Variasi Bahasa Berdasarkan Waktu

b) Variasi Bahasa Berdasarkan Waktu

Mengutip pendapat Sumarsono (2008) bahwa bahasa bisa dianggap sebagai “cermin zamannya”. Artinya bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang

terjadi dalam masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Kartomihardjo (1988) yang menyatakan bahwa bahasa adalah cerminan kehidupan masyarakat. Dalam artian bahwa perkembangan masyarakat menyebabkan perubahan struktur masyarakat dan lembaga- lembaganya dan hal ini tercermin dalam kosakata bahasa. Variasi bahasa berdasarkan waktu diistilahkan dengan kronolek atau dialek temporal. Variasi bahasa ini yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, sejarah perkembangan bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini.

Ragam bahasa Indonesia lama dipakai sejak zaman Kerajaan Sriwijaya sampai dengan saat dicetuskannya Sumpah Pemuda. Ciri dari ragam bahasa Indonesia lama masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia. Penggunaan ragam bahasa Indonesia baru, dimulai sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda Pada 28 oktober 1928 sampai dengan saat ini melalui pertumbuhan dan perkembangan bahasa yang beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia.

Perkembangan bahasa baku di satu negara pastilah berbeda dengan perkembangan bahasa baku di negara yang lain. Bahasa Indonesia baku semula lahir dari kehendak rakyat Indonesia yang diwakili oleh para pemuda dalam kongres mereka tahun 1982 pada bulan Oktober. Sejak itu nama Bahasa Indonesia dipergunakan untuk menggantikan Bahasa Melayu sebagai lingua franca di persada nusantara, namun bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu segenap bangsa Indonesia yang pada waktu dalam kondisi keperhatinan mengusir penjajah Belanda dari tanah airnya. Dengan penuh kebanggaan para pejuang kemerdekaan menggunakan bahasanya sendiri dan bukan lagi bahasa penjajah. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah bila sejak waktu itu bahsa Indonesia juga melambangkan perjuangan dan patriotisme yang menyala-nyala. Angkatan Satrawan muda yang dipimpin oleh St. Takdir Alisyahbana dengan Pujangga Barunya merintis sejak 1933 perkembangan bahasa Indonesia Modern.

Pada masa awal kependudukan Jepang muncul sekelompok satrawan yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan 46. Mereka muncul dengan bahasa Indonesia bercorak baru, lebih bebas, tak berbau klise, penuh dengan ungkapan dan pertandingan Pada masa awal kependudukan Jepang muncul sekelompok satrawan yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan 46. Mereka muncul dengan bahasa Indonesia bercorak baru, lebih bebas, tak berbau klise, penuh dengan ungkapan dan pertandingan

Penggunaan bahasa Bali kini dan dulu pun telah mengalami perbedaan. Pada abad ke-19, cara berbahasa masyarakat Bali diatur dalam suatu aturan sopan santun yang disebut masor singgih . Masor singgih merupakan penggunaan stratifikasi bahasa “ unda usuk” bahasa sesuai dengan wangsa seseorang di mana wangsa jaba harus menggunakan bahasa bentuk alus atau hormat terhadap wangsa triwangsa (wesya, ksatria, brahmana). Orang triwangsa umumnya berbahasa lepas hormat terhadap kaum jaba. Agar pemakaian

tingkatan “ undu usuk ” bahasa itu sesuai kedudukan seseorang di dalam masyarakat, apabila orang yang berbicara kepada orang yang belum dikenal, maka menurut sopan

santun berbahasa, orang menanyakan wangsanya terlebih dahulu dengan kalimat, “Nunasang antuk linggih” (menanyakan apa wangsanya), “tiang anak jaba” (saya wangsa sudra), “tiang anak agung” (saya wangsa ksatriya). Setelah mengetahui wangsa

dari masing-masing pembicara barulah terjadi komunikasi dan pilihan bahasa yang digunakan yaitu ragam hormat (alus) dari pihak jaba kepada ksatria dan lepas hormat (kasar) wangsa ksatria kepada sudra.

