Dimensi Pembangunan yang Berkelanjutan Pembangunan Kota Berkelanjutan

Isu pembangunan wilayahdaerah menurut Murty 2000 tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah equally development, tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayahdaerah yang seragam, bentuk-bentuk keseragaman pola struktur ekonomi daerah atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar self sufficiency setiap wilayahdaerah. Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut Anwar 2003 adalah mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan equity yang mendukung pertumbuhan ekonomi efficiency dan keberlanjutan sustainability dalam pembangunan ekonomi. Skala prioritas pembangunan yang cenderung mengejar sasaran-sasaran makro pada akhirnya menimbulkan berbagai ketidak seimbangan pembangunan berupa menajamnya disparitas spasial, kesenjangan desa-kota, kesenjangan struktural, dan sebagainya. Pendekatan makro juga cenderung mengabaikan plurality akibatnya keragaman sumberdaya alam maupun keragaman sosial budaya.

2.2 Dimensi Pembangunan yang Berkelanjutan

Serageldin and Steer 1994 menjelaskan bahwa konsep pembangunan yang berkelanjutan mengintegrasikan tiga aspek kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan dalam suatu hubungan yang sinergis. Ketiga aspek kehidupan dan tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut dapat digambarkan sebagai “a triangular framework” dengan tujuan masing-masing aspek yang berbeda, seperti terlihat pada gambar dibawah ini : Gambar 1 : Konsep pembangunan yang berkelanjutan Serageldin and Steer, 1994 Ekonomi Tujuan: pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi Sosial Tujuan: pemerataan, pemberdayaan masyarakat, keterpaduan sosial, partisipasi masyarakat efisiensi Ekologi Tujuan: integritas ekosistem keanekaragaman hayati, daya dukung lingkungan

2.3. Pembangunan Kota Berkelanjutan

Untuk memahami konsep pembangunan kota berkelanjutan sustainable city, tidak dapat dilakukan tanpa pembahasan yang kritis dan holistik tentang lingkungan kota itu sendiri. Memahami lingkungan kota secara holistik berarti melihat lingkungan kota sebagai satu kesatuan integral, dinamik dan kompleks antara lingkungan fisik-alamiah dengan manusia dan sistem sosialnya. Dengan kata lain, pemahaman ini mengandung konsekuensi bahwa kita harus memahami lingkungan secara holistik, tidak terbatas pada aspek fisik-alamiah semata, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, serta politik masyarakat dalam suatu sistem waktu dan tempat yang khusus Roseland 1997. Kebijakan pembangunan suatu kota tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan antara perencanaan lingkungan, angkutan, dan penggunaan lahan. Terutama pada kota-kota yang pertumbuhannya sangat cepat dan padat serta sering dijumpai permasalahan mendesak dari penggunaan lahan, transportasi, dan lingkungan. Perbaikan pengelolaan kota dalam suatu wilayah memprioritaskan yang teratas adalah kekuatan kapasitas untuk perencanaan implementasi kebijakan melalui koordinasi terbaik yang terkait dengan pemerintahan. Untuk mencapai tujuan pembangunan kota yang berkelanjutan, di negara maju perhatian banyak diberikan pada konservasi dan pemeliharaan baik lingkungan alamiah maupun buatan yang ada. Terdapat tiga hal yang merupakan prinsip perancangan kota yang berkelanjutan, yaitu: pertama, pemakaian kembali bangunan, jalan, infrastruktur yang sudah ada, serta komponen dan material bangunan yang telah didaur ulang. Kedua, konservasi sumberdaya alam, flora, fauna, dan tata ruang. Material bangunan harus didapatkan dari sumber-sumber yang berkelanjutan. Ketiga, pola dan konstruksi bangunan harus memakai energi seminimal mungkin. Menurut Redelift 1987 secara umum ada lima syarat khusus yang harus dipenuhi agar tercapai pembangunan kota yang berkelanjutan, yaitu: 1. Pemerataan dalam distribusi keuntungan pertumbuhan ekonomi; 2. Akses terhadap kebutuhan dasar manusia; 3. Keadilan sosial dan hak-hak kemanusiaan; 4. Kepedulian dan integritas lingkungan; dan 5. Kepedulian terhadap adanya perubahan sepanjang waktu. Mitlin dan Satterwhite dalam Sustainable Seattle 1998 berpendapat bahwa untuk mencapai pembangunan kota yang berkelanjutan dipersyaratkan aksi pencegahan penurunan aset-aset lingkungan sehingga sumberdaya untuk kegiatan manusia dapat terus berlanjut. Aksi pencegahan tersebut meliputi: 1. Meminimalkan pemakaian atau limbah sumberdaya-sumberdaya yang tidak dapat didaur ulang; 2. Pemakaian berkelanjutan dari sumberdaya-sumberdaya yang dapat didaur ulang, seperti air, tanaman pertanian, dan produk-produk biomas; dan 3. Meyakinkan bahwa limbah dapat diabsorbsi secara lokal dan global, seperti oleh sungai, laut, dan atmosfer. Haryadi dan Setiawan 2002 mengemukakan berbagai jenis indikator keberlanjutan pembangunan suatu kota yang dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas pengaruhnya terhadap keberlanjutan kesejahteraan masyarakat kota. Indikator-indikator dari masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut : 1 Indikator-indikator ekonomi Indikator ekonomi ditujukan untuk mengukur tingkat kegiatan ekonomi atau produktivitas kota yang bersangkutan. Indikator ini meliputi antara lain jenis pekerjaan penduduk kota termasuk yang mendukung kebutuhan dasar, tingkat pendapatan, cara mereka membelanjakannya distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan tersebut dapat berupa pengeluaran untuk kesehatan, pengeluaran untuk perumahan, pengeluaran untuk energi, dan investasi masyarakat. Di samping itu, kemudahan memperoleh rumah, jumlah anak miskin dan pengangguran, keanekaragaman industri dan tenaga kerja, kewirausahaan, dan inovasi teknologi dapat mengindikasikan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat kota. 2 Indikator-indikator sosial-budaya Indikator ini dirumuskan untuk mengukur aspek-aspek sosial-budaya dari suatu kota meliputi aspek-aspek demografi dasar misalnya jumlah penduduk, mata pencaharian, struktur umur dan lain-lain serta aspek-aspek kesejahteraan dan keadilan sosial. Termasuk dalam kelompok ini antara lain: tingkat kriminalitas, konflik sosial, tingkat partisipasi masyarakat, ketimpangan sosial, tingkat demokratisasi dalam pengelolaan kota, keadilan dalam hukum, kemampuan membaca dan menulis pada orang dewasa, keikutsertaan pemilih, kesehatan fisik dan mental individu, jumlah lembaga swadaya masyarakat, dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah. 3 Indikator-indikator lingkungan Indikator lingkungan ini menggambarkan lingkungan yang sehat. Indikator-indokator aspek lingkungan dapat berupa indikator fisik seperti kualitas air, udara, tingkat pemanasan global, kebisingan, kerusakan tanah erosi, kondisi permukaan tanah dan drainase, fasilitas kendaraan bukan bermotor pedestrian, jalan untuk sepeda. Indikator flora dan fauna juga dapat mengindikasikan kesehatan kota seperti keragaman hayati dan ruang terbuka hijau.

2.4 Strategi