan pada jarak tertentu. Poznanin (1970) vide


(28)

15 Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera penglihatannya.

Biasanya hiu mendeteksi bau makanan dengan berenang melawan arus, kemudian bergerak ke kiri dan ke kanan artinya bila bau menjadi kurang tajam di sebelah kiri maka dia akan bergerak ke sebelah kanan dan sebaliknya sampai ia menemukan sumber bau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa jika satu lubang hidung hiu disumbat maka ikan itu akan berenang berputar-putar mengikuti jejak bau yang diterimanya dari satu arah saja (Went, 1979 vide Narsongko, 1993).

2.2 Unit Penangkapan Hiu

Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing, jaring insang, tuna longline dan rawai mini. Alat tangkap tersebut tidak spesifik untuk menangkap hiu sebagai hasil tangkapan utama. Alat tangkap yang lebih spesifik dan khusus menangkap hiu adalah jaring liong bun dan rawai cucut. Nelayan Cirebon menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut) untuk menangkap hiu dimana pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan rawai cucut terdapat di daerah Cilacap.

2.2.1Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut )

Jaring liong bun disebut juga dengan bottom gillnet, set bottom gillnet atau jaring insang tetap. Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara direntangkan dekat dasar perairan dengan bantuan jangkar. Posisi jaring dapat diketahui dengan keberadaan pelampung di permukaan. Biasanya nelayan menggunakan jaring sebanyak 100 piece per kapal (Fauziyah, 1997).

Selanjutnya Fauziyah menyatakan bahwa kapal yang digunakan oleh nelayan jaring liong bun terbuat dari kayu, umumnya memiliki lima buah palkah yaitu tiga buah palkah ikan dan dua buah palkah untuk perlengkapan dengan daya tampung masing- masing 30 ton. Fasilitas penunjang kapal ini terdiri dari GPS, kompas


(29)

16 magnet, peta pelayaran dan radio komunikator. Tenaga penggerak kapal terbuat dari mesin berkekuatan 120-180 PK.

Fauziyah juga menjelaskan bahwa nelayan jaring liong bun terdiri dari 10 orang. Satu orang bertugas sebagai penanggung jawab operasi penangkapan yang disebut sebagai tekong. Tekong juga berperan dalam menentukan letak fishing ground, kapan harus melakukan setting dan kapan harus melakukan hauling. Satu orang lagi sebagai kepala kamar mesin (KKM) yang bertugas mengatur stabilitas mesin, sedangkan sisanya bertugas dalam operasi penangkapan seperti setting dan

hauling.

2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut

Rawai cucut yang digunakan biasanya adalah rawai permukaan. Di Cilacap dikenal dengan nama krawai. Bagian-bagian dari alat tangkap ini meliputi tali utama, tali cabang, tali pelampung, pelampung, mata pancing dan tiang bendera. Tali utama disebut juga tali pelampar yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya tali cabang. Tali utama memiliki panjang kira-kira 4.250 meter dan memiliki diameter 8 mm. Pemasangan tali cabang tidak boleh lebih dari setengah panjang tali utama atau jarak tali cabang yang menggantung pada tali utama supaya tidak saling mengait. Jarak antar tali cabang kira-kira 24 meter. Mata pancing yang digunakan yaitu nomor 6 dan 7 (Rahayuningsih, 1993).

Selanjutnya Rahayuningsih menyebutkan bahwa kapal rawai cucut termasuk jenis motor duduk atau bermesin dalam (inboard), dimana hampir seluruh bagian kapal terbuat dari kayu. Mesin yang digunakan biasanya berkekuatan 30 hingga 40 PK. Spesifikasi kapal ini terdiri dari dua buah palka, tempat tali jangkar, dudukan mesin, gandar kemudi, dapur, tempat pelampung, tonggak kayu dan ruang istirahat.

Nelayan atau anak buah kapal (ABK) rawai cucut berjumlah 8 orang. Satu orang sebagai juru mudi yang tugasnya memimpin dan bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan dan menentukan daerah penangkapan, sedangkan 7 orang lagi bertugas sebagai pelaksana operasi penangkapan seperti setting, hauling, dan penanganan hasil tangkapan (Rahayuningsih, 1993)


(30)

17 2.3 Penelitian Tentang Hiu

Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap ikan hiu sudah sering dilakukan, khususnya yang menjadikan bagian tubuh hiu sebagai objek penelitian. Karena pada dasarnya hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan untuk penelitian seperti hati, kulit, daging dan lain- lain. Selain itu, penelitian-penelitian pendahuluan tentang pengelolaan sumberdaya hiu, kebijakan pemanfaatan hiu dan analisis sistem penangkapan hiu juga pernah dilakukan untuk beberapa perairan di Indonesia.

Penelitian yang berhubungan dengan ikan hiu menggunakan darah untuk penangkapan dan pengumpulan hiu telah beberapa kali dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Pada tahun 1993, Narsongko telah melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan darah sapi terhadap hasil tangkapan ikan hiu pada alat tangkap rawai cucut di Cilacap. Darah yang digunakan adalah darah sapi sebanyak 4.400 ml per operasi penangkapan. Darah tersebut dimasukan ke dalam kantung plastik dengan masing- masing berisi 200 ml darah. Kantung plastik dipasang pada tali utama atau disesuaikan dengan jarak antar tali cabang dalam satu basket. Kesimpulan yang diperoleh dari 17 kali operasi penangkapan yaitu hasil tangkapan tanpa menggunakan darah sebanyak 37 ekor dengan berat total 1.533 kg atau rata-rata 90,18 kg/operasi penangkapan, sedangkan hasil tangkapan menggunakan darah segar sebanyak 50 ekor dengan berat total 2.274 kg atau 133,76 kg/operasi penangkapan, hal ini berarti ada peningkatan hasil tangkapan sebanyak 43,58 kg/operasi penangkapan.

Balai Penelitian Perikanan Indonesia (BPPI) telah mengadakan percobaan tentang pengaruh penambahan darah segar sapi pada operasi penangkapan dengan rawai cucut permukaan di Palabuhanratu (BPPI, 1986 vide Narsongko, 1993). Pada uji coba ini, jumlah tali cabang dalam satu basket adalah 5 unit, sedangkan kantong darah dikaitkan pada bagian sekiyama. Kantong darah ini dipasang pada jarak masing- masing 50-75 meter. Kantong darah yang digunakan adalah kantong plastik berukuran 200 ml. Hasil dari uji coba ini diperoleh bahwa jumlah hasil tangkapan pada rawai cucut tanpa pemberian darah segar adalah 7 ekor dengan berat total 352,5 kg, sedangkan hasil tangkapan rawai cucut dengan pemberian darah segar berjumlah


(31)

18 16 ekor dengan berat total 674 kg. Kesimpulannya berarti pemberian darah segar dalam usaha pengumpulan untuk penangkapan cucut pada rawai cucut permukaan adalah cukup efektif untuk mendatangkan kawanan ikan hiu (Narsongko, 1993).

