Setiap kawasan mempunyai kemampuan tertentu didalam menerima wisatawan, yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan
dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan,
malainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan
menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan
perkembangan wisata itu. Analisis kesesuaian yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian lahan,
artinya alokasi pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan wisata bahari harus berkesesuaian baik ditinjau dari aspek bio-fisik maupun aspek sosial ekonomi dan
lingkungan. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu melalui penentuan nilai kelas suatu lahan serta pola tata
guna tanah yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha-usaha
pemeliharaannya. Didalam pengelolaan kawasan pesisir untuk wisata, agar tetap
berkelanjutan ada tiga persyaratan daya dukung lingkungan. Pertama, bahwa aktivitas wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik ekologis
sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, dan Ketiga, bahwa
tingkat pemanfaatan sumber daya alam yang dapat pulih renewable resources hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun
waktu tertentu.
2.2.5.2. Nilai Ekonomi Ekowisata
Sumberdaya lingkungan merupakan penyedia barang dan jasa yang memberikan manfaat ekonomis Djajadiningrat, 2001. Barang lingkungan berupa
barang dan jasa dapat digunakan baik oleh manusia sebagai konsumen maupun produsen. Sebagai konsumen manusia dapat menikmati atau mengkonsumsi
keindahan alam, air dan udara bersih. Sebagai produsen, manusia dapat memanfaatkan barang dan jasa dari sumberdaya untuk kegiatannya.
Barang lingkungan sebagai salah satu dari barang-barang bebas adalah barang yang secara fisik kuantitatif tidak terukur. Demikian juga tidak dapat
langsung dinilai dengan uang. Walaupun tidak dapat terkuantifikasi, barang tersebut merupakan komoditi yang banyak digunakan atau dimanfaatkan orang.
Barang demikian dikenal sebagai non-marketable goods, yaitu suatu komoditi yang tidak memiliki sistem pasar, seperti keindahan alam, kejernihan air sungai
dan danau, air tanah dan udara bersih. Dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan
berkelanjutan, diperlukan pengetahuan mengenai manfaat sumberdaya alam secara menyeluruh, baik manfaat yang nyata tangible maupun manfaat yang
tidak dapat dinyatakan secara jelas intangible. Kedua manfaat tersebut perlu dikelola dengan seimbang agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Kawasan pesisir merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki manfaat tangible misalnya ikan, udang, kepiting, kayu, dan sebagainya, dan
manfaat intangible seperti keindahan, kejernihan, keunikan dan sebagainya Fauzi, 2006. Dalam upaya pengelolaannya, perhitungan sumberdaya alam harus
didasarkan pada kedua manfaat tersebut, sehingga alokasi manfaatnya dapat mencapai tingkat yang optimal.
Ketidakmampuan pasar dalam menilai manfaat intangible sumberdaya alam menyebabkan nilai tersebut tidak dapat diduga secara kuantitatif. Manfaat
fungsi ekologis memang sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Penggunaan metode analisis biaya dan
manfaat Cost-Benefit Analysis atau CBA yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan tersebut karena konsep CBA yang konvensional sering
tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Kondisi ini pada akhirnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya
valuasi non-market Fauzi, 2006. Tujuan dari penilaian ekonomi ini, untuk dapat menempatkan lingkungan
supaya dikenal sebagai bagian integral dari setiap sistem ekonomi yang nilainya digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat Fauzi dan
Anna, 2005. Dalam pengukuran nilai sumber daya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya, yang diperlukan
di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan dalam membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumber daya Fauzi, 2006.
Jadi nilai ekonomi disini didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh
barang dan jasa lainnya. Konsep ini disebut dengan keinginan untuk membayar WTP seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya dan
lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa dikonversikan ke dalam nilai ekonomi.
Pendekatan kesediaan membayar juga digunakan untuk menilai manfaat intangible
dari sumberdaya pesisir yang tidak dapat dinilai secara kuantitatif oleh mekanisme pasar. Pada pelaksanaanya, pendekatan ini sama saja dengan
pendugaan kurva permintaan yang menggambarkan besarnya keinginan membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat manfaat intangible
yang dikonsumsinya. Dalam penilaian manfaat wisata dari sumberdaya pesisir, pendekatan kesediaan membayar dilakukan dengan pendugaan kurva permintaan
yang menggambarkan kesediaan dari para pengunjung untuk membayar biaya- biaya yang perlu dikeluarkan untuk dapat menikmati suatu kegiatan wisata.
Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik
valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang
mengandalkan revealed WTP keinginan membayar yang terungkap. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic
Pricin g, dan Random Utility Model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana WTP diperoleh langsung dari responden, yang diungkapkan secara lisan
maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method
, dan Discrete Choice Method. Pada umumnya, nilai ekonomi manfaat wisata dihitung dengan
menggunakan Contingent Valution Method, Hedonic Pricing dan Travel Cost Method
Fauzi, 2006.
1 Travel Cost Method TCM
Metode biaya perjalanan ini dikembangkan untuk menilai kegunaan dari barang non-market. Alam secara khusus tidak memegang harga dalam pasar
sehingga kita harus menemukan alternatif yang dimaksudkan untuk memperkirakan nilainya Pierce, 2006. Menurut Hufschmidt 1987, pendekatan
biaya perjalanan merupakan suatu cara menilai barang yang tidak memiliki harga. Di negara maju, pendekatan ini telah dipakai secara meluas untuk mendapatkan
kurva permintaan barang-barang wisata. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap
individu untuk mengunjungi tempat wisata. Diketahuinya pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai value yang diberikan konsumen kepada
sumber daya alam dan lingkungan. Pendekatan biaya perjalanan berhubungan dengan tempat khusus dan mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan wisata
pada umumnya Hufschmidt, 1987. Fauzi 2006 juga menambahkan bahwa tujuan kerja TCM untuk
mengetahui nilai sumber daya alam yang atraktif dari suatu tempat wisata, yang dilakukan melalui pendekatan proxy. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk
mengkonsumsi jasa dari sumber daya alam digunakan proxy untuk menentukan harga dari sumber daya alam tersebut.
Menurut Kusumastanto 2000 TCM merupakan salah satu teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk: 1 menilai daerah tujuan wisata alam;
2 dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; 3 biaya perjalanan total merupakan
biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta 4 surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Hanley dan Spash 1993
menyatakan asumsi yang dipakai dalam kebanyakan penelitian yang menggunakan metode perjalanan adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen
terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat terpisah. Secara umum terdapat dua teknik yang digunakan dalam menentukan nilai
ekonomi berdasarkan TCM, yaitu Zonal Travel Cost Method ZTCM dan Individual Travel Cost Method
ITCM. ZTCM merupakan pendekatan yang relatif mudah dan murah. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur nilai dari jasa
wisata dari sebuah tempat secara keseluruhan. ZTCM diaplikasikan dengan mengumpulkan informasi dari jumlah kunjungan ke tempat wisata dari berbagai
daerah atau zona. Pada Zonal Travel Cost Method ZTCM tempat wisata diidentifikasi
berdasarkan kawasan yang mengelilinginya dibagi ke dalam zona konsentrik yang semakin jauh yang menunjukkan peringkat biaya perjalanan yang semakin tinggi.
Survei terhadap para pemakai tempat wisata kemudian dilakukan pada tempat wisata untuk menentukan zona asal, tingkat kunjungan, biaya perjalanan, dan
berbagai karakteristik sosial ekonomi. Informasi dari contoh para pengunjung dianalisis dan data yang dihasilkan digunakan untuk meregresi tingkat kunjungan
yang dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan berbagai variabel sosial ekonomi. Dalam hal ini, biaya perjalanan dan waktu akan meningkat seiring dengan
meningkatnya jarak, maka informasi yang didapat memungkinkan peneliti untuk memperhitungkan jumlah kunjungan di berbagai harga. Informasi tersebut
digunakan untuk membangun fungsi permintaan dan mengestimasi surplus konsumen atau keuntungan ekonomi untuk jasa rekreasi dari sebuah tempat.
ITCM individual travel cost method pada dasarnya serupa dengan ZTCM, tetapi menggunakan data survei yang berasal dari pengunjung secara
individu dalam analisis statistik daripada data dari setiap zona. Metode ini memerlukan pengumpulan data yang lebih banyak dan analisis yang lebih sulit
tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat. Peralihan metode biaya perjalanan dari ZTCM menjadi ITCM dalam
menurunkan nilai surplus konsumen disebabkan beberapa hal, pertama sering analisa yang dilakukan didasarkan pada willingness to pay individual. Hal yang
kedua adalah karena pengamatan sering kali teramat kecil dibandingkan dengan keseluruhan zona, ketiga sering ditemui situasi dimana sejumlah individu
melakukan perjalanan dari daerah asal yang umum dan selanjutnya terdispersi dalam kelompok-kelompok kecil menuju lokasi wisata sekitarnya. Sebab lain
yaitu karena individu tidak semata-mata ingin menikmati pariwisata saja tetapi mungkin kombinasi dari melihat-lihat, berburu, dan sebagainya.
