Kondisi dan Potensi Sumber daya Kawasan Pulau Menjangan
oleh Coral Foliose, Coral Branching, dan Coral Massive. Selain itu, dijumpai pula biota lainnya seperti soft coral dan zooxanthid serta karang mati. Komponen
abiotik terdiri dari pasir dan rubble pecahan karang. Pada Pos I ini profil rataan terumbu di dekat dermaga dengan kedalaman kurang dari 3 meter banyak diisi
oleh hamparan pasir dan karang mati, sepanjang kurang lebih 20 meter, namun semakin jauh dari pos atau dermaga semakin banyak karang yang hidup dengan
kedalaman lebih dari 3 meter atau berada pada tubir karang. Begitu pula pada kedalaman 10 meter banyak ditemukan patahan-patahan karang, kondisi ini
diakibatkan sebelumnya telah terkena hama Acanthaster plancii dan terjadi bleaching
. Kondisi ini juga diakibatkan oleh pelemparanpenambatan jangkar dan aktivitas pariwisata yang tidak bersahabat. Penyelaman dan snorkeling yang
ceroboh berpotensi dalam memindahkan patahan karang maupun menambah terjadinya patahan karang tersebut. Morfologi tubir dengan derajat kemiringan
yang tinggi seperti di Pulau Menjangan ini, menyebabkan jatuhnya patahan karang ke kedalaman di bawahnya, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan
fisik berantai. Secara umum dapat dikatakan bahwa terumbu karang di stasiun I atau Pos
I memiliki kondisi sedang, yaitu sebesar 31.70 . Kondisi lingkungan seperti ini dimungkinkan untuk direkomendasikan sebagai tempat introduksi dive dan uji
lapangan selam. Mengingat Pos I terlindung dari arus kencang dan gelombang besar, sehingga relatif aman serta memiliki paparan pasir yang cukup luas
terutama di sebelah Barat dermaga, sehingga pengrusakan terumbu, terutama karena kurangnya penguasaan daya apung dapat dihindari.
2 Stasiun II Transek stasiun kedua berada di sebelah Selatan Pulau Menjangan, yaitu
sebelah Timur dari Pos I, terdapat sebuah dermaga dengan beberapa jenis vegetasi yang cukup luas. Pihak TNBB memberikan nama lokasi ini dengan sebutan Pos
II. Transek diambil pada kedalaman 3 meter dan 10 meter. Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter adalah sebesar 18.70 dari jenis Acropora
dan non Acropora sebesar 24.40 . Selain itu, ditemukan juga biota lain seperti soft coral
dengan persentase tutupan sebesar 29 serta komponen Abiotik yang sedikit berupa substrat pasir dan rubble sebesar 25 . Pada lokasi ini karang mati
yang ditemukan berupa bongkahan karang mati dari jenis massive dengan persentase sebesar 13 . Sedangkan persentase tutupan karang pada kedalaman
sekitar 10 meter adalah sebesar 11.80 yang didominasi oleh jenis Acropora dan jenis non Acropora hanya 36.40 . Pada lokasi ini juga dijumpai juga biota lain
seperti soft coral dengan persentase tutupan sebesar 27.40 , komponen Abiotik yang sedikit berupa substrat pasir dan rubble sebesar 19.80 serta persentase
tutupan karang mati sebesar 15 Lampiran 4. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di Pos II ini tergolong dalam
kategori sedang, yaitu 49.23 dari kedua kedalaman yang diteliti. Kondisi ini dapat disebabkan karena Pos II memiliki gelombang yang relatif tenang dan
terlindung dari arus kencang, sehingga relatif lebih aman. Pada Pos II ini lebih sesuai diperuntukkan untuk kegiatan snorkeling, mengingat lebarnya hamparan
karang datar lebih dari 100 meter dengan kedalaman kurang dari 5 meter serta tingkat kecerahan yang sangat tinggi. Kondisi karang yang baik berada sedikit
menjauh dari dermaga. Mengingat karena di dermaga banyak kapal boat yang bersandar dan para wisatawan memulai aktivitasnya dari kapal yang bersandar
tersebut. 3 Stasiun III
Transek stasiun ketiga berada di sebelah Tenggara Pulau Menjangan, yaitu ke arah Timur dari Pos II, dimana terdapat sebuah dermaga dengan hamparan
pasir putih yang tidak terlalu luas sedikit vegetasi pohon dan memiliki tebing karang yang curam. Lokasi pengamatan ini diberi nama Dermaga Pura, karena
lokasi ini menjadi salah satu akses menuju beberapa pura yang ada di Pulau Menjangan.
Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar 26.60 dengan jenis karang berupa Acropora dan
30 berupa non Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar 13.02 , sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan rubble sebesar
20.18 serta persentase tutupan karang mati sebesar 10
.
Untuk pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora 25 dan non
Acropora 27.80 , sedangkan 23.58 adalah biota lain seperti soft coral.
Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar 13.42 dan tutupan karang mati sebesar 10
Lampiran 4. Kondisi terumbu karang di Dermaga Pura ini tergolong dalam kategori
sedang yaitu 48.67 . Kondisi lingkungan di lokasi ini memiliki gelombang dan arus yang cukup kuat, sehingga perlu perhatian yang lebih. Kondisi karang yang
baik berada sedikit menjauh dari dermaga. Hal ini dikarenakan banyaknya kapal boat
yang bersandar, sehingga banyak karang yang hancur. Ke arah timur dermaga akan dijumpai tebing-tebing karang yang terjal dan keunikan karang
disini adalah memiliki profil karang dari berkontur datar dengan kedalaman 3 meter kemudian berubah drastis menuju ke terjal lebih dari 40 meter dengan jarak
dari garis pantai sekitar 20 meter, sehingga pada kedalaman tersebut tampak berbagai jenis karang yang menempel seperti dinding rumah.
4 Stasiun IV Titik pengamatan keempat berada di sebelah Timur Pulau Menjangan,
yaitu ke arah Utara dari Dermaga Pura. Pada lokasi ini hanya terdapat hamparan tebing-tebing karang yang curam. Lokasi pengamatan ini diberi nama Bat Cave,
karena lokasi ini terdapat goa kelelawar pada dinding tebing. Pengamatan di lokasi ini dilakukan kurang lebih berjarak 10 meter dari
garis pantai pada kedalaman 3 meter, mengingat tidak adanya pantai di lokasi ini, sehingga pengukuran dilakukan dari agak ke tengah. Tipe terumbu karang di
lokasi ini secara umum berupa karang tepi, namun sekitar 30 meter dari arah tebing memiliki slope yang curam dan perairannya cukup dalam. Persentase
tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter sekitar 31 dari jenis Acropora dan 29.62 didominasi oleh non Acropora. Pada lokasi ini biota lain yang ikut
berkembang adalah soft coral, sponge, Kima dengan persentase sebesar 22.20 dan komponen abiotik sebesar 4.06 serta 3 dalam bentuk karang mati.
Sedangkan pada kedalaman 10 meter, non Acropora masih mendominasi sebesar 14.40 dan 33.50 dalam bentuk Acropora. Biota lain yang ikut teramati
memberikan nilai sebesar 26.72 dan komponen abiotik sebesar 12.26 serta tutupan untuk karang mati sebesar 3 Lampiran 4.
Kondisi terumbu karang di Bat Cave ini tergolong dalam kategori baik yaitu 52.48 . Kondisi lingkungan di lokasi ini menyerupai lokasi Dermaga Pura
dengan gelombang dan arus yang kuat. Pengaruh arus dan morfologi pulau tersebut, maka terdapat beberapa hal yang spesifik, seperti banyaknya karang
lunak, Gorgonian, Sponge dan non Acropora coral Foliose, coral Massive, coral Submassive, dan coral Mushrom pada rataan terumbu, tubir, dan dinding serta
profil dindingnya yang hampir tegak lurus. 5 Stasiun V
Titik pengamatan kelima berada di sebelah Utara Pulau Menjangan, dimana pada lokasi ini terdapat dermaga yang merupakan akses kedua menuju
beberapa Pura di Pulau Menjangan. Lokasi pengamatan ini diberi nama Dermaga Pura Utara, tidak terdapat vegetasi dan sangat jarang tampak pohon.
