Tipe Variasi Bahasa
3. Tipe Variasi Bahasa
Bell (1995:51) mengemukakan bahwa variasi-variasi bahasa yang ada di masyarakat bersifat sistematis dan bukan bersifat acak. Lebih lanjut ia kemudian memaparkan sejumlah kemungkinan tipe-tipe variasi bahasa yang didasarkan pada variabel-variabel linguistik yang dikemukakan oleh Labov (1963). Variabel linguistik tersebut mencakup tiga hal yaitu (1) indikator, (2) marker, dan (3) stereotipe.
Sebelum penulis memaparkan penjelasan terkait dengan ketiga variabel linguistik tersebut, untuk memudahkan pembaca dalam memahami perbedaan ketiga variabel tersebut ada baiknya penulis memaparkan terlebih dahulu pengertian mengenai istilah style-shifting yang memiliki keterkaitan penting terhadap tiga variabel linguistik tersebut.
Style – shifting menurut Meyerhoff (2006:28) merupakan variasi dalam bahasa yang berkaitan dengan perbedaan –perbedaan konteks sosial, perbedaan lawan tutur, dan
tujuan-tujuan personal. Untuk memperjelas hubungan antara istilah style – shifting tersebut dan ketiga variabel linguistik yang dikemukakan Labov berikut penulis uraikan apa yang dimaksud dengan indikator, marker, dan stereotipe. 1.) Indikator
Indikator dalam penggunaanya penutur tidak memerhatikan variabel; fungsi keanggotaannya dalam suatu kelompok, usia, dan faktor sosial lainnya (Labelle, 2011:186). Bell (1995) mengungkapkan bahwa indikator ini erat kaitannya dengan karakteristik sosial dan faktor geografi atau wilayah asal penutur.Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwaindikator semacam ini diakui oleh seluruh komunitas tapi bukan merupakan style – shifting . Indikator ini merupakan karakteristik ujar pada individu dan kelompok tertentu yang sifatnya relatif permanen dan tidak berubah –ubah dari situasi satu ke situasi yang lain, seperti pengucapan vokal /a/ di akhir morfem yang diucapkan /o/ oleh penutur bahasa Bali dialek Tabanan.
Salah satu ciri indikator yang lain adalah tidak adanya koreksi terhadap kesalahan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh anggota kelompok penutur yang lain (Labelle, 2011:186). Misalnya seperti pengucapan vokal /a/ di akhir morfem yang diucapkan /o/ Salah satu ciri indikator yang lain adalah tidak adanya koreksi terhadap kesalahan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh anggota kelompok penutur yang lain (Labelle, 2011:186). Misalnya seperti pengucapan vokal /a/ di akhir morfem yang diucapkan /o/
Marker berbeda dengan indikator bila indikator bukan merupakan style-shifting , maka marker ini merupakan style – shifting . Keberadaanya sebagai style-shifting membuat marker ini berhubungan dengan konteks sosial dan perbedaan lawan tutur dan tujuan- tujuan personal (Bell, 1995:54). Kenyataan tersebut mendorong penutur dalam menggunakan marker ini secara sadar karena mereka harus menyesuaikan tuturan yang mereka gunakan dengan konteks sosial, lawan tutur yang mereka hadapi, serta tujuan – tujuan personal yang ingin mereka capai (Meyerhoff, 2006:28).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa marker ini berbeda dari sebuah situasi ke situasi lainnya. Misalnya ketika seseorang berbicara di dalam forum resmi seperti pidato kenegaraan penutur akan secara sadar memilih menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Berbeda halnya ketika berkomunikasi dengan teman karib, orang cenderung menggunakan variasi yang lebih kasual atau santai dibandingkan dengan menggunakan ragam baku. Mengapa demikian karena ada tujuan personal di balik penggunaan variasi tersebut yaitu untuk mengakrabkan diri dengan kawannya tersebut. 3.) Stereotipe
Stereotipe adalah gambaran cermin indikator, karena tidak ada kaitannya dengan style-shifting . Jadi stereotipe tidak berhubungan dengan perbedaan-perbedaan konteks sosial, perbedaan lawan tutur, dan tujuan-tujuan personal. Stereotipe ini berkaitan dengan masalah pengubahan style (Bell, 1995:55). Lebih lanjut diungkapkan bahwa stereotipe ini sangat diperhatikan oleh orang karena dapat menunjukkan pandangan-pandangan tentang norma ujar yang mungkin sangat bervariasi di antara fakta-fakta aktual dan juga karena didasarkan pada peninjuaan kembali kebiasaan-kebiasaan ujar yang dipakai secara umum oleh generasi-generasi sebelumnya. Senada dengan pandangan Bell tersebut Meyerhoff (2011:) mengatakan bahwa stereotipe ini merupakan peniruan atau penunjukkan fitur-fitur linguistik yang secara luas dikenali oleh masyarakat. Misalnya ketika seseorang menirukan dialek orang Bali, maka mereka akan secara langsung mengubah pengucapan konsonan /t/ dari apiko dental menjadi apiko palatal.