Metodologi ITCM secara prinsip sama dengan ZTCM Mehmet dan Turker, 2006 namun ITCM menggunakan data dari survei setiap pengunjung
dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan
memberikan hasil yang lebih tepat. Sedangkan Grigalunas et al. 1998 menyatakan bahwa ada tiga model
travel cost , yaitu 1 zonal travel cost, 2 individual tracel cost, dan 3 discrete
choice travel cost , yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi
perjalanan yang tidak kontinu, di mana individu mengunjungi suatu lokasi sekali per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh
jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak ke lokasi terpilih.
Dalam membangun fungsi permintaan dalam TCM diperlukan asumsi dasar agar penilaian sumberdaya alam dengan metode ini tidak bias. Menurut
Haab dan McConnel 2002 yang diacu dalam Fauzi 2006, fungsi permintaan harus dibangun dengan asumsi dasar, antara lain:
1 Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari rekreasi;
2 Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas;
3 Perjalanan merupakan perjalanan tunggal bukan multitrips. Kelebihan dari ITCM dibandingkan dengan ZTCM diantaranya :
1 Lebih efisien dari sisi statistik proses perhitungan; 2 Konsistensi teori dalam perumusan model permintaan dan perilaku individu;
3 Menghindari keterbatasan zonal atau lokasi; 4 Menambah heterogenitas karakteristik populasi pengunjung diantara suatu
zona, serta mengeliminasi efek pengunjung dengan tingkat kunjungan nol non-participant.
Meski dianggap sebagai suatu pendekatan praktis, TCM memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1 TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Artinya TCM tidak
menelaah aspek kunjungan ganda multipurpose visit, padahal pada
kenyataannya seorang individu bisa saja mengunjungi tempat lain terlebih dahulu sebelum ke tempat wisata yang kita maksud;
2 TCM tidak membedakan individu yang memang datang dari kalangan pelibur holiday makers dan mereka yang datang dari wilayah setempat resident.
Jadi jika para holiday makers ini memang datang untuk menikmati keindahan alam tempat wisata yang kita teliti, maka tentunya biaya perjalanan penduduk
sekitar harus dialokasikan pada holiday makers tersebut; 3 Masalah pengukuran nilai dari waktu value of time, harus dibedakan antara
waktu yang memang menghasilkan utilitas wisata dan waktu yang menjadi korbanan oppotunity cost.
2 Contingent Value Method CVM
Metode valuasi kontigensi adalah suatu metode survei untuk menanyakan kepada responden tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi
yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang
lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu Fauzi, 2006.
Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan,
kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi
selanjutnya bahwa orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang.
Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga willingness
to pay untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan tersebut
digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan.
Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada.
Oleh karena itu, pasar hipotetik harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang
ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk pembayaran.
Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar willingness to pay dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan
pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan seperti pemandangan alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik serta situasi yang data
harganya tidak ada. Penilaian kontigensi atau teknik survei dilakukan untuk menemukan nilai hipotensi konsumen Hufschmidt, 1987. Metode ini lebih
fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis.
Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: 1 membuat hipotesis pasar; 2 mendapatkan nilai lelang; 3 menghitung
rataan WTP; 4 memperhatikan kurva lelang; dan 5 mengagregatkan data. secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan teknik
eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei Fauzi, 2006; Adrianto, 2007.
Meskipun diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai
sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh: 1 Bias yang timbul dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika melakukan
wawancara dan dalam kuesioner kita nyatakan bahwa respoden akan dipungut fee
untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya
jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate
dari nilai yang sebenarnya. 2 Terjadinya fenomena dimana
responden berusaha menyenangkan pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran
sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju menyetujui apa yang ditanyakan pewawancara.
3 Nilai WTP yang diberikan responden melebihi pendapatan yang dimiliki responden.
2.3. Preferensi Visual