Pengamatan di lokasi ini dilakukan dari garis pantai pada kedalaman 3 meter, walaupun pada lokasi ini sedikit adanya pantai. Tipe terumbu karang di
lokasi ini secara umum berupa karang tepi, namun sekitar 200 meter dari arah pantai memiliki slope yang curam dan perairannya cukup dalam. Pengukuran
transek pada kedalaman 3 meter didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar 11.50 dengan jenis karang berupa Acropora dan 25.10 berupa non
Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar 19.10 , sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan rubble sebesar
17.10 serta persentase tutupan karang mati sebesar 27
.
Untuk pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora 28.40 dan non
Acropora 35 , sedangkan 17.30 adalah biota lain seperti soft coral, sponge, kima. Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar 11.10 dan
tutupan karang mati sebesar 8 Lampiran 4.
Kondisi terumbu karang di Dermaga Pura Utara ini tergolong dalam kategori sedang yaitu 45.47 . Memiliki gelombang dan arus yang sangat kuat.
Angin yang kuat akan memicu terbentuknya gelombang yang kuat sehingga kekuatannya dapat merusak beberapa lifeform yang bercabang brancing, menjari
digitate, dan lembaran foliose. Kondisi ini dapat dilihat kedalaman 3 meter yang mendapat hempasan gelombang yang terus menerus, karena stasiun ini
terletak di daerah yang menghadap angin, sehingga membuat karang-karang yang telah rapuh akibat terkena hama Acanthaster plancii dan mengalami bleaching
menjadi rusak dan patah-patah, sehingga banyak ditemukan patahan karang di
kedalaman ini. Pengaruh arus dan morfologi pulau tersebut, maka terdapat beberapa hal yang spesifik, seperti banyaknya karang lunak, Gorgonian, Sponge
dan non Acropora pada rataan terumbu, tubir, dan dinding serta profil dindingnya yang hampir tegak lurus.
6 Stasiun VI Titik pengamatan keenam berada di sebelah Barat Laut Pulau Menjangan,
dimana pada lokasi ini terdapat hamparan pasir yang sangat luas. Lokasi pengamatan ini diberi nama Eel Garden, karena banyak terdapat eel belut laut di
dasar perairan. Stasiun ini terdapat beberapa vegetasi mangrove dan sangat jarang tampak pohon.
Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter di lokasi ini didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar 29.66 dengan jenis karang berupa
Acropora dan 33.28 berupa non Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar 12.60 , sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan
rubble sebesar
20.96 serta persentase tutupan karang mati sebesar 5 . Untuk
pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora 16.50 dan non Acropora 33.56 , sedangkan 27.40 adalah biota lain seperti
soft coral . Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar 18,04 dan
tutupan karang mati sebesar 5 Lampiran 4.
Secara umum dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Eel Garden memiliki kondisi yang sedang, yaitu 51 dari kedua kedalaman yang diteliti.
Biota yang banyak dijumpai pada lokasi ini selain eel belut laut di dasar perairan juga ditemukan sponge dalam ukuran yang besar, berbagai jenis karang, seperti
karang masif, foliose, dan mushroom. Beragamnya biota yang ditemukan di lokasi ini, dapat disebabkan karena stasiun VI memiliki gelombang yang cukup tenang,
sehingga relatif aman. Lebarnya hamparan karang datar lebih dari 100 meter dengan kedalaman kurang dari 5 meter serta tingkat kecerahan yang sangat tinggi,
maka sangat sesuai diperuntukkan untuk kegiatan snorkeling. Selain itu, mengingat daerah ini memiliki paparan pasir yang cukup luas terutama di sebelah
Barat, maka dapat direkomendasikan untuk tempat introduksi dive dan uji lapangan selam. Secara ringkas, hasil pengamatan insitu terhadap kondisi terumbu
karang di 6 titik stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Pulau Menjangan
Gambar 4 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang atau tutupan karang hidup dengan persentase paling tinggi adalah 52.48 Bat cave, 51 Eel garden,
49.23 Pos II, 48.67 Dermaga pura, 45.47 Dermaga pura utara, dan persentase yang paling rendah terdapat di Pos 1 sebesar 31.70 .
