Hubungan antara Bilingualisme dan Bilingualitas.

2. Hubungan antara Bilingualisme dan Bilingualitas.

Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan me mpraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini bergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan me mpraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini bergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami

Konsep umum bahwa bilingualism adalah digunakan dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya telah menimbulkan beberapa masalah, masalah- masalah tersebut yaitu :

1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya sudah dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?

2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue , atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek?

3. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian, kapan dia harus mengggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?

4. Sejauh mana B1-nya dapat memengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat memengaruhi B1-nya.

5. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, kita terlebih dahulu harus memahami pengertian bilingualisme yang diberikan oleh beberapa orang pakar. Menurut Bloomfield (1933), seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Menurut Lado penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya; kurang pun boleh. Menurut Haugen (dalam Chaer dan Agustina, 1995:86) “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.

Jadi, dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya. Contoh :

Ecik adalah anak yang B1-nya adalah bahasa Bali dan B2-nya adalah bahasa Indonesia. Dalam kesehariannya Ecik berkomunikasi menggunakan B1-nya (bahasa Bali) dengan sesama masyarakat tutur yang menggunakan B1 (bahasa Bali). Namun, ketika berada dalam situasi formal seperti di sekolah, dalam proses pembelajaran di kelas Eka akan menggunakan B2-nya (bahasa Indonesia) untuk berkomunikasi dengan orang lain baik itu guru maupun teman-temannya walaupun lawan tuturnya sama-sama dalam lingkungan masyarakat yang B1-nya adalah bahasa Bali.

Permasalahan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue atau bagaimana? Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue , melainkan parole , yang berupa berbagai dialek dan ragam. Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 1995) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue .

Jadi, yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud bahasa adalah juga dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual; kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.

Dari paparan di atas yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas dari bahasa dalam pengertian langue , seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa dari bahasa Bali dialek Gianyar dan bahasa Bali dialek Tabanan.

Permasalahan ketiga, menyangkut mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Hal ini menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa bicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa” B1 pertama-tama dan terutama dapat

digunakan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan pula harus digunakan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan pula harus

Masalah keempat menyangkut sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat memengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat memengaruhi B1-nya. Permasalahan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penggunaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan memengaruhi B2-nya. Pengaruh ini dapat berupa peristiwa yang disebut interferensi , baik pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun tataran leksikon. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah bergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2.

Mungkinkah B2 seseorang penutur bilingual akan memengaruhi B1-nya? Kemungkinan itu akan ada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya. Umpamaya seorang penutur bilingual Indonesia (B1) – Inggris (B2) untuk jangka waktu yang cukup lama tinggal dalam masyarakat tutur monolingual bahasa Inggris dan tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan B1-nya. Pada suatu waktu bila dia mempunyai kesempatan untuk menggunakan B1-nya, pasti B1-nya sudah tercampur dengan B2-nya, bahasa Inggris. Sejauh mana pengaruh bahasa Inggris (B2) terhadap bahasa Indonesia (B1)-nya bergantung dari sisa kefasihannya dalam berbahasa Indonesia. Contoh :

Kita ambil contoh Nadia Vega. Dia adalah salah satu artis dari Indonesia yang kini meneruskan pendidikan di Amerika dalam jangka waktu yang cukup lama. Selama di Amerika status B1 Nadia Vega adalah bahasa Indonesia dan B2-nya

adalah bahasa Inggris, dan dalam waktu yang lama pula dia akan lebih sering menggunakan B2-nya (bahasa Inggris) daripada B1-nya. Ketika dia kembali ke Indonesia, B2-nya (bahasa Inggris) akan memengaruhi B1-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan ataukah pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 1995) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang Masalah kelima yang dipertanyakan adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan ataukah pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 1995) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang

Berbeda dengan Mackey, Oksaar (1972) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok, sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antarindividu-individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya.

Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.

2.2 Jenis-jenis Kedwibahasaan (Bilingualisme)

Masalah kedwibahasaan yang sifatnya perorangan dapat dilihat dari beberapa segi sehingga penanaman kedwibahasaan berbeda-beda. Dilihat dari segi kemampuannya, kedwibahasaan seseorang dapat dibedakan menjadi kedwibahasaan berimbang dan kedwibhasaan dominan. Kedwibahasaan berimbang atau belanced bilinguality adalah penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang satu sama baiknya dengan penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang kedua, orangnya disebut ambililingual atau equlingual . Kedwibahasaan dominan ( dominant bilinguality ) mengacu pada penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang satu lebih dominan daripada penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang lain. Dalam hal ini, seseorang disebut dwibahasawan aktif atau produktif kalau ia dapat atau mampu menyampaikan gagasan-gagasannya secara lisan atau tertulis. Kalau ia hanya dapat memahami apa yang ia dengar atau apa yang ia baca, ia termasuk dwibahasawan pasif atau reseptif.

Dilihat dari segi pemerolehannya, dapat diketahui apakah kemampuan memakai dua bahasa diperoleh secara simultan ( simultaneous ) secara berurutan ( successive ). Yang pertama mengacu pada keadaan seorang anak yang sejak awalnya dipajankan pada dua bahasa, pada masa ia masih kecil, kira-kira sekitar usia tiga empat tahun. Ada kecenderungan masyarakat mempelajari dua bahasa Indonesia dan Inggris pada waktu yang bersamaan. Dengan demiklian ia memperoleh dua bahasa sekaligus bersama-sama. Kalau seseorang memperoleh bahasa keduanya sesudah ia menguasai bahasa pertamanya, pemerolehannya termasuk pemerolehan yang suksesif.

Weinreich (1953) membedakan kedwibahasaan majemuk ( compound bilinguality ), kedwibahasaan koordinatif/setara ( coordinate bilingulism ), dan kedwibahasaan subordinat ( subordinate bilingualism ). Pembedaan antara ketiganya menekankan tumpuan perhatiannya pada dimensi bagaimana dua sandi bahasa (atau lebih) diatur oleh individu yang bersangkutan. Kedwibahasaan koordinatif/sejajar menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2, yaitu orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa. Kedwibahasaan subordinatif (kompleks) menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan bahasa pertamanya (B1).