Percobaan yang dilakukan Hendrotomo (1989) menggunakan tiga jenis umpan daging ikan yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis), lemadang (Coryphaena hippurus) dan lumba- lumba (Stenella malayan dan Orcanella breviros). Dari ketiga jenis umpan ini, daging ikan lemadang menghasilkan hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan umpan menggunakan ikan cakalang dan lumba- lumba. Hal ini diduga karena daging ikan lemadang berwarna agak putih dan kandungan darahnya rendah, sedangkan dua jenis ikan lainnya memiliki daging lebih tebal, warnanya merah pekat dan kandungan darahnya lebih tinggi (Hendrotomo, 1989).

Para nelayan di pantai Jayanti Cianjur pernah menggunakan berbagai macam jenis daging ikan untuk umpan ikan hiu seperti ikan layur (Trichiurus savala), ikan remang (Congrexos talaban), ikan merah (Lutjanus sanguinensis), ikan hiu (Pristis cuspidatus), ikan sidat dan belut laut sebagaimana yang dilaporkan oleh Wirianata (1982). Di daerah-daerah lain seperti Lombok timur para nelayan menggunakan umpan daging ikan yang dilumuri darah seperti cakalang dan tongkol, sedangkan di daerah Cilacap nelayannya menggunakan daging ikan tuna, cakalang, pari dan lemadang.

Rougley (1974) vide Narsongko (1993) menerangkan bahwa para nelayan

longline sering menggunakan darah ikan tuna sebagai umpan yang ditaburkan ke perairan tempat dimana alat tangkap dioperasikan; untuk menangkap ikan hiu. Namun aktivitas ini hanya sebatas sampingan. Rougley juga menjelaskan bahwa ceceran atau tetesan darah ikan tuna yang terluka pada saat atau setelah tertangkap dengan longline sering mendatangkan kawanan ikan hiu.

Penelitian lain yang tujuannya berbeda dengan penelitian-penelitian tentang pengumpulan ikan hiu diatas adalah penelitian tentang zat penangkal ikan hiu. Zat penangkal hiu yang dinamakan A-2 diperoleh dari sisa-sisa bagian tubuh ikan hiu yang dikumpulkan di pasar ikan dan dermaga New Jersey, Amerika Serikat (Anonymous, 2004). Selanjutnya dilaporkan bahwa zat A-2 tersebut diyakini ampuh


(32)

19 untuk menangkal keberadaan ikan hiu, hal ini telah dicobakan oleh tim peneliti dari Puerto Rico yang dipimpin Eric Stroud di Pulau Bimini, Bahamas. Hasil pengujian yang dilakukan di Bimini Biological Field Station (BBFS), dapat disimpulkan bahwa penangkal ini bekerja efektif pada empat jenis hiu yaitu hiu karang Caribbean, hiu berhidung hitam, hiu limun dan hiu nurse. Zat A-2 dapat memicu kawanan ikan hiu untuk menghindar, akan tetapi penggunaan zat tersebut belum terbukti pada hiu jenis lain seperti hiu putih dan hiu mako. Anonymous (2004) menyebutkan bahwa untuk lebih memastikan molekul aktif yang efektif bekerja pada zat ini, masih diperlukan riset lebih mendalam.

Tabel 2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan praktek penangkapan hiu

No Jenis Darah Penelitian Praktek Penangkapan

1 Sapi

Narsongko (1993) di Cilacap dan BPPI (1986) di Palabuhanratu

Cilacap Palabuhanratu

2 Ikan cakalang

Hendrotomo (1989) di Palabuhanratu

Cilacap Palabuhanratu Lombok Timur 3 Ikan lemadang a Hendrotomo (1989) di

Palabuhanratu Cilacap 4 Ikan lumba- lumb Hendrotomo (1989) di

Palabuhanratu -

5 Ikan hiu - Cianjur

6 Ikan layur - Cianjur

7 Ikan tuna -

Cilacap

Palabuhanratu Cirebon

8 Ikan pari - Cilacap

9 Ikan tongkol - Palabuhanratu

Lombok Timur

10 Ikan remang - Cianjur

11 Ikan merah - Cianjur

12 Ikan sidat - Cianjur


(33)

20 2.4 Definisi Sekresi

2.4.1 Sekresi sebagai Pesan

Sekresi adalah suatu senyawa atau substansi kimiawi yang dikeluarkan oleh satu individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok lain dalam kondisi tertentu baik secara sengaja maupun tidak disengaja dengan fungsi- fungsi khusus; dalam satu spesies atau antar spesies. Hampir seluruh organisme laut mengeluarkan sekresi ke dalam lingkungan air laut, baik organisme makro maupun organisme mikro. Sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut tersebut pada hakikatnya adalah suatu pesan (messages) dari organisme laut kepada individu atau kelompok organisme ya ng sejenis maupun lain jenis. Organisme yang menerima pesan tersebut akan melakukan reaksi seperti mendatangi lokasi atau sumber sekresi tersebut. Sekresi yang dikeluarkan organisme laut biasanya berkaitan dengan antara lain tanda bahaya, pengenalan individu/kelompok dan sekresi yang berkaitan dengan pemanduan (navigation) dan migrasi. Pada prinsipnya sekresi diatas mampu mendatangkan atau mengumpulkan individu maupun kelompok organisme (Pane, 2001).

Selanjutnya diketahui bahwa terdapat suatu pengaturan kehidupan biologis organisme laut yang mengeluarkan sekresi melalui perantara substansi kimiawi. Pengaturan kehidupan biologis diatas berkaitan erat dengan hubungan antar individu, antar kelompok dan atau antar spesies, hal ini juga berubungan erat dengan terjadinya atau terhambatnya metabolisme biologis suatu organisme. Beberapa definisi yang berhubungan dengan sekresi sering ditemukan dalam interaksi antar organisme dengan istilah yang berbeda-beda, misalnya telemediator kimiawi dan semiochemical

(Law dan Re gnier, 1971 vide Kusumah, 1988) serta feromon (Lucas, 1959 vide Pane, 2001).

2.4.2 Telemediator Kimiawi

Para ahli sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya menyebut substansi kimiawi diatas sebagai telemediator kimiawi. Telemediator kimiawi adalah sekresi yang dibentuk oleh organisme laut baik hewan maupun tumbuhan yang dipancarkan


(34)

21 ke dalam air laut dan menimbulkan reaksi pada jarak tertentu terhadap fungsi dan perilaku individu atau kelompok spesies yang sama maupun spesies yang berbeda. Terdapat berbagai bukti mengenai keberadaan substansi kimiawi di dalam air laut yang berasal dari organisme laut. Dawson (1976) vide Pane (2001) menyatakan bahwa substansi kimiawi asal organis me laut terdapat secara signifikan di dalam air laut.