Secara keseluruhan persentase tutupan karang hidup di Pulau Menjangan
sebesar 46.42 atau dalam kategori sedang. Menurut kriteria dari Hutabarat et
al . 2009, untuk aktivitas ekowisata bahari dengan kategori kegiatan menyelam
dan snorkeling diperlukan syarat kondisi tutupan karang minimal sebesar 25 sampai lebih dari 75 . Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa semua titik
stasiun pengamatan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata bahari atau dengan kata lain Pulau Menjangan masih layak dipergunakan sebagai kegiatan
ekowisata bahari. Selain kondisi tutupan karang, hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa
terdapat 18 famili hard coral, yaitu: Acroporidae, Agariicidae, Astrocoeniidae, Dendrophyliidae, Euphyliidae, Faviidae, Fungidae, Helioporidae, Merulinidae,
Milleporidae, Mussidae, Oculinadae, Pectiniidae, Pocilloporidae, Poritidae, Psammocora, Siderastreidae, dan Tubiporidae serta 3 jenis soft coral seperti
Sarcophyton sp, Dendronephyta sp, dan Sinularia sp.
2 Ikan Karang
Berdasarkan pengamatan pada enam stasiun menunjukkan bahwa jenis ikan karang yang ditemukan pada umumnya berupa ikan hias dengan jumlah
sekitar 52 jenis. Ikan tersebut kebanyakan membentuk schooling fish kumpulan ikan dengan warna dan bentuk yang beranekaragam. Beragamnya ikan hias
tersebut terdiri dari: 1 ikan target seperti famili Acanthuridae, famili Serranidae dan famili Labridae; 2 ikan indikator dari famili Chaetodontidae dan 3 ikan
mayor seperti famili Pomacentridae, famili Scaridae, famili Pomacanthidae, famili Aulostomidae, famili Balistidae, famili Ephipidae, famili Holocentridae, famili
Nemipteridae, famili Ostraciidae, famili Pinguipedidae, famili Tetraodontidae, dan famili Zanclidae.
Keberadaan ikan di area terumbu karang sangat bergantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri. Seperti kelompok ikan indikator ikan Kepe-Kepe;
butterfly fish ; famili Chaetodontidae yang merupakan ikan indikator untuk
menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan yang cukup banyak, begitu pula dengan kelompok ikan mayor, seperti Chromis analis, Chromis
antripectoralis , Chromis caudalis dan Chromis margaritifer yang cukup banyak
dijumpai kehadirannya hampir di setiap stasiun pengamatan. Masih cukup banyak dijumpainya ikan indikator, yaitu dari famili
Chaetodontidae, menandakan kondisi terumbu karang masih cukup baik. Menurut Nybakken 1992 ikan indikator merupakan ikan yang aktif memangsa koloni
karang, seperti ikan Kepe-Kepe Chaetodontidae, ikan Kakak Tua Scaridae, ikan Pakal Tato Balistidae, dan ikan Buntal Tretaodontidae, begitu juga Myer
dan Randall 1983 menyebutkan kehadiran ikan Kepe-Kepe tidak terlepas dari keberadaan terumbu karang, karena ikan ini merupakan salah satu indikator
kesehatan karang. Semakin beragamnya spesies ikan dari kelompok ini menandakan tingkat kesehatan karang semakin tinggi. Keanekaragaman spesies
ikan yang tinggi juga disebabkan oleh variasi habitat yang ada di ekosistem terumbu karang. Variasi habitat seperti daerah berpasir, berbagai lekuk dan celah,
daerah alga, serta perairan yang dangkal atau dalam dapat menambah keragaman tidak hanya ikan tetapi juga biota laut lainnya, seperti berbagai jenis dari mega
benthos.
