Historis Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama

A. Historis Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama

Sesuai dengan luasnya ruang lingkup ketenagakerjaan, maka hal-hal ketenagakerjaan yang perlu diatur juga cukup luas. Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO Indonesia juga masih memiliki undang-undang nasional. Dengan demikian, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga konsistensi undang-undang ini. Undang-undang itu harus mempunyai penjelasan yang sejelas- jelasnya, agar nantinya dalam praktik pengusaha, serikat pekerja dan masyarakat umum mengerti maksud dan tujuan undang-undang tersebut dan dapat melaksanakannya sesuai dengan tujuan.

Dilihat dari kesiapan aparatur dalam menyelenggarakan peraturan perundangan terkesan belum betul-betul menyadari dan memahami masalah ketenagakerjaan yang dihadapi oleh negeri ini. Hal ini terbukti dengan belum mampunya pemerintah memberikan jalan keluar yang akan ditempuh, misalnya masalah hak-hak buruh yang belum dilaksanakan.

UU No. 13-2003 merupakan kaidah heteronom, sedangkan kaidah otonomnya diatur dalam perangkat peraturan perusahaan dan perjanjian kerja. Oleh karena itu, UU No. 13-2003 hanya memuat hal-hal yang sifatnya ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan, sehingga ketentuan yang lebih lengkap harus diatur

dalam perangkat peraturan perusahaan. 43

Perusahaan sebagai suatu badan usaha yang dibuat untuk mencari keuntungan atau laba, di mana setiap perusahaan dibuat berdasar dan mempunyai kekuatan hukum. Dalam menjalankan perusahaan tersebut juga perlu adanya suatu keteraturan agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan berkembang oleh karena itu dibuatlah suatu aturan yang lebih dikenal dengan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.

43 Hukum online.com, Seputar Tanya Jawab Tenaga Kerja (Untuk Karyawan Dan Peru- sahaan), Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009, hlm 43.

Peraturan perusahaan dapat diartikan sebagai suatu kumpulan aturan yang dibuat oleh seorang pemimpin perusahaan agar terciptanya suatu keteraturan antara para pimpinan dan para pekerja sehingga terciptanya keselarasan dalam bekerja. Dan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Dulu sebelum dikenalnya peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama, tidak ada suatu aturan yang mengatur hubungan intern pekerja dan pengusaha dalam perusahaan, sehingga sering terjadi percekcokan atau perselisihan antara para pekerja dan pengusaha karena ketiadaannya suatu dasar aturan yang dapat menguatkan efektifitas kerja di dalam suatu perusahaan.

Di dalam suatu perusahaan pekerja tidak hanya memberi tenaga dan kemampuannya sedangkan pengusaha memberikan kompensasi lewat upah. Tetapi lebih dari itu, dalam perusahaan dikenal banyak aspek sosial, aspek kesehatan, aspek kemanusiaan, aspek ekonomi. Di dalam peraturan perusahaan diatur beberapa hal seperti masalah besaran gaji, cuti, jaminan sosial, hubungan pekerja. Hal-hal tadi dicantumkan di dalam peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama dengan sangat terperinci agar setiap pekerjaan dapat lebih mudah dimengerti isi dari peraturan tersebut. Hal-hal tersebut dicantumkan tentu dengan maksud dan tujuan agar para pekerja dapat tahu berbagai macam batasan-batasan di dalam bekerja agar mereka lebih termotivasi di dalam bekerja.

Fungsi peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, agar tercipta suasana tertib dan tenang dalam kerja. Melihat pentingnya peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama ini apa jadinya jika pengusaha dan pekerja tidak melaksanakan aturan ini. Pastinya akan tercipta banyak pelanggaran, seperti pengusaha yang semena-mena terhadap buruhnya.

Pasal 188 ayat (1) UU No. 13-2003 menyebutkan: “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah) ”. 44 Padahal dalam Pasal 108 ayat (1) UU No. 13-2003 telah mewajibkan perusahaan yang mempunyai buruh sekurang- kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan, dan apabila hal tersebut tidak dilaksanakan atau dilanggar, maka berdasarkan Pasal 188 ayat (1) akan dikenakan sanksi pidana denda yang paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh ribu rupiah).

Apabila kedua pasal tersebut dicermati lebih lanjut, maka kelemahan Pasal 108 ayat (1) UU No. 13-2003 adalah standar jumlah buruh terlalu rendah (sepuluh orang), sebaiknya diteliti lebih lanjut berbagai kondisi perusahaan yang mempunyai jumlah tersebut, sehingga limit tersebut tidak memberatkan perusahaan-perusahaan kategori kecil. Sedangkan Pasal 188 ayat (1) UU No. 13-2003 yang hanya memberikan sanksi pidana denda sering kali tidak membuat oknum perusahaan jera, disamping jumlah denda yang juga tidak cukup besar.