bertujuan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang optimal dan berkelanjutan, yakni sebagai berikut :
− −
+ +
+ +
= α
α ϕ
ϕ µ
ϕ µ
t T
t T
t C
t C
t E
t E
t T
t T
C E
C E
E
............. 9
+ −
−
= 1
t T
t C
K t
E t
rE t
E t
E γ
β
....................................... 10
t T
t C
t C
∈ +
− =
δ ........................................................................... 11
2.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsialsektoral di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir sering menimbulkan kerusakan Bengen, 2004.
Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian dari sumber daya tersebut. Sementara
itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang.
Kurang dihargainya hak masyarakat adatlokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig,
terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum
terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah Dahuri et al. 2001.
Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor- faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya
hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati yang disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat lokal, perlu dikelola secara baik agar dampak
aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi.
Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi
sanksi. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan
pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan
perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada
pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional
melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah
pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-
pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak- hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak
pengusaha. Terbentuknya undang-undang ini akan semakin memperjelas mekanisme
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, termasuk didalamnya pengelolaan kawasan konservasi perairan. Disamping itu, undang-
undang ini juga bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan di daerah. Sedangkan payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun
2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui peraturan pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai
konservasi sumber daya ikan dapat terwadahi Ditjen KP3K, 2008. Konservasi sumberdaya ikan merupakan upaya melindungi melestarikan
dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, mengingat
karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan
ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Ada 9 sembilan hal penting yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidup GBHN 1998-2003 dalam ICEL 2005 yaitu :
1 Pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan
terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara sistem ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin
pembangunan nasional yang berkelanjutan; 2 Pembangunan lingkungan hidup menekankan kepada peningkatan peran serta,
tanggung jawab sosial, dan organisasi sosial kemasyarakatan; 3 Sumber daya alam harus dikelola dan dimanfataatkan untuk sebesar-
sebesarnya kemakmuran rakyat secara berkelanjutan dengan mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai agar dapat
memelihara kelestarian lingkungan hidup; 4 Menekankan peran lembaga fungsional pemerintah dan peran serta
masyarakat; 5 Kondisi ekosistem terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem
sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan; 6 Pemanfaatan bagi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan ekosistem;
7 Rehabilitasi sumber daya alam dan lingkugan hidup yang fungsinya rusak dan terganggu yang mengembangkan dan meningkatkan peran serta masyarakat;
8 Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bertujuan pada penataan ruang yang serasi dengan perkembangan kependudukan, pola
pemanfaatan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya
lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis;
9 Pengembangan kerjasama bilateral, regional dan internasional secara saling menguntungkan mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup,
alih teknologi dan sebagainya. Arah pembangunan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tersebut
menunjukkan adanya kesadaran betapa pentingnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Diabaikannya salah satu dari sistem tersebut akan mempengaruhi sistem yang lain. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi
sebagai prioritas dan meninggalkan atau mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan budaya, akan memunculkan masalah-masalah yang kompleks.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan kawasan konservasi pesisir adalah
1 UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
2 UU No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati;
3 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup; 4 PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di zona
ekonomi eksklusif Indonesia; 5 PP No. 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam; 6 PP No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam;
7 Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
8 PP Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan; 9 Peraturan Menteri KP No 172008 tentang kawasan konservasi di pesisir
dan pulau pulau kecil; 10 Peraturan Menteri KP No 22009 tentang tata cara penetapan kawasan
konservasi perairan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2008 yang berlokasi di Pulau Menjangan dan Teluk Terima dalam area Taman Nasional Bali
Barat, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Secara geografis terletak pada posisi antara 114º1202 - 114º1430 Bujur Timur dan 8º0520 -
8º1720 Lintang Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Lokasi penelitian. 3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi kasus pada kawasan Pulau Menjangan. Kasus digambarkan dan diuraikan tentang fenomena kawasan dan
mengkaji penyebab dari gejala-gejala yang ditemukan. Penelitian ini diarahkan
L A
U T
B A
L I