Jenis-Jenis Sikap Bahasa

3. Jenis-Jenis Sikap Bahasa

Seperti „sikap‟ pada umumnya bahwa selalu memiliki dua sisi. Sikap bahasa juga memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, yaitu sikap bahasa positif dan sikap bahasa negatif.

a.) Sikap positif

Sikap positif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang tidak bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku. Sementara itu sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan. Hal-hal yang menunjukkan sikap positif seseorang terhadap bahasanya antaralain:

1) Memakai bahasa sesuai dengan kaidah dan situasi kebahasaan

2) Memakai bahasa sendiri (Indonesia) tanpa dicampur dengan bahasa asing walaupun lawan bicara mengerti maksud pembicaraan tersebut, alangkah lebih baik menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan sikap seperti itu berarti kita bangga akan bahasa kita sendiri.

3) Memakai bahasa sesuai dengan keperluan Dalam pergaulan sosial, kita mungkin menghadapi beragam keperluan pula. Pergaulan antarbangsa, misalnya, kadang-kadang menuntut pemakaian bahasa yang sesuai dengan kemampuan orang yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, bahasa yang lain atau bahasa asing kadang-kadang diperlukan untuk keperluan itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia untuk keperluan tertentu tidak perlu dipandang sebagai cerminan rasa kebangsaan yang rendah.

Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif hany a akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa „setia‟ untuk memelihara dan mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri.

b.) Sikap negatif

Sikap negatif bahasa akan menyebabkan orang acuh tak acuh terhadap pembinaan dan pelestariaan bahasa. Mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa sendiri sebagai penanda jati diri bahkan mereka merasa malu memakai bahasa itu. Dalam keadaan demikian orang mudah beralih atau berpindah bahasa, biasanya dalam satu masyarakat bilingual atau mulitilingual terjadi beralih bahasa kepada yang lebih bergengsi dan lebih menjamin untuk memperoleh kesempatan di sektor modern dan semacamnya.

Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat multilingual. Berpindah bahasa merupakan suatu indikator kematian bahasa karena orang itu mulai meinggalkan bahasanya. Proses itu sudah tentu tidak terjadi secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum dijumpai adalah lapisan atau kelompok tua lebih bertahan pada bahasanya, sedang kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai suatu yang baru yang mencerminkan kedinamisan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan sikap negatif bahasa terjadi pada lapisan kelompok muda.

Sikap negatif bahasa tersebut terbentuk apabila orang yang bersangkutan sudang mengetahui atau sudah diberi tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan, tetapi enggan berusaha memperbaikinya. Orang yang kurang terampil berbahasa dapat menunjukkan sikap positif jika ia belajar dari kesalahan, memperhatikan saran, petunjuk, atau pendapat orang yang ahli, serta mengupayakan perbaikan pemakaian bahasanya. Jika itu dilakukan, orang akan tahu letak kesalahan pada kalimat. Di bawah ini adalah contoh penggunaan kalimat yang mencerminkan sikap negatif bahasa :

1) Saya mengucapkan terima kasih di mana ibu-ibu telah sudi datang dalam pertemuan ini.

2) Kredit itu telah menolong daripada kehidupan petani setempat.

3) Sekolah adalah cara untuk memajukan kehidupan manusia.

4) Kamu jangan meng- judge orang tanpa dasar yang kuat! Kalimat-kalimat di atas tidak menggunakan kaidah yang benar dan mengandung kata-kata asing yang kurang tepat. Kalimat-kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat yan g mencerminkan „sikap positif‟ terhadap bahasa Indonesia. Perhatikan perbaikan kalimat di bawah ini:

1) Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan ibu-ibu datang dalam pertemuan ini.

2) Kredit itu telah menolong kehidupan petani setempat.

3) Sekolah adalah salah satu sarana untuk memajukan kehidupan manusia.

4) Kamu jangan menghakimi orang tanpa dasar yang kuat! Jika orang hendak berbahasa secara baik, kadang-kadang tidak hanya tata kalimat yang harus diperhatikan, tetapi juga bentuk kata. Ada bentuk kata yang sebetulnya salah, tetapi terpakai secara luas. Jika upaya pembetulannya dapat dilakukan, orang yang bersikap mengutamakan kecermatan berbahasa tentu akan melakukan hal itu. Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut.

1) Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

2) Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.

3) Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

4) Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna. Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan sikap pemakai bahasa Indonesia yang

negatif dan tidak baik. Hal itu akan berdampak negatif pula pada perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis, menganggap rendah, dan tidak percaya kemampuan bahasa Indonesia dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan lengkap, jelas, dan sempurna. Akibat lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut. 1.) Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan

ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan- ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background, reality, alternatif, airport, masing- masing untuk “halaman”, “latar belakang”, “kenyataan”, “(kemungkinan) pilihan”, dan “lapangan terbang” atau “bandara”.

2.) Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang “amat asing”, “terlalu asing”, atau “hiper asing”. Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing

tersebut, misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianggap) syah. Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal, sarat (muatan), dan (dianggap) sah.

3.) Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak mempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya, kalau mereka kesulitan menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia, mereka akan mencari jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, pengggunaan kata yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan , pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim (1978:7) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah skap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping norma- norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun, apakah berhasil masih tergantung lagi pada motivasi belajar siswa, yang banyak ditentukan oleh sikap siswa terhadap bahasa yang dipelajarinya. Menurut Lambert (1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang disebutnya orientasi instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari, yang disebut orientasi integratif. Orientasi instrumental banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan, dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang. Sementara itu orientasi integaratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu. Dari pembicaraan mengenai sikap bahasa juga bisa memengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.

Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat- kalimat/kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang. Contoh:

1. Bahasa Indonesia yang kebali-balian a.) Adanya pemakaian akhiran „o‟

lihato [ lihatכ ]„lihatlah‟, yang baku sebenarnya adalah lihatlah . Lihat + o

Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [ כ ] dalam bahasa Jawa.

b.) Adanya pemakaian akhiran „-en‟ ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah . Ambil + en Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran - en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa. menembaki [mənεmba?i], seharusnya

menembaki [mənεmba?ki]. c. Menembak + i

c.) Adanya pemakaian akhiran „-ke‟ biarke [biarke], yang baku adalah biarkan. biar + ke dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkan duduk + ke

ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkan ambil + ke

Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.

2. Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris. Contoh: diucapkan Be cheq [bεchε?] Becek [bεcεk] fonem t [t] diucapkan c [c] gicu [gicu] Gitu [gitu] anchri [anchri] Antri [antri]