Kelonggaran penggunaan tingkatan bahasa Bali sudah mengalami perubahan mulai abad ke-20. Penggunaan tingkatan bahasa Bali kian berkurang terlebih di kalangan anak muda dan orang tua seperti yang diteliti oleh Suandi (1996). Anak muda Singaraja memiliki kesadaran yang rendah dalam menggunakan tingkatan bahasa Bali. Mereka menggunakan bahasa atas dasar keakraban. Bahkan pada daerah Singaraja kota dan Singaraja Timur, anak muda dari triwangsa tidak mendapatkan tegur sapa yang sopan sesuai wangsanya. Orang tua yang bekerja utamanya di lingkungan kantor terlebih lagi yang memiliki jabatan tinggi cenderung menggunakan bahasa Bali kepara atau bahasa Indonesia.

Stratifikasi masyarakat modern sangat tampak pada abad 21. Banyak dari golongan jaba memiliki jabatan penting (guru, dosen, direktur, manager, rektor dll) dalam berbagai kehidupan masyarakat telah menggeser golongan lama yang didasarkan pada wangsa. Perubahan ini tidak dapat dihindari akibat persaingan global. Persaingan global menuntut orang bersaing kompetitif, siapa yang berprestasi dan bekerja keras akan memenangkan persaingan tersebut. Hal ini juga berpengaruh terhadap penggunaan tingkatan bahasa Bali. Penggunaan bahasa Bali digunakan untuk menghormati atasan Stratifikasi masyarakat modern sangat tampak pada abad 21. Banyak dari golongan jaba memiliki jabatan penting (guru, dosen, direktur, manager, rektor dll) dalam berbagai kehidupan masyarakat telah menggeser golongan lama yang didasarkan pada wangsa. Perubahan ini tidak dapat dihindari akibat persaingan global. Persaingan global menuntut orang bersaing kompetitif, siapa yang berprestasi dan bekerja keras akan memenangkan persaingan tersebut. Hal ini juga berpengaruh terhadap penggunaan tingkatan bahasa Bali. Penggunaan bahasa Bali digunakan untuk menghormati atasan

Nah, kalau kita cermati dewasa ini. Banyak terdapat kosakata dalam bidang pertanian yang tidak digunakan lagi seperti dulu. Sistem pertanian tradisional, mulai dari menanam sampai pengolahan hasil panen mengalami berbagai pemendekan seiring munculnya berbagai fasilitas pendukung yang mengubah sistem pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Pada tahun 1960-1970, bibit unggul dan mesin-mesin mulai masuk dalam sistem tradisonal. Fase-fase kerja dalam sistem pertanian seperti fase pengolahan tanah ( mundukin) , fase penyiapan bibit ( penguritan) , fase penanaman ( memula ), fase panen ( manyi ), dan fase pengolahan hasil panen ( nyelip ) mulai dimasuki oleh modernisasi sehingga setiap fase mengalami efisiensi dan pemendekan proses kerja. Penelitian Supendi (2007) membuktikan bahwa perubahan perilaku masyarakat petani tradisional akibat modernisasi menimbulkan kecendrungan hilangnya beberapa kosakata yang terdapat dalam sistem tradisional. Anak-anak petani mulai tidak mengetahui beberapa kosakata yang ada dalam sistem pertanian tradisonal, padahal anak-anak tersebut sehari-harinya ada di lingkungan petani. Contohnya anak-anak petani Bali sekarang tidak lagi mengenal istilah-istilah tengala, lampit, mejukut, ngai nini, manyi, glebeg, tambah, singkal, seet, pondong, maklumpu, nebuk, oot pesak dll. Namun, setidaknya mereka mengenal istilah karung, pestisida, traktor dan sebagainya.

Ketika tayangan Akademisi Fantasi Indonesia (AFI) pada tahun 2003 digemari masyarakat muncul kosakata eliminasi, pithc control, komentator, audisi yang sering digunakan dalam tayangan tersebut. Ketika film “Cinta Bunga” populer, kosakata “ ya ngak sih, ya ngak” pemeran Dennis sangat populer dipakai oleh masyarakat. Namun, ketika Cinta Bunga mulai reda, kosakata-kosakata itupun jarang digunakan. Berdasarkan contoh di atas, penggunaan v ariasi bahasa dapat didasarkan pada masa tertentu dan menjadi cerminan zamannya.