Penelitian Wilian (2006)

C. Penelitian Wilian (2006)

Berkenaan dengan pemertahanan bahasa yang diwujudkan oleh penutur bahasa Sumbawa yang menetap di Lombok. Dulunya mereka termasuk kelompok etnis Sumbawa. Akan tetapi, setelah mereka menetap di Lombo selama kurun waktu 3 abad, karena sebab-sebab kesejarahan, para warganya, terutama mereka yang berusian di bawah 20 tahun, mengidentifiasikan diri lebih sebagai orang sasak daripada sebagai orang sumbawa.

Dalam perilakunya, sebagian diantara mereka mengikuti adat istiadat Sasak atau campuran Sasak-Sumbawa. Secara kultural kebudayaan, Sasak banyak memperlihatkan pengaruh dari kebudayaan Bali, sedangkan kebudayaan Sumbawa lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Bugis. Yang menarik adalah, meskipun mereka menganggap diri mereka sebagai orang sasak, mereka tetap memakai bahasa Sumbawa sebagai sarana komunikasi antara sesamanya, khususnya di ranah rumah tangga, pertemanan, dan ketetanggaan. Permukiman mereka yang terkonsentrasi sehingga membentuk masyarakat yang homogen sangat mendukung dipakainya bahasa Sumbawa. Demikin juga sikap mereka yang positif terhadap bahasa mereka menjadi faktor lain dari dipertahankannya bahasa Sumbawa. Mereka bangga memakai bahasa Sumbawa dan secara terus menerus mengalihkan bahasa meleka ke anak cucu mereka.

Kawin campur tidak serta merta berpengaruh pada pemakaian bahasanya, dimana ada kesempatan mereka memakai bahasa Sumbawa. Seperti halnya dengan bahasa Melayu Loloan, menghadapi bahasa sasak, pemertahanan bahasa Sumbawa lebih kuat daripada ketika menghadapi bahasa Indonesia. Penutur bahasa Sumbawa, Kawin campur tidak serta merta berpengaruh pada pemakaian bahasanya, dimana ada kesempatan mereka memakai bahasa Sumbawa. Seperti halnya dengan bahasa Melayu Loloan, menghadapi bahasa sasak, pemertahanan bahasa Sumbawa lebih kuat daripada ketika menghadapi bahasa Indonesia. Penutur bahasa Sumbawa,

Dari beberapa penelitian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan faktor- faktor yang dapat menyebabkan pemertahanan bahasa oleh sekelompok etnis antara lain.

1. Wilayah pemukiman yang terkonsentrasi, maksudnya adalah tempat tinggal mereka yang berkumpul menjadi satu walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Hal ini menyebabkan kelompok suatu etnis tersebut dalam berkomunikasi sehari-hari tetap menggunakan bahasa ibu mereka;

2. Adanya rasa cinta dan setia terhadap bahasa ibu mereka sehingga akan timbul sikap yang bangga untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka di tengah-tengah bahasa penduduk mayoritas daerah tempat mereka tinggal;

3. Adanya kesinambungan pengalihan bahasa dari generasi ke generasi berikutnya;

Contoh kasus pemertahanan bahasa di Buleleng.

1. Penggunaan bahasa Jawa di Pasar Seririt Secara lebih nyata dan dapat kita amati bersama sikap pemertahanan bahasa ini dapat kita lihat pada sikap penduduk muslim yang tinggal di daerah Seririt, Buleleng Barat. Hal ini dapat kita jumpai di pasar umum Seririt. Apabila kita jalan-jalan di pasar tersebut, kita akan menjumpai sekumpulan pedagang ayam potong yang mayoritas beragama muslim. Pada saat melakukan komunikasi dengan sesama pedangang ayam yang notabennya sesama orang muslim, mereka akan memilih menggunakan B1 mereka yaitu bahasa Jawa. Berbeda halnya ketika mereka menghadapi pembeli yang latar belakangnya bukan beragama muslim maka secara otomatis mereka akan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Bali. Meskipun secara keseluruhan orang-orang yang berbelanja ke pasar tersebut kebanyakan penduduk asli Bali. Apabila pembeli adalah sesama orang Jawa maka otomatis pula mereka akan kembali menggunakan bahasa Jawa saat bertransaksi. Fenomena ini merupakan sebuah bukti nyata kalau sekelompok etnis Jawa di pasar umum Seririt ingin tetap mempertahankan bahasa Ibu mereka walaupun mereka sudah tinggal bertahun-tahun di Bali dan bergaul dengan masyarakat Bali yang memiliki bahasa Ibu berbeda, tetapi 1. Penggunaan bahasa Jawa di Pasar Seririt Secara lebih nyata dan dapat kita amati bersama sikap pemertahanan bahasa ini dapat kita lihat pada sikap penduduk muslim yang tinggal di daerah Seririt, Buleleng Barat. Hal ini dapat kita jumpai di pasar umum Seririt. Apabila kita jalan-jalan di pasar tersebut, kita akan menjumpai sekumpulan pedagang ayam potong yang mayoritas beragama muslim. Pada saat melakukan komunikasi dengan sesama pedangang ayam yang notabennya sesama orang muslim, mereka akan memilih menggunakan B1 mereka yaitu bahasa Jawa. Berbeda halnya ketika mereka menghadapi pembeli yang latar belakangnya bukan beragama muslim maka secara otomatis mereka akan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Bali. Meskipun secara keseluruhan orang-orang yang berbelanja ke pasar tersebut kebanyakan penduduk asli Bali. Apabila pembeli adalah sesama orang Jawa maka otomatis pula mereka akan kembali menggunakan bahasa Jawa saat bertransaksi. Fenomena ini merupakan sebuah bukti nyata kalau sekelompok etnis Jawa di pasar umum Seririt ingin tetap mempertahankan bahasa Ibu mereka walaupun mereka sudah tinggal bertahun-tahun di Bali dan bergaul dengan masyarakat Bali yang memiliki bahasa Ibu berbeda, tetapi

2. Komunitas Kampung Madura di Kecamatan Seririt Kampung Madura adalah istilah tempat yang digunakan komunitas Etnis Jawa yang tinggal dan menetap di Seririt. Masyarakat Kampung. Madura ini dominan beragama Islam. Dalam kesehariannya, masyarakat ini menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sesama etniknya yang tinggal di Kampung Madura. Tidak jarang pula pada masyarakat lain sesama etnik jawa, mereka selalu menggunakan bahasa Jawa. Fenomena ini merupakan suatu usaha masyarakat etnik Jawa yang secara sadar maupun secara tidak sadar telah melakukan pemertahanan bahasa. Di tengah-tengah penduduk yang dominan etnik Bali bahkan hidup di tengah-tengah budaya Bali tempat mereka tinggal, mereka tetap mempertahankan bahasa ibu (b1) mereka yaitu bahasa Jawa.