3 Ekosistem Mangrove
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komplek hutan mangrove di kawasan Pulau Menjangan, diwakili oleh mangrove di sekitar Teluk Terima yang
mana merupakan komplek hutan mangrove terluas kedua setelah kompleks hutan mangrove Teluk Gilimanuk. Di Pulau Menjangan sendiri ditemukan pula
mangrove, namun luasannya sangatlah sempit. Luas kawasan mangrove di Teluk Terima ini adalah 162.14 ha. Letaknya di sebelah Selatan Pulau Menjangan, yang
tepatnya terletak di koordinat antara 114 30
′10″ - 114 33
′05″ BT dan 8 07
′02″ - 8
Jenis mangrove yang ditemukan cukup beragam dan hidup mengelompok. Disepanjang pantai pesisir Barat Teluk Terima banyak dijumpai Rhizophora
apiculata yang diselingi oleh beberapa kelompok Sonneratia alba. Di lokasi
Tanjung Kotal di bagian Utara banyak dihuni oleh Ceriops tagal serta Avicennia marina
yang berupa kelompok dan jalur memanjang ke arah Selatan. Di bagian 10
′02″ LS.
Selatan, dijumpai lagi kelompok Ceriops tagal. Beberapa jenis lain yang dijumpai dalam kelompok kecil di wilayah pantai pesisir Barat Teluk Terima adalah
Brugguiera gymnorrhiza .
Di bagian Timur pesisir Teluk Terima dimana Labuan Lalang terletak, banyak dihuni oleh Sonneratia alba, terutama di tepi-tepi pantainya. Di bagian
pantai lainnya ditempati pula oleh kelompok Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa
. Di bagian yang agak ke dalam dijumpai jalur-jalur Avicennia marina
dan Ceriops tagal, sedangkan di bagian yang terdalam dijumpai Excoecaria agallocha
dalam kelompok yang lebih luas. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan memiliki kerapatan yang bervariasi dalam luasan area 100 m
2
Jenis .
Tabel 15 Kerapatan jenis mangrove
Nama Lokal Pohon
ind100 m
2
Pancang ind100 m
2
Avicennia marina Rhizophora apiculata
Rhizophora stylosa
Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba
Ceriops tagal Excoecaria agallocha
Api-api Bakau kecil
Bakau merah Tancang
Pedada Tingi
Panggang 14
9 6
4
12 8
6 4
3 1
1 3
2 2
Sumber: Data Primer yang diolah 2008 Tabel 15 menunjukkan bahwa kompleks hutan mangrove di Teluk Terima
lebih didominasi oleh jenis Avicennia marina dan Sonneratia alba dalam bentuk pohon maupun pancang. Hasil ini juga menggambarkan jumlah kehadiran
Avicennia marina dan Sonneratia alba yang cukup tinggi.
Selain mangrove potensi lain yang dapat ditemukan, adalah komunitas
burung. Hasil pengamatan dan kajian laporan TNBB, mangrove di kawasan Pulau
Menjangan memiliki potensi yang cocok untuk habitat beberapa jenis burung, seperti Kokokan Bakau Butoroides striatus, Raja Udang Biru Dada Putih
Halcycon chloris, Raja Udang Biru Kecil Alcedo caerulescens, Raja Udang Merah Ceyx erithacus, Trinil Pantai Actitis hypoleucos, dan Gajahan
Numenius phaeopus. Selain burung-burung tersebut, ada beberapa jenis burung lain yang sering
dijumpai melewati atau sekedar singgah di areal hutan mangrove, namun bukan
biota asli berhabitat di hutan mangrove, seperti: burung Kapinis Laut Apus pacificus
, Walet Laut Colloalia esculenta, dan Elang Laut Perut Putih Haliacetus leucogaster.
