Pengertian Sikap Bahasa

1. Pengertian Sikap Bahasa

Untuk dapat memahami apa yang disebut dengan sikap bahasa, terlebih dahulu haruslah dijelaskan apa itu sikap . Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu Untuk dapat memahami apa yang disebut dengan sikap bahasa, terlebih dahulu haruslah dijelaskan apa itu sikap . Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu

Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Sementara itu komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui komponen konatif inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu kejadian yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen itu pada umumnya memiliki hubungan yang erat. Kalau ketiga komponen ini sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Apabila sebaliknya, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.

Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap. Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976:71-75) malah dengan lebih tegas mengatakan, bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sementara itu Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian, jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, dan juga bukan yang paling menentukan. Yang paling menentukan perilaku adalah kebiasaan .

Sejalan dengan Sugar, maka Oppenheim (1976:75-76) mengatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Kaitan antara sikap dan perbuatan merupakan jaringan yang sangat sulit. Sementara itu, Edward (1957) menegakan bahwa sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja, dan belum tentu merupakan faktor terkuat. Sedangkan Trandis (1971 : 6-16) Sejalan dengan Sugar, maka Oppenheim (1976:75-76) mengatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Kaitan antara sikap dan perbuatan merupakan jaringan yang sangat sulit. Sementara itu, Edward (1957) menegakan bahwa sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja, dan belum tentu merupakan faktor terkuat. Sedangkan Trandis (1971 : 6-16)

Anderson (1974) (dalam Chaer dan Agustina, 1995:200) membedakan adanya dua jenis sikap, yakni sikap bahasa dan sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dll. Kedua jenis sikap ini terbagi atas kepercayaan-kepercayaan, di antaranya kepercayaan tentang bahasa. Sejalan dengan pandangan Cooper dan Fishman, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sikap bahasa adalah tata kepecayaan yang berhubungan dengan bahasa yang secara relatif berlangsung lama, mengenai suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang (yang memiliki sikap bahasa itu) untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya.

Dalam tulisannya yang lain Anderson (1985) membedakan pengertian sikap bahasa dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit sikap bahasa dipandang sebagai suatu konsep yang hanya bersifat satu dimensi, yakni dimensi rasa yang ada pada diri seseorang terhadap suatu bahasa, sedangkan dimensi kepercayaan (atau pengetahuan) dan dimensi perilaku dipandang sebagai gejala yang terpisah. Dalam arti luas, sikap bahasa yang berkaitan dengan isi makna sikap ( descriptive beliefs ) dan rentangan tanggapan yang mungkin ada ( exhortative beliefs ) di samping segi evauatif dari sikap.

Definisi yang lebih terperinci mengenai sikap bahasa dikemukakan oleh Jendra ( 2007:68) yang mengungkapkan bahwa sikap bahasa adalah keadaan jiwa atau perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain. Lebih lanjut beliau mengartikan sikap bahasa sebagai sikap pendukung atau penutur suatu bahasa bersikap terhadap bahasanya di tempat asalnya, di lingkungan masyarakatnya sendiri dan bagaimana pula sikapnya terhadap bahasanya bila penutur bahasa itu berbicara dengan orang lain, baik di dalam maupun di luar daerah masyarakat bahasanya. Selain itu, yang tergolong pula dalam ruang lingkup sikap bahasa adalah bagaimana suatu masyarakat penutur suatu bahasa memelihara bahasanya ( language maintenance ). Dibandingkan dengan definisi-definisi mengenai sikap bahasa yang dikemukakan oleh para ahli di atas cakupan sikap bahasa yang diberikan Jendra kembali diperluas dengan memasukkan unsur pemeliharaan bahasa ( language maintenance ) dalam definisi yang dikemukakannya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa dan objek bahasa tertentu, yang memberikan kecenderungan kepada seseeorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.

Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur. Dibedakannya antara bahasa ( langue ) dan tutur ( parole ) (de Saussure, 1976), maka ketidaklangsungan hubungan antara sikap bahasa dan perilaku tutur makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap bahasa cenderung mengacu kepada bahasa sebagai sistem ( langue ), sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk kepada pemakaian bahasa secara konkret ( parole ).