Tabel 3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut

No Jenis Substansi Kimiawi Konsentrasi dalam air laut (ìg carbon/liter)

1 Asam amino bebas 10

2 Asam amino terkait 50

3 Gula bebas 10

4 Polysakarida 200

5 Asam lemak 5

6 Hidrokarbon 5

7 Gula amino 2

8 Phenol 2

9 Indoles 1

10 Vitamin 0,007

11 Amoniak 5

12 Lain- lain 10 Sumber : Dawson (1976) vide Pane (2001)

Beberapa peneliti telah berhasil mendefinisikan telemediator kimiawi untuk ilmu pengetahuan. Seperti Lucas (1959) vide Pane (2001) menyatakan bahwa hubungan interspesies tidak hanya didasarkan pada fenomena predation

(pemangsaan) tetapi haruslah memperhitungkan pengaruh biologis dari pertukaran di luar organisme seperti vitamin, hormon dan sebagainya. Lucas juga menjelaskan bahwa organisme dapat mempengaruhi aktivitas makhluk hidup lainnya sambil memproduksi atau menghasilkan unsur makro penting makanan atau bahan penghambat. Selanjutnya Fontaine (1970) vide Pane (2001) mendefinisikan bahwa semua substansi organik yang dibebaskan oleh organisme hidup, yang bereaksi pada konsentrasi sangat rendah berguna untuk mengatur hubungan diantara


(35)

organisme-22 organisme dan substansi tersebut jelas memiliki senyawa kimiawi dan fungsi- fungsi fisiologis yang sangat bervariasi.

2.4.3 Semiokemikal

Zat kimia yang bertindak sebagai perantara dalam komunikasi antara organisme dengan organisme disebut pula semiokemikal (semiochemical) (Law dan Regnier, 1971 vide Kusumah, 1988). Semiokemikal terdiri dari dua golongan yaitu alelokemikal dan feromon, tergantung pada interaksinya apakah bersifat intraspesies atau interspesies. Alelokemikal adalah zat kimia yang berperan sebagai zat perantara dalam komunikasi antar spesies yang berbeda (interspesies), sedangkan feromon bersifat intraspesies. Terdapat empat macam alelokemikal yang dijelaskan oleh Brown (1968) vide Kusumah (1988)sebagai berikut :

(1) Allomon

Zat yang dihasilkan atau didapat oleh suatu organisme yang menimbulkan tanggapan fisiologis atau perilaku pada organisme penerimanya dan tanggapan itu menguntungkan organisme yang memproduksi zat tersebut.

(2) Kairomon

Zat yang diproduksi atau diperoleh dari suatu organisme yang menimbulkan tanggapan fisiologis terhadap spesies lain yang menguntungkan organisme penerima. (3) Synomon

Zat yang diproduksi atau diperlukan oleh suatu perilaku spesies-spesies lain yang menguntungkan organisme produsen maupun penerima.

(4) Apreumon

Zat kimia yang dipancarkan dari benda mati, yang dapat menciptakan reaksi fisiologis atau perilaku bila diadaptasi oleh penerima dan dapat mengganggu organisme dari spesies lain yang berada di dala m atau di atas benda mati tersebut yang tidak dapat beradaptasi (Nordlund et. al., 1981 vide Kusumah, 1988).

Golongan kedua dari semiokemikal setelah alelokemikal adalah feromon. Mathews dan Mathews (1978) dalam Anonymo us (1990) mendefinisikan feromon sebagai senyawa atau campuran kimia yang disekresi oleh seekor hewan dan dapat


(36)

23 mempengaruhi perilaku hewan lain dari jenis (spesies) yang sama. Feromon mirip dengan hormon yaitu mempunyai komposisi yang khusus dan dihasilkan pula oleh kelenjar khusus serta disekresi hanya pada waktu tertentu saja. Selanjutnya, Atkins (1980) dalam Anonymous (1990) memperjelas bahwa feromon dapat mengatur aktivitas fisiologis dan perilaku antara individu dari suatu populasi.

Anonymous (1990) menjelaskan bahwa feromon merupakan bentuk komunikasi biologis yang sangat penting antara individu maupun kelompok. Sinyal-sinyal kimiawi ya ng diberikannya terdapat yaitu pada sel suatu makhluk hidup atau antar mahk luk hidup, baik pada tumbuhan maupun hewan. Feromon yang terdapat pada semua jenis hewan adalah senyawa kimia atsiri yang digunakan untuk komunikasi antar spesies (Horborne, 1988 dalam Anonymous, 1990). Mathews dan Mathews (1978) dalam Anonymous (1990) telah mengelompokan feromon kedalam dua kelompok yaitu releaser feromones dan primer feromones. Feromon yang banyak dipelajari sampai sekarang adalah releaser feromones yang termasuk didalamnya adalah feromon lacak, feromon seks dan feromon tanda bahaya.

Definisi yang sama juga dijelaskan oleh Pane (2001) bahwa feromon adalah substansi kimiawi yang terdapat pada hubungan antar organisme-organisme dalam spesies yang sama (intraspesies). Substansi kimiawi tersebut dibagi menjadi dua yaitu substansi kimiawi seksual dan substansi kimiawi non seksual.

Ikan teleostei dan beberapa ikan bertula ng rawan melakukan komunikasi dengan sinyal kimia untuk mengontrol fertilisasi, koordinasi seksual dan koordinasi tingkah laku seksual. Pada beberapa spesies, ikan jantan tertarik untuk berintegrasi dengan betina melalui bau. Steroid merupakan salah satu bahan kimia yang dapat membangkitkan rangsangan daya tarik elektrik (afinitas electric) dari organ olfaktori ikan (Fujaya, 2002).

Substansi kimiawi non-seksual dapat dibagi menjadi tiga sebagai berikut : (1) Feromon tanda bahaya (alarme)

Feromon tanda bahaya secara umum dipancarkan oleh individu- individu yang diserang atau individu- individu yang terluka. Jenis feromon ini merupakan suatu sistem pertahanan yang ditinjau dari sisi spesies melawan predator yang melakukan


(37)

24 penyerangan (Atema dan Stenzler, 1977 vide Pane, 2001). Beberapa ikan menyimpan feromon dalam sel khusus dan terlepas hanya bila sel tersebut rusak akibat perlakuan mekanik, misalnya akibat pemangsaan. Kalau hal ini terjadi, maka ikan lain akan menyebar dan menghindar dari serangan lanjutan, artinya feromon bertindak sebagai pembawa pesan bahwa terdapat keadaan dalam bahaya (Fujaya, 2002).