Potensi lain yang ditemukan di hutan mangove adalah komunitas ikan, dan kepiting. Di wilayah mangrove, ditemukan berbagai jenis ikan, dimana ikan
tersebut sebagian hidup permanen dan sebagian hidup sementara hanya pada peremajaan nursery stadium di ekosistem mangrove. Ikan-ikan yang ditemukan
umumnya berukuran kecil-kecil, hanya beberapa jenis yang besar, seperti ikan Belanak Mugil cephalus dan Valamugil seheli, Belodok Periophthalamus sp,
ikan Kuro Eleutheronema tetradactylum, sedangkan kepiting dari genus Uca, Pinotheres
, Sesarma, Cardisoma, dan Grapsus.
4 Komunitas Makroalga
Untuk makroalga, hasil pengamatan dari 3 stasiun pengamatan, yaitu Pos I, Pos II, dan Dermaga Pura, didapatkan 24 spesies makroalga yang berasal dari 3
kelas, yaitu Chlorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae. Secara lengkap, yaitu: 1 Kelas Chlorophyceae meliputi famili Udoteaceae, famili Ulvaceae,
famili Caulerpaceae, famili Zignemataceae, famili Hyneaceae, famili Valoniaceae, famili Anadyomenaceae, famili Siphonocladeceae; 2 Kelas Phaeophyceae
meliputi famili Dictyoceae dan famili Sargassaceae serta 3 Kelas Rhodophyceae meliputi famili Sargassaceae, famili Rhodomelace, famili Solieraceae, famili
Corallinaceae, famili Gellidiaceae, dan famili Hypneaceae. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa makroalga yang ditemukan
paling banyak di perairan Pulau Menjangan berasal dari kelas Rhodophyceae, yaitu 11 spesies, diikuti kelas Chlorophyceae sebanyak 10 spesies, dan terendah
dari kelas Phaeophyceae sebanyak 3 spesies. Kelas Rhodophyceae paling banyak dijumpai di perairan Pulau Menjangan, hal ini dimungkinkan oleh respon
Rhodophyceae terhadap lingkungan habitatnya lebih baik daripada kelas yang lain. Artinya alga dari kelas Rhodophyceae ini lebih mampu beradaptasi dengan
lingkungan perairan Pulau Menjangan. Hal ini akan berbeda apabila dibandingkan dengan jenis-jenis makroalgae dari kelas Chlorophyceae. Alga dari kelas ini
biasanya ditemukan tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan sehingga kondisinya menjadi lebih rentan. Kerentanan yang dimaksud karena adanya
gangguan dari aktivitas manusia seperti, misalnya aktivitas wisata, aktivitas transportasi menambatkan perahu dan lain sebagainya, akibatnya jumlah dari
jenis makroalga ini relatif lebih sedikit daripada kelas Rhodophyceae walaupun relung hidupnya lebih luas. Sedangkan alga dari kelas Phaeophyceae paling
sedikit diperoleh, hal ini disebabkan karena habitatnya yang sulit dijangkau yakni pada daerah dengan perairan yang lebih dalam.
Kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan, tidak hanya ditentukan oleh kondisi biofisik dan kimia perairan tetapi juga karena media hidup
dari alga tersebut. Perairan Pulau Menjangan yang didominasi oleh terumbu karang yang cukup luas dan hidup mengelilingi Pulau Menjangan, telah
menjadikan media hidup yang baik bagi makroalga. Karang dapat menjadi media hidup bagi alga karena sebagian besar makroalga hidup dengan cara menempel,
terutama pada substrat yang keras seperti pecahan karang rubble, karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut.
Beragamnya jenis-jenis makroalga yang ditemukan, maka dapat ditentukan pola distribusi dan komposisinya di perairan Pulau Menjangan. Hasil
yang didapatkan disajikan pada Gambar 5.
35.88
32.94 31.18
35.29
31.37 33.33
28 29
30 31
32 33
34 35
36 37
Chlorophyceae Phaeophyceae
Rhodophyceae
P er
s ent
as e
Densitas Relatif Frekuensi Relatif
Sumber: Data Primer yang diolah 2008
Gambar 5 Densitas relatif dan frekuensi relatif makroalga.
