AKSIOMA LINGUISTIK DESKRIPTIF

2. AKSIOMA LINGUISTIK DESKRIPTIF

Menurut Bell (1995:33) dua asumsi kunci yang masih dipakai oleh ahli bahasa deskriptif dapat ditelusuri kembali ke aksioma linguistik deskriptif de Saussure, yaitu:

1) Antara langue (kode yang sudah dimiliki dan dipakai oleh komunitas bahasa) dan parole (penggunaan bahasa secara nyata) memang ada pemisahan.

2) Ada perbedaan antara linguistik sinkronis dan diakronis. Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu yang ada dalam benak seseorang yang bersifat abstrak. Langue merupakan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue berupa sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap orang. Saussure (1988) mengatakan bahwa langue adalah keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue memungkinkan adanya parole , cara seseorang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue .

Dalam langue terdapat batas-batas negatif terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Batasan-batasan negatif itu dapat berupa tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, dan lain-lain.

Parole merupakan penggunaan bahasa secara nyata. Parole bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Dengan kata lain, parole yang berada dalam masyarakat tutur yang tidak merupakan kumpulan individu yang homogen, maka parole tidak menjadi seragam.

Pembedaan langue dan parole dari de Saussure ini sejajar dengan pembedaan kemampuan ( competence) dan penampilan ( performance ) oleh Chomsky (dalam Sumarsono, 2009:7). Competence adalah kemampuan anak dalam menguasai kaidah- kaidah gramatika, khususnya kaidah tentang kalimat, yang tersimpan di dalam benak. Sementara itu penampilan adalah perwujudan atau aktualisasi dari kompetensi tadi. Dengan kata lain, penampilan merupakan pemakaian bahasa itu dalam keadaan yang sebenarnya.

Chomsky beranggapan bahwa penguasaan terhadap kaidah gramatika sudah dengan sendirinya menyebabkan orang mampu memproduksi kalimat atau bertutur. Jadi, competence adalah pengetahuan intuitif yang dimiliki oleh setiap individu mengenai bahasa ibunya. Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada melainkan dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya. Sedangkan performance adalah suatu yang dihasilkan oleh competence.

Linguistik sinkronis adalah kajian bahasa yang dilakukan dalam satu kurun waktu tertentu. Misalnya, penelitian terhadap bahasa Indonesia pada era 2000-an atau pada tahuan 50-an. Dalam penelitian ini akan dicari, misalnya tentang struktur kata, struktur kalimat, struktur wacana, ataupun sistem pemaknaan bahasa Indonesia pada tahun 2000- an. Penelitian sinkronik tidak akan membandingkan bahasa pada tahun tersebut dengan bahasa pada tahun sebelumnya atau sesudahnya. Jadi, hanya meneliti bahasa dalam satu waktu saja.

Meskipun demikian, dalam linguistik sinkronis, dapat juga diteliti dua bahasa yang berbeda untuk dibandingkan, tetapi bahasa tersebut harus berasal dari satu kurun waktu. Misalnya, penelitian terhadap struktur kalimat bahasa Bali dan bahasa Indonesia dalam kurun waktu 2000-an. Perbandingan dua bahasa dalam kurun waktu yang sama ini disebut linguistik sinkronis komparatif. Salah satu bentuk dari kajian ini yang banyak dimanfaatkan dalam pengajaran bahasa adalah analisis konstraktif, yang berupa perbandingan dua bahasa untuk menentukan kesamaan dan perbedaan di antara kedua bahasa tersebut (bahasa ibu dan bahasa sasaran).

Linguistik diakronis yaitu kajian bahasa dalam dua atau lebih kurun waktu. Dalam kajian ini, penelitian tentang bahasa dapat dilakukan dalam waktu yang berbeda.

Misalnya, penelitian terhadap bahasa Indonesia pada tahun 1920-an dan pada tahun 2000-an. Penelitian atau penyelidikan bahasa dalam dua atau lebih kurun waktu ini diarahkan untuk menentukan sejarah perkembangan bahasa, sehingga linguistik ini sering disebut dengan linguistik historis komparatif (cabang linguistik yang membandingkan bahasa untuk menentukan kesejarahan bahasa).