(2) Feromon pengenalan kembali (reconnaissance)

Suatu pengenalan kembali didalam spesies (intraspesies) dapat terjadi baik diantara individu- individu dewasa dalam pengertian suatu kumpulan organisme maupun individu-individu juvenil. Pada ikan-ikan Yellow Bullhead (Italurus natalis), pengenalan kembali ini dilakukan melalui perantara mediator yang terdapat didalam mukus dari kulit (Todd et. al., 1967 vide Pane, 2001).

(3) Feromon tanda arah (balisage) dan migrasi (migration)

Pada invertebrata bentik, habitat individu didalam lingkungan laut untuk perlindungan atau untuk mencari sumber-sumber makanan, dilakukan oleh perantara substansi kimiawi tanda arah (balisage) yang hanya dikeluarkan oleh individu dari spesies yang sama. Substansi kimiawi ini terdapat didalam mukus permukaan kulit yang diletakkan diatas substrat habitatnya (Lowe dan Turner, 1976 vide Pane, 2001).

Selanjutnya Pane (2001) menyatakan bahwa migrasi- migrasi ikan kemungkinan mempunyai prinsip dasar yang sama dengan proses tanda arah diatas seperti pada migrasi ikan salmon, dimana air laut yang digunakan memiliki skala lebih luas lagi. Ikan salmon mungkin menyimpan memori dari suatu rangsangan penciuman pada konsentrasi yang sangat rendah, yang mereka tandai selama melakukan migrasi mengarah ke laut.

Fujaya (2002) memperjelas pernyataan diatas bahwa dari hasil pengujian kesensitifan ikan terhadap rasa bahan klasik yaitu garam, gula, asam dan pahit yang digunakan manusia, ditemukan bahwa asam amino merupakan perangsang yang kuat bagi pengecapan berbagai spesies ikan. Selain asam amino, ikan- ikan juga sensitif terhadap asam aliphatik, nuk leotida dan garam empedu, dengan demikian asam amino memegang peranan penting dalam perangsangan berbagai jenis ikan.


(38)

25 Selanjutnya, Fujaya mengatakan bahwa kemampuan mendeteksi garam empedu diduga merupakan informasi penting bagi homing migration ikan salmon.

2.5 Darah 2.5.1 Darah Ikan

Darah terdiri atas dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri atas sel-sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda, sedangkan komponen dari plasma, selain fibrinogen, juga terdapat komponen anorganik dan komponen organik untuk fungsi metabolisme. Fungsi dari kedua komponen tersebut kadang-kadang terpisah dan kadang-kadang tergabung, contohnya seperti penggumpalan darah dan produksi antibodi (Fujaya, 2002).

(1) Sel darah merah

Seperti hewan vertebrata lain, ikan juga memiliki sel darah merah (eritrosit) berinti dengan bentuk ukuran bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya. Jumlah sel darah merah pada masing- masing spesies juga berbeda, tergantung aktivitas ikan tersebut. Pada ikan yang memiliki aktivitas tinggi, seperti ikan predator

Blue Marlin (Makaira nigricans) dan Mackerel memiliki hematokrit masing- masing sebesar 43 % dan 52,5 %. Sedangkan ikan nothothenid seperti Paghothenia bernacchii hanya memiliki hematokrit sebesar 21 % (Fujaya, 2002). Selanjutnya, Fujaya mengatakan bahwa sel darah merah berfungsi sebagai pengangkut hemoglobin yang berperan membawa oksigen dari insang atau dari paru-paru ke jaringan. Pada beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin beredar sebagai protein bebas dalam plasma, tidak terbatas dalam sel darah merah. Selain mengangkut hemoglobin, sel darah merah juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air, dengan demikian darah dapat bereaksi dengan karbondioksida dan mengangkutnya dari jaringan ke insang.

(2) Sel darah putih

Fujaya (2002) mengatakan bahwa ikan memiliki sel-sel darah putih yang lebih banyak daripada manusia. Sel darah putih (leukosit) pada ikan terdiri atas tujuh bentuk, yakni tiga tipe eosinofil granulosit dan masing- masing satu tipe neutrofil


(39)

26 granulosit, limposit, monosit, dan trombosit. Eosinofil, neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit yang berfungsi sebagai detoksikasi protein sebelum dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Berbeda dengan eosinofil yang merupakan fagosit lemah, neutrofil dan monosit merupakan fagosit kuat. Limposit tidak bersifat fagositik tetapi memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi. Kekurangan limposit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan meningkatnya serangan penyakit. Tipe leukosit lainnya adalah trombosit. Trombosit penting dalam mencegah kehilangan atau kerusakan darah pada saat terjadinya kebocoran pembuluh darah (Fujaya, 2002).

(3) Plasma darah

Plasma darah terdiri atas protein yang memiliki variasi pada berat molekul dan fungsi. Perbedaan ini tergantung individu dan lingkungan hidupnya, terutama tekanan antara lain osmosis, suhu, maupun pH. Selain itu, plasma darah juga merup akan perantara untuk mengangkut zat-zat seperti copper, iron, iodine dan lipid (Fujaya, 2002). Berdasarkan penga matan menggunakan electrophoretogram menunjukkan bahwa plasma ikan terdiri atas beberapa komponen. Dalam plasma ikan air tawar terdapat komponen-komponen seperti fibrinogen, globulin pembentuk fibrin untuk penggumpalan darah, ceruloplasmin, protein spesifik yang berikatan dengan copper

dan transferrin, protein lain yang berikatan dengan iron, iodine, glikoprotein, lipoprotein, fospolipid albumin, imunoglobin (antibodi) dan komponen-komponen lain (Satchell, 1991 vide Fujaya, 2002).

2.5.2 Darah Mamalia

Secara umum Brown (1989) menjelaskan bahwa volume total darah mamalia umumnya berkisar antara 7 sampai 8 % dari berat badan. Plasma darah berkisar antara 45 % sampai 65 % dari seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 % sampai 55 % diisi oleh sel-sel darah.

