Variasi Bahasa Berdasarkan Tempat

a) Variasi Bahasa Berdasarkan Tempat

Jika dikaitkan dengan bahasa, tidak ada seorang pun yang bebas melakukan apa yang benar-benar dia sukai (Wardhaugh, 1998). Setiap individu tidak bisa mengucapkan kata-kata semaunya. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki batas-batas tertentu. Salah satu batas yang perlu diperhatikan dalam berbahasa adalah tempat ( setting ). Tempat ( setting) sebuah peristiwa bisa menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda sekalipun tujuan dan partisipan yang dilibatkan sama.

Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula memengaruhi pilihan bahasa dan gaya dalam bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.

Pada sebagian masyarakat, tempat ( setting ) tertentu diperlukan agar sebuah peristiwa terjadi, misalnya, tempat khusus diperlukan untuk berdoa, untuk mengajar, atau untuk bercerita, dan peristiwa-peristiwa ini sering sesuai dengan pilihan varietas bahasa. Pembatasan bahasa ( language restriction ) atau tabu pada umumnya juga berhubungan dengan tempat ( setting ), seperti pembatasan berbicara tentang topik-topik tertentu di meja makan, bersiul di dalam rumah, atau bersumpah serapah di tempat ibadat.

Ada beberapa contoh yang menarik yang penulis angkat dalam kajian variasi bahasa berdasarkan tempat ( setting ) yakni variasi bahasa yang digunakan di daerah Manggarai, di Eropa, dan di daerah Bali. Hasil wawancara penulis dengan seorang mahasiswa pascasarjana Undiksha dari Manggarai (Oliva Tika Baung) menyatakan bahwa di daerah Manggarai terdapat tiga pembagian wilayah kerajaan, yaitu kerajaan Manggarai/Ruteng Runtuh, Kerajaan Todo Pongkor, dan Kerajaan Cibal. Bahasa yang digunakan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya) memiliki variasi bahasa yang berbeda. Misalkan saja, dalam penggunaan kata sapaan, terdapat perbedaan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya). Dalam lingkungan kerajaan, anak lelaki raja dipanggil dengan sebutan “anak daeng”, sedangkan ketika anak raja berada di luar istana maka sapaan terhadap anak raja tidak lagi dipanggil “anak daeng”, tetapi dipanggil “anak kraeng”. Masyarakat umum yang tidak memiliki darah kerajaan, memanggil anak lelaki mereka Ada beberapa contoh yang menarik yang penulis angkat dalam kajian variasi bahasa berdasarkan tempat ( setting ) yakni variasi bahasa yang digunakan di daerah Manggarai, di Eropa, dan di daerah Bali. Hasil wawancara penulis dengan seorang mahasiswa pascasarjana Undiksha dari Manggarai (Oliva Tika Baung) menyatakan bahwa di daerah Manggarai terdapat tiga pembagian wilayah kerajaan, yaitu kerajaan Manggarai/Ruteng Runtuh, Kerajaan Todo Pongkor, dan Kerajaan Cibal. Bahasa yang digunakan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya) memiliki variasi bahasa yang berbeda. Misalkan saja, dalam penggunaan kata sapaan, terdapat perbedaan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya). Dalam lingkungan kerajaan, anak lelaki raja dipanggil dengan sebutan “anak daeng”, sedangkan ketika anak raja berada di luar istana maka sapaan terhadap anak raja tidak lagi dipanggil “anak daeng”, tetapi dipanggil “anak kraeng”. Masyarakat umum yang tidak memiliki darah kerajaan, memanggil anak lelaki mereka

raja berada di luar istana maka sapaan terhadap putri raja tidak lagi dipanggil “nona”, tetapi dipanggil “enu”. Pembantu yang bekerja di dalam istana disapa ”taki mendi”,

sedangkan pembantu yang bekerja pada masyarakat umum, di luar istana disapa dengan istilah ”roeng” . Terdapat pula berbedaan bahasa dalam aktivitas sehari-hari jika dihubungkan dengan tempat berlangsungnya komunikasi. Pada lingkungan kerajaan, ada perbedaan bahasa yang dipakai dalam mengajak makan “mai jumik” atau “ mai lompong”, artinya mari makan. Bahasa yang digunakan masyarakat umum di luar kerajaan untuk me ngajak makan yakni “mai hang”. Hal ini dikarenakan dalam lingkungan istana, ada kekhususan bahasa yang digunakan yakni bahasa alus istana. Sementara itu pada lingkungan masyarakat umum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Manggarai umum.

Variasi bahasa berdasarkan tempat terjadinya tuturan juga dapat dicermati dari bentuk-bentuk salam pada bahasa Inggris. Mengutip pernyataan Brown dan Fraser (1979) bahwa bentuk-bentuk salam pada bahasa Inggris bisa berbeda apabila diucapkan di dalam dan di luar gedung. Contohnya, bentuk sapaan di dalam gedung adalah “ Good morning, how are you today?”sedangkan bentuk sapaan di luar gedung memiliki

perbedaan cara menyapa. Di luar gedung, orang-orang Eropa menyapa cukup dengan berkata ”How are you?”

Kalau kita tangkil ke pura Lempuyang, maka ada pantangan bagi umat yang akan menuju ke puncak pura Lempuyang untuk tidak mengucapkan kata-kata mengarah