Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan oleh Sumarsono (1990)

A. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan oleh Sumarsono (1990)

Penelitian tentang bahasa Melayu Loloan ini dilakukan penulis sendiri untuk disertasi (Sumarsono,1990). Penelitian memfokus kepada pencarian faktor-faktor pendukung pemertahanan bahasa Melayu Loloan. Bahasa ini dipakai oleh guyup Loloan, suatu guyup minoritas beragama Islam, tinggal di tengah-tengah kota Negara, Bali. Menurut sejarah, guyup ini mulai datang ke Bali pada pertengahan abad ke-17. Mereka adalah pelarian pasukan Gowa, Sulawesi Selatan.

Seabad kemudian, pertengahan abad ke-18, muncul gelombang kedua, kali ini berasal dari pelarian armada angkatan laut dari Pontianak. Mereka inilah yang kemudian menjadi inti guyup Loloan yang memperoleh konsesi tempat tinggal di Banjar Loloan, di sebelah-menyebelah sungai Ijo gading, pada awal abad ke-19. Jumlah mereka pada saat itu mungkin hanya beberapa puluh keluarga. Setelah mendapat hunian di situ, pada pertengahan abad ke-19 berdatangan pula pendatang dari Jawa Timur, yang kemudian juga beradaptasi ke dalam guyup itu. Salah satu pengikat kuat dari ketiga komponen dalam guyup itu adalah agama Islam. Jumlah mereka sekarang hanya sekitar empat sampai lima ribu orang. Tetapi bahasanya mampu bertahan selama paling sedikit tiga abad, di tengah-tengah masyarakat mayoritas Bali yang beragama Hindu dan berbahasa Bali .

Pekerjaan warga guyup ini umumnya pedagang kecil, pengusaha industri rumah tangga, dan buruh. Semula mereka nelayan dan pelaut tangguh, tetapi jumlah nelayan sekarang tinggal sedikit. Tingkat pendidikan kepala keluarga ketika penelitian ini berlangsung sangat rendah, yaitu kebanyakan hanya tamatan SD, tetapi tingkat pendidikan golongan muda meningkat. Mereka penganut Islam yang tidak akomodatif terhadap guyup, budaya dan bahasa Bali.

Bahasa Loloan sendiri sebenarnya merupakan ragam atau varietas bahasa Melayu. Penutur menamakan bahasanya bahasa atau omong kampung, sedang peneliti ini memakai istilah Bahasa Melayu Loloan (BML). Ciri khas bahasa Melayu Loloan yang menonjol adalah bunyi /e/ (pepet) pada akhir kata terbuka yang dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia berbunyi /a/. Jadi seperti bahasa Bali, struktur morfologinya, terutama afiksasinya, juga banyak berbeda dari bahasa Melayu. Pengamatan selanjutnya (Sumarsono,1991) menunjukkan, BML mengandung unsur- unsur bahasa Melayu Pontianak, bahasa Bali dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur Bahasa Loloan sendiri sebenarnya merupakan ragam atau varietas bahasa Melayu. Penutur menamakan bahasanya bahasa atau omong kampung, sedang peneliti ini memakai istilah Bahasa Melayu Loloan (BML). Ciri khas bahasa Melayu Loloan yang menonjol adalah bunyi /e/ (pepet) pada akhir kata terbuka yang dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia berbunyi /a/. Jadi seperti bahasa Bali, struktur morfologinya, terutama afiksasinya, juga banyak berbeda dari bahasa Melayu. Pengamatan selanjutnya (Sumarsono,1991) menunjukkan, BML mengandung unsur- unsur bahasa Melayu Pontianak, bahasa Bali dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur

a Wilayah pemukiman mereka yang terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali;

b Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali;

c Anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomoditif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan yang seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Loloan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyarakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yang mayoritas. Akibatnya pula, menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam interaksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan;

d Adanya loyalitas yang tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap bahasa Melayu Loloan, sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambing identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam, sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas diri masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolak untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok, terutama dalam ranah agama;

e Adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.