(1) Sel darah merah

Eritrosit mamalia dewasa tidak berinti, berbentuk seperti cawan bikonkaf. Ukuran serta kedalaman bentuk konkaf berbeda untuk setiap jenis. Pada


(40)

hewan-27 hewan seperti anjing, sapi dan domba, bentuk konkafsedang, tetapi pada kuda dan kucing bentuk konkafnya agak datar. Beda halnya dengan babi dan kambing, eritrosit kedua hewan ini berbentuk cawan datar (Brown, 1989). Ukuran eritrosit terbesar terdapat pada anjing (7,0 ìm) dan terkecil terdapat pada kambing (4,1 ìm). Selanjutnya, Brown menjelaskan bahwa jumlah total sel darah merah yang dinyatakan dalam 1 mm3 darah, merefleksikan perbedaan ukurannya, misalnya pada anjing, jumlah eritrosit berkisar 7 juta/mm3, sedangkan pada kambing 14 juta/mm3, dengan kata lain, jenis hewan yang memiliki eritrosit kecil, jumlah eritrositnya lebih banyak, sebaliknya yang ukurannya lebih besar jumlahnya akan lebih sedikit untuk unit volume tertentu. Faktanya, jumlah eritrosit berbeda tidak hanya untuk tiap jenis hewan saja. Perbedaan keturunan (breed), kondisi nutrisi, aktivitas fisik dan umur dapat memberikan perbedaan dalam jumlah eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki inti (nukleus), badan golgi, sentriol dan sebagian besar mitokondria hilang selama proses pematangan berlangsung sebelum masuk ke dalam aliran darah, oleh karena itu eritrosit dewasa tidak mampu melakukan sintesis protein dan enzim. Sintesis protein dan enzim itu dilakukan pada waktu sel masih memiliki inti (Brown, 1989).

Brown mengemukakan bahwa sekitar 60 % volume eritrosit terdiri dari air dan sisanya terdiri dari konjugasi protein berbentuk globin dan hem (heme). Pigmen yang merupakan 4 % dari konjugasi protein disebut hemoglobin. Pigmen hemoglobin ini menjadi indikator warna merah pada darah segar.

(2) Sel darah putih

Brown (1989) mengatakan bahwa sel darah putih (leukosit) memiliki bentuk yang khas. Nukleus, sitoplasma dan organel-organel lain yang terdapat pada leukosit bersifat mampu bergerak pada keadaan tertentu. Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya. Jumlah seluruh leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung dari jenis hewannya. Fluktuasi dalam jumlah leukositpada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, misalnya stress, aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain- lain. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal memp unyai arti klinis penting untuk evaluasi


(41)

28 proses penyakit. Lima bentuk leukosit yang berbeda dibagi dalam dua kelompok, yaitu granulosit yang memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma dan agranulosit yang tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari leukosit neutrifil, leukosit eosinofil dan leukosit basofil, sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit.

(3) Kepingan darah (platelets)

Kepingan darah atau trombosit adalah benda darah yang paling kecil, berukuran 2 sampai 4 ìm, berasal dari bagian sitoplasma sel besar dalam sumsum tulang yang disebut megakarosit. Jumlah kepingan darah bervariasi antara 350.000 sampai 500.000 per mm darah. Sulit menghitung secara pasti karena sifat trombosit yang mudah mengelompok bila bersinggungan dengan permukaan gelas (Brown, 1989).

2.6 Parameter yang Diidentifikasi

Untuk memudahkan dalam menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap, dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Metode untuk dapat membawa ikan ke dalam posisi yang dikehendaki ataupun ke dalam area suatu jenis alat tangkap tertentu, banyak bergantung antara lain kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau bahkan perubahan waktu dalam sehari (Gunarso, 1985). Taktik-taktik tersebut diantaranya adalah menarik perhatian ikan (fish attraction), mengejuti ikan (fish frightening), merangsang ikan agar melompat (inducing fish to jump) dan membius ikan (stupeying). Selanjutnya, Gunarso (1985) mengelompokkan taktik menarik perhatian ikan menjadi beberapa cara yaitu rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait), rangsangan umpan bersifat penglihatan (optical bait), rangsangan umpan bersifat pendengaran (acoustic bait) dan rangsangan umpan bersifat listrik (electrical bait).

Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya (subbab 2.1.2) bahwa indera penciuman hiu sangat tajam dalam mendeteksi substansi kimiawi. Hal ini sangat berhubungan dengan taktik menarik perhatian ikan menggunakan cara rangsangan kimiawi. Salah satu kesensitifan indera penciuman hiu adalah terhadap darah.


(42)

29 Darah dalam taktik penangkapan hiu sebenarnya bukan berfungsi sebagai umpan akan tetapi berfungsi sebagai benda untuk menarik dan merangsang hiu untuk mendekat atau berkumpul. Darah bekerja, dalam hal ini, merupakan fungsi dari rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan kimiawi dengan rangsangan penglihatan, bau, rasa atau rangsangan lainnya. Darah diduga mengandung warna dan atau bau dan atau rasa dan atau senyawa tertentu yang menyebabkan ketertarikan hiu terhadap darah tersebut. Darah yang berwarna merah diduga menyebabkan hiu tertarik dari kombinasi cara rangsangan kimiawi dan rangsangan penglihatan, sedangkan bau amoniak darah dan komponen-komponen asam amino diduga merupakan cara rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan lainnya.

Warna merah darah, bau amoniak dan komponen-komponen asam amino merupakan parameter-parameter yang akan diidentifikasi dalam penelitian ini. Parameter-parameter tersebut diidentifikasi dari jenis-jenis darah yang pernah digunakan dalam penelitian dan atau praktek penangkapan terhadap hiu (subbab 2.3).

2.6.1 Warna Darah

Pigmen yang menandakan warna merah pada darah adalah hemoglobin. Pigmen ini merupakan konjugasi protein yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit). Hemoglobin adalah metalloporphyrin yaitu merupakan kombinasi dari haem/hem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Fungsi hemoglobin didalam darah adalah untuk mengikat oksigen, maka kandungan hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh hematokrit dan aktivitas organisme (Fujaya, 2002).

Selanjutnya, Fujaya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara hematokrit dan jumlah hemoglobin darah, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Hematokrit ikan

Atlantic Salmon (Salmo salar) adalah 47 % dan hemaglobinnya 9,6 g/dl, sedangkan pada ikan notothenid, hematokritnya adalah 21 % dan kandungan hemoglobinnya 2,5 g/dl. Demikian pula semakin aktif ikan, semakin tinggi pula hemoglobinnya, karena ikan tersebut membutuhkan suplai oksigen yang lebih tinggi. Ikan yellowfin tuna


(43)

30 hemoglobin masing- masing sebesar 15,8 sampai 18,9 g/dl dan 17,8 sampai 21,2 g/dl. Sebagai perbandingan, darah manusia mengandung 13 g sampai 18 g hemoglobin per dl darah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik hemoglobin dalam mengikat oksigen adalah kelarutan CO2, kondisi O2, pH dan temperatur. Bila temperatur meningkat maka kelarutan CO2 dalam darah dan plasma menurun. Dengan demikian peningkatan temperatur menyebabkan turunnya kelarutan CO2 dan pH, sehingga oksigen dalam darah meningkat (Fujaya, 2002).

2.6.2 Amoniak

Nitrogen di perairan berupa muatan organik dan anorganik. Amoniak termasuk nitrogen anorganik. Amoniak-amoniak di dalam air terbagi menjadi dua bentuk yaitu amoniak bebas (NH3) dan ion amonium (NH4+). Amoniak bersifat mudah larut dalam air, sedangkan amonium merupakan bentuk transisi dari amoniak. Keseimbangan amoniak bebas dan ion amonium dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan pH. Konsentrasi letal amoniak dalam air adalah 0,4 sampai 2,0 mg/l dengan konsentrasi aman bagi ikan dibawah 0,1 mg/l. Amoniak bebas dalam sistem pemeliharaan ikan sebaiknya memiliki nilai lebih kecil dari 0,02 mg/l (Fujaya, 2002).

Selanjutnya, Fujaya menjela skan bahwa amoniak adalah bentuk utama ekskresi nitrogen oleh kebanyakan organisme air. Ikan- ikan teleostei mengekskresikan 60 % sampai 90 % nitrogen dalam bentuk amoniak dan sebagian besar di keluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalnin oksida, dan asam amino.

Amoniak merupakan jalur efisien dari ekskresi nitrogen karena energi yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan ekskresi urea (Lovell, 1988 vide Saridewi, 1998). Amoniak yang masuk ke dala m perairan adalah hasil dari katabolisme protein tubuh. Semakin besar kadar protein maka semakin banyak nitrogen yang diekskresikan sehingga amoniak juga semakin besar (Saridewi, 1998).


(44)

31 2.6.3 Asam Amino

Sekitar tiga per empat zat pada tubuh adalah protein. Ini terdiri dari protein struktural, enzim, gen, protein pengangkut oksigen, protein otot yang menyebabkan kontraksi dan banyak jenis protein lain melakukan fungsi spesifik diseluruh tubuh baik intrasel maupun ekstrasel (Fujaya, 2002). Selanjutnya Winarno (1992) menyatakan bahwa dalam setiap sel yang hidup, protein merupakan komponen yang sangat penting. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein menjadi komponen terbesar setelah air. Diperkirakan 50 % dari berat kering sel dalam jaringan terdiri dari protein.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur unsur C, H, O dan N. Susunan protein terdiri dari rantai panjang asam amino dimana asam aminonya (-NH2) berikatan dengan kelompok karboksil (-COOH). Bila protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim maka akan dihasilkan campuran asam-asam amino (Fujaya, 2002).

Gambar 5. Sketsa molekul asam amino (Read, 1981 vide Winarno, 1992) Winarno (1992) menjelaskan bahwa sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang merupakan rantai cabang (gambar 4). Berdasarkan Fujaya (2002) bahwa terdapat 21 jenis asam amino, 10 diantaranya adalah asam amino esensial yang harus terdapat dalam makanan yaitu treonina, lisina, metionina, arginina, valina, fenilalanina, triptopan, leusina, isoleusina dan histidina. Asam amino yang lain dapat


(45)

32 disintesa di dalam tubuh yaitu glisina, alanina, prolina, serina, sisteina, asam aspartat, asam glutamat, hidroksilisina, sistina, tirosina dan hydroksiprolina.

Asam amino disimpan dalam bentuk protein sehingga konsentrasi asam amino didalam sel mungkin selalu tetap rendah. Sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, bila telah mencapai batas ini, setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh maka asam amino akan dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak. Degradasi ini hampir seluruhnya terjadi di dalam hati dan dimulai dengan proses deaminasi (pembuangan gugus amino dari asam amino) dan diekskresi sebagai amoniak. Amoniak yang dilepaskan waktu deaminasi dikeluarkan dari darah hampir seluruhnya dalam bentuk urea (Fujaya, 2002).


(46)

33

3.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005. Lokasi penelitian lapang terletak di Palabuhanratu-Sukabumi, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Lingkungan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama penelitian adalah darah-darah hewan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan ik an hiu didalam penangkapannya. Sampel darah yang digunakan adalah jenis darah ikan yaitu cakalang, tongkol, tuna, layur, pari, hiu dan satu jenis darah mamalia yaitu sapi.

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kepekatan warna darah yaitu HCl 0,01 N dan aquadestilata. Untuk analisis NH3 menggunakan bahan-bahan seperti MnSO4, phenate reagent, asam hipoklorida, NaOH, phenol, NH4Cl, larutan stok amoniak dan larutan standar amoniak; sedangkan bahan-bahan untuk analisis asam amino adalah ortoftalaldehida (OPA), natrium hidroksida, asam borat, larutan brij-30, 2-merkaptoetanol, standar asam amino, Na-EDTA, Metanol, THF, natrium asetat, metanol, air HP, HCl 0,01 N dan kalium borat pH 10,4.

Alat-alat yang digunakan untuk mengambil darah dalam penelitian ini adalah 1 set alat bedah, Botol film dan Cool box, sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis laboratoriumdikemukakan sebagai berikut :

(1) Analisis kepekatan warna darah, menggunakan Hemoglobinometer Sahli yang terdiri atas :

1. Tabung sahli berskala (% atau gr %), 2. Pipet

3. Pipet Sahli 0,02 ml (20 cmm) 4. Aspirator


(47)

34 5. Standar warna sahli

6. Alat pengaduk

(2) Analisis kadar Amoniak, menggunakan : 1. Spektrofotometri

2. Magnetic Stirrer

3. Filter photometer

4. Pipet

5. beaker glass

(3) Analisis asam amino, menggunakan adalah :

1. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) 2. Kertas Millipore 0,45 ì

3. Vial 1 ml 4. Syringe 100 ìl 5. Neraca analitik 6. Pipet 1 ml

7. Labu takar 100 ml 8. Ampul

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah identification and comparative methods. Penelitian yang disajikan berikut ini meliputi penelitian mengenai sekresi organisme dalam hal ini adalah sekresi hewan yang dapat menjadi ketertarikan pada ikan hiu yang dikeluarkan secara sengaja atau tidak (darah), dihubungkan dengan indera penciuman ikan hiu yang memiliki kepekaan terhadap darah. Analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kepekatan warna darah menggunakan metode Sahli dan kadar bau (amoniak) darah menggunakan Metode Phenate, sehingga dapat diketahui kepekaan hiu terhadap darah. Selanjutnya, dilakukan identifikasi zat-zat aktif dalam hal ini adalah asam amino menggunakan metode High Performance liquid Chromatography (HPLC) untuk mengetahui jenis-jenis asam amino yang terdapat dalam sampel darah hewan mangsa hiu dan


(48)

35 hubungannya dengan peranan asam amino dalam perangsangan yang dapat membuat ketertarikan atau berkumpulnya ikan hiu.