Gambar di atas memberikan penjelasan bahwa persentase kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, dilihat dari nilai frekuensi
relatif dan densitas relatif dari ketiga kelas sebesar 33.33. Kondisi ini
menggambarkan bahwa keadaan lingkungan perairan Pulau Menjangan telah mendukung kehidupan dari makroalga tersebut. Selain itu, densitas relatif dan
frekuensi relatif ini juga akan menunjukkan bagaimana pola distribusi dan komposisi masing-masing kelas makroalga tersebut. Hasil persentase di atas
menunjukkan bahwa kelas Chlorophyceae lebih mendominasi dibandingkan dengan Phaeophyceae dan Rhodophyceae, meskipun jenis yang ditemukan lebih
sedikit dari Rhodophyceae. Hal ini kemungkinan disebabkan karena habitat kelas ini yang lebih banyak hidup di dekat daratan atau dengan kedalaman yang rendah
sehingga lebih banyak memperoleh bahan organik yang umumnya berasal dari daratan serta perolehan intensitas matahari untuk proses fotosintesis yang lebih
besar, dibandingkan oleh kelas Rhodophyceae dan apalagi kelas Phaeophyceae yang lebih banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam yang sudah tentu
intensitas mataharinya juga ikut berkurang. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pola distribusi kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae tergolong clumped,
sedangkan Rhodophyceae memiliki pola distribusi random. 1
Kualitas perairan
Secara umum nilai rata-rata parameter kualitas air di perairan Pulau Menjangan masih layak atau mendukung untuk dilakukannya kegiatan ekowisata
bahari. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang didapatkan masih berada pada kisaran baku mutu air untuk wisata bahari yang ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No.
51 tahun 2004. Kondisi kualitas air pada perairan pesisir Pulau Menjangan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Kondisi kualitas perairan Pulau Menjangan Stasiun Temp
º C Turbiditas
NTU pH
Salinitas
00
DO mgl
BOD NH
5
mgl
3
mgl
1 2
3 4
5 6
29 29
29 29
28 27
0.0550 0.0331
0.0305 0.0225
0.0355 0.0432
7.6 7.6
7.7 7.8
7.5 7.4
28.8 28.9
28.9 29.0
29.0 28.5
7.87 8.00
7.89 7.97
7.60 8.01
0.12 0.12
0.12 0.13
0.12 0.15
Baku mutu
alami 5
7 – 8.5 alami
5 10
nihil
Kriteria penilaian Kepmen Negara LH No. 51, 2004
Dari 7 parameter yang diuji Tabel 16, tidak ada parameter yang melebihi atau melewati ambang batas baku mutu air laut untuk wisata bahari sesuai
Kepmen Negara LH No. 51 tahun 2004. Kondisi kualitas perairan ini tidak terlepas dari keadaan Pulau Menjangan yang tidak berpenduduk, letaknya yang
cukup jauh dari mainland Pulau Bali dan berada di sekitar laut terbuka, sehingga limbah antropogenik tidak ada. Hal ini bisa dilihat dari parameter Amonia NH
3
, BOD
5
dan Turbiditas yang nilainya sangat rendah. BOD
5
mengindikasikan jumlah bahan organik perairan yang mudah diuraikan secara biologis serta jumlah
oksigen yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi Widigdo, 2001. Secara tidak langsung BOD
5
merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi
bahan organik menjadi karbondioksida dan air Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam Effendi 2003. BOD
5
merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan, dimana perairan yang mempunyai nilai BOD
5
tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik.
Bahan organik akan diuraikan secara biologis dengan melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Proses oksidasi aerobik akan menyebabkan
terjadinya penurunan oksigen terlarut sampai pada tingkat terendah dan mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob yang berdampak terhadap
kematian organisme. Menurut Lee dan Arega 2000, tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD
5
-nya yang terbagi dalam 4 empat kategori : 1 Nilai BOD
5
2.9 mgl termasuk kategori tidak tercemar; 2 nilai BOD
5
antara 3.0 – 5.0 mgl termasuk kategori tercemar ringan; 3 nilai BOD
5
antara 5.1 – 14.9 mgl termasuk kategori tercemar sedang; dan 4 nilai BOD
5