Pemilihan jenis sampel darah dilakukan berdasarkan hasil- hasil penelitian sebelumnya dan praktek penangkapan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia untuk menangkap ikan hiu. Sampel darah yang dianalisis tidak diperoleh pada waktu yang bersamaan, hal ini disebabkan karena jenis-jenis ikan sampel tidak setiap hari dapat didaratkan di PPN Palabuhanratu tergantung dari keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan. Selain itu untuk mengurangi terjadinya pembusukan, sampel darah dari ikan- ikan yang berbeda tidak bisa dianalisis dalam waktu bersamaan. Setelah sampel darah diperoleh, maka dengan segera akan dilakukan analisis tanpa menunggu sampel darah lainnya yang belum diperoleh.

3.2.1 Tahapan-tahapan Penelitian

Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut : (1) Persiapan

Alat-alat yang harus dipersiapkan sebelum pengambilan sampel darah adalah pisau bedah, jarum penusuk pembuluh darah, botol filmdan. cool box.

(2) Pengumpulan sampel

Sample darah hiu, darah cakalang, darah tuna, darah tongkol, darah layur dan darah pari diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat, sedangkan sampel darah sapi diperoleh dari UPTD Rumah Potong Hewan (RPH), Bogor.

(2.1) Sampel darah ikan

Cara pengambilan darah untuk sampel darah ikan terbagi menjadi dua metode. Metode pertama yaitu dengan menyedot darah di bagian pembuluh darah ikan, sedangkan cara yang kedua dengan memotong bagian belakang kepala ikan. Darah yang didapatkan lebih banyak menggunakan cara kedua dibandingkan cara pertama karena melalui pengambilan darah dengan cara kedua ini, kondisi ikan tidak harus selalu hidup. Botol film yang digunakan untuk masing- masing sampel darah berjumlah 5 botol, setiap botol film berisi 20-30 ml darah.


(49)

36 (2.2) Sampel darah sapi

Sampel darah sapi diambil setelah dilakukan pemotongan sapi oleh para pekerja RPH. Darah dari hasil pemotongan tersebut disimpan dalam sebuah wadah ember sampai terisi penuh. Selanjutnya, darah dimasukkan dalam 5 botol film masing-masing berisi 20 ml darah.

(3) Penelitian

(3.1) Analisis kepekatan darah (kadar hemoglobin)

Analisis kepekatan warna darah dilakukan di tempat pengambilan darah, karena untuk mengurangi terjadinya perubahan kimia maupun fisik sampel darah. Analisis kepekatan darah menggunakan metode Sahli dengan prinsip dasarnya yaitu darah dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna disamakan dengan warna standar Sahli dengan menggunakan aquadestilata sebagai pengencer (Brown, 1989).

Tahapan metode Sahli yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Tabung Sahli yang sudah terisi HCl 0,1 N sampai angka 10 (garis paling bawah pada tabung), ditambahkan dengan darah 0,02 ml.

2. Kemudian didiamkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin yang berwarna coklat.

3. Tabung Sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna Sahli dalam alat hemoglobinometer.

4. Selanjutnya ditambahkan kedalam tabung Sahli setetes demi setetes aquadestilata sambil diaduk sampai warna sama dengan warna standar, kemudian ukur dengan melihat skala pada tabung Sahli.

(3.2) Analisis kadar NH3

Metode yang digunakan dalam analisis bau (amoniak) darahadalah metode Phenate. Indikator untuk menganalisnya adalah Total Amoniak Nitrogen (TAN) dengan prinsip dasarnya yaitu senyawa indophenol berwarna biru yang terjadi dari reaksi amoniak, asam hipoklorida dan phenol yang dikatalisis oleh MnSO4 (Rand et. al., 1975)


(50)

37 Tahapan analisis NH3 menggunakan Metode Phenate sebagai berikut :

1. Sebanyak 25 ml sampel darah dalam beaker glass 100 ml, ditambahkan masing- masing 1 ml MnSO4, 1 ml phenol dan 1 ml campuran asam hipoklorit dengan reagent.

2. Setelah diaduk rata, dilakukan pengukuran sampel pada spektrofotometri panjang gelombang 630 nm selama 10 menit.

3. Perhitungan :

Kadar TAN (ppm) = Abs sampel x volume standar x FP Abs standar – Abs blanko

Keterangan : Abs = Absorbansi

FP = Faktor pengenceran

(3.3) Analisis asam amino

Sebelum dilakukan analisis asam amino, terlebih dahulu perlu diketahui kadar protein untuk masing- masing sampel darah tersebut. Metode yang digunakan untuk analisis protein tersebut yaitu metode kjehdal (Winarno, 1992). Analisis asam amino menggunakan metode HPLC dengan pereaksi ortoftaldehida (OPA). Prinsip dasarnya yaitu pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi. Senyawa berfluoresensi ini dapat dideteksi oleh detektor fluoresensi (Nur et. al., 1992).

Tahapan analisis asam amino sebagai berikut :

1. Sampel darah yang telah dihidrolisis dilarutkan dalam 5 ml HCl 0,01 N, kemudia n disaring dengan kertas millipore 0,45 mikron.

2. Penambahan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:1. 3. Pada vial kosong yang bersih dimasukkan 10 µl sampel dan ditambahkan

25 µl pereaksi OPA, kemudian dibiarkan selama 1 menit agar proses derivatisasi sempurna.


(51)

38 4. Proses penginjeksian ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µl sampel, dibutuhkan sekitar 25 menit sampai pemisahan semua asam amino selesai.

5. Perhitungan :

Konsentrasi asam amino (µmol AA) = Luas puncak sampel x konsentrasi standar Luas puncak standar

Persentase asam amino (%) = ìmol AA x Mr. AA x 100 ìg sampel

3.2.1 Data dan Informasi Dikumpulkan

Data primer dikumpulkan berupa konsentrasi hemoglobin (Hb) darah, kadar TAN darah dan asam amino dalam darah. Data primer tersebut diperoleh dari hasil analisis laboratorium (subbab 3.3). Sedangkan data sekunder dikumpulkan berupa informasi mengenai perikanan hiu di Palabuhanratu dan data yang berhubungan dengan penggunaan darah untuk tujuan penangkapan dari Dinas Perikanan Palabuhanratu, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu dan situs-situs internet yang berhubunga n dengan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan penghitungan rata-rata dan simpangan baku serta yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis sampel darah yang digunakan, data yang telah dianalisis menggunakan rata-rata dan simpangan baku akan dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) (Steel dan Torrie, 1993). Untuk menghasilkan analisis sidik ragam, kadar Hb dan kadar TAN darah dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan asam amino dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Uji lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan masing- masing jenis sampel darah. Selanjutnya dilakukan analisis pengelompokkan jenis darah berdasarkan nilai


(52)

39 rata-rata terbesar hingga terkecil menggunakan kaidah Student-Newman-Keul (S-N-K) (Steel dan Torrie, 1993).

Data yang telah dianalisis tersebut diatas, selanjutnya akan dibandingkan dengan data dan informasi yang terdapat pada literatur-literatur mengenai parameter-parameter, seperti kepekatan warna darah, kadar amoniak darah dan jenis-jenis asam amino dalam darah, yang memiliki hubungan dengan ketertarikan hiu terhadap mangsanya yang berguna bagi pengumpulan hiu untuk tujuan penangkapan. Hasil akhir adalah akan diperolehnya jenis darah yang terbaik dari sampel-sampel darah yang telah dianalisis yang memiliki hubungan ketertarikan bagi hiu.


(53)

40

4.

KEADAAN UMUM PALABUHANRATU

4.1 Kondisi Goegrafis dan Prasarana Umum

Palabuhanratu merupakan kota yang termasuk wilayah kabupaten Sukabumi, propinsi Jawa Barat. Palabuhanratu terletak pada 106°15’ - 106°31’ BT dan 06°55’ - 07°07’ LS. Luas wilayahnya mencapai 27.210,13 ha, atau 0,59 % total wilayah kabupaten Sukabumi.

Palabuhanratu yang berada di pantai selatan pulau Jawa merupakan daerah potensi perikanan yang terdiri dari perairan ZEE Indonesia 490.432 ton/tahun dan perairan Indonesia 162.242 ton/tahun, baru dimanfaatkan 31 % atau 103.878 ton/tahun (Anonymous, 2005). Oleh karena itu, kota tersebut memiliki sebuah pelabuhan perikanan tipe B yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Areal PPN Palabuhanratu seluas 102.000,00 m2 dikelola oleh UPTP Departemen Kelautan dan Perikanan (Anonymous, 2004).

Salah satu sarana yang lebih menonjol di Palabuhanratu adalah tempat-tempat wisata dan rekreasi. Tempat wisata yang berhubungan dengan pantai seperti pantai Karang Hawu, pantai Citepus dan pantai Pondok Dewata menjadi tujuan utama sebagian masyarakat Palabuhanratu bahkan terkenal sampai ke luar kota seperti Jakarta, Bogor dan Sukabumi. Selain itu terdapat tempat-tempat wisata seperti sungai Citarik, Goa Lalay dan pemandian air panas didaerah Cipanas.

Sarana transportasi dari dan menuju kota Palabuhanratu bisa menggunakan

Mini Bus dan Colt/L300, sedangkan terminalnya terletak tidak jauh dari PPN Palabuhanratu kira-kira sejauh 500 m. Sarana dan prasarana lain yang terdapat di Palabuhanratu diantaranya pasar ikan, pasar tradisional, restoran, penginapan yang terdiri dari hotel berbintang dan hotel melati, temat-tempat ibadah dan lain- lain.

Unit usaha non perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tahun 2003 berjumlah 318 unit. Unit usaha tersebut terdiri dari Koperasi Unit Desa (KUD) berjumlah 66 unit, Perseroan Terbatas (PT) berjumlah 24 unit dan Perseorangan berjumlah 228 unit (Anonymous, 2003).


(54)

41 Jumlah unit usaha perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tercatat pada tahun 2003 ada 854 unit dengan 2701 orang pekerja, terdiri dari 295 unit usaha pengolah ikan asin dengan 890 orang pekerja, 324 unit usaha pengolah ikan pindang denga n 924 pekerja, 20 unit usaha pengolah terasi ikan dengan 22 orang pekerja, 203 unit usaha pendinginan dengan 775 orang pekerja dan 12 unit usaha pembekua n dengan 90 orang pekerja (Anonymous, 2003).

4.2 Kondisi Perikanan Tangkap 4.2.1 Prasarana Perikanan

Palabuhanratu diresmikan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) pada tanggal 18 Februari 1993. Berdasarkan kebutuhan untuk memenuhi atau melayani kegiatan perikanan tangkap, fasilitas yang ada di PPN Palabuhanratu terdiri dari fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang/tambahan (Anonymous, 2005).

Fasilitas pokok terdiri dari dermaga, kolam pelabuhan, breakwater, jaringan

drainase dan rambu navigasi. Dermaga dibagi menjadi 3 bagian yaitu dermaga tambat kapal, dermaga bongkar ikan dan dermaga servis. Kolam pelabuhan memiliki luas 3 Ha. dengan kedalaman bervariasi mulai dari 3 m, 2,5 m dan 2 m (Anonymous, 2005).

Fasilitas fungsional terdiri dari fasilitas pemasaran dan distribusi hasil, fasilitas perbekalan air dan perbekalan BBM, fasilitas pemeliharaan/perbaikan, fasilitas pengolahan berupa cold storage, kantor administrasi pelabuhan, balai pertemuan, instalasi listrik, sarana komunikasi, dan fasilitas pendukung lainnnya. Fasilitas pemasaran dan distribusi hasil tangkapan terdiri dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pasar ikan, sedangkan fasilitas pemeliharaan/perbaikan terdiri dari gedung serbaguna, tempat perbaikan jaring, dok dan galangan kapal (Anonymous, 2005).

Fasilitas penunjang yang ada di PPN Palabuhanratu meliputi perumahan, tempat ibadah (mushola), kantin, kios koperasi, pertokoan dan sarana kebersihan. Fasilitas penunjang untuk perumahan terdiri dari 1 bua h rumah dinas kepala


(1)

77 Lampiran 1. Beberapa jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu (2004-2005)

Hiu anjing (Isurus oxyrinchus) Hiu beurit (Nebrius ferrugineus)

Hiu botol (Centroscymnus crepidater) Hiu areuy (Pseudocarcharias spp.)

Hiu bangbara (Carcharhinus albimarginatus) Hiu baster (Isurus paucas)


(2)

78 Lampiran 1. (lanjutan)

Hiu karil (Squalus megalops) Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)

Hiu lutung (Alopias superciliosus) Hiu martil (Sphyrna lewini)

Hiu omas (Galeocerdo cuvieri) Hiu monyet kecil (Alopias pelagicus)


(3)

79 Lampiran 2. Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya (2004-2005)

Cakalang (Katsuwonus pelamis) Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)

Layur apu (Trichiurus savala) Pari batu (Dasyatis sp.)

Tongkol walang keke (Auxis sp.) Tuna (Thunnus sp.)


(4)

80 Lampiran 3. Alat-alat untuk analisis laboratorium (2005)

Hbmeter

Spektrofotometri


(5)

81 Lampiran 4. Diagram alat HPLC


(6)

82

Lampiran 5. Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